Foto: Pita Limjaroenrat, pemimpin Move Forward (SOPA Images)
KEMENANGAN Partai Move Forward yang meraih suara terbanyak dalam pemilihan umum Thailand yang diselenggarakan pada Minggu 4 Mei kemarin merupakan bencana bagi politik berbasis kelas di negara tersebut. Pemilu kali ini telah merealisasikan apa yang diimpikan oleh para elite kapitalis selama beberapa dekade, yakni mendorong Thailand agar menjauh dari politik berkesadaran-kelas (class-conscious politics) pada tahun 2000-an/2010-an menuju politik yang mengedepankan estetika. Akhirnya, Thailand memiliki sebuah partai yang terhormat bagi kelas menengah, yang sanggup mengalahkan Kaus Merah (baca tentang kelompok ini di artikel Coen Husain Pontoh berikut).
Kesenjangan yang sangat nyata antara perdesaan dan perkotaan, meskipun bagi banyak orang melelahkan untuk terus diungkit, masih merupakan antagonisme utama di Thailand. Di atas semua ini adalah orang-orang dari perdesaan, yang kemudian bermigrasi ke pusat-pusat kota untuk bekerja. Banyak dari mereka menghabiskan waktu puluhan tahun di pusat-pusat kota tanpa sepenuhnya terserap ke dalamnya. Sebagian besar dari mereka bermimpi untuk kembali ke kampung halaman dan menjalani kehidupan yang bermartabat. Masalah ini pada dasarnya (atau seharusnya) adalah masalah kelas.
Dengan segala kekurangannya, Partai Pheu Thai (yang didirikan mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra) menawarkan alternatif dari kenyataan antagonistik tersebut. Partai-partai royalis yang didukung militer bahkan mengakui antagonisme ini. Banyak kebijakan yang diusulkan oleh partai-partai seperti Pallang Pracharat dan Bhum Jai Thai dengan jelas menunjukkan bahwa mereka memahami pembelahan sosial ini–meskipun, tentu saja, tidak akan pernah benar-benar melakukan apa pun untuk mengatasinya.
Pada momen inilah Move Forward datang dengan diagnosa yang sama sekali berbeda. Bagi mereka, dinosaurus tua korup yang menjalankan militer dan pemerintahan serta monopoli adalah masalah utamanya. Di sinilah letak utama problem Move Forward. Bagi Move Forward, isu perdesaan vs perkotaan dan kaya vs miskin bukanlah antagonisme yang berdiri sendiri. Masalah struktural yang mengganggu dan menegaskan pembagian kelas yang mendasar ini hanya dilihat sebagai akibat dari keserakahan, korupsi, dan salah urus. Dengan diagnosis seperti ini Move Forward secara jelas dan tegas telah menyingkirkan aspek kesadaran kelas.
Seperti semua partai lain, Move Forward memiliki dua demografi: mereka yang memilih dan mereka yang mendanai. Pada kelompok pertama, kita menemukan elemen kelas menengah yang semakin terurbanisasi, yang secara ekonomi dan sosial mirip dengan para pemilih Prachathipat (Partai Demokrat, Kaus Kuning, yang bertanggung jawab atas pembunuhan massal Kaus Merah) pada tahun 2000-an–yang telah beradaptasi dengan perkembangan zaman–tanpa royalisme. Para pemilih Move Forward melihat diri mereka sebagai jenis demografi yang baru, terdidik, tercerahkan, cukup informasi untuk mengenali trik-trik murahan partai-partai lain–hal ini seharusnya terdengar akrab bagi mereka yang hidup di masa-masa Prachathipat.
Tentu saja mereka akan menolak dengan keras disebut mirip Prachathipat. Namun, sebagian besar retorika dasar dari kritik mereka hampir sama dengan gerakan Kaus Kuning pada masa awal. Mereka membenci korupsi, salah urus, dan politikus pembohong yang “membodohi” rakyat miskin agar memberikan suara mereka, baik itu Pheu Thai maupun partai-partai yang didukung militer. Baik Move Forward maupun Prachathipat yang lama membenci Thaksin dan memandang rendah para pemilihnya yang naif dan mudah tertipu.
Move Forward menarik suara dari kiri dan kanan (baik Pheu Thai dan partai-partai yang didukung militer). Partai ini menawarkan lembaran bersih dan wajah yang lebih muda untuk Thailand, juga sebuah pembuktian bahwa Anda adalah pemilih yang terdidik, melek informasi, dan sudah lelah dengan militer, politikus generasi tua dan sebagian besar elite.
