Ilustrasi: Jonpey
MENDENGAR kata pesantren, yang segera terpatri dalam benak kita adalah tempat belajar agama yang diasuh oleh kiai yang tawadhu, zuhud dan alim; para santri yang shaleh dan bersahaja, serta lingkungan belajar yang tenang dan khidmat. Tapi, bagaimana jika seluruh gambaran dan imajinasi memesona itu tidak sepenuhnya benar? Bagaimana jika di balik keindahan, ketenangan dan kesederhanaan itu terjadi tindakan asusila? Persisnya aksi kekerasan seksual yang dilakukan oleh otoritas tinggi dalam pesantren yang seringkali berceramah soal moral dan akhlakul karimah?
Inilah yang terjadi di pesantren Shiddiqiyah, Jombang, Jawa Timur. M. Subchi Azal Tsani (MSAT), putra Mursyid Tariqat Shiddiqiyyah, melakukan kekerasan seksual terhadap para santrinya. Dari belasan korban yang mengaku mendapat kekerasan seksual, lima di antaranya berani melaporkan kasusnya ke pihak kepolisian. Keseluruhannya adalah teman dekat saya.
Ceritanya, pada 2012 saya mendapat pengakuan dari teman saya yang telah dipaksa berhubungan seksual oleh MSAT. Ia menjelaskan dengan detil tindak asusila yang dilakukan MSAT. Jika para santri ini menolak ajakan berhubungan seksual, mereka akan dianiaya oleh MSAT. Saya saksikan tubuh yang mengalami luka memar di punggung, kaki dan pelipis wajahnya akibat penganiayaan itu.
Bertahun-tahun korban hanya diam, bercerita ala kadarnya kepada lingkaran terdekat yang ia percaya, dan melakukan pemberontakan-pemberontakan kecil di internal pesantren. Namun, upaya-upaya ini dengan cepat dipadamkan oleh MSAT, sehingga kasus ini tidak terbongkar ke publik luas.
Lima tahun kemudian, pada 2017 saya dan beberapa kawan diamanahi oleh MSAT untuk menjadi relawan klinik yang dirintisnya. Dari sana kami menyaksikan berbagai hal janggal. Misalnya, MSAT mengajak kami minum wine, mewajibkan menginap di wilayah yang terpencil di tengah hutan, wawancara empat mata di sebuah ruang khusus, hingga ritual mandi dengan hanya memakai kemben. Kawan yang saya singgung sebelumnya hanya berpesan untuk hati-hati dan waspada. Karena berbagai kejanggalan tersebut, saya memutuskan mengundurkan diri dari klinik tersebut. Meski MSAT melarang, saya tetap pada pendirian.
Tak lama kemudian, saya mendapat pengakuan dari dua relawan yang bertahan dalam klinik tersebut. Mereka diperdaya oleh MSAT dengan memintanya untuk berhubungan seksual dengan dalih ajaran ilmu khusus. Tak hanya itu, MSAT mengaku mampu menikahkan dirinya sendiri, sehingga ia bisa halal berhubungan seksual dengan siapa saja dan hal tersebut dianggapnya sah secara agama.
Setelah peristiwa nahas tersebut, saya dan kawan-kawan merasa bahwa apa yang dilakukan MSAT sudah keterlaluan dan harus dihentikan supaya tidak terjadi pada santri-santri yang lain. Kami mencari keadilan dengan melaporkan MSAT kepada ayahnya, yang notabene adalah pimpinan pesantren Shiddiqiyyah. Namun kesaksian kami tidak dipercaya. Kami dituduh membuat fitnah, lalu dikeluarkan dari pesantren. Tidak hanya itu, foto kami disebar dan kami disebut sebagai musuh yang hendak menghancurkan pesantren Shiddiqiyyah. Semua santri Shiddiqiyyah percaya kepada pimpinan pesantren tersebut, semua tunduk, tak ada yang membantah, apalagi meminta klarifikasi soal kebenaran kasus kekerasan seksual yang dilakukan MSAT.
Tak putus asa, salah satu korban mencoba mencari keadilan dengan melapor ke Kepolisian Resort Jombang pada Mei 2018. Saya mendukung pelaporannya dengan menjadi saksi. Akibat dari pelaporan tersebut, kawan saya ini mendapat teror dan ancaman yang bertubi-tubi dari pihak MSAT, hingga ia memilih untuk mencabut laporannya.
Tak patah arang, saya pun maju menjadi pelapor, dan korban lain menjadi saksi. Namun laporan tersebut tak kunjung ada kejelasan. Hingga akhir Oktober 2019, saya bersama korban lain mendatangi Kepolisian Resort Jombang untuk melakukan pelaporan ulang, kali ini saya berstatus sebagai saksi. Pada 12 November 2019 akhirnya MSAT ditetapkan sebagai tersangka.
Tapi MSAT tetap bebas beraktivitas seperti biasanya. Bagi kami sebagai korban, ini tidak mencukupi. Karena itu berbagai upaya advokasi seperti demonstrasi, bersurat ke pejabat, membuat petisi, hingga meramaikan pemberitaan di media kami lakukan. Tujuannya membuat tersangka MSAT segera ditangkap. Di sisi lain, pihak MSAT dan jamaah Shiddiqiyyah semakin memperkuat barisan. Mereka menuduh bahwa pelaporan korban adalah fitnah. Mereka juga membuat narasi bahwa pesantren sedang dikriminalisasi.
Pada 9 Mei 2021, saya mengunggah status di media sosial yang berisi kekesalan atas perkembangan hukum MSAT. Karena status tersebut, saya menjadi korban penganiayaan, perampasan, diancam tindak pidana ITE, dan dilaporkan melakukan perusakan mobil oleh jamaah Shiddiqiyyah. Tidak hanya itu, jamaah Shiddiqiyyah juga mengepung rumah orang tua saya selama dua hari dua malam, sampai-sampai orang tua saya merasa terancam dan harus meminta perlindungan pada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Penganiayaan pada diri saya membuat kasus MSAT semakin ramai diberitakan oleh media. Hasilnya kasus Kekerasan Seksual ini dinyatakan lengkap dalam pemberkasan, dan MSAT berstatus daftar pencarian orang (DPO) sejak awal Januari 2022.
Rangkaian pertistiwa ini, sayangnya, tak jua memengaruhi keyakinan para jamaah bahwa MSAT tidak bersalah dan sehingga mereka tetap tunduk patuh kepadanya. Para jamaah bahkan bertindak berlebihan dengan menghalangi aparat kepolisian, berdemonstrasi, memblokade jalan, serta berbuat kekerasan kepada saya, korban, dan orang-orang yang turut mengadvokasi kasus ini. MSAT sendiri masih bisa beraktivitas seperti biasa, mengisi acara pengajian, dan melakukan konser musik. Ia bahkan sempat mengajukan praperadilan meskipun kemudian ditolak hakim karena bukti-bukti sudah lengkap. Di sisi lainnya, aparat kepolisian juga tidak bisa segera menangkap MSAT, sehingga menebalkan keyakinan para jamaah Shiddiqiyyah bahwa MSAT hanyalah korban fitnah.
Buat saya, kepercayaan buta para jamaah Shiddiqiyyah bahwa MSAT selalu benar, sempurna dan tanpa cacat sedikitpun sungguh menggelikan. Mereka lupa bahwa MSAT adalah manusia biasa layaknya manusia lainnya, makhluk yang bersifat material. Roy Murtadho dalam tulisannya ”Rizieq, Kaum Muslim dan Problem Materialisme” menjelaskan bahwa komponen pembentuk manusia tak jauh berbeda dengan komponen pembentuk semua hewan di dunia, dan karenanya manusia dan hewan mempunyai perilaku yang mirip: makan, minum, buang air, sedih, bahagia dan berhasrat seksual. Aktivitas-aktivitas ini, termasuk aktivitas seksual, karenanya adalah hal yang wajar dan normal bagi manusia. Menjadi tidak wajar dan tidak normal ketika aktivitas seksual itu dilakukan dengan menggunakan paksaan, tipu daya, atau dengan dalih keagamaan tertentu.
Dengan pemahaman ini, semua manusia bisa menjadi pelaku dan juga korban kekerasan seksual, tidak peduli siapa orangnya dan status sosialnya. Tak terkecuali MSAT. ***
Tsamrotul Ayu Masruroh, Penulis adalah bagian dari gerakan Front Santri Melawan Kekerasan Seksual
…..