Oetomo Ramelan: Wali Kota Merah dan Akrobatnya dalam G30S di Surakarta

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


JUMAT PAGI, 22 Mei 1959. Sekitar pukul 9, kantor Wali Kota Surakarta kedatangan seorang pengunjung dari Amerika Serikat. Oetomo Ramelan, Wali Kota Solo saat itu yang juga merupakan politikus Partai Komunis Indonesia (PKI), membeberkan pada sang tamu apa yang telah dicapainya setelah 15 bulan menjabat. 

“Wali Kota telah menggambarkan apa yang dia rasakan sebagai pencapaian terbesarnya, memperbaiki beberapa mil jalan dan membagikan obat-obatan kepada para dokter,” tulis Bernard Kalb dalam reportase untuk The New York Times edisi 19 Juni 1959. 

Tetapi Oetomo Ramelan tak cukup puas dengan apa yang sudah dia kerjakan. Menurutnya ada beberapa hal yang harus diperbaiki tapi sulit dan cukup terjal dilakukan. Dengan cepat ia menambahkan bahwa bahwa sumber masalah itu “bukan pada dirinya atau komunis.” Menurutnya, hal ini karena situasi secara umum buruk dan itu diakibatkan oleh kondisi ekonomi Indonesia.

Pukul 11 siang tiba. Wali kota merah telah menceritakan dirinya dan Surakarta selama berjam-jam.  “Sekarang saatnya orang pergi ke masjid,” ucap Oetomo Ramelan sembari menengok jam. “Saya sudah menceritakan kisah saya, jadi permisi.” 

Ia berjalan keluar dengan membawa harapan optimistis untuk Surakarta, sebelum akhirnya perubahan drastis terjadi pada 1965.


Jejak Samar Politikus Merah 

Oetomo Ramelan lahir di Sragen, Jawa Tengah, pada 9 Januari 1919. Tak seperti kalangan bumiputra lain, ia lahir dari keluarga keturunan bangsawan ternama. 

John Roosa dalam buku Buried Histories: The Anticommunist Massacres of 1965-1966 in Indonesia (2020) menyebut ayah Oetomo Ramelan pernah menjabat sebagai kepala kepolisian di Surakarta. Saudara-saudaranya juga berkedudukan tinggi. Oetoyo, kakak laki-laki Oetomo Ramelan , sempat meraih gelar sarjana hukum di Leiden dan kemudian hari menjadi bapak pendiri Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Kakaknya yang lain, Oetaryo, adalah seorang dokter. “Sedangkan kakak perempuannya, Oetami, menikah dengan sosok pendiri Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), Suryadi Suryadarma,” tulis John Roosa (2020: 127) 

Awalnya Oetomo Ramelan bekerja sebagai guru sekolah. Robyn J. dan John R. Maxwell (1989: 132) dalam bunga rampai To Speak with Cloth: Studies in Indonesian Textilles (1989, hlm. 132) mencatat bahwa Oetomo Ramelan mulai menerjunkan diri dan meniti karier di politik lokal pada akhir 1950-an. 

Pada saat itu, tahun 1957, Indonesia mengadakan pemilu daerah yang bertujuan memilih anggota DPRD dan DPD. Para legislator itu kemudian berhak memilih kepala daerah masing-masing. Hasilnya, PKI-lah yang keluar sebagai pemenang. Jika pada Pemilu 1955 hanya menempati peringkat ke-4 dengan perolehan suara 16,4%, maka kali ini mereka mendapat 27%. Tiga besar Pemilu 1955—PNI, Masyumi, NU—justru suaranya menurun. 

Setelah itu PKI menaruh wakil-wakilnya di banyak kota dan kabupaten, tak terkecuali Surakarta. Di kota tersebut PKI menang besar dengan perolehan 58% (146.000 suara). “Dengan suara ini, kaum komunis meraih 17 dari 30 kursi dewan Kota [Surakarta],” tulis The New York Times. Sementara Jawa Tengah sendiri adalah lumbung terbesar suara (2.706,893 suara).

Oetomo Ramelan-lah yang akhirnya ditunjuk untuk mengisi jabatan Wali Kota Surakarta. Ia resmi menjabat pada 17 Februari 1958.

Belum genap setahun Oetomo Ramelan menjabat, Surakarta dipilih sebagai tempat penyelenggaraan acara akbar: Kongres Nasional I Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Di samping merupakan sentra industri kecil bagi “buruh-buruh progresif”, Andika Krisna Wijaya dalam skripsi berjudul Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) di Surakarta Tahun 1950-1965  (2011: 32) menyebut Surakarta juga dipilih karena faktor Oetomo Ramelan. 

Tidak hanya jadi tuan rumah, kongres yang diselenggarakan pada 23-30 Januari 1959 itu juga mengangkat Oetomo Ramelan menjadi Ketua Kehormatan Lekra (Wijaya, 2011: 47). 

Di bidang pemerintahan, kebijakan yang ditempuh Oetomo Ramelan sebenarnya tidak bersifat radikal; dia hati-hati. Contohnya, ia enggan mengambil alih properti milik borjuis Surakarta. “Kaum nonkomunis, seperti para pengusaha batik yang kaya raya dan para pedagang di lingkungan Laweyan, tetap menjadi kekuatan yang kuat,” terang John Roosa (2020: 127). 