Anggota partai Move Forward bukanlah kaum miskin. Meskipun kondisi kehidupan kelas menengah telah berangsur-angsur menurun sejak Thaksin, kenyataannya masih ada kesenjangan antara desa dan kota. Kaya dan miskin. Berpendidikan tinggi dan yang tidak. Mereka yang memiliki prospek dan yang tidak. Sebelumnya, kelas menengah perkotaan dan semi-perkotaan, yang menganggap diri mereka sebagai pemilih berpengetahuan luas, dilayani oleh Prachathipat. Namun, korupsi dan kepatuhan Prachathipat terhadap royalisme menyebabkan dukungan untuk mereka runtuh. Mereka gagal mengalahkan Kaus Merah dan Thaksin dalam pemilihan umum, dan malah meminta orang-orang kuat dari militer untuk masuk dan membentuk partai sendiri yang benar-benar menganut semangat nasionalis–meskipun mungkin tidak cukup beradab untuk selera kaum urban yang halus.
Dengan runtuhnya kredibilitas Prachathipat, kelas menengah dan mereka yang ingin menjadi bagian kelompok tersebut membutuhkan partai baru. Para pendukung kerajaan yang setia pindah ke partai-partai yang didukung militer. Para akademisi universitas berpendidikan Barat yang muak dengan suasana akademi Thailand yang menyesakkan di bawah militer, LSM yang didanai Barat serta organisasi-organisasi buruh-aristokrat kemudian bersatu untuk membangun rumah baru dalam bentuk liberalisme gaya Eropa.
Move Forward dan sekutunya menyambut kelas menengah yang kurang nasionalis ini, menawarkan konsep kapitalisme yang lebih bersih (cleaner), menjanjikan tipe politik yang lebih bermartabat (dignified), dan pada akhirnya tidak menantang distribusi kekayaan yang sangat timpang di negara ini tetapi membuat para pemilih merasa lebih baik.
Secara realistis, Move Forward menawarkan sedikit lebih dari sekadar estetika tersebut. Untuk memahami mengapa, kita harus melihat bagian lain dari demografi mereka, yaitu para penyandang dana. Dua pemimpin partai sebelumnya adalah kapitalis semi-elite. Jenis kapitalis yang terlahir kaya raya, berpendidikan luar negeri, memiliki bisnis besar, menghancurkan serikat buruh, mengeksploitasi ribuan orang, tetapi tidak termasuk dalam kelompok ultra-elite. Penentangan terhadap monopoli tidak lebih dari sekadar upaya untuk menarik dukungan pemilih dan membuka ruang bagi bisnis kelas mikro mereka di pasar. Para kapitalis ini lebih muda, lebih lapar, lebih menawan, lebih bersih, dan lebih bermartabat. Mereka tidak tampak seperti para elite dinosaurus dari generasi sebelumnya, namun secara fungsional mendiami demografis kelas dan kepentingan kelas yang sama dengan para pendahulu di Prachathipat.
Penjelmaan pertama dari Move Forward, Future Forward Party, dibubarkan oleh pengadilan pada 2019. Ini bukan karena mereka merupakan ancaman bagi struktur masyarakat Thailand, tetapi karena mengancam menggantikan satu faksi elite kapitalis dengan faksi elite kapitalis lainnya.
Tentu saja sebagian besar kritik terhadap Move Forward di atas dapat dengan mudah dilontarkan kepada Pheu Thai–dan mereka benar. Selama siklus pemilu ini Pheu Thai yang dikendalikan oleh para elit kapitalis bahkan tidak pernah menutup pintu koalisi dengan partai-partai yang didukung militer. Namun, perbedaan utamanya adalah bahwa anggota Pheu Thai yang berada di lapis bawah dan pemilih setianya memiliki tingkat kesadaran kelas yang secara signifikan mengubah dinamika kepemimpinan. Kejeniusan Thaksin adalah memicu dan yang paling penting memberikan bantuan bagi kaum miskin perdesaan. Politik berbasis materi inilah yang memenangkan kesetiaan mereka.
Kaus Merah memahami kesadaran kelas, politik material, dan meminta pertanggungjawaban para pemimpinnya ketika mereka gagal merealisasikan janji-janji. Kesepakatan lama Pheu Thai dan partai-partai sebelumnya, seperti yang diartikulasikan dan dipraktikkan oleh Thaksin, bermuara pada: “Ya, saya seorang elite, saya tahu bagaimana sistem bekerja, pilihlah saya dan saya akan membuatnya bekerja untuk Anda juga.” Bagi jutaan orang, terlepas dari semua kesalahan, kejahatan, dan korupsinya, Thaksin mampu memenuhi janji-janji masa kampanyenya.
Kaus Merah bukanlah kerbau bodoh seperti yang digambarkan oleh kelas menengah. Mereka tahu bahwa partai itu korup, mereka tahu bahwa partai itu melayani para elite, tetapi mereka juga tahu bahwa partai itu melayani mereka.
Kedua partai (Move Forward dan Pheu Thai) sama-sama menginginkan perlindungan sosial yang lebih besar. Move Forward membayangkan ini sebagai negara kesejahteraan terpusat gaya Eropa. Kredit pantas diberikan kepada mereka karena membentuk sayap buruh (meskipun hanya memberikan sedikit otonomi). Kebijakan yang disebut terakhir adalah yang paling dekat dengan kebijakan berbasis kelas.
Dari cara Move Forward menggambarkan programnya, seolah-olah Phue Thai (dan partai-partai sebelumnya) tidak membangun negara kesejahteraan. Kenyataannya, pada tahun 2000-an, Pheu Thai sudah membangun infrastruktur sosial yang responsif dan terlokalisasi. Contoh terbaiknya adalah sistem perawatan kesehatan yang dapat dilihat dengan jelas di perdesaan. Namun, sistem ini dananya secara drastis dipangkas oleh pemerintah militer yang tengah berkuasa sehingga kelas menengah akhirnya lebih memilih menggunakan layanan kesehatan swasta ketimbang harus menanggung beban dari institusi negara. Para pemilih Move Forward tampaknya tidak pernah merasakan kesejahteraan sosial yang berfungsi seperti ini karena mereka terpusat di perkotaan, terlalu muda untuk mengingat sistem dengan dana yang cukup, atau memang mampu menghindarinya.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Para pemilih mendukung Pheu Thai bukan karena mereka adalah petani bodoh yang tertipu oleh pesona Thaksin, tetapi karena tahu bahwa partai tersebut akan memberikan hasil berbasis kelas, seperti yang telah mereka lakukan berkali-kali sebelumnya. Kebijakan-kebijakan desentralisasi Pheu Thai memungkinkan pendanaan untuk pengorganisasian lokal di sektor kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan infrastruktur, serta membangun solidaritas berbasis kelas dalam ruang fisik yang nyata. Memang apa yang ditawarkan Pheu Thai jauh dari sosialisme, tetapi ini adalah perubahan dalam keberpihakan ekonomi, suatu bentuk redistribusi kekayaan dan kekuasaan, desentralisasi Bangkok dan daerah-daerah lainnya, baik dalam hal kekuasaan maupun modal, dan menginvestasikan kembali kekayaan tersebut ke provinsi-provinsi terluar.
Sementara Move Forward membayangkan gaya kapitalisme Eropa modern yang “lebih bersih”. Pada dasarnya distribusi kekayaan akan tetap sama, hanya saja secara estetika akan berubah: CEO tua yang korup dan buruk rupa akan digantikan oleh CEO muda yang tampan dan “bermain sesuai aturan”–tidak masalah menjadi miliarder dan mengeksploitasi orang lain selama Anda bermain sesuai aturan, seperti kepemimpinan Move Forward.
Tentu saja saya tidak sedang memberikan dukungan sepenuh hati terhadap Phue Thai dan Thaksin. Justru melalui media ini kami telah bersikap sangat kritis terhadap kebijakan Thaksin. Ini adalah pengakuan yang tidak nyaman atas kondisi-kondisi material dan politik di Thailand saat ini.
Pada akhirnya, generasi baru kelas menengah perkotaan, Partai Move Forward, mencapai apa yang selalu diimpikan oleh Prachathipat tetapi tidak pernah dapat diwujudkan, yaitu mengalahkan Pheu Thai dalam pemilu. Sekarang Pheu Thai berada di titik kritis: mereka harus melakukan reformasi dan menggeser Move Forward lebih jauh ke kiri, membuang ketaatan dogmatis pada nama Thaksin dan memperbarui kebijakan sosial untuk mengenali serta mengakui nilai-nilai generasi baru, atau memudar ke dalam ketidakjelasan seperti saingan lama mereka, Prachathipat.
Move Forward siap menggantikan posisi Phue Thai dalam siklus pemilu-kudeta yang telah menjangkiti Thailand selama hampir satu abad, meskipun tanpa para bibi dan paman berkaus merah dari daerah pedalaman yang bertempur dan mati dengan gagah berani selama bertahun-tahun.
Apa yang telah kita lihat dalam kesuksesan Move Forward adalah penolakan pemilih terhadap pentingnya kondisi-kondisi kelas. Jika Pheu Thai mewujudkan pragmatisme yang tidak nyaman, sesuatu yang dikesampingkan oleh kelas menengah, maka Move Forward tidak lebih dari representasi idealisme nyaman yang sombong.***
Artikel ini sebelumnya terbit di Dindeng pada 15 Mei 23. Diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh dan diterbitkan ulang di sini untuk tujuan pendidikan.