Ilustrasi: Illustruth
APA JADINYA kalau sumber daya alam melukai masyarakat? Salah satu cara menjawabnya adalah dengan melihat apa yang dialami masyarakat Kabupaten Dairi, Sumatra Utara. Timah hitam (timbal) dan seng di bawah tanah yang dipijak, di mana biasanya terdapat pertanian di atasnya, menjadi dalih menyingkirkan masyarakat dari ruang hidupnya. Dua logam itu dikeruk demi kepentingan segelintir korporasi dibantu instrumen hukum dan pemerintahan.
Luka masyarakat Dairi dipicu dan terus diperdalam oleh PT. Dairi Prima Mineral (DPM) yang mendapatkan izin eksplorasi dan kemudian operasi produksi penambangan sampai saat ini. DPM mendapat Kontrak Karya (KK) Generasi VII berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia Nomor B.53/Pres/1/1998 tertanggal 19 Januari 1998. Lahan yang mereka dapat seluas 27.520 Ha, membentang dari Sumatra Utara sampai Nanggroe Aceh Darussalam. Sejak 2018, DPM menjadi perusahaan patungan antara Bumi Resources Mineral milik Keluarga Bakrie dan perusahaan milik Tiongkok bernama China Nonferrous Metal Industry’s Foreign Engineering and Construction (NFC).
Tapi selain luka juga muncul kisah perlawanan dan perjuangan masyarakat mempertahankan ruang hidup dari gerusan perusahaan tambang yang ditopang negara itu.
Hadirnya Dairi Prima Mineral
Pasca naiknya rezim neoliberal Soeharto, investasi asing dan dalam negeri (ekspansi kapital) menjadi indikator utama dalam pembangunan. Akomodasi hukum dan kebijakan untuk itu turut ikut di belakangnya. UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, misalnya, seperti otomatis lahir di awal masa kepemimpinan Soeharto.
UU pertama era Orba itu diikuti oleh berbagai UU sektoral, salah satunya UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. UU ini menggunakan bentuk perjanjian berupa Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) antara negara dan swasta. Kontrak Karya dan PKP2B diberikan kepada perusahaan swasta untuk melakukan eksplorasi dan operasi produksi di beberapa daerah potensial.
Peraturan itulah yang memungkinkan Dairi Prima Mineral mengantongi Kontrak Karya, melegitimasi mereka untuk melakukan eksplorasi hingga operasi produksi.
Perusahaan dengan leluasa mulai “menata” daerah di sekitar operasi pertambangan agar “ramah” terhadap bisnisnya. Selain mendapatkan legalitas atas seluruh kegiatan pertambangan dari negara, mereka juga sebisa mungkin menciptakan ruang sosial yang “ramah”.
DPM wajib melakukan pembebasan tanah milik masyarakat di sekitar wilayah operasi. Mereka butuh tanah yang disulap menjadi komoditas atas nama “pembebasan lahan”. DPM diuntungkan atas tren sertifikasi tanah individual pada warga sekitar tambang. Tanah-tanah komunal yang terpecah dan tersertifikasi secara individual tentu lebih mudah untuk dikuasai.
Paradigma “tanah sebagai komoditas” kemudian terus terpatri di kepala masyarakat. Narasi-narasi dari DPM juga memperdalam hal tersebut, yaitu: Apabila masyarakat menjual tanah untuk ditambang, hidup mereka akan sejahtera. Bahkan tambang sendiri yang akan menyejahterakan mereka. Uang dari penjualan tanah memang menggiurkan meski tidak akan cukup untuk menopang hidup dalam waktu yang lama. Karena itu DPM berjanji memberikan pekerjaan kepada masyarakat sebagai bagian dari narasi “investasi menunjang kesejahteraan”.
Terus berekspansi seperti kasus di atas adalah keniscayaan kapitalisme. Kapitalisme membutuhkan solusi ruang (spatial fix) sebagai objek “penyuntikan” kapital guna menghindari krisis yang merupakan bagian inheren dalam dirinya (Harvey, 2018). Penghindaran krisis juga dapat kita lihat dari riwayat bisnis Bumi Resources Mineral. Mereka saat ini paling tidak telah melakukan eksplorasi dan mengantongi izin operasi produksi di Palu, Gorontalo dan Linge.
