Politik Estetik Rancièrean

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Verso Book


“Para pekerja militan tahun 1840-an meretas lingkaran dominasi dengan membaca dan menulis, bukan membaca dan menulis tulisan populer dan militan, tetapi literatur ‘tinggi’” (Rancière, 2010: 116)


MEMBACA “Rancière dan Politik Estetika” yang ditulis R. H. Authonul Muther seperti membaca Jacques Rancière rasa Pierre Bourdieu. Rancière tidak “hendak menawarkan sebuah kesetaraan estetis” seperti yang ditulis oleh Muther. Kesetaraan estetik juga bukan menghapus “rezim estetik dalam seni” yang mengimplikasikan hilangnya “distingsi rigor antara yang seni dan yang bukan seni.” Perjuangan untuk mencapai kesetaraan estetik dengan meruntuhkan sempadan antara yang seni dan yang bukan seni semacam itu lebih dapat didasarkan pada pemikiran Bourdieu daripada Rancière.

Bourdieu memandang estetik sebagai pengetahuan yang dikonstruksi oleh kaum borjuasi kecil (filsuf dan intelektual). Dengan pengetahuan tersebut penilaian estetik atas suatu produk seni dapat diterapkan.[1] Pengetahuan estetik, dengan demikian, merupakan suatu instrumen kelas borjuasi untuk memiliki hegemoni kultural atas kelas proletariat. Oleh karenanya, kesetaraan estetik hanya dapat dicapai dengan menolak pengetahuan estetik yang, pada gilirannya, meruntuhkan sempadan antara yang seni dan bukan seni, atau antara seni tinggi dan dan seni rendahan.

Rancière tak meletakkan kesetaraan di seberang, sebagai sesuatu yang harus dicapai atau diperjuangkan. Kesetaraan merupakan suatu kondisi awal, kondisi kini dan di sini; suatu titik awal yang harus diakui jika kita membahas kesetaraan. Berkait dengan kesetaraan estetik, artinya, bahwa setiap orang mempunyai kapasitas untuk memperoleh pengalaman estetik. Namun, bukan berarti pengalaman estetik adalah pengalaman apa saja atau pengalaman sehari-hari. Pada titik paling dasar ini, tentang apa itu pengalaman estetik, Rancière berbeda secara radikal dengan Bourdieu.[2]

Bagi Bourdieu, pengalaman estetik lebih merupakan suatu ilusi yang dibentuk oleh pengetahuan dan penilaian estetik. Pada sisi lain, Rancière memandang pengalaman estetik merupakan suatu pengalaman spontan yang tidak mungkin dikonseptualisasi sebagai pengetahuan. Mengikuti Kant, Rancière menyatakan bahwa pengalaman estetik mengimplikasikan suatu keterputusan dari kondisi-kondisi pengalaman indrawi sehari-hari (biasa).

Barangkali pengambaran paling gamblang tentang pengalaman estetik yang dapat diperoleh setiap manusia tanpa pandang bulu adalah pembahasan Rancière atas catatan harian seorang tukang bangunan (tukang pasang ubin) yang menceritakan sensasi indrawinya pada suatu momen. Rancière menceritakan kembali apa yang dirasakan Gauny, tukang bangunan, dalam Proletarian Nights:

Merasa berada di rumah sendiri, ia suka penataan ruangan selama ia belum menyelesaikan pemasangan lantai. Bila jendela terbuka menghadap taman atau menghamparkan suatu pemandangan cakrawala yang permai, ia menghentikan tangan-tangannya sesaat dan tergelincir dalam imajinasi menjelangkan pemandangan yang lapang untuk menikmatinya lebih baik daripada para pemilik rumah di lingkungan itu.”[3]

Terdapat retakan antara tangan yang bekerja memasang ubin–pekerjaan yang mendefinisikan ruang dan waktu seorang tukang bangunan dalam stratifikasi sosial–dan tatapan mata pada jendela terbuka yang menghidupkan imajinasi. Retakan itu, antara okupasi (pekerjaan) dan kemampuan (menikmati pemandangan permai/indah), membuktikan dua hal. Pertama, bahwa kemampuan untuk merasakan dan memperoleh pengalaman estetik itu tidak dibatasi oleh pemilahan sosial. Kedua, merasakan dan memperoleh pengalaman estetik yang tidak sesuai dengan ruang dan waktu sosial yang ditempatinya itu pada dasarnya adalah pemberontakan politis atas struktur sosial. 

