Rizieq, Kaum Muslim dan Problem Materialisme

Print Friendly, PDF & Email

SEPERTINYA kegaduhan politik di Ibukota belum kunjung reda. Masih akan ada banyak lapisan kegaduhan, intrik, gosip dan fitnah, yang entah dimana ujungnya.

Tak lama setelah Ahok dijebloskan ke penjara atas dakwaan penodaan agama, kini isu pesan berkonten pornogafi yang melibatkan imam besar FPI, Rizieq Shihab, dengan seorang perempuan bernama Firza Husein, tengah menjadi gosip yang paling banyak diperbincangkan.

Para pendukung Rizieq menganggap gosip ini sebagai semata-mata upaya menjatuhkan kredibilitas Rizieq sebagai seorang pimpinan ormas Islam sekaligus keturunan Nabi yang sangat dihormati. Bahkan lebih jauh, tak sedikit yang menganggap bahwa gosip ini dihembuskan oleh musuh Islam untuk menjatuhkan agama Islam. Seperti umumnya cara berpikir salah kaprah, banyak orang beranggapan bawah kritik atas seorang tokoh agama sebagai musuh agama dan musuh Allah. Kita tak perlu membuang energi merunut dan membuktikan bagaimana cara berpikir semacam itu dibangun. Anak Madrasah Diniyah Awwal yang telah belajar Mantiq pasti tahu kalau pikiran semacam itu keliru dan keluar dari kaidah logika formal.

Beberapa pendukung Rizieq (tak hanya FPI), sebagaimana saya lihat dalam beberapa perdebatan media sosial Facebook, mengatakan kurang lebih begini: ‘bagaimana mungkin seseorang yang konon katanya keturunan seorang Nabi berbuat cabul’. ‘Ah, ini jelas ulah kaum kafir untuk menjatuhkan Islam. Saya tak percaya kalau Habib Rizieq mengeluarkan kata-kata cabul untuk menggoda seorang janda. Beliau ini seorang ulama, seorang habib. Kalau mau beliau bisa menikahi perempuan yang jauh lebih cantik ketimbang Firza.’ Dan ungkapan-ungkapan lainnya yang senada.

Jangan buru-buru berburuk sangka! Saya tak hendak menepis keyakinan kokoh pendukung Rizieq yang percaya bahwa Rizieq tak melakukan tindakan kotor. Wajar saja, dimana-mana kerumunan fans selalu menganggap idolanya selalu benar dan tanpa cacat. Ini juga berlaku pada kerumunan fans lainnya.

Jujur, saya sendiri sampai sekarang berpikir positif bahwa Rizieq memiliki kualitas pribadi di atas rata-rata manusia biasa seperti saya, sehingga kecil kemungkinan dirinya terjatuh pada perilaku amoral. Apalagi selama ini kita tahu, ia menempatkan dirinya sebagai garda depan musuh apa-apa yang dianggap amoral.[1] Bahkan lebih spesifik kategori amoral yang diperjuangkan Rizieq dan FPI adalah soal pornografi dan miras. Jadi, rasanya sulit bagi saya, percaya, orang yang menjadi simbol penjaga moralitas justru melakukan tindakan sebaliknya.

Tapi kita tak boleh naif dan kekanak-kanakan.

Rizieq dan whoever is that adalah manusia sebagaimana manusia lainnya. Ia adalah makhluk sebagaimana makhluk lainnya yang material. Ia tersusun dari komponen-komponen yang sama dengan manusia dan makhluk lainnya. komponen-komponen pembentuk manusia tak jauh beda dengan komponen seluruh hewan di dunia. Tak jauh beda dengan monyet, kucing dan anjing. Tentu dengan tingkat kualitas yang berbeda-beda. Namun tak bisa dibantah bahwa tubuh kita memiliki bahan baku yang sama dengan hewan dan mempunyai perilaku alamiah yang sama pula: makan, buang air, marah, berhasrat dengan lawan jenis.

Inilah yang akan kita perbincangkan lebih jauh. Alih-alih membahas benar tidaknya pesan berkonten pornografi antara Rizieq dan Firza, justru sebisa mungkin kita angkat gosip murahan yang tengah menjadi gaduh ke taraf yang lebih tinggi: pengetahuan tentang materialisme.

Tapi mengapa kita harus menyinggung Rizieq di sini?.

Ada dua hal yang memotivasi saya untuk membahas gosip murahan ini: pertama, tantangan pada diri sendiri untuk berani membongkar diri sendiri sebagai manusia yang seringkali menyembunyikan kedurjanaan dirinya dari balik topeng dogma. Jadi, sesungguhnya kita tak tengah membicarakan Rizieq semata, tapi juga membicarakan yang lainnya, termasuk diri saya di dalamnya. Kedua, menunjukkan betapa pentingnya cara pandang materialis dalam melihat gejala dunia yang seringkali dioposisikan sebagai musuh iman dan semata cara pandang dunia kaum ateis.

