Foto: pangkalan militer AS di Okinawa, Jepang (Hitoshi Maeshiro/EPA)Â
Dalam sebuah pidato yang disampaikan pada Mei 2022, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken mengidentifikasi Tiongkok sebagai “rival jangka panjang yang paling serius terhadap tatanan internasional.” Ia lalu mengumumkan komitmen pemerintah untuk “membentuk lingkungan strategis di sekitar Beijing” dalam rangka memajukan kepentingan AS–sekaligus menjabarkan kebijakan pengekangan Washington terhadap negara tersebut.
Kebijakan ini, yang terbentuk selama beberapa pemerintahan sebelumnya dan mencerminkan pandangan bersama di kalangan kelas penguasa AS, terus meningkat hingga sekarang dan merupakan sumber bahaya terbesar bagi semua orang di planet ini.
“Tatanan internasional” yang dibicarakan Blinken menggambarkan sistem global imperialis pasca-Perang Dunia II. Tujuannya ialah memaksa negara-negara terbelakang agar menerima pergerakan modal yang tidak terbatas dengan kedok memajukan “hak asasi manusia” dan “demokrasi liberal”. Karena itu, masuk akal jika kebangkitan ekonomi Tiongkok menjadi ancaman bagi tatanan internasional unipolar yang didominasi AS ini. Dasar kebijakan luar negeri AS terhadap Beijing tidak lain adalah ketakutan kehilangan status sebagai kekuatan global yang dominan.
Dengan menampilkan kompetisi ini sebagai persaingan eksistensial antara “demokrasi” versus “otoritarianisme”, AS menerapkan strategi pengekangan untuk menumpulkan kebangkitan Tiongkok: berusaha mengisolasinya melalui pengepungan militer, menyita aksesnya dari pasar-pasar utama, dan memotongnya secara ekonomi di seluruh dunia. Sekali lagi kebijakan ini dimaksudkan untuk melumpuhkan perkembangan Tiongkok; memastikan kontrol kapitalisme Barat atas dunia.
Asal-usul Kebijakan PengepunganÂ
Tiongkok telah lama menyimpan ketakutan yang beralasan terhadap kebijakan pengepungan AS. Di masa lalu, pengepungan ini merupakan inti dari kebijakan AS selama Perang Dingin pertama yang mengakibatkan runtuhnya Uni Soviet.
Dalam pidato 7 Maret, Xi Jinping secara blak-blakan menyatakan, “Negara-negara Barat yang dipimpin Amerika Serikat telah menerapkan kebijakan pembatasan, pengepungan, dan penindasan menyeluruh terhadap Tiongkok, yang telah membawa tantangan besar yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap pembangunan negara kita.”
Strategi di balik kebijakan pengepungan ini pertama kali diuraikan dalam “Telegram Panjang” tahun 1946 yang dikirim oleh sejarawan dan diplomat AS George F. Kennan kepada Departemen Luar Negeri AS dari kedutaan AS di Moskow, Uni Soviet. Naskah ini kemudian diperluas dan dipublikasikan sebagai “Sumber Perilaku Soviet” dalam majalah Foreign Affairs edisi Juli 1947. Dalam surat itu, Kennan menyatakan,
Elemen utama dari setiap kebijakan Amerika Serikat terhadap Uni Soviet haruslah berupa pengekangan jangka panjang, sabar tetapi tegas dan waspada terhadap kecenderungan ekspansif Rusia… Tekanan Soviet terhadap institusi-institusi bebas di dunia Barat adalah sesuatu yang dapat diatasi dengan menerapkan kekuatan balasan yang cekatan dan waspada pada serangkaian titik geografis dan politis yang terus bergeser, yang sesuai dengan pergeseran dan manuver kebijakan Soviet, tetapi tidak dapat dibujuk atau dibicarakan.
Di mata Kennan dan pemerintah AS, keberadaan sistem sosialis Uni Soviet tidak dapat didamaikan dengan tatanan kapitalis global yang dipimpin oleh Washington. Sosialisme perlu “dikekang” agar tidak menyebar.
Keinginan untuk mengurangi pengaruh Soviet dan menggagalkan penyebaran komunisme ini mengarah pada pembentukan NATO, perluasan CIA, perang di Korea dan Vietnam, serta kudeta di seluruh Amerika Latin dan Afrika. Sanksi dan embargo dijatuhkan untuk mencekik perekonomian Soviet.
Tekanan eksternal yang diterapkan oleh AS ini diramalkan Kennan akan meningkatkan kontradiksi internal Soviet sendiri. “Mendorong kecenderungan yang pada akhirnya akan menemukan jalan keluarnya, baik dalam bentuk perpecahan atau pelemahan kekuatan Soviet secara bertahap,” kata dia.
