Ilustrasi: Tribute Asia
9 AGUSTUS 2022. Saya, bersama kawan-kawan dari kelompok lintas fakultas Universitas Bangka Belitung (UBB) bernama Gerakan Mahasiswa Melawan (Geraman), sepakat menyambut mahasiswa baru dengan cara tidak biasa. Kami mengokupasi acara Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB). Bersenjatakan spanduk dan poster, kami beriringan masuk ke area acara kemudian melakukan orasi.
Kami memprotes kekacauan yang terjadi di UBB, yang semestinya diketahui mahasiswa baru sejak awal. Dari mulai represi pejabat kampus, mahal dan tidak transparannya uang kuliah, fasilitas yang tidak lagi memadai, sampai birokrasi yang cenderung rumit.
“Kita harus mulai berlawan untuk merebut hak berkuliah tanpa takut tingginya beban biaya pendidikan; terbebas dari tindakan pengekangan kebebasan berserikat dan berpendapat yang dilakukan oleh segenap otoritas universitas. Perlu ada yang bergerak memulai pertentangan; dan penting menuntut otoritas untuk bertanggung jawab memenuhinya,” demikian kira-kira yang kami sampaikan.
Apa yang kemudian terjadi jauh dari harapan. Otoritas universitas malah mengelak fakta tentang sulitnya mahasiswa mengakses layanan keringanan uang kuliah dan sukarnya mengadakan kegiatan kolektif tanpa intervensi. Lebih jauh dari itu, mereka justru melumpuhkan gerakan kami dengan serangkaian cara yang melanggar prinsip dan tradisi akademik, yakni mendemonisasi kami sebagai sekelompok penyusup yang mencoba memantik kerusuhan. Badai pembungkaman masif memorak-porandakan gerakan kami.
Dua pekan setelah penyambutan, 23 Agustus, sebanyak 32 mahasiswa anggota aliansi mendapat surat pemanggilan dari kampus, tepatnya Tim Disiplin Mahasiswa. Mereka diperiksa karena dianggap melanggar peraturan rektor, yang tepatnya berbunyi: “melakukan suatu perbuatan/aktivitas/provokasi yang dapat menimbulkan hambatan terhadap kegiatan akademik maupun kegaduhan dalam kampus.” Selain itu juga “menghasut atau membantu orang lain untuk ikut dalam suatu kegiatan yang mengganggu atau merusak fungsi dan tugas UBB sesuai peraturan yang berlaku.”
Di dalam kelas, para dosen yang mengemban jabatan di level jurusan menggunakan cara-cara dogmatis dan bernuansa intimidatif untuk menyilaukan pandangan sebagian besar mahasiswa. Di balik ceramah tentang nilai-nilai kebajikan, moralitas dan kesucian intelektual, terselip proses demonisasi terhadap gerakan kami. Mereka menyebut kami sebagai kelompok “tukang demo” yang hobi berorasi tanpa mengindahkan budaya sopan santun, tak mau mentaati peraturan dan berkarakter arogan.
Untuk membuat takut mahasiswa lain berpartisipasi dalam gerakan kami, mereka kerap menggunakan ancaman pengurangan nilai dan sanksi akademik. Bagi mahasiswa baru, ancamannya adalah tidak akan diluluskan PKKMB. Beredar pesan bahwa tanpa sertifikat PKKMB seorang mahasiswa tidak akan diluluskan menjadi sarjana. Bahkan beberapa mahasiswa diancam tidak akan diterima pengajuan keringanan biaya kuliahnya jika mengikuti protes.
Pada masa tersebut, selain di 9 Agustus, aliansi memang kerap menyelenggarakan mimbar bebas–ekspresi yang oleh seorang dosen disebut sebagai “kegiatan tidak jelas” via aplikasi pesan instan.
Hari berlalu dan akhirnya keputusan kampus muncul juga. Pada 12 Oktober, beberapa mahasiswa dipanggil dekan masing-masing dan diberikan surat keputusan sanksi. Dengan dalih mengganggu ketertiban, kampus menskors sembilan mahasiswa, termasuk saya. Kami tidak diperkenankan memasuki area kampus, mengikuti kuliah, praktikum, ujian bahkan bimbingan skripsi selama satu-tiga bulan.
Ringan tangan
Pembunuhan karakter dan pencabutan hak mahasiswa seperti momen di muka bukanlah peristiwa pertama dalam sejarah UBB. Masih pada tahun ini, Juli kemarin, 122 mahasiswa dari Fakultas Teknik disanksi secara sepihak oleh dekanat karena melewati ketentuan batas jam malam ketika mengadakan kegiatan “Latihan Kepemimpinan”.
Ini adalah acara kaderisasi yang sebenarnya rutin dilaksanakan setiap tahun. Tahun ini panitia memutuskan menyelenggarakannya secara offline seperti sebelum Covid-19. Panitia menyampaikan segala pertimbangan dan dekan menolaknya mentah-mentah dengan alasan meragukan keamanan kampusnya sendiri. Setelah itu dekan menutup pintu komunikasi, bahkan mengancam akan membenturkan mahasiswa dengan satpam apabila acara tetap dilaksanakan.
Setelah berdiskusi dengan pimpinan organisasi mahasiswa lingkup fakultas yang lain, panitia memutuskan menyelenggarakan kegiatan puncak di luar kampus. Tapi acara di luar kampus pun coba dibubarkan menjelang sore 29 Mei. Penyelenggara enggan bubar karena toh dekan tidak memfasilitasi kegiatan di dalam kampus. Kegiatannya sendiri selesai dengan aman.