***

Dalam kesadaran kaum beragama, termasuk kaum muslim, materialisme selalu ditampik dan dituduh sebagai musuh iman. Meski demikian, anehnya, materialisme tak pernah benar-benar bisa ditanggalkan oleh manusia manapun di dunia ini. Ia selalu melekat dan menjadi prasyarat hidup. Bahkan kehidupan itu sendiri.

Agar tak dianggap gegabah, semborono dan melecehkan Ulama baiklah, kita tinggalkan sebentar Rizieq. Saya akan menceritakan diri saya sendiri.

Pada suatu sore yang gerimis, selepas sholat ashar berjamaah dengan istri, seperti biasa, kami habiskan waktu dengan berbincang-bincang ringan mengenai kehidupan kami dan banyak hal lainnya. Mulai soal jemuran rusak, genteng bocor, uang penghasilan yang tak seberapa yang lebih banyak habis saya pakai keliling-keliling ketimbang buat tabungan rekreasi keluarga hingga soal hakikat hidup.

Sambil bercanda saya bertanya ke istri: ‘seandainya tubuhku tak ada apakah engkau akan mencintaiku atau cemburu padaku ketika aku dekat dengan perempuan lainnya? Atau jika aku tak pernah ada, apakah mungkin cintamu padaku itu ada?’

‘Tak mungkin’, dengan mantap ia menjawabnya.

Kalau begitu mungkin tidak kalau dikatakan perasaan cinta dan cemburu itu sebagai bukan sesuatu yang material?’

Tentu tidak bisa’, katanya.

Mungkin pertanyaan ini terdengar absurd dan mengada-ngada. Tapi ini pertanyaan fundamental. Lebih lanjut saya katakan padanya: ‘Bagaimana mungkin engkau menangis, bahagia dan cemburu, atau baper kalau tubuhmu tak pernah ada dan yang kau cintai, atau yang kau cemburui tak pernah ada. Artinya, perasaan cintamu, cemburumu tak bisa tidak dibentuk oleh realitas yang material, oleh kebendaan atau kebertubuhanmu dan kebertubuhanku. Maka hakikatnya perasaanmu yang kau sebut sebagai psikologis atau konflik batin itu juga bukan sesuatu yang berada di luar yang materi melainkan yang materi itu sendiri. Semua perasaan kita dimungkinkan atau dideterminasi oleh yang materi’.

Apa yang hendak saya katakan adalah apapun argumentasi yang kita pakai, manusia tak bisa melepaskan dirinya dari yang materi, karena sesungguhnya ia adalah yang materi itu sendiri. Dengan ini, maka wajar saja dan biasa saja kalau ia mempunyai hasrat libidinal pada manusia lainnya. Atau anggap saja ada manusia-manusia agung yang mampu dengan luar biasa mengekang hasrat libidinalnya, tapi apakah mampu ia tidak makan selama setahun sembari mempertahankan kesadaran dirinya. Apakah mungkin ada manusia beragama seperti saya ini mempertahankan kesadarannya akan Tuhan tanpa sama sekali makan? Atau apakah mungkin konsep angka sepuluh lahir tanpa pernah ada jumlah jari-jari manusia yang jumlahnya sepuluh? Seandainya jumlah jari-jari manusia hanya lima, sudah pasti konsep angka sepuluh tak pernah ada di dunia ini.

Istri saya yang tumbuh dalam keluarga pietis yang ketat, tentu saja antara menerima dan tidak kenyataan ini. Jika menerima cara pandang materialis, mau tak mau ia harus mengakui bahwa manusia tak jauh beda dengan hewan dengan sedikit kualitas lebih baik. Manusia dengan susunan otak yang lebih sempurna mampu berpikir dan membangun kebudayaan sementara hewan tidak. Manusia bisa mengekang hasrat libidinalnya melalui apa yang disebut Freud dengan ego dan super ego, hewan tidak. Kesadaran manusia dideterminasi oleh kebertubuhannya, bukan sebaliknya. Bisa dibayangkan, betapa ajaibnya, ada kesadaran tanpa ada tubuhnya.

Jika masih tak percaya, siapapun boleh mencoba mempraktikkan. Tenggaklah racun dengan dosis tinggi, pasti kesadaran Anda akan hilang. Atau minumlah aspirin sekarung pasti konslet kepala Anda dan akan sulit bicara atau bekerja dengan benar. Bahkan konsep Tuhan yang beragam dalam tradisi agama-agama juga dimungkinkan oleh pengalaman material yang berbeda-beda.

Jauh sebelum gosip Rizieq ada, atau kontrak-kontrak politik oknum elit agama dengan Tommy Suharto ada, hukum dunia: materialisme, sudah ada. Ini persis sama dengan hukum dunia lainnya. Sejak mulai Nabi Adam, Sidharta Gautama, Musa, Yesus dan Nabi Muhammad, gravitasi bumi sudah ada. Hanya saja, sebelum Newton menemukannya tak ada orang yang menyadarinya. Bahkan seandainya Newton tak pernah dilahirkan atau tak pernah menemukannya, hukum gravitasi bumi tetap ada.

