Ketika “Pulang” Menjadi Kata yang Paling Berat: Secuplik Kisah Para Eksil 1965

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


BAYANGKAN suatu hari Anda menerima surel yang mengumumkan bahwa Anda menerima beasiswa untuk berkuliah di luar negeri. Bagaimana perasaan Anda? Tentu gembira, apalagi jika tempat yang dituju selama ini dianggap keren seperti, katakanlah, negeri-negeri di Eropa atau Amerika. Di benak Anda mungkin bergumpal semacam optimisme dan harapan: saat telah merampungkan studi dan kembali ke tanah air, saya akan menjadikan ilmu yang didapat bermanfaat bagi siapa pun, mulai dari keluarga, saudara, teman-teman, hingga bangsa dan negara. 

Anda kemudian menyiapkan segalanya: paspor, visa, aneka perbekalan, lalu kemudian pamit pada keluarga dan pergi jauh selama beberapa tahun. 

Setelah tinggal tiga sampai empat tahun di luar negeri, Anda mulai kangen dengan rumah. Anda membayangkan suasana Lebaran atau Natal bersama keluarga, juga makanannya yang khas. Bayangan tersebut semakin kuat ketika studi Anda sudah selesai atau mendekati selesai. 

Anda mungkin mendapat tawaran pekerjaan di negeri orang yang sayang sekali jika tidak diambil. Namun Anda berniat untuk pulang terlebih dahulu demi melepas rindu sebelum memboyong sanak saudara dan menetap di luar negeri lebih lama. 

Tapi skenario indah tersebut mendadak berantakan. Terjadi huru-hara di negeri asal. Anda tidak bisa pulang dan bahkan tidak lagi dianggap sebagai warga negara karena pemerintah mencabut paspor Anda. Anda tidak mengerti sama sekali dengan keadaan ini karena semuanya terjadi begitu cepat. Anda coba memaksakan diri untuk pulang, tapi teman-teman lama langsung memberikan peringatan: jangan, nanti kamu ditangkap dan dibunuh. 

Jadilah hidup Anda terlunta-lunta di negeri orang. Anda bahkan tidak bisa meminta bantuan kedutaan karena justru melalui merekalah Anda menerima pengumuman pembekuan paspor. Kenyataan paling pahit yang Anda terima adalah bahwa Anda bukan lagi aset negara yang siap dielu-elukan kelak ketika pulang. Sebaliknya, Anda sekarang menjadi musuh negara! 

Ilustrasi di atas bukan dongeng tapi kenyataan. Itu adalah keadaan banyak orang Indonesia yang berangkat studi ke luar negeri sekitar tahun 1950-an dan 1960-an awal. Sebagai pemuda berusia 20-an, wajar jika semangat mereka sedang tinggi-tingginya. Mereka diberi kesempatan oleh Presiden Sukarno untuk menimba ilmu di tempat lain seperti Uni Soviet, Kuba, Korea Utara, Cekoslowakia, Slovenia, dan negara-negara lain yang dianggap sebagai kekuatan besar supaya dapat mengabdi di Indonesia kelak dengan keahlian yang telah dipelajari.

Peristiwa 1965-lah yang mengubah nasib para pemuda malang itu, juga wajah Indonesia secara besar-besaran. Presiden Sukarno dikudeta oleh Jenderal Soeharto dan jutaan pengikutnya dieksekusi, termasuk mereka yang berhaluan atau dianggap komunis. Orang-orang yang disekolahkan atas titah Sukarno, terutama ke negara-negara yang dianggap berideologi sosialisme-komunisme, dilarang untuk kembali. 

Propaganda besar-besaran, bahwa orang-orang komunis adalah jahat dan biadab, ditanamkan di Indonesia melalui film dan buku-buku. Sebaliknya, perbuatan jahat dan biadab terhadap orang-orang komunis atau dituduh komunis ditenggelamkan dalam sejarah seolah-olah itu tidak pernah ada. Padahal kejahatan tersebut sudah bukan lagi kejahatan biasa melainkan genosida alias pembantaian dalam skala besar! 