Setelah itu yang kami terima adalah sanksi yang berlebihan dan tidak sepatutnya. Sebanyak 33 panitia mendapat sanksi sedang, yaitu mengulangi mata kuliah dan melakukan kerja sosial di dalam kampus selama satu semester; lalu 89 lainnya, yang berstatus peserta, disanksi ringan yaitu teguran tertulis (padahal sebelumnya dekan mengatakan peserta tidak akan memberikan sanksi kepada peserta, bahkan ada yang disanksi, padahal tidak ikut kegiatan).
Sanksi lain dijatuhkan kepada Gubernur dan Wakil Gubernur Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FT. Keduanya diberhentikan secara tidak hormat per 16 Juni. Orang yang dipilih secara demokratis oleh mahasiswa dicopot oleh otoritas tanpa dasar hukum yang jelas.
Sanksi kampus cacat prosedur, dan kami sudah tahu itu sejak awal. Tapi dekanat enggan mengutamakan pendekatan dialogis sebagai cara menyelesaikan persoalan. Audiensi yang diupayakan BEM FT setelah ketua dan wakilnya disanksi selalu tidak dipenuhi dengan beragam alasan, dari mulai sedang mengurus akreditasi sampai pesan hanya dibaca.
Pejabat di tingkatan jurusan lingkup FT juga memperkeruh suasana dengan mendiskreditkan para mahasiswa tersebut sebagai orang-orang “tak beradab”, “pimpinan fasis”, dan kategori negatif lainnya.
Untuk semua persoalan ini, rektor bergeming.
Bahkan setelah Ombudsman Bangka Belitung–BEM FT melapor ke instansi ini–telah menyatakan bahwa surat keputusan sanksi malaadministrasi, baik dekan sampai rektor tidak bertanggung jawab dengan mencabut seluruh hukuman dan mengembalikan hak mahasiswa yang telah dirampas, dari mulai keikutsertaan dalam program pengabdian masyarakat, nilai mata kuliah, sampai beasiswa.
Oleh karena sikap demikian itulah kami mengekspresikan puncak kemarahan dengan mengokupasi acara PKKMB. Kami menuntut pencabutan sanksi terhadap 122 mahasiswa FT yang dirumuskan secara serampangan, juga sekaligus menuntut pembukaan akses keringanan biaya kuliah. Namun ternyata mereka membalas dengan serangan yang tak patut dibenarkan.
Tetap melawan
Kami merasa tidak ada lagi harapan untuk mencari keadilan di dalam kampus. Watak otoritas universitas anti-kritik dan represif. Tangan besinya bagaikan api dalam sekam yang dapat kapan pun menyingkirkan berbagai pihak yang mengambil bagian dalam perlawanan.
Daripada membiarkan momen-momen menjijikkan yang terjadi di dalam kampus bergerak kian tak terbendung, kami memutuskan berangkat ke Jakarta untuk mengirim laporan pengaduan kepada Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada 10 November 2022.
Di Jakarta pula kami mencoba menggalang solidaritas yang lebih luas dari kalangan pemuda-mahasiswa, akademisi, dan kaum buruh.
Ditopang oleh solidaritas Komite Revolusi Pendidikan Indonesia (KRPI), BEM SI Kerakyatan, Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) dan Koalisi Pendidikan Nasional (KPN), kami membuat petisi online, meramaikan pemberitaan nasional, dan ditutup dengan aksi massa dalam momentum Hari Pelajar Internasional pada 17 November. Mahasiswa UBB yang lain bahu-membahu mengorganisir kekuatan, menyebarkan pamflet kritik, dan aksi simbolik di dalam kampus.
Serangkaian tekanan begitu besar membanjiri otoritas universitas untuk segera memenuhi tuntutan kami.
Namun, sekali lagi, otoritas UBB tetap merasa suci dari kesalahan. Di sela periode perjuangan kami di Jakarta, mereka masih sempat untuk mengelak sekalipun kesalahannya amat terang. Pada 14 November, muncul rilis dari biro humas rektorat yang berusaha menyangkal fakta kasus sanksi 131 mahasiswa. Hal ini tentu saja menciptakan pertanyaan yang juga mengandung kekhawatiran: Sampai batas mana otoritas universitas baru akan tersentuh hukum atas perbuatannya?
Upaya kami melapor kepada beberapa lembaga negara juga belum menemukan hasil yang signifikan, apalagi ada tanda-tanda perubahan. Komisi X DPR tidak memberikan jawaban; komunikasi dengan Komnas HAM terputus tanpa alasan; dan Kemendikbud yang berjanji akan menuntaskan persoalan dalam waktu cepat saat bertemu dengan kami tidak pernah mengabarkan perkembangan apa pun.
Memang, masa seluruh sanksi kami akan habis tahun depan. Itu artinya kami juga sudah bisa mengikuti perkuliahan. Hanya saja, seluruh pengalaman menghadapi kampus yang berwatak anti-kritik dan represif, kemudian kondisi 131 mahasiswa pasca terkena sanksi, dan sulitnya menemukan keadilan telah membuat imajinasi kami tentang kampus sebagai lembaga epistemik telah berantakan.
Ricky Kuswanda, mahasiswa Universitas Bangka Belitung