Guna menjamin ketersediaanya, produksi ruang berlangsung dengan mengatribusi suatu teritorial dengan apa yang paling dapat dieksploitasi (dalam konteks Dairi adalah seng dan timah hitam). Untuk ini, hukum dan kebijakan memainkan peran penting. Hal ini tampak jelas ketika mereka mengajukan Addendum ANDAL RKL-RPL tahun 2019. Addendum atau amandemen adalah dokumen yang harus dibuat jika hendak mengubah izin lingkungan.
Salah satu yang hendak mereka ubah adalah sarana pengolahan limbah dan bahan peledak (handak). Lokasinya terlalu dekat dengan permukiman warga. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menemukan bahwa apabila bendungan dan gudang handak dibangun di Tiongkok, perusahaan akan melanggar regulasi. Tidak ada konsekuensi hukum yang diterima DPM hingga saat ini dari Indonesia.
Jejak bisnis NFC di sektor pertambangan tidak bersih. Tercatat sebuah kecelakaan yang disebabkan ledakan gudang handak di Zambia menewaskan 51 orang. Pun dengan perusahaan rekannya. Kita bisa melihat dosa Keluarga Bakrie pada peristiwa Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.
Sampai di sini terlihat bagaimana Dairi adalah ruang yang diproduksi untuk akumulasi kapital khususnya sektor pertambangan.
Peminggiran Pranata Adat
Masih dalam konteks komodifikasi tanah, meminggirkan pranata adat adalah tugas penting kapitalis guna meminimalisasi hambatan investasi. Salah satu pranata yang menghambat modal itu adalah pengelolaan bersama atas tanah.
Pengarusutamaan mengelola tanah secara komunal sudah mulai tergerus setidaknya dalam dua sampai tiga dasawarsa ke belakang. Dalam konteks wilayah tambang di Dairi, kehadiran DPM membuat tanah berubah fungsi dan bernilai ekonomis sehingga mendorong terjadinya tarik-menarik kepemilikan hak. Tanah mulai dipandang dapat diperjualbelikan seturut mekanisme pasar atau seolah seturut pranata adat (disebut “seolah” karena dimanipulasi).
Kondisi ini dikehendaki oleh DPM. Pembebasan tanah-tanah individual akan lebih mudah dibanding tanah komunal, apalagi berbasis pranata adat.
Sebelumnya jual beli tanah tidak boleh dilakukan sembarangan. Dulu seluruh tanah dikelola secara bersama dan tanah sendiri bersifat komunalistik-religius bukan ekonomis (Manurung 2009). Perubahan nilai ini dapat dilihat dari perkembangan relasi antara Cibro yang merupakan marga tanoh (marga pembuka kampung) di Desa Bongkaras, Tungtung Batu, Longkotan dan Bonian dengan marga lain serta pendatang etnis Toba dan Simalungun. Saat ini, meski sulang silima marga Cibro (lembaga adat marga Cibro) masih sering dilibatkan dalam transaksi tanah ulayat marga, ketentuan-ketentuan tidak tertulis tidak lagi diterapkan secara memadai–termasuk dalam agenda pemulusan pembebasan tanah.
Sejak 2007, lembaga-lembaga adat marga sebagai Pemegang Hak Ulayat (PHU) memang diaktifkan kembali, tapi sekadar menjadi organisasi yang “membantu” pembebasan tanah ulayat kepada DPM. Upacara adat pembebasan tanah untuk tambang sering diterapkan secara manipulatif, misalnya dalam upacara rading beru. DPM berperan seolah-olah anak perempuan yang diberi tanah oleh marga tertentu. Cara itu jelas merupakan upaya peminggiran pranata adat karena dimanipulasi agar sesuai kepentingan kapital.
