Foto: Militer menangkap orang-orang kiri setelah peristiwa 1 Oktober 1965. Associated Press via New York Times
DI SAAT perdebatan berkecamuk tentang asal muasal konflik di Ukraina, ditambah seruan untuk zona larangan terbang dan pengiriman senjata melawan serangan dari Rusia, hadir diskusi yang intens mengenai asal-usul dan peran NATO serta Amerika Serikat dalam peristiwa pertumpahan darah yang telah memikat dan membuat ngeri hati orang-orang di seluruh dunia. Kejadian ini mengingatkan kita pada situasi politik global di zaman Perang Dingin.
Buku karya Vincent Bevins, The Jakarta Method: Washington’s Anticommunist Crusade & the Mass Murder Program that Shaped Our World, dapat membantu pemahaman kita tentang periode Perang Dingin dan menjadi sumber pengetahuan berharga bagi mereka yang sedang bergumul dengan berbagai pertanyaan mengenai situasi politik ekonomi internasional saat ini.
Selama masa Perang Dingin, ada pergerakan dari negara-negara Dunia Ketiga yang berkembang di luar pengaruh langsung AS dan Uni Soviet. Ketika negara-negara baru merdeka ini mencoba untuk membentuk jalur politik dan ekonomi yang independen setelah melepaskan beban penjajahan kolonial, Badan Intelijen Pusat AS (CIA) turun tangan mengacaukan gerakan mereka.
Bevins menjelaskan dengan gamblang bagaimana CIA mendedikasikan dirinya untuk melatih dan mendanai para jenderal dari negara-negara Dunia Ketiga untuk menggulingkan, memenjarakan, memutilasi, dan membunuh siapa pun yang menganjurkan reformasi ekonomi–yang paling ringan sekalipun–di negara mereka sendiri.
Munculnya McCarthyisme Global
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, AS muncul sebagai kekuatan kapitalis baru yang dominan. AS dengan cepat bermanuver mengkonsolidasikan dan memperluas kekuatan itu dengan mencoba menahan dan melawan daya tarik Uni Soviet dan komunisme. Contohnya, mengintervensi pemilu di Prancis dan Italia, menyalurkan uang ke partai-partai yang mereka restui dan menyulut propaganda anti-kiri.
Ketika keretakan Tirai Besi di sekitar Uni Soviet mulai tampak lebih jelas, AS memfokuskan dirinya untuk memengaruhi masa depan negara-negara Dunia Ketiga. Lembaga pemerintahan AS yang mengemban amanah tersebut adalah CIA, nama untuk badan mata-mata. Dibentuk pada 1946, lembaga ini memiliki peran ganda: mengumpulkan data intelijen dan berperan aktif dalam melakukan intervensi di negara-negara di seluruh dunia demi kepentingan AS.
Pada tahun 1948, Indonesia keluar dari perang kemerdekaan melawan penjajahan Belanda sebagai sebuah negara baru dan merdeka. Dengan Sukarno sebagai pemimpinnya, negara baru ini tampak antikolonial dan juga antikomunis. Sukarno menjadi simbol atas potensi kemerdekaan dan netralitas negara-negara Dunia Ketiga.
AS pada awalnya optimistis dan juga waspada dalam mengadopsi kebijakan “Jakarta Axiom” dalam urusan-urusan luar negerinya. “Jakarta Axiom” adalah istilah yang dipakai untuk menamai kebijakan untuk menoleransi negara-negara Dunia Ketiga yang mengambil sikap netral terhadap AS dan Uni Soviet. Namun, pada 1953, kebijakan “Jakarta Axiom” berakhir.
Negara-negara Dunia Ketiga yang netral berusaha untuk mengontrol sumber daya mereka sendiri atau mengesahkan undang-undang reformasi tanah/agraria yang sederhana. CIA mulai bertindak, mengucurkan dana jutaan dolar untuk mengatur kudeta di Iran dan Guatemala. Konsensus baru di bawah Presiden Dwight D. Eisenhower adalah bahwa “pemerintah negara-negara netral berpotensi menjadi musuh, dan Washington bisa menentukan apakah dan kapankah suatu negara Dunia Ketiga yang merdeka memiliki sikap yang cukup antikomunis.”