Bagi mereka yang berada di lingkaran kebijakan Washington, rontoknya Soviet pada 1991 mengonfirmasi kesuksesan strategi pengekangan ini, dan selanjutnya menjadi cetak biru untuk melawan kebangkitan Tiongkok di abad ke-21.
Pengepungan Militer
Komponen utama strategi AS menghadapi Tiongkok adalah mengepung negara itu dengan rantai pangkalan militer dan aliansi militer yang bermusuhan. Dengan pangkalan di Korea Selatan, Jepang, Guam, dan Singapura, AS telah secara mantap menciptakan busur militer di sekitar Tiongkok. Sementara Tiongkok hanya memiliki delapan pangkalan militer di luar negeri, AS memiliki 313 instalasi militer di Asia Timur saja.
Kebijakan pengepungan terhadap Tiongkok pertama kali muncul pada masa pemerintahan George W. Bush. Saat itu, Penasihat Keamanan Nasional, Condoleezza Rice, merekomendasikan pembentukan aliansi anti-Tiongkok di Asia untuk menggeser keseimbangan kekuatan ke AS. Rencana ini tidak berjalan mulus karena kemunculan narasi “perang melawan teror” mengalihkan fokus dan sumber daya militer AS ke Timur Tengah.
Pada periode pemerintahan Barack Obama, strategi pengepungan kembali dilakukan melalui “poros Asia”: meningkatkan hubungan militer dengan Vietnam, Filipina, dan Australia; memediasi hubungan diplomatik antara Jepang dan Korea Selatan; menjalin kesepakatan dengan Filipina untuk menjadi tuan rumah instalasi militer AS; memulihkan hubungan diplomatik dengan Myanmar; meningkatkan kehadiran angkatan laut di Singapura; dan menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) untuk pertama kalinya pada tahun 2016 dengan para pemimpin ASEAN.
Di bawah pemerintahan Donald Trump, strategi pengepungan militer ini semakin ditingkatkan dan dikejar dengan sungguh-sungguh. Menteri Luar Negeri AS saat itu, Mike Pompeo, menghidupkan kembali aliansi keamanan antara AS, Jepang, India, dan Australia yang dikenal sebagai Quadrilateral Security Dialogue, atau QUAD. Sering disebut sebagai “NATO Asia”, QUAD berpartisipasi dalam latihan militer bersama dan menyusun strategi untuk mengimbangi pengaruh Tiongkok di “Indo-Pasifik”.
Pemerintahan Trump juga menjalin hubungan diplomatik yang lebih erat dengan Taiwan dan menjalin hubungan militer yang lebih kuat dengan Australia, Jepang, dan Korea Selatan, serta meningkatkan aktivitas militer di Laut Cina Selatan.
Pemerintahan selanjutnya, dipimpin Joe Biden, semakin meningkatkan strategi pengepungan ini. Biden-lah yang menciptakan AUKUS–aliansi militer antara Amerika Serikat, Inggris, dan Australia–dan JAPHUS–aliansi trilateral antara AS, Jepang, dan Filipina. Kedua pakta militer ini ditujukan untuk melawan Tiongkok.
Pada Desember 2021, Biden menandatangani Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional 2022, sebuah regulasi pertahanan senilai $768 miliar dengan fokus khusus untuk mengekang Tiongkok. Sebagian besar dana akan digunakan untuk membeli kapal dan pesawat terbang guna mendukung kehadiran AS di Laut Cina Selatan dan program-program yang memperkuat hubungan militer di Indo-Pasifik. UU itu juga mengalokasikan $7,1 miliar untuk “meningkatkan postur, kemampuan, dan kegiatan pasukan AS saat ini di kawasan Indo-Pasifik.”
Lebih lanjut, melengkapi busur militer yang mengelilingi Tiongkok yang membentang dari Korea Selatan dan Jepang di utara hingga Australia di selatan, Menteri Pertahanan Lloyd Austin pada Februari 2023 mengamankan kesepakatan dengan pemerintah Filipina untuk memberikan akses AS ke empat pangkalan militernya, sehingga jumlah total instalasi AS di bekas jajahannya menjadi sembilan. Tiga dari pangkalan ini terletak di utara, dekat Taiwan.
Pada 11 April, Amerika Serikat dan Filipina menjadi tuan rumah Balikatan, latihan perang gabungan tahunan antara kedua negara. Latihan tahun ini adalah yang terbesar, dengan 17.600 tentara yang berpartisipasi. Semua ini merupakan persiapan untuk konfrontasi militer langsung, dengan Filipina sebagai garis pertahanan pertama jika perang meletus di Taiwan.