Kegagalan akumulasi kapital memang dapat disebabkan oleh sistem hukum dan administrasi tradisional seperti di atas. Untuk kelancaran akumulasi, semua itu perlu disingkirkan. Hukum harus menjadi pranata yang menunjang keberhasilan akumulasi kapital, dan bukan sebaliknya yakni menjadi hambatan.
Max Weber mengatakan akumulasi kapital membutuhkan hukum untuk memberikan perhitungan (calculability) dan prediksi (predictability) (Weber, 1978). Dalam hal ini hukum harus pasti agar mampu memberikan pijakan bagi kapitalis dalam menyusun “rencana bisnis” tanpa hambatan. Kelancaran akumulasi kapital ditentukan oleh seberapa mampu (pasti) hukum mengakomodasi setiap proses dan menyediakan perhitungan baku bagi langkah-langkah yang akan diambil.
Ini dapat dirasakan dari semangat deregulasi dalam pembentukan peraturan belakangan. Semakin sedikit hukum yang diberlakukan bagi kegiatan bisnis, semakin mudah ia diprediksi dan semakin gampang pula bagi kapitalis mengambil langkah.
Bila dikaitkan dengan bisnis pertambangan yang hadir di Dairi dan banyak daerah lain, maka peminggiran instrumen dan institusi hukum tradisional menjadi perlu, bahkan wajib. Pranata adat adalah pranata yang “hidup” dan senantiasa menyesuaikan diri dengan keadaan materiil kelompok. Sifatnya yang hidup mengaburkan secara bersamaan predictability dan calculability.
Kondisi demikian tidak disukai kapitalis, termasuk DPM. Pranata adat, bila dibiarkan hidup “dengan sebenar-benarnya” berdampingan dengan proses akumulasi kapital, akan mendistraksi kepentingan kapital sepanjang jalan. Maka peminggiran pranata adat dan/atau memanipulasinya sehingga sesuai dengan kepentingan DPM menjadi suatu keharusan.
Perampasan Tanah dan Konflik Semu
Perampasan tanah sering disempitkan maknanya dengan penggusuran, kekerasan, dan semacamnya yang bernuansa “melawan hukum”. Apakah perpindahan hak yang memenuhi syarat legal-formal tidak dapat disebut sebagai perampasan tanah? Tentu bisa!
Adalah naif untuk melihat perpindahan hak atas tanah yang “resmi”, “sah” atau “legal” selalu berlangsung dalam posisi setara. Poin penting dari perampasan tanah adalah perubahan kontrol/penguasaan tanah sebagai penunjang akumulasi kapital. Karena itu tidaklah berlebihan untuk memvonis DPM melakukan manipulasi ke masyarakat supaya mau “membebaskan” tanah mereka. Di sini, apa yang dilakukan DPM dapat dilihat dalam konteks powers of exclusion atau kuasa eksklusi; mulai dari regulasi, pemaksaan, pasar dan legitimasi (Hall, Li, Hirsch, 2011).
DPM menggunakan narasi pembangunan dan kesejahteraan, dan di saat yang sama mengupayakan dirinya hadir sebagai malaikat yang mampu memberi kesejahteraan. Kuasa legitimasi diperoleh menggunakan basis moral yang diterima banyak pihak, dan lambat laun menjadi nalar wajar (common sense) di tengah masyarakat sekitar tambang.
Narasi seperti “DPM membuka lapangan pekerjaan bagi putra-putri Dairi” mulai tampak normal bahkan diterima. Ini terlihat dari adanya masyarakat yang pro-tambang. Mereka kerap mengusir aksi penolakan tambang dengan dalih “kami butuh pekerjaan,” “investasi akan membawa kesejahteraan,” dan lainnya. Investasi dan kesejahteraan berjalan beriringan dalam nalar wajar masyarakat lingkar tambang pasca-kehadiran DPM.
Masyarakat sebisa mungkin direkonstruksi menjadi kelompok-kelompok dengan kepentingan yang bertolak belakang. Masyarakat yang tidak mau menjual tanahnya, atau masyarakat penolak tambang, akan dilabeli sebagai kelompok anti-pembangunan, tidak mau maju, atau kolot. Fenomena demikian terjadi beberapa kali, dipakai kelompok masyarakat yang pro-tambang untuk mendukung kehadiran DPM.