Istilah “Dunia Ketiga” benar-benar menjadi terkenal pada tahun 1955, ketika Sukarno dan Presiden Ghana, Kwame Nkrumah, membantu menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Konferensi tersebut mengedepankan jenis nasionalisme yang berbeda, didasarkan pada perjuangan anti-kolonial, mengorganisir negara-negara Dunia Ketiga yang bekerja secara kolektif untuk memperbaiki kondisi mereka di dalam sistem ekonomi global, dalam rangka mendukung pembangunan mereka sendiri. Lebih dari 29 negara mengambil bagian. Organisasi-organisasi dan jaringan-jaringan komunikasi pun bermunculan dengan kritik terhadap sistem kapitalis global.
Sementara negara-negara ini mencoba membuka jalan di luar pengaruh Washington atau Moskow, dan sekalipun mereka mencoba memberi penghormatan kepada Revolusi AS dalam pidato-pidato dan komunikasi-komunikasinya, seluruh konferensi tersebut dipandang sebagai pelanggaran oleh Departemen Luar Negeri AS dan sikap netral sebagai kejahatan terhadap AS. Seperti yang dijelaskan Bevins, “Siapa pun yang tidak aktif melawan Uni Soviet pasti menentang AS, tidak peduli seberapa keras dia memuji-muji Paul Revere.”
AS melihat Asia sebagai bagian yang sangat penting dalam melawan pengaruh Uni Soviet. Mereka menggelontorkan jutaan dolar untuk memengaruhi pemilihan umum di Indonesia, akan tetapi Partai Nasional Indonesia dibawah pimpinan Sukarno dan bahkan Partai Komunis Indonesia (PKI) masih menghasilkan prestasi yang baik. Kecakapan berorganisasi PKI terwujud pada prestasi elektoral yang bagus, yang akhirnya membuat frustrasi Washington. Toleransi serta hubungan baik Sukarno dengan PKI dan partai-partai sayap kiri lainnya pun meningkatkan kecurigaan Washington.
CIA pun menjatuhkan bom, mendanai dan menyulut pemberontakan-pemberontakan melawan Sukarno di beberapa pulau-pulau di Indonesia. Akan tetapi, plot mereka gagal. Militer Indonesia memadamkan pemberontakan-pemberontakan tersebut. Terungkapnya keterlibatan langsung AS dalam pemberontakan-pemberontakan tersebut mengecewakan Sukarno. Itu semua mendorongnya semakin jauh dari Washington.
Taktik Baru: Kudeta Militer
Perspektif AS untuk menata Dunia Ketiga berubah setelah itu. CIA mulai fokus untuk mendukung “militer sebagai strategi anti-komunis jangka panjang yang lebih efektif.” Bevins mendokumentasikan bagaimana strategi ini digunakan dengan sangat efektif di Brasil. Militer terbukti menjadi kekuatan anti-komunis paling andal selama tahun 1950-an dan 1960-an.
Militer Brasil memperdalam hubungan dengan Washington, berlatih di Fort Leavenworth bersama tentara-tentara dari Indonesia. Kelompok sayap kanan dibentuk dan menerima kucuran dana dari CIA, menjalankan operasi pengeboman, penembakan, dan berbagai bentuk intimidasi lainnya terhadap kepresidenan reformis liberal, João Goulart. Jango, begitu dia dikenal, yang memihak ke AS selama Krisis Rudal Kuba, dianggap sebagai ancaman bagi kapitalisme global karena mengusulkan memperluas hak memilih kepada semua orang Brasil, dan meluncurkan program literasi dan reformasi tanah yang sederhana.
Jalur independen yang dipilih pemerintahan Jango ini dihukum AS melalui pemogokan investasi, sabotase ekonomi dan pendanaan, pelatihan, serta dukungan bawah tanah kepada suatu kubu di dalam militer Brasil. Semua itu berakhir dengan kudeta 31 Maret 1964, di mana “Departemen Luar Negeri AS menyediakan kapal tanker, amunisi, dan kapal induk untuk para konspirator.”
Kudeta tersebut berhasil dan merupakan prestasi besar bagi taktik baru CIA:
“Di Iran (1953) dan Guatemala (1954), Indonesia (1958) dan Kuba (1961), bagi siapa pun yang menaruh perhatian tentu tahu bahwa Washington berada di belakang operasi-operasi pergantian rezim. Bukti-bukti intervensi AS yang sangat jelas ini tidak hanya telah menodai citra Washington di seluruh dunia–mereka juga melemahkan efisiensi pemerintah-pemerintah yang telah mereka pasang di berbagai negara ketika menang. Pemerintah Guatemala runtuh dengan cepat setelah kudeta yang didukung CIA, seperti juga yang akhirnya terjadi pada pemerintah Shah di Iran.”