Pemilahan sosial atau stratifikasi sosial secara simultan selalu merupakan distribusi sensible; setiap orang, dalam suatu kelompok, masing-masing ditempatkan pada suatu ruang dan waktu tertentu berdasarkan apa yang boleh/tidak boleh dilihat dan apa yang boleh/tidak boleh dikatakan, dirasakan, dan dipikirkan. Tukang bangunan yang menikmati pemandangan permai dengan menghentikan pekerjaan kasarnya, oleh karena itu, melintasi batas stratifikasi sosial, melanggar ketentuan sosial atas apa yang boleh dilihat dan boleh dirasakannya sebagai seorang pekerja kasar.

Dalam “Good Time, or, Pleasure at the Barriers”, Rancière menyatakan bahwa barangkali kelas-kelas yang paling berbahaya sama sekali bukan kelas-kelas yang tidak beradab (biadab), tetapi para migran pelintas batas-batas antar kelas.


Politik Estetik dan Estetik Politik

Telah sejak mula estetik tidak dapat dilepaskan dari politik. Estetik selalu dengan serta merta adalah politis. Estetik adalah nama atau istilah dari suatu sensibilitas tertentu yang merupakan potensi dari setiap individu. Estetik sebagai seni adalah juga seni manusia, seni yang di dalam dirinya memproyeksikan kesetaraan; kehidupan kolektif tanpa sekat.

Estetik sebagai rezim seni, atau rezim estetik, secara historis ditegakkan dengan “menjungkalkan” rezim etik/representasi mimesis yang didasari dan mendasari sekat-sekat kehidupan sosial yang dikarakterisasi oleh distribusi pemerasaan (apa yang boleh dan tidak boleh dirasakan) dan pemikiran (apa yang boleh dan tidak boleh dipikirkan) serta tindakan (apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan) sesuai dengan ruang sosial yang ditempati. Dengan demikian, estetik selalu bersifat politis, yang dicirikan dengan disensus, karena hadir sebagai daya sensibilitas yang senantiasa menolak penyekatan sosial.

Politics of aesthetics (politik estetik) adalah politik yang politis, yang menentang politik police karena yang kedua itu bertujuan untuk memelihara dan menertibkan konfigurasi sosial. Politik estetik berangkat dari pengakuan bahwa estetik merupakan potensi sensibilitas yang dimiliki setiap dan semua individu manusia.

Jika kemudian seorang individu jelata, seperti tukang bangunan–Gauny yang telah dicontohkan di atas–tidak merasakan sensibilitas estetik, bukan berarti ia tidak dapat merasakannya. Namun, ruang-waktu dan situs-fungsi yang ditempatinya dalam konfigurasi sosial tidak memperbolehkannya memiliki sensibilitas semacam itu. Individu jelata seperti Gauny hanya mungkin mengakui (memikirkan dan membicarakan) pengalaman sensibilitas estetiknya dengan melampaui atau keluar dari ruang-waktu sehari-hari yang mengekangnya.

Jadi politik estetik bukan umbul-umbul partai, bendera-bendera partai, dan janji-janji politik politikus pada musim kampanye. Segala jenis perangkat kampanye politik tersebut lebih tepat disebut tontonan. Jenis objek sensualitas yang tujuannya adalah menundukan khalayak.

Umbul-umbul partai, bendera-bendera partai, dan janji-janji politik politikus, sebenarnya merupakan praktik dari aesthetics of politics (estetik politik) atau estetik yang dipolitisasi. Estetik kehilangan otonominya dan menyerah pada politik sebagai objek yang diatur. Dengan kata lain, estetik kehilangan watak aslinya sebagai pengalaman sensibilitas tertentu yang tidak dapat dikonseptualisasi sebagai suatu pengetahuan. Watak politis estetik ditindas oleh watak police politik.