Konflik yang terjadi di masyarakat semata-mata adalah konflik yang diciptakan DPM untuk memuluskan jalan bagi bisnis kotornya. Masyarakat dan pranata yang diakui secara tradisional terpinggirkan oleh akumulasi kapital. Apa yang dilakukan DPM tidak lain adalah perampasan tanah.
Untuk Gerakan yang Lebih Berkelanjutan
Saya ingin menutup tulisan ini dengan terlebih dahulu mengucapkan selamat dan apresiasi atas perjuangan masyarakat Dairi hingga akhirnya menang sengketa informasi data tambang di tingkat banding. Saya tak terlibat langsung, hanya ikut sekali dalam aksi di PTUN Jakarta, beberapa hari sebelum PTUN “memenangkan” masyarakat.
Saya melihat betapa masyarakat terorganisasi dengan baik dan konsisten, bahkan hingga putusan di tingkat banding di PTUN Jakarta. Beberapa bahkan terbang dari Dairi untuk memperjuangkan tanah mereka; memperjuangkan hidupnya sebagai sebuah komunitas, yang bukan tanpa tantangan. Meninggalkan sawah dan kebun untuk ikut dalam aksi sudah merupakan tantangan besar.
Data tambang memang harus transparan dan putusan PTUN Jakarta adalah kemenangan signifikan. Namun perjuangan dan perlawanan tidak boleh berhenti pada sengketa informasi.
Dari segala hal yang telah dilakukan DPM, kita dapat menyimpulkan bahwa kesalahannya bukan saja pada hal-hal administratif, melainkan kegiatan penambangan dan kehadiran DPM sendiri yang problematik. Tambang layak untuk ditolak.
Saya tetap yakin kalau keterbukaan informasi semakin membuka mata kita, bahkan mungkin menjadi dasar untuk mengusir DPM lewat jalur hukum, untuk kemudian menolak segala kegiatan tambang di Dairi. Tetapi yang harus diingat, syarat mendasarnya adalah memandang kehadiran DPM sebagai pelaku perampasan tanah.
DPM tidak hanya berisiko menimbulkan kerusakan ekologis, namun juga telah membuktikan daya rusak sosial yang besar. DPM memecah masyarakat menjadi pendukung dan penolak tambang. Maka mari lakukan penyadaran akan bahaya tambang lebih luas lagi. Advokasi hukum tidak akan pernah cukup, ia harus dibarengi penyadaran bahwa tambang akan merusak alat produksi masyarakat (tanah untuk pertanian), relasi sosial, hingga lingkungan hidup.
Apabila masyarakat menggunakan cara pandang demikian, maka gerakan penolakan tidak akan gampang mengalami delegitimasi. Kita tidak hanya mampu melihat dosa-dosa DPM dalam kerangka hukum, namun juga analisis ekonomi-politik. Begitulah semestinya perjuangan masyarakat di semua daerah yang juga berjuang melawan perampasan tanah mereka.
Kesadaran harus dibangun, dan daya rusak kapitalisme harus dipandang sebagai akibat dari sebuah sistem, bukan kasuistis. Solidaritas masyarakat harus terus terorganisasi dengan baik, sepanjang perampasan tanah atas nama investasi (akumulasi kapital) masih membayangi; sepanjang investasi masih menjadi indikator utama pembangunan di dunia neoliberal.
Referensi
Hall, Derek, Philip Hirsch, Tania M. Li. “Introduction to powers of exclusion: land dilemmas in Southeast Asia.” 2011.
Harvey, David. The Limits to Capital. Verso Books. 2018.
Manurung, Sandrak H. Penguasaan Tanah (Kajian Deskriptif Terhadap Kelompok Pendatang di Desa Bongkaras, Kecamatan Silima Pungga-pungga, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara). Universitas Sumatera Utara. 2009.
Weber, Max. Economy and society: An outline of interpretive sociology. Vol. 2. University of California press, 1978.
Dion Pardede, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara