Para Pekerja Seks, Bersatulah!

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: illustruth


SEJARAH prostitusi di Indonesia cukup panjang dengan industri pekerja seks beroperasi di seluruh negeri. Partisipasi perempuan dalam industri pekerja seks merupakan cerminan dari situasi politik-ekonomi Indonesia saat ini: sekitar 88% dari mereka menjadi pekerja seks karena kesulitan ekonomi. Perempuan dalam industri seks bahkan berada dalam kondisi yang lebih terstigmatisasi dan rentan dalam masyarakat yang sudah memperlakukan mereka sebagai warga negara kelas dua.

Untuk mengetahui kondisi para pekerja seks dan kegiatan serikat pekerja seks di Indonesia, saya melakukan penelitian di Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Pada tahun 2014, terakhir kali pendataan dilakukan oleh pemerintah, ada sekitar 700 perempuan pekerja seks di wilayah tersebut. Jumlah itu bisa dengan mudah mencapai lebih dari 1.000 pada hari kerja. Ini adalah jumlah pekerja seks terbesar kedua di Indonesia, dan mungkin yang terbesar saat ini.

Bandungan merupakan daerah prostitusi yang unik. Berbeda dengan daerah lain, Bandungan tidak menggunakan “lokalisasi”. “Lokalisasi” berarti bahwa kegiatan prostitusi diatur dan dibatasi dalam satu lokasi, dan oleh karena itu diisolasi dan dipisahkan dari masyarakat. Hal berbeda terjadi di Bandungan. Di sana, prostitusi terjadi di hotel dan tempat karaoke, dan perempuan pekerja seks tinggal di kos-kosan yang disewakan oleh warga setempat.


Janji yang Gagal Dipenuhi

Pada tahun 2014, Pemerintah Kabupaten Semarang mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 10 tentang ketertiban masyarakat. Peraturan ini melarang segala aktivitas prostitusi di wilayah Kabupaten Semarang, termasuk Bandungan. Namun, setahun kemudian, pemerintah berbalik arah dan mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 1 tentang pemberdayaan perempuan. Di bawah peraturan baru ini, pekerja seks komersial diberikan hak atas kesehatan, pemberdayaan, dan perlindungan sosial.

Pembalikan tersebut sebagian disebabkan oleh fakta bahwa jumlah pekerja seks terus meningkat terlepas dari adanya berbagai larangan yang ada. Dalam hal ini, mengizinkan prostitusi juga membantu pemerintah untuk menghasilkan lebih banyak pendapatan berkat pembangunan akomodasi bisnis dan karaoke serta pariwisata yang berkaitan dengan prostitusi.

Pada awalnya, kebijakan ini terkesan menawarkan janji-janji perluasan hak dan perlindungan bagi pekerja seks, namun kenyataan berkata lain. Dalam kebijakan baru ini, pemerintah hanya mengakui hak pekerja seks komersial di wilayah-wilayah lokalisasi. Pekerja seks yang tidak memiliki daerah lokalisasi seperti di Bandungan tidak dapat menuntut hak tersebut.

Pengecualian terhadap beberapa pekerja seks membuat mereka mencari cara untuk melindungi hak-hak mereka sendiri yang sangat penting untuk kelangsungan hidup sehari-hari. Pada 2015, para pekerja seks mendirikan serikat pekerja seks dengan nama Perkawis atau Perhimpunan Pekerja Wisata. Terminologi “pekerja wisata” dipilih untuk menghindari masalah dengan kelompok-kelompok sosial dan agama.


Asal Usul Serikat Pekerja Seks

Perhimpunan Pekerja Wisata didirikan oleh Yanti, bukan nama sebenarnya, dan para pekerja seks lain. Yanti adalah warga Bandungan yang memiliki rumah kos, namun dia sendiri pernah bekerja sebagai pekerja seks dan tidak diragukan lagi memahami berbagai tantangan yang ada di dalamnya.

Dalam wawancara dengan saya, Yanti menceritakan tragedi yang akhirnya membuatnya mendirikan serikat. Pada 2014, seorang pekerja seks perempuan bernama Ranti ditemukan tewas di kamar kosnya. Pada saat itu penyebab kematian Ranti tidak diketahui. Saat jenazah diantar ke rumah, ternyata alamatnya tidak sesuai dengan yang ada di KTP. Dia jelas menggunakan KTP palsu untuk bekerja. Yanti berhasil menemukan alamat asli Ranti dari teman-teman terdekatnya.

Hal yang sama dialami Resti, juga pekerja seks di Bandungan. Resti ditemukan tewas di sebuah hotel di luar kota akibat overdosis. Resti juga menggunakan KTP dan alamat palsu sehingga jenazahnya sulit diantarkan ke keluarga.

Penggunaan KTP palsu memang dimaksudkan untuk menutupi rasa takut dan malu jika identitas asli mereka diketahui publik. Mayoritas pekerja seks yang diorganisir Yanti mengatakan bahwa menjadi pekerja seks adalah satu-satunya pilihan bagi mereka untuk tetap tinggal bersama dengan keluarga. Banyak dari mereka adalah ibu dan tulang punggung keluarga.

Yanti mengorganisir pekerja seks di mana pun dia bisa menjangkau mereka. Ada hampir seratus anggota serikat saat ini. Serikat pekerja membentuk sistem administrasi yang ketat untuk pekerja seks. Pengambilan KTP dilakukan secara ketat dan diverifikasi dengan data kependudukan daring dari pemerintah. Serikat pekerja bekerja dengan rumah kos dan pemilik hotel setempat untuk memastikan adanya pangkalan data lengkap dari setiap penghuni yang merupakan pekerja seks.


Melindungi Kesehatan Pekerja Seks

Serikat pekerja memprioritaskan perlindungan kesehatan anggotanya. Serikat pekerja seks yang dipimpin Yanti telah meminta bantuan dari lembaga swadaya masyarakat dan lembaga kesehatan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan bulanan bagi para pekerja seks.

Aturan ketat diterapkan. Anggota dilarang bekerja sampai memiliki kartu kesehatan yang menunjukkan bahwa mereka bebas dari penyakit menular seksual. Data kesehatan tersebut kemudian menjadi dasar bagi pihak lain, termasuk pemilik hotel dan kos, untuk melarang pekerja seks yang tidak lolos pemeriksaan kesehatan.

Selain itu, anggota serikat dilarang berhubungan seks dengan para tamu tanpa menggunakan alat kontrasepsi. Hal ini dipatuhi oleh para anggota serikat pekerja. Namun serikat menemukan bahwa para pekerja seks tidak menggunakan alat kontrasepsi saat berhubungan seks dengan pacarnya, dan beberapa anggota serikat pun mengalami kehamilan yang tidak direncanakan. Mereka yang sedang hamil mencoba melakukan aborsi karena alasan ekonomi dan rasa malu. Salah satu pekerja seks hamil lima kali dan setiap kali pula memilih aborsi. Serikat pekerja menentang keras tindakan ini karena keyakinan agama: bahwa setiap bayi memiliki hak untuk hidup yang telah diberikan oleh Tuhan.[1]

Beberapa pekerja seks melahirkan dan membesarkan anak mereka sendiri. Mereka sering mempekerjakan perawat saat bekerja. Banyak yang kesulitan menanggung biaya makan dan kebutuhan lain untuk anak-anak mereka.

Mereka sering membayar dan menitipkan anaknya kepada warga lain untuk diasuh. Selama beberapa minggu mereka akan datang menjemput anak setelah selesai bekerja. Namun ada yang berhenti, meninggalkan anak-anak mereka di tangan pengasuh tanpa pernah kembali lagi. Itu tidak terjadi hanya sekali atau dua kali. Saya menemukan kejadian yang sama cukup sering terjadi di daerah Bandungan.

Anak-anak yang ditinggalkan akan mengalami masalah, misalnya di sekolah. Mereka semestinya dimasukkan ke dalam kartu keluarga segera setelah lahir. Namun itu tidak mungkin karena mereka telah ditinggalkan oleh ibu mereka. Untungnya, warga yang peduli akan mengadopsi anak-anak terlantar dari pekerja seks dan memasukkan mereka ke dalam daftar keluarga. Mereka kemudian akan membesarkan anak-anak pekerja seks hingga dewasa sebagai anak-anak mereka.


Melawan Pelecehan dan Kekerasan

Pekerja seks secara teratur mengalami pelecehan seperti “Ayo bercinta”, “Berapa harganya?” dan “Hei jalang! Ayo, kita tidur malam ini.” Kekerasan merupakan masalah sehari-hari yang terjadi di tempat kerja maupun di luar tempat kerja.

Saat bekerja, kekerasan terjadi ketika pekerja seks menolak permintaan tamu yang melakukan tindakan di luar kesepakatan, seperti minum alkohol di luar batas kemampuan pekerja seks, menghina dan menggunakan kata-kata yang kasar, dan tindakan pemaksaan lainnya. Para tamu kemudian menjadi marah dan melakukan kekerasan seperti menampar, menyambar, menendang, dan memukul. Seperti yang dikatakan Yanti, “Para laki-laki itu sering berlaku sesuka hati mereka. Asumsi mereka adalah ketika mereka mengeluarkan uang, pekerja seks menjadi milik mereka sepenuhnya.” Mereka menganggap pekerja seks sebagai seorang yang lemah, penurut, dan bukan manusia yang pantas dihormati dan dimuliakan.

Sementara itu, tindak kekerasan di luar pekerjaan sering dilakukan oleh pacar atau pasangan para pekerja seks di rumah kosnya. Pacar mereka adalah pejabat, pegawai negeri sipil, pengusaha, pegawai hotel atau karaoke, serta suami yang sudah menikah.

Kekerasan dapat timbul dari perselisihan. Pekerja seks seringkali menjadi pelampiasan pacar/pasangan mereka untuk melampiaskan emosi negatifnya sendiri. Pekerja seks sering dipukul, ditinju, dan ditendang. Ada kasus di mana pekerja seks diseret keluar rumah tanpa mengenakan pakaian dan kemudian dipukuli oleh pacarnya. Masyarakat sekitar pun tidak merasa perlu untuk menolong.

Kasus yang paling menghebohkan adalah pembunuhan seorang pekerja seks di kosnya. Awalnya tidak ada yang mengetahui kejadian ini hingga akhirnya pemilik kos mengetahui bahwa pekerja seks tersebut tidak pernah keluar kamar selama tiga hari. Ketika kamar dibuka, mereka menemukan pekerja seks itu tewas dengan berlumuran darah. Banyak rumor yang beredar tentang penyebab kematiannya, seperti bunuh diri atau dibunuh oleh pacarnya karena hamil. Kasus tersebut dihentikan tanpa pengadilan karena polisi tidak pernah melakukan penyelidikan. Kematiannya dianggap tidak penting.

Prevalensi kekerasan terhadap pekerja seks dapat dijelaskan setidaknya karena dua alasan. Pertama, masih kuatnya akar budaya patriarki di Indonesia, terutama di perdesaan seperti Bandungan. Ketika perempuan masih dianggap sebagai warga negara kelas dua oleh masyarakat, pekerja seks perempuan dianggap sebagai kelompok sosial yang lebih rendah lagi. Kedua, pemerintah gagal memberikan bantuan dan fasilitas kepada pekerja seks, seperti pelatihan keterampilan, perlindungan hukum terhadap kekerasan dan pelecehan, yang sebenarnya sudah diatur dalam peraturan pemerintah.

Serikat pekerja melakukan yang terbaik untuk melindungi pekerja seks dari tindakan pelecehan dan kekerasan, bekerja sama dengan pemilik kos, hotel, dan karaoke untuk mengusir setiap tamu yang melakukan pelecehan dan tindakan kekerasan terhadap pekerja seks. Tetapi mereka tidak selalu dapat menempuh jalur hukum setiap saat karena kurangnya sumber daya keuangan yang memadai. Jika pekerja seks berserikat masih berjuang untuk mengatasi masalah ini, bagaimana nasib pekerja seks yang tidak dilindungi serikat pekerja?

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Pekerja Seks, Bersatulah!

Sudah menjadi kewajiban kita sebagai akademisi dan aktivis untuk secara aktif mendukung pengorganisasian pekerja seks dan serikat mereka.

Seperti yang ditulis Juno Mac dan Molly Smith dalam buku Revolting Prostitutes (2018), serikat pekerja yang kuat adalah kekuatan utama pekerja seks untuk melawan dan menentang penindasan serta pelanggaran hak-hak mereka. Selain itu, serikat pekerja seks dapat dan telah berdiri sebagai pelopor dalam melawan segala jenis penindasan berbasis gender, seperti yang terjadi di Kenya, Kafetaria Compton di San Francisco, dan Stonewall.

Ini bukan sekadar perjuangan untuk kebebasan menjual layanan seksual. Jauh dari itu, ini adalah perjuangan untuk mengakhiri kekuasaan yang telah menindas perempuan dan mengambil banyak hal berharga dari hidup mereka.

Untuk itu, para pekerja seks, bersatulah!***


[1] Catatan editor: ALR sebagai publikasi tidak selalu mendukung pandangan tentang aborsi, namun menurut kami pandangan serikat ini penting untuk dimasukkan ke dalam artikel untuk memahami pekerjaan mereka.


Artikel ini pertama kali tayang di Asian Labour Review pada Maret 2023, diterjemahkan oleh editor Indoprogress Fathimah Fildzah Izzati. Dimuat ulang dengan izin penerbit dan untuk tujuan pendidikan.


Firhandika Ade Santury adalah lulusan ilmu politik dari Universitas Diponegoro, inisiator gerakan literasi “Pustaka Bestari” di kawasan prostitusi Bandungan, dan penulis isu-isu gender, buruh perempuan, gerakan sosial, serta demokratisasi.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.