Taktik-taktik klandestin yang baru ini direplikasi dengan efek yang sangat menghancurkan di Indonesia.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Metode Jakarta
Di Indonesia, pemerintah AS dan Inggris yang tidak senang dengan sikap independen Presiden Sukarno di tengah eskalasi perang di Vietnam mulai meningkatkan aktivitas-aktivitas klandestin mereka. Seberapa luasnya operasi-operasi ini masih tersembunyi hingga sekarang, sehingga sulit untuk mengetahui jenis operasi-operasi hitam dan perang bawah tanah apa saja yang mereka telah lakukan. Yang sudah kita ketahui adalah bahwa sekelompok perwira menengah Angkatan Darat, yang menentang upaya kudeta militer, menamakan kelompok mereka Gerakan 30 September. Mereka meluncurkan operasi untuk menangkap tujuh jenderal Angkatan Darat, yang ujung-ujungnya berakhir dengan kematian para jenderal tersebut.
Tidak jelas apakah operasi ini merupakan upaya yang sangat ceroboh oleh perwira-perwira yang bermaksud baik dan setia kepada Sukarno, upaya infiltrasi oleh elemen anti-komunis di dalam militer Indonesia, atau upaya langsung untuk menciptakan sebuah peristiwa yang mengizinkan perebutan kekuasaan oleh pihak militer. Tetapi setelah kematian para jenderal tersebut pada 1 Oktober 1965, “Jenderal Soeharto mengambil tongkat kekuasaan negara dan mengutarakan serangkaian kebohongan yang disengaja dan dipersiapkan dengan hati-hati. Kebohongan-kebohongan ini menjadi dogma resmi di salah satu negara terbesar di dunia ini selama beberapa dekade ke depan.”
Militer Indonesia menyebarkan cerita bahwa PKI adalah dalang dari “kudeta komunis yang gagal”, menyebarkan kebohongan-kebohongan bahwa para jenderal disiksa dalam ritual-ritual setan, di mana perempuan-perempuan dari organisasi wanita yang beraliansi dengan gerakan komunis menari telanjang di sekitar mereka sebelum memotong kemaluan dan membunuh mereka. Pemerintah AS dengan cepat mengakui Soeharto sebagai pemimpin dan membantunya menyebarkan propaganda, sementara media-media Barat menyiarkan kebohongan-kebohongan ini kembali ke dalam negara tersebut.
Komunikasi dari kedutaan AS di Indonesia kepada Departemen Luar Negeri AS pada 5 Oktober mengungkapkan posisi yang diambil pemerintah AS: hindari keterlibatan terbuka, tunjukkan dengan jelas kepada Soeharto dan pihak militer bahwa mereka ingin memberikan bantuan dan dukungan, tingkatkan kontak dengan pihak militer, dan sebarkan kisah pengkhianatan dan kebrutalan PKI.
Sampai pada 7 Oktober, para komandan militer telah berkunjung ke berbagai provinsi di Indonesia, menjelaskan kepada rakyat sipil bahwa mereka diharapkan membantu militer menindas para komunis. Jika tidak mau membantu, mereka sendirilah yang akan ditindas, ditangkap, dan dibunuh. Anggota partai, serikat pekerja, dan siapa saja yang sekecil apa pun terkait dengan politik sayap kiri ditangkap secara massal, diinterogasi, disiksa, diperkosa, dihilangkan. Organisasi-organisasi pemuda-pemudi religius dan berbagai organisasi sipil lainnya direkrut untuk membantu melakukan pembantaian di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Parang, yang bukan senjata asli daerah Bali, mulai bermunculan dalam jumlah besar bersamaan dengan kampanye militer anti-komunis di pulau itu.