Para pejabat pemerintah dan Kongres AS juga telah mendorong militerisasi penuh terhadap Taiwan, mendesak pemerintah untuk membanjiri pulau tersebut dengan senjata dan menggunakan “strategi perang asimetris” untuk menghalangi invasi Tiongkok. Manuver yang berbahaya dan sembrono ini secara efektif akan memaksa Taiwan untuk terlibat dalam perlombaan senjata.
Tujuan dari pengepungan militer ini, menurut pakar kebijakan pertahanan Michael T. Klare, adalah “untuk memungkinkan Washington membarikade militer (Tiongkok) di dalam wilayahnya sendiri dan berpotensi melumpuhkan ekonominya dalam krisis apa pun di masa depan,” sehingga Tiongkok tidak memiliki pilihan lain selain “berjuang untuk keluar dari pengepungan.”Â
Pemerintah AS, dengan demikian, secara aktif mendorong Tiongkok untuk melakukan konfrontasi militer secara langsung.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Sabuk dan Jalan: Strategi Kontra-Pengepungan Tiongkok
Kehadiran dan jaringan aliansi “pertahanan” AS yang masif di Laut Cina Selatan dan Indo-Pasifik tidak hanya bertujuan memproyeksikan kekuatan militer, tetapi juga untuk memperketat jerat ekonomi di sekitar Cina. Pengepungan militer itu sendiri merupakan bentuk pengekangan ekonomi. Laut Cina Selatan merupakan lokasi geostrategis dengan sepertiga dari perdagangan global melewatinya, yang nilainya mencapai $3,4 triliun pada tahun 2016.
Tiongkok menjadi korban dari apa yang dikenal sebagai “dilema Malaka”: 60% dari perdagangannya dan 80% dari impor minyaknya mengalir melalui Laut Cina Selatan kemudian masuk dan keluar dari Selat Malaka, jalur pelayaran utama yang terletak di antara Sumatra dan Malaysia. Dengan kehadiran angkatan laut yang begitu besar di sekitar titik rawan tersebut, AS atau sekutu militernya berpotensi memblokade akses ke pelabuhan atau jalur komunikasi laut di sekitarnya, sehingga membuat ekonomi Tiongkok terhenti.
Militerisasi Laut Cina Selatan dan ketakutan akan pengekangan inilah yang sebagian besar mendorong Tiongkok untuk mengembangkan Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative). BRI mencakup jaringan rel kereta api berkecepatan tinggi, jalan raya, dan rute pelayaran alternatif yang memungkinkan Cina mengimpor minyak dan mengangkut barang ke mitra dagangnya melewati rute perdagangan maritim yang dikelilingi oleh pangkalan militer dan kapal-kapal angkatan laut AS.
BRI merupakan langkah kontra-pengepungan dengan tidak hanya menghindari pengepungan militer, tetapi juga menggeser pusat gravitasi ekonomi ke arah Tiongkok dengan menghubungkannya secara lebih baik ke negara-negara berkembang di Afrika dan bagian lain di Asia, serta Eropa.
Pengekangan Teknologi
Perang teknologi AS terhadap Tiongkok adalah front utama dalam Perang Dingin yang baru dan merupakan komponen utama lain dari strategi pengekangan ini. Dalam rencana “Made in China 2025”, Partai Komunis Tiongkok menetapkan inovasi teknologi sebagai pusat pembangunan ekonominya. Strategi ini menyatakan bahwa kemajuan teknologi akan mengubah negara, dari pusat manufaktur semi-periferal barang-barang konsumen murah menjadi salah satu pusat inovasi dan manufaktur berteknologi tinggi dalam rantai pasokan global.
Inti dari MIC 2025 adalah pengembangan perusahaan domestik sendiri sehingga tidak perlu lagi bergantung pada impor teknologi asing. Industri semikonduktor dianggap sangat penting dalam rencana ini karena kemajuan teknologi cip dapat merevolusi terobosan di bidang lain. Semikonduktor digunakan dalam peralatan elektronik konsumen seperti televisi digital, konsol gim, komputer, ponsel pintar, jaringan nirkabel, dan peralatan militer serta kedirgantaraan seperti pesawat tak berawak, sistem satelit, dan peralatan radar.
Setiap tahunnya, Tiongkok menghabiskan lebih banyak uang untuk mengimpor cip ini ketimbang mengimpor minyak.