Hilangnya Batas Antara Benda Seni dan Benda Sehari-hari

Sekarang kita mencoba memahami pernyataan Rancière yang dikutip Muther dalam tulisannya: “Tidak ada lagi prinsip distingsi antara seni dan kehidupan sehari-hari.” Walhasil, “…setiap objek profan dapat masuk ke dalam semesta pengalaman artistik… dan setiap produksi artistik dapat menjadi bagian dalam kerangka kehidupan kolektif yang baru.” Apakah kutipan ini dapat diartikan bahwa Rancière mengamini hilangnya perbedaan antara estetika, seni, dan kehidupan sehari-hari? Apakah hilangnya perbedaan itu mengindikasikan praktik revolusi estetik untuk mencapai kehidupan kolektif yang baru?

Pernyataan di atas dikutip oleh Muther dari “From Politics to Aesthetics?” yang merupakan upaya Rancière untuk menjelaskan sejumlah kata kunci yang berhubungan dengan pemikiran-pemikirannya yang kerap dideskripsikan sebagai “aesthetic turn.” Secara spesifik, pernyataan Rancière pada kutipan tersebut berkaitan dengan “The Aesthetic Revolution and Its Outcomes” (New Left Review 14, 2002) dan kemudian menjadi bab tersendiri dalam Dissensus: On Politics and Aesthetics (2010). Kutipan tersebut, oleh karena itu, harus dipahami dalam konteks pemikiran Rancière tentang paradigma seni modern (postmodern) yang genealoginya berakar pada momen penggulingan prinsip mimesis dalam seni.

Tampaknya kita harus mundur ke belakang, menjernihkan terlebih dahulu apa itu prinsip mimesis, sebelum membahas paradigma seni modern. Prinsip mimesis mendasari dua rezim seni, yakni rezim etik dan rezim representasi. Rezim etik yang berasal dari Plato yang memosisikan lisan (tindakan/kehadiran aktual) lebih superior dari tulisan (simulakra tindakan/kehadiran) juga memilah tujuan seni secara hierarkis (karya seni yang berguna secara langsung lebih superior dari yang tidak berguna atau tidak berguna secara langsung). Implikasinya adalah seniman (pengrajin) yang memproduksi sepatu (tiruan dari kaki) diposisikan lebih tinggi daripada seniman yang menggambar sepatu.

Penekanan penting sesungguhnya dari pemilahan hierarkis antara lisan-tulisan, pengrajin-seniman, adalah fungsinya yang mengunci tukang dalam ruang dan waktu yang ditempatinya dalam stratifikasi sosial. Pemosisian tindakan/kehadiran aktual sebagai lebih superior berkaitan dengan menempatkan tukang sebagai tukang untuk tetap berada dalam ruang-waktu yang mendefinisikan apa yang pantas dilakukan, pantas dirasakan, dan pantas dipikirkan–yang merupakan atribut dari status tukang dalam stratifikasi sosial.

Pada sisi lain, simulakra kehadiran/tindakan dianggap lebih rendah atau didiskreditkan karena mengandaikan lenyapnya batas-batas ruang-waktu dalam stratifikasi sosial atau membuat setiap orang dapat sekaligus berada dalam ruang-waktu sosial yang berbeda. Contoh paling gamblang dalam kasus ini adalah tulisan yang dapat mengembara ke mana pun dan berbicara kepada siapa saja tanpa diketahui siapa yang berbicara atau tanpa otoritas yang dapat bertanggung jawab atas apa yang dibicarakan.

Rezim seni berikutnya dalam prinsip mimesis adalah rezim representasi yang berasal dari Aristoteles. Rezim representasi mengatasi problem tidak terkontrolnya wicara dalam bentuk tulisan yang mengacaukan relasi antara wicara dan tindakan dengan suatu rumusan sistem representasi tindakan sebagai suatu prinsip fiksi atau imitasi yang merupakan tulang punggung dari cerita (story). Sistem representasi menstruktur cerita sebagai rangkaian pengaturan tindakan-tindakan karakter (inventio dan dispotitio) sesuai dengan ruang-waktu sosial yang ditempati karakter dalam hubungan antara imitator (narator) dan karakter yang membentuk genre fiksi (epik atau satir, tragedi atau komedi) secara hierarkis berdasarkan decorum (kaidah sosial).

Pengaturan tindakan-tindakan karakter dari subjek yang direpresentasikan yang tunduk pada decorum tersebut pada akhirnya mesti sesuai dengan aspek terakhir dari prinsip fiksi, yakni elocutio, yang menentukan bagaimana karakter berbicara berdasarkan kondisi dan situasi tertentu.