Tentu saja masalah yang dihadapinya tidak ringan. Segudang masalah menunggu diselesaikan. “Pusat pasar di Surakarta, Jawa Tengah. Kondisi pengangguran dan krisis kekurangan perumahan tidak membaik selama lima belas bulan pertama rezim komunis [Oetomo Ramelan] berkuasa,” demikian deskripsi singkat foto sebuah pasar kumuh di Surakarta dalam The New York Times edisi 19 Juni 1959 halaman tiga. 

“Sekitar 30 persen dari 100.000 angkatan kerja di Surakarta masih menganggur atau setengah-menganggur,” tulis surat kabar itu. Salah satu program yang kemudian muncul adalah membangun rumah murah. 

Pada 1963, Oetomo Ramelan bercita-cita membangun universitas negeri di kotanya. Walhasil berdirilah Universitas Kotapraja Surakarta (UPKS)—cikal bakal UNS. Dalam Mengajarkan Modernitas: PKI Sebagai Sebuah Lembaga Pendidikan (2016: 43), Ruth T. McVey menggarisbawahi “lebih dari setengah organisasi mahasiswa membangun UPKS, yang kemudian hari dikontrol Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI).” 


Bermain Api dalam Revolusi 

Angin kegagalan Dewan Revolusi dalam G30S 1965 berembus cepat dari Jakarta ke Surakarta.

Oetomo Ramelan secara gamblang mendukung apa yang dilakukan Dewan Revolusi sehari setelah peristiwa, 2 Oktober, menurut Ben. R. Anderson dan Ruth T. McVey dalam A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia (1971: 49). Pernyataan itu ia bacakan pada jam 6 sore di RRI Solo. “S. K. Wirjono, eksponen Lekra Surakarta, tampil di belakang Oetomo Ramelan dengan menandatangani pernyataannya,” terang keduanya.

Oetomo Ramelan telah terhanyut bermain api dalam revolusi lewat sepucuk pernyataan itu, sebuah langkah yang akan mengubah kondisi diri sendiri dan kotanya. 

Aidit, pemimpin partai, berlabuh ke Surakarta pada hari yang sama. Ia menggelar rapat antar-petinggi organisasi. Oetomo Ramelan hadir. Menurut buku Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara (2010) yang disusun Arif Zulkifli dan Bagja Hidayat, hasil rapat bertendensi “mendukung G30S dan partai harus melancarkan perjuangan bersenjata untuk mendukung gerakan Letnan Kolonel Untung tersebut.” Sementara di luar rapat itu, “… seluruh organisasi-organisasi kiri mengekor mendukung G30S,” tandas John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (2008: 77). 

Pada waktu itu juga Mayor Iskandar memelopori pembentukan Dewan Revolusi Surakarta, “sesuai dengan instruksi yang dikeluarkan dalam proklamasi kedua Untung” (Anderson dan McVey, 1971: 49). Dengan menyandang titel sebagai Ketua Dewan Revolusi Surakarta, Mayor Iskandar segera mengumandangkan, seperti John Roosa tulis, perintah penangkapan. “[Mayor Iskandar] memerintahkan prajurit-prajurit yang setia kepadanya untuk menahan perwira komandannya, Letnan Kolonel Ezy Suharto, kepala staf Korem (Komando Resort Militer) Solo, Kapten Parman, dan seorang perwira lain, Letnan Kolonel Ashari.” Mereka dianggap lamban dan malu-malu untuk mendukung G30S. 

Hari berikutnya, 3 Oktober, kekacauan politik semakin menjadi. Menurut Helen Jarvis dan Usamah dalam artikel di jurnal War and Humanity; Notes on Personal Experience, anggota Pemuda Rakyat, bermodalkan senjata chung, muncul di setiap penjuru kota: dari Semanggi, Kampong Sewu, dan Medjo. Mereka berseliweran di jalan-jalan Pasar Kliwon, Gading bahkan sampai ke ujung Purwosari. “Dari waktu ke waktu mereka meneriakkan: ‘Hancurkan Dewan Jenderal’. Ekspresi arogansi terpancar dari wajah mereka, mungkin karena kebanyakan dari mereka membawa senjata,” terang Helen Jarvis dan Usamah (1970: 90). 

Helen Jarvis dan Usamah menuding Oetomo Ramelan terlibat mengatur persiapan teror G30S. Kemudian, ketika kondisi sudah terdesak, Oetomo Ramelan mencoba memindahkan markasnya ke Baluwarti—benteng Keraton Kasunanan.

Puncak terkurungnya ruang gerak Oetomo Ramelan terjadi ketika Surakarta telah dikuasai oleh RPKAD sekitar 20 Oktober. Harold Crouch dalam buku The Army and Politics in Indonesia (2007: 150) menyebut Kolonel Sarwo Edhie, yang memulai misi pengganyangan PKI, sempat meringkus Oetomo Ramelan di Surakarta. Akhirnya, “22 Oktober, ia ditangkap dan ditahan di Markas AURI Panasan,” tulis A. K. Wijaya (2011: 108). 

Apa yang terjadi setelahnya gelap. Oetomo Ramelan tak diketahui rimbanya. 


Alvino Kusumabrata, pelajar kelas dua belas SMA di Kota Surakarta

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.