Para eksil atau mereka yang diasingkan atau dibuang memang selamat dari huru-hara dan tidak dieksekusi. Namun mereka terlunta-lunta tanpa tahu kapan bisa pulang apalagi mendapat informasi tentang kondisi keluarga. Tidakkah hal demikian juga merupakan penderitaan yang hebat? Apalagi tidak semua orang yang menjadi eksil itu benar-benar paham tujuan mereka ke luar negeri pada mulanya kecuali untuk menimba ilmu. Mereka hanya ingin belajar dan pulang demi berkontribusi untuk negeri. Niatnya mulia, tetapi hasilnya begitu tragis.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Syarkawi Manap adalah salah satu eksil itu. Dia tinggal di Stockholm, Swedia. Tahun 1965, sebelum kudeta meletus, Pak Syarkawi yang kini telah berusia 82 tahun dikirim untuk bersekolah di Kuba. Dia tak lama tinggal di sana sebelum paspornya dicabut pemerintah. Karena tidak lagi memiliki paspor, status Pak Syarkawi menjadi bukan warga negara mana pun alias stateless. Pak Syarkawi sempat hidup berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, dari mulai Cina, Vietnam, hingga Burma, sebelum akhirnya Swedia bersedia memberikannya kewarganegaraan pada 1992. Status baru tersebut membuat Pak Syarkawi bisa ke Indonesia sebagai turis. Sejak itu hingga sekarang, Pak Syarkawi sudah 21 kali bolak-balik Indonesia-Swedia.

Belum lama ini, tepatnya sejak Desember 2022, Pak Syarkawi berkunjung ke Indonesia dengan tujuan khusus mengunjungi makam mantan Gubernur Kalimantan Tengah Tjilik Riwut. Kunjungan tersebut kemudian diabadikan menjadi film dokumenter berjudul Dari Stockholm untuk Tjilik Riwut yang disutradarai oleh Indra Siagian dan diproduseri oleh Bilven. Dalam rekaman berdurasi 36 menit yang diputar di Beranda Rakyat Garuda 4 Februari lalu itu, Pak Syarkawi menceritakan kisah hidupnya. Masa kecilnya dihabiskan di Lahat, Sumatera Selatan. Dia lalu bergabung dengan organisasi Pemuda Rakyat. Status tersebut membuat Pak Syarkawi diutus oleh Presiden Sukarno untuk mempromosikan Olimpiade tandingan bernama Games of the New Emerging Forces (Ganefo) di Kalimantan tahun 1963.  

Dia juga bercerita tentang pertemuan dengan Tjilik Riwut, kepergian ke Kuba, terkatung-katung, hingga diberi kewarganegaraan oleh Swedia. Pak Syarkawi pun berbagi kesannya tentang Indonesia yang sudah sangat berbeda. 

Lain Pak Syarkawi Manap, lain juga Awal Uzhara. Pak Awal dikirim tahun 1958 untuk bersekolah di institut sinematografi yang pada waktu itu bernama VGIK (sekarang Institut Sinematografi Gerasimov) di Moskow, Uni Soviet. Pak Awal sebenarnya berhasil menamatkan sekolah dan sempat pulang. Namun dia akhirnya kembali ke Moskow setelah mendapat kabar anaknya di sana sedang sakit (Pak Awal menikah dan punya anak di sana). Dia berniat sekalian memboyong keluarga dari Uni Soviet ke Indonesia. Sayang, tahun 1968, paspor Pak Awal dicabut dan ia tidak bisa pulang lagi. 

Seperti halnya Pak Syarkawi, Pak Awal juga lama berstatus stateless sebelum akhirnya mengambil kewarganegaraan Rusia supaya bisa berkunjung sesekali ke tanah air sebagai turis. Pak Awal berhasil pulang tahun 2012 dan tinggal di Bandung bersama istrinya, Susi Magdalena. Beliau menetap cukup lama hingga wafat pada 2016. 

Saya beruntung dapat bertemu dan mewawancarai Pak Awal untuk kemudian dituangkan dalam buku berjudul Nasib Manusia: Kisah Awal Uzhara, Eksil di Rusia (Ultimus, 2021). Judul “nasib manusia” (yang merupakan terjemahan dari judul film Sudba Cheloveka karya sutradara Sergei Bondarchuk) menurut Pak Awal sudah tepat untuk menggambarkan kisah hidupnya yang tragis tanpa sepenuhnya bisa dimengerti. Pak Awal bahkan sampai menyalahkan dirinya sendiri, “Apakah apa yang saya tanam itu adalah hal yang sangat keliru sehingga buahnya begitu pahit?”

Meski mendapat perlakuan tidak adil dari pemerintah, Pak Awal, seperti halnya Pak Syarkawi, tidak serta-merta membenci segala hal yang berhubungan dengan Indonesia. Sebaliknya, rasa cinta mereka terhadap tanah air justru sangat besar. Pak Awal misalnya pernah mengutip Dubes Indonesia untuk Rusia periode 2004-2009 Susanto Pudjomartono yang meminta kita semua berhenti menyebut para eksil dengan sebutan “mahid” (mahasiswa ikatan dinas, sebutan yang cenderung peyoratif untuk orang-orang yang disekolahkan Presiden Soekarno), “Mereka jangan lagi dipanggil ‘mahid’ karena mereka adalah bapak-bapak kita,” tutur Pak Awal menirukan ucapan Pak Susanto. Pernyataan itu membuat Pak Awal menitikkan air mata. 

Dalam momen lain, Pak Awal juga bercerita bagaimana ia diberikan potongan pertama tumpeng oleh Dubes Indonesia untuk Rusia periode 2008-2011 Hamid Awaluddin. Meski sederhana, Pak Awal merasa tindakan demikian sungguh bermakna. “Semua rasa kesal saya pada pemerintah Indonesia selama puluhan tahun, hilang,” katanya. 

Pak Syarkawi juga punya cerita tentang tumpeng. Tahun 2014, saat perayaan kemerdekaan di KBRI Stockholm, beliau dan istrinya juga menerima  potongan pertama tumpeng dari Dubes Indonesia untuk Swedia Dewa Made Juniarta Sastrawan. 

Potongan tumpeng mungkin hal yang biasa bagi kita, tetapi tidak bagi beliau-beliau. Itu adalah simbol kemanusiaan: bahwa mereka ada dan diterima oleh bangsanya sendiri. 

Selain Pak Syarkawi dan Pak Awal, masih banyak eksil lain yang tinggal di berbagai negara dan tidak bisa pulang. Sukar untuk dihitung berapa persisnya jumlah mereka akibat tiadanya pencatatan yang memadai. Selain itu banyak di antaranya memilih menyembunyikan identitas. Namun jumlahnya ditengarai mencapai ribuan orang. 

Momen diputarnya film dokumenter tentang Pak Syarkawi; terbitnya buku tentang Pak Awal; atau beredar luasnya video tentang eksil yang menetap di Republik Ceko Soegeng Soejono di Youtube adalah beberapa contoh bagaimana kisah mereka yang diusir karena prahara pada 1965 semakin sampai ke telinga generasi sekarang. Sebelum tahun 1998, kisah-kisah semacam ini jarang sekali diangkat kecuali hanya dalam kalangan tertentu. Sekarang, kisah para eksil sudah bisa diakses dengan mudah dan bahkan tidak sukar bagi kita untuk berbincang dengan beberapa dari mereka. Kesempatan ini seyogianya dimanfaatkan oleh generasi muda untuk melihat kembali sejarah bangsa kita yang dipenuhi kekelaman.

Pada para eksil yang sudah tiada, kita doakan supaya tenang di alam sana, setelah puluhan tahun menderita dalam “penjara tanpa jeruji besi”; sementara pada para eksil yang masih hidup, kita dengarkan dan sebarkan kisah-kisah mereka supaya sejarah tidak terulang lagi, sambil sekaligus memberikan rasa hormat setinggi-tingginya. Seperti kata Pak Soegeng, “Saya manusia biasa, saya juga senang dihormati.”


Syarif Maulana, pengajar di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, mahasiswa program doktoral di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan inisiator kelas belajar filsafat daring Kelas Isolasi.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.