Apa yang kemudian perlu dicamkan; keseluruhan sistem representasi atau poetic representasi tersebut dibentuk berdasarkan tujuan seni yang ditetapkan, yaitu untuk pendidikan dan hiburan.

Prinsip mimesis dalam konsep politik Rancièrean disebut police yang merupakan politik untuk menjaga ketertiban sosial atau memelihara status quo suatu stratifikasi sosial dalam masyarakat. Baik rezim etik yang memosisikan lisan lebih superior dari tulisan maupun rezim representasi yang menstruktur prinsip fiksi sebagai fondasi rasional untuk simulakra kehadiran/tindakan, secara hakikat, keduanya mengacu stratifikasi sosial sebagai bingkai dan model dalam memaknai mimesis.

Setelah menjernihkan apa itu mimesis barulah kita bisa kembali pada kutipan di atas. Namun, kita sebaiknya menuliskan kembali kutipan tersebut lebih lengkap agar dapat memahami lebih utuh tentang otonomi seni sebagai paradigma seni modern yang terputus dari prinsip mimesis.

Sejak awal mula, otonomi pengalaman estetik diacu sebagai prinsip bentuk baru kehidupan kolektif, tepatnya karena merupakan suatu tempat di mana hirarki yang membingkai kehidupan sehari-hari dibatalkan. Keterputusannya dengan mimesis yang menyertainya juga berarti bahwa tidak ada lagi prinsip pemilahan apapun antara apa yang menjadi milik seni dan apa yang menjadi milik kehidupan sehari-hari. Setiap objek profan dapat masuk dalam ranah pengalaman artistik. Sejalan dengan itu, setiap produksi artistik dapat menjadi bagian pembingkaian kehidupan kolektif  baru.”[4]

Pertama-tama, perlu dipahami bahwa paradigma seni modern tercakup sepenuhnya dalam rezim estetik, rezim yang membatalkan rezim etik dan, khususnya, rezim representasi dalam seni. Rezim estetik dicirikan dengan putusnya relasi poeisis (cara membuat)–aisthesis (cara merasakan) yang meletakkan prinsip fiksi sebagai titik temu antara cara membuat seni dan cara menilai seni karena banjirnya sensibilitas estetik. Sistem representasi mimesis yang mengatur hubungan hierarkis antara tindakan (action) dan wicara (speech) dan merupakan penangkar stratifikasi sosial terjungkal menjadi sungsang. Struktur hierarkis yang mengatur penataan tindakan (inventio, dispotitio) lebih superior dibanding penataan wicara (elocutio) menjadi terbalik dengan menempatkan elocutio sebagai yang utama.

Oleh karenanya, problem utama rezim estetik adalah cara menyatakan perasaan (pengalaman estetik) dengan tepat, problem relasi antara bahasa dan dunia, antara kata dan thing, antara penanda dan petanda. Namun, masalah terbesarnya dalam konteks politik adalah bagaimana membuat praktik politis dalam seni (revolusi estetik) yang menjungkalkan rezim representasi mimesis bersama stratifikasi sosial yang mendasarinya menjadi suatu kehidupan aktual tanpa stratifikasi sosial. Bagaimana otonomi seni, yang lahir dari penjungkalan rezim mimesis dan mempresentasikan otonomi pengalaman estetik,  menjadi fondasi untuk kehidupan baru individu dan kehidupan baru komunitas?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, Rancière memulainya dengan merumuskan ulang pernyataan Friedrich Schiller dalam Letters Upon the Aesthetic Education of  Man: “Ada suatu pengalaman indrawi khusus yang menjanjikan dunia baru seni dan kehidupan baru individu dan komunitas, yakni estetik.[5] Estetik sejak mulanya merupakan jenis sensasi indrawi yang dapat dirasakan oleh setiap dan semua individu tanpa memandang status sosial dan karena itu estetik dapat menjadi kekuatan revolusi untuk menghapus sekat-sekat atau kelas-kelas sosial.

Namun, pengalaman estetik adalah pengalaman apriori sehingga tidak dapat secara sadar dicari melalui teori dan tidak dapat digeneralisasi menjadi suatu pengetahuan revolusioner. Jadi, problem seni revolusioner bukanlah mencari suatu pengalaman estetik tertentu, tetapi membuat suatu produk seni dapat memproyeksikan pengalaman estetik yang dapat diindra sebagai pengalaman estetik. Untuk menangani problem di atas, pertama-tama, adalah membuat seni menjadi otonom sebagai bentuk kehidupan.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Tiga Skenario

Menurut Rancière, ada tiga skenario untuk membuat seni menjadi otonom. Otonomi seni yakni tatkala seni menjadi kehidupan; kehidupan menjadi seni; seni dan kehidupan saling bertukar properti. Apa yang dimaksud seni menjadi kehidupan adalah, setelah penjungkalan rezim representasi, rezim estetik membatalkan penyekatan ruang-waktu yang bekerja sebagai situs dan fungsi sosial yang menjadi model dan bingkai rezim representasi, namun tetap meneguhkan fungsi seni paling dasar: seni sebagai pendidikan.

Mengingat konten pendidikan rezim representasi sudah dikosongkan, rezim estetik mengisi kembali konten pendidikan tersebut dengan karakter asli estetik itu sendiri yang menghendaki etos kehidupan sosial baru tanpa sekat, dunia manusia tanpa klasifikasi linnaean. Seni dibentuk sebagai pembentuk sensorium baru, pusat sensasi baru. Membuat seni dapat menggubah ide-ide bisa dicerap oleh siapa pun dengan mengubahnya menjadi imaji-imaji kehidupan, menciptakan kembali semacam mitologi kuno sehingga pengalaman bersama dapat dirasakan oleh kelompok elite maupun jamak. “Mitologi harus menjadi filsafat agar orang jamak dapat dinalar dan filsafat harus menjadi mitologi agar para filosof dapat dirasakan,” tulis Rancière menggemakan kembali pernyataan Hegel, Hölderlin, dan Schelling.

Skenario seni menjadi kehidupan pada dasarnya adalah upaya mengonstruksi seni baru untuk kehidupan baru; seni dianggap seni sepanjang seni menjadi bukan seni, atau setidaknya menjadi bukan sekadar seni.

Dalam sejarah, paling tidak, ada dua gerakan seni yang didasarkan pada upaya penciptaan seni baru. Pertama, gerakan Seni dan Kriya (Arts and Crafts movement) sekitar tahun 1880-1920 yang garis haluan artistiknya mungkin secara gamblang dinyatakan oleh William Morris, “Kursi berlengan (armchair) indah bukan karena memberikan kepuasan fantasi pictorial pemiliknya, tetapi karena nyaman diduduki.”

Gerakan seni dan kriya yang muncul dipicu oleh mundurnya standar mutu produk mesin/pabrik dan penolakan atas seni berbunga-bunga kaum borjuasi masa itu, yang direpresentasikan dalam Great Exhibition (1851), tidak dapat hanya dianggap menekankan fungsionalitas barang seni. Lebih dari itu, gerakan seni dan kriya juga menekankan estetika kolektif yang berseberangan dengan seni borjuasi masa itu.

Penyekatan baru atas apa yang dapat dipersepsi (dipikirkan dan dirasakan) yang terkandung dalam estetika kolektif tersebut juga mewujud dalam gagasan puisi murni Stéphane Mallarmé. Puisi-puisi Mallarmé yang disusun dengan frasa-frasa atau kalimat-kalimat intransitif, yang membentuk pola ornamental arabesque paralel dengan ledakan kembang api di langit malam pada hari kemerdekaan dan dekorasi di rumah-rumah pribadi.

Skenario kedua, kehidupan sebagai seni: penerapan plot museum dengan mengacu pada kesejarahan artefak dan bentuk aktualnya mengikuti garis sensibilitas yang majemuk. Karya seni pada skenario ini merupakan properti suatu pengalaman estetik yang dipindahkan pada karya seni itu sendiri. Sumber jasmaniah dan spiritual yang mengkarakterisasi artefak dengan bentuk-bentuk yang menghantu terpiuh sebagai gaya yang melibatkan kehendak individu seniman. Oleh karena itu, menurut Rancière, skenario ini mengakibatkan suatu historisitas seni yang ambigu. Pada satu sisi, ia menciptakan otonomi kehidupan seni sebagai ekspresi sejarah yang terbuka pada jenis-jenis baru perkembangan. Pada sisi lainnya, kehidupan seni membawa serta putusan kematian.

Seni menjadi seni sepanjang seni lebih dari pada seni; jika tidak, seni sirna. Sepanjang karya seni hanya dipandang sebagai arsip kesejarahan dan tidak dipanglingkan dengan sesuatu yang menentangnya, karya seni berhenti menjadi karya seni.

Pembayangan kehidupan kolektif  yang merupakan idealisasi sumber kehidupan fisik dan spiritual masa lalu dalam plot museum ini dipresentasikan seperti klise foto yang gambarnya buram dan terbalik. Jadi kehidupan kolektif dinyatakan dan didekorasi sebagai kehidupan kolektif yang dinyatakan dan didekorasi. Artinya, kehidupan baru tidak membutuhkan seni baru dan kehidupan baru tidak membutuhkan seni.

Baik skenario seni menjadi kehidupan maupun kehidupan menjadi seni terselenggara dalam suatu pemisahan antara seni dan kehidupan sehari-hari, mempresentasikan adanya batas atau sempadan antara seni dan kehidupan sehari-hari. Batas atau sempadan tersebut tidak hanya memproyeksikan penolakan terhadap tatanan hierarkis keseharian, pun juga upaya untuk menghadirkan suatu produk seni yang berfungsi mengajarkan kehidupan kolektif baru di seberang hari ini melalui estetika.

Skenario ketiga, seni dan kehidupan saling bertukar properti, berangkat dari asumsi bahwa setiap benda seni menyimpan pengalaman sensible di dalamnya. Benda seni di sini tidak hanya mengacu pada produk seni yang menyimpan kehidupan kolektif masa lalu dalam skenario kehidupan menjadi seni, tetapi juga menjadi objek untuk pengalaman estetik seperti dalam skenario seni menjadi kehidupan. Jika dalam kehidupan menjadi seni, plot museum, karya seni masa lalu menyediakan bentuk-bentuk untuk isi baru–seperti pada modernisme puitik T. S. Eliot dan Ezra Pound–maka seni menjadi semacam portal yang menghubungkan historisitas dan yang artistik.

Karya seni masa lalu yang bisa jadi tertidur dan berhenti menjadi karya seni mungkin juga dapat dibangunkan dan menjalani kehidupan baru dengan berbagai cara tertentu. Praktik membangunkan kelatenan, merelasikan antara yang historis dan artistik ini, pada gilirannya, memungkinkan benda-benda umum (sehari-hari) untuk juga melintasi batas dan memasuki dunia artistik melalui pelacakan dan pembongkaran historisisnya.

Oleh karenanya, skenario ketiga ini, secara simultan, juga merupakan respons terhadap fetisisme komoditi yang menempatkan benda sebagai simbol stratifikasi status sosio-ekonomi.

Dengan melepaskan dari kondisi sehari-harinya dan memandangnya sebagai tubuh puitik dalam lintasan kesejarahan, benda-benda biasa bermetamorfosis menjadi benda seni. Jika akhir seni menjadi komoditi, maka akhir komoditi menjadi seni.

Problem dari skenario ketiga ini adalah semua dan setiap benda sehari-hari dapat dilabeli sebagai seni. Pertukaran properti antara kehidupan dan seni rentan memburamkan batas keduanya dan membawa seni sebagai sekadar tontonan. Praktik penyingkapan kelatenan puitik dalam benda-benda jamak yang prosaik dengan menyelam ke dalam sisi gelap ketaksadaran sosial yang terpahat dalam benda-benda komoditi menyerah pada absolutisme visual. Watak politis skenario ketiga dapat menjadi lumpuh, tidak lagi mampu melawan membanjirnya sensibilitas jamak yang menyertai ilusi telah runtuhnya partisi sosial yang dibentuk oleh pasar kapitalisme lanjut.

“Kita telah mengalami realitas ‘seni hidup’ dan ‘permainan’ sebagaimana upaya-upaya totalitarian untuk membuat komunitas menjadi karya seni seperti kehidupan sehari-hari yang diestetisasi pada masyarakat liberal dan hiburan komersialnya,” tulis Rancière.[6]

Skenario seni dan kehidupan saling bertukar properti melalui praktik melucuti komoditi atau benda jamak dari kondisi sehari-harinya sudah barang tentu berbeda dengan pandangan cultural studies yang menghapus batas antara seni dan benda sehari-hari atau menghapus batas antara seni dan komoditas seni. Pandangan cultural studies, terutama di Amerika, yang mencampakkan pemilahan seni tinggi dan seni rendah, menuduh estetik sebagai ilusi.

Dengan memperlakukan sembarang seni dan benda sehari-hari sebagai teks, skenario pertukaran properti seni dan kehidupan dalam cultural studies bertujuan untuk menyingkapkan sihir estetik seni secara rasional sehingga sempadan antara seni dan kehidupan menjadi lenyap.

Luka terbuka setelah operasi pembongkaran sandi kehidupan dalam tubuh seni yang ditinggalkan cultural studies tersebut meletakan seni dalam malapetaka. Seni bukan lagi suatu produk yang menyandikan kehidupan dan memberikan pengalaman sensible. Benda seni selalu saja telah mempunyai lampiran penjelasan rasional sebagai bingkai pemaknaan yang sudah tentu, sehingga reduplikasi benda-benda konsumsi dan komersial yang dipanggungkan sebagai seni selalu telah dipandang sebagai artefak yang menyandang cap kritik atas komodifikasi.

Penyadaran atas ilusi estetik pada akhirnya menghasilkan suatu ilusi pembebasan. Bagi Rancière, malapetaka yang ditimbulkan oleh inflasi seni ini hanya mungkin ditangani dengan menarik batas radikal antara seni dan kehidupan. “Seni harus melepaskan dirinya sendiri keluar dari teritori kehidupan yang diestetisasi dan menarik garis batas baru yang tidak dapat dilintasi”​, kata Rancière.

Jelas sekali Rancière bukan penganjur hilangnya batas antara benda seni dan benda sehari-hari. Revolusi estetik bagi Rancière tidak ditandai oleh hilangnya perbedaan antara benda seni dan benda sehari-hari atau jamak. Baginya, revolusi estetik adalah peruntuhan konfigurasi sosial yang membagi masyarakat ke dalam sekat-sekat sosial yang hierarkis. Sedangkan seni dalam rezim estetik merupakan materialisasi pengalaman estetik yang dibentuk agar dapat memproyeksikan pengalaman estetik dan dapat ditangkap oleh sensibilitas estetik yang heterogen.

Seni estetik yang berhasil, oleh karenanya, ialah seni yang dapat memberikan pengalaman estetik bagi audiens dan secara simultan juga merangsang mereka melintasi batas kelas dalam konfigurasi sosial.

Jadi, revolusi estetik adalah revolusi manusia; revolusi yang meretas taksonomi linnaean yang sesungguhnya adalah klasifikasi untuk dunia binatang. Kesetaraan adalah suatu kondisi awal manusia dan merupakan kekuatan untuk melepaskan logos (akal-budi) dari ochlos (hasrat kebinatangan).


[1] Cemoohan terhadap estetik sebagai pengetahuan yang diproduksi oleh borjuasi kecil atau kelas dominan dan implikasi sosial, politik, dan budayanya dapat dibaca dalam Pierre Bourdieu (terj. Richard Nice), A Social Critique of the Judgement of Taste (Harvard University Press, 1984).

[2] Untuk menyimak kritik Rancière silakan baca “Thinking Between Disciplines: an Aesthetics Knowledge”, Parrhesia, 1, hal. 1- 12, 2006.

[3] Lihat Jacques Rancière The Proletarian Nights: the Workers’ Dream in Nineteenth-Century France, terj. John Drury (Verso: 2012) hlm. 81. Kutipan jurnal Gauny ini juga dinukil kembali oleh Rancière dalam “Thinking Between Disciplines” hal. 4-5.

[4] Rancière, “From Politics to Aesthetics?”, Paragraph Vol.28, No.1, 2005, hal.20-21.

[5] Rancière, Dissensus: On Politics and Aesthetics, terj. Steven Corcoran (Continuum, 2010), hlm. 115.

[6] Ibid.


Dwi Pranoto adalah kritikus sastra

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.