Pada Januari 1966, hasilnya jelas, dan kutipan dari memo Departemen Luar Negeri AS menggambarkan dengan jelas:
“Sebelum 1 Oktober 1965, Indonesia untuk semua tujuan praktis adalah negara komunis Asia… Peristiwa-peristiwa dalam beberapa bulan terakhir ini memiliki tiga pengaruh besar pada struktur kekuasaan dan kebijakan pemerintah Indonesia: PKI telah berhenti menjadi elemen kekuatan penting di masa depan yang dapat diperkirakan. Tindakan efektif oleh Angkatan Darat dan sekutu-sekutu muslimnya telah benar-benar merusak struktur organisasi partai. Sebagian besar anggota Politbiro dan Komite Pusat telah dibunuh atau ditangkap, dan perkiraan jumlah anggota partai yang terbunuh mencapai beberapa ratus ribu…”
Bertahun-tahun kemudian, peran yang dimainkan AS menjadi jelas. Bevins merangkum:
“Ketika konflik datang dan kesempatan muncul, pemerintah AS membantu menyebarkan propaganda yang memungkinkan pembantaian tersebut, dan terlibat dalam pembicaraan terus-menerus dengan Angkatan Darat untuk memastikan bahwa para perwira militer mendapatkan semua yang mereka butuhkan, dari senjata-senjata hingga daftar nama-nama kaum kiri untuk dibunuh. Kedutaan Besar AS terus-menerus mendorong militer Indonesia untuk mengadopsi posisi yang lebih keras dan mengambil alih pemerintahan, sambil mengetahui sepenuhnya bahwa metode yang digunakan untuk memungkinkan hal ini adalah dengan mengumpulkan ratusan ribu orang di seluruh negeri, menikam, atau mencekik mereka, dan membuang mayat mereka ke sungai-sungai. Para perwira militer Indonesia sangat memahami bahwa semakin banyak orang yang mereka bunuh, semakin lemah kaum kiri, dan Washington akan semakin bahagia.”
Imbas
Prosedur ini diulangi di seluruh dunia, di mana pun AS menganggapnya strategis. Kata “Jakarta” menjadi kode untuk pembunuhan massal dan frasa “Jakarta akan datang” ditulis dengan cat semprot di tembok-tembok sebagai ancaman bagi aktivis-aktivis sayap kiri. Dari tahun 1945 hingga 1990, rangkaian program-program pembantaian massal anti-komunis yang didukung AS muncul di seluruh dunia dan dijalankan di setidaknya 23 negara. Seperti yang ditulis Bevins dalam kesimpulannya:
“Program-program pembantaian di Argentina, Bolivia, Chili, Kolombia, Timor-Timur, El Salvador, Guatemala, Honduras, Indonesia, Irak, Meksiko, Nikaragua, Paraguay, Filipina, Korea Selatan, Sri Lanka, Sudan, Taiwan, Thailand, Uruguay, Venezuela, dan Vietnam harus dilihat sebagai suatu rangkaian peristiwa yang saling berhubungan, dan merupakan bagian penting dari kemenangan AS dalam Perang Dingin.”
Program-program ini menghentikan dan memutarbalikkan setiap proyek politik independen, menghentikan pembangunan, membuka jalan bagi globalisasi kapitalis (atau seperti yang disebut Bevins: “Amerikanisasi”), menghancurkan gerakan Dunia Ketiga, menciptakan negara-negara kroni kapitalis di seluruh dunia, dan membantu membangun narasi ganas anti-komunis yang masih hidup dan berpengaruh sampai hari ini. Selain itu, pelajaran yang dipetik oleh banyak kaum kiri di seluruh dunia adalah bahwa politik damai tidak realistis, sehingga lanskap politik global pun semakin jauh berubah.
Buku The Jakarta Method adalah satu sumber penting untuk memahami lanskap politik global yang penuh kekerasan dan ketidaksetaraan yang kita hadapi saat ini. Posisi politik yang akan kita ambil, dan strategi dan taktik yang akan kita terapkan haruslah didasarkan pada pemahaman akan peran imperialisme AS dan seekstrim apa tindakan yang akan mereka ambil untuk mempertahankan hegemoni mereka. Buku karya Vincent Bevins ini adalah sebuah seruan yang menggugah bagi kaum kiri untuk menghormati mereka yang telah gugur, menarik pelajaran dari pengalaman mereka, dan berjuang mati-matian untuk mereka yang hidup.
Artikel ini pertama kali terbit di Springmag dengan judul How global McCarthyism shaped the world, ditulis oleh Peter Hogarth. Diterjemahkan oleh Samuel Zenryo Tetelepta dan dipublikasikan ulang di Indoprogress untuk tujuan pendidikan.
Buku Jakarta Method telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Marjin Kiri.