Menyadari ketergantungan Tiongkok pada manufaktur cip, pemerintahan Biden kemudian mengambil langkah untuk memblokir aksesnya. Pada Oktober 2022, Biden memperkenalkan larangan besar-besaran terhadap ekspor semikonduktor ke Tiongkok dan, pada Januari tahun ini, mencapai kesepakatan dengan Belanda dan Jepang untuk membatasi ekspor peralatan pembuatan cip ke Tiongkok.
Dengan pemutusan akses ke teknologi ini, kemampuan Tiongkok untuk menghasilkan aplikasi militer dan teknologi AI yang canggih telah mengalami kemunduran besar.
Strategi pengekangan teknologi bukanlah hal yang unik bagi pemerintahan saat ini. Sebelum Biden menjabat, Trump menjatuhkan sanksi terhadap Huawei dan sangat membatasi perusahaan telekomunikasi asal Tiongkok itu ke pasar AS. Pada 2019, Trump memutus akses Huawei ke Google musik dan layanan ponsel pintar lain, kemudian menindaklanjutinya dengan sanksi baru yaitu melarang penggunaan teknologi Amerika untuk memproduksi komponen produk-produknya. Ia lantas semakin memperketat pembatasan ini pada tahun berikutnya, dengan memblokir Huawei untuk mengakses cip yang diproduksi dengan alat yang diperoleh dari AS.
Sejak menjabat, Biden telah bergerak menuju pelarangan total, yaitu menandatangani undang-undang yang melarang perusahaan Tiongkok menerima lisensi peralatan baru dari regulator AS. Pemerintah juga telah meyakinkan sekutu-sekutunya untuk mengikuti langkah ini: Korea Selatan, Jepang, Jerman, Inggris, Kanada, Australia, dan Selandia Baru juga telah melarang Huawei untuk membangun infrastruktur 5G di negara mereka. Karena strategi penahanan AS yang menutup akses pasar ini, keuntungan tahunan Huawei anjlok hingga 70%.
Selain itu, tentu saja, teater politik dari audiensi TikTok dan ancaman pelarangan aplikasi tersebut baru-baru ini juga hanya dapat dipahami sebagai langkah lain untuk memutus akses teknologi Tiongkok ke pasar AS, yang selanjutnya menghambat perkembangan ekonomi Tiongkok.
Jangan salah: meskipun isu Huawei dan TikTok diselimuti oleh bahasa “masalah keamanan nasional”, dorongan sebenarnya di balik pelarangan tersebut adalah demi mengamankan dominasi teknologi AS. Huawei adalah pesaing utama Apple untuk pasar ponsel pintar di Cina. Pada tahun 2020, Huawei mengungguli Apple sebagai merek terlaris di negara tersebut.
Dengan 150 juta pengguna di AS, TikTok telah menjadi aplikasi media sosial yang paling sering diunduh, terutama di antara pasar Gen Z yang didambakan. Pengguna menghabiskan lebih banyak waktu di aplikasi media sosial ini dibandingkan beberapa pesaingnya seperti Instagram. Dengan demikian, TikTok menarik iklan digital dari pesaingnya di AS.
Seperti halnya Huawei, AS mendorong sekutunya untuk melarang TikTok: India memberlakukan larangan nasional pada tahun 2020, dan Inggris, Belanda, Norwegia, Norwegia, Prancis, Kanada, dan Australia semuanya telah bergerak untuk melarang aplikasi ini dari perangkat yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Pembatasan Hanya Akan Membawa Kita Pada Perang
Terlepas dari modernisasi pesat yang terjadi hanya dalam beberapa dekade terakhir, Tiongkok tetap merupakan negara berkembang. Mereka mengandalkan sektor teknologi dan inovasi teknologi sebagai landasan untuk mengembangkan ekonomi dalam rangka memenuhi kebutuhan material rakyatnya, dan mengangkat mereka dari kemiskinan.
Larangan komprehensif AS terhadap ekspor semikonduktor, Huawei, dan kemungkinan TikTok dilarang dapat dilihat sebagai cara untuk menggagalkan modernisasi Tiongkok; untuk membuatnya tetap terbelakang dan berada di dalam rantai pasokan global sebagai pabrik dunia. Melalui strategi pengepungan militer dan pemutusan akses ke pasar teknologi dan pasar-pasar utama, AS berusaha menghalangi perkembangan ekonomi Tiongkok demi mengamankan dominasi sistem imperialis yang mereka pimpin.
Jelas sekali bahwa kebijakan yang berbahaya dan sangat agresif ini hanya akan menuntun kita ke jalan perang.
Artikel dari Amanda Yee, host dari Radio Free Amanda ini terbit pertama kali di Liberation. Diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh dan diterbitkan ulang di sini untuk tujuan pendidikan.