Problem materialisme menjadi penting untuk kita unggah kembali dalam kesadaran beragama kita di tengah tantangan kontemporer hari ini, agar kita tetap beragama dengan waras sekaligus sebagai penangkal parade ketololan yang tengah dipertontonkan di muka kita.

Lagi-lagi Rizieq dan siapapun juga hanyalah manusia biasa sebagaimana umumnya. Maka kita tak perlu berlebihan memujanya, apalagi menganggapnya tak mungkin salah. Ia bukan manusia suci. Kalaupun ada manusia yang dianggap suci, bukan karena ia mampu keluar dari materialitas dirinya. Ia dianggap suci karena dimungkinkan oleh kemampuannya mendisiplinkan hasrat-hasrat badaniahnya untuk menggayuh nilai hidup yang lebih tinggi. Tak lebih dari itu.

Misalnya, ada orang bertapa, tidak melakukan hubungan seksual, tidak banyak makan, hidup sederhana, itu dilakukan semata-mata untuk melatih diri atau mendisplinkan diri agar tak terjatuh pada banalitas yang tak jauh beda dengan hewan. Meski demikian, ia tak pernah benar-benar mampu menanggalkan materialitas dirinya.

Sedemikian, kaum muslim tak perlu marah dan mengira ada konspirasi kaum kafir untuk menghancurkan Islam, seandainya benar ada elit Islam yang terjatuh pada tindakan cabul. Ya, itu biasa saja. kalau ada seorang lelaki dewasa, siapapun dirinya, pangkatnya, berhasrat dengan perempuan itu hanya menandakan satu hal: secara hormonal ia sehat. Hanya saja, yang menjadi persoalan adalah, seandainya ada seseorang yang gemar gembar gembor soal moral justru dirinya sendiri bertindak amoral. Ini pula yang membikin heboh gosip kata-kata cabul Rizieq. Seandainya saja ia jujur bahwa sedang menuruti hawa nasfunya atau kesenangan dirinya, dan mengaku bersalah telah mengkhianati janji setia dengan pasangannya, tentu kita hargai. Karena sebenarnya secara implisit, ia mengakui bahwa dirinya hanyalah manusia yang material sebagaimana umumnya. Ia bukan orang suci yang selalu benar sebagaimana selama ini disangka banyak orang.

Sekali lagi inilah pentingnya materialisme. Agar kita tidak kebablasan.

Kita ingat, dulu sahabat Umar sangat marah dan seketika menghunuskan pedangnya ketika ada seseorang yang datang kepadanya membawa kabar wafatnya Rasulullah. Namun Umar segera sadar bahwa Rasulullah adalah manusia yang bisa mati seperti manusia lainnya. Ia bukan Tuhan yang immortal.

***

Menganggap elit Islam otomatis benar, dan tidak mungkin salah, tentu menyalahi prinsip dalam Islam yang menganggap manusia sebagai rumah kesalahan. Menganggap keturunan Nabi atau keturunan Ulama lebih tinggi derajatnya ketimbang manusia lainnya juga menyalahi prinsip dalam Islam yang memerintahkan untuk memuliakan semua manusia, tanpa memandang ras dan agamanya.

Jika tidak, maka kaum muslim akan terus menerus terjebak pada kontradiksi internal antara yang seharusnya dan senyatanya. Jika ini tak bisa dilampaui oleh kaum muslim hari ini, maka kita tak bisa membayangkan akan muncul perdebatan ilmiah yang mampu menjelma obor pencerahan (at-tanwir) bagi matinya kewarasan, sebagaimana dulu, perdebatan antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd.

Meski saya tidak setuju pada ortodoksi Islam Al-Ghazali, yang oleh para ahli sejarah pemikiran Islam dianggap sebagai tanda dari kemundurun Islam, namun harus diakui Al-Ghazali bertarung gagasan dengan elegan, bukan dengan cara memerintahkan segerombolan orang untuk memukuli pemikiran orang yang berbeda. Mewakili kaum sunni ortodoks, Al-Ghazali melancarkan perlawanan atas berbagai kecenderungan pemikiran dominan waktu itu. Ia kritik filsafat, khususnya metafisika dan kosmologi, juga kaum fuqaha yang senang menjadi bagian dari kekuasaan. Melalui kitab terkenalnya Faishal at-Tafriqah baina al-Islam wa al-Zindiqah ia kritik metode-metode takwil alegoris kaum batiniyah. Sementara melalui Tahafut al-Falasifah ia tabuh genderang kritik pada pemikiran para filsuf paripatetik yang tengah berkembang waktu itu.

Pemikiran Al-Ghazali, demikian juga dengan Ibn Rusyd yang melancarkan kritik balik pada Al-Ghazali sebagai bentuk pembelaannya atas pemikiran paripatetisme, menandakan satu hal bagi kita: perdebatan ilmu pengetahuan jauh lebih bermartabat ketimbang menebar fitnah dan caci maki dalam memperjuangkan kebenaran Islam. Bahkan kelak pandangan humaniste (kemanusiaan) yang diusung Ibn Rusyd merembes ke dalam pemikiran dan kesadaran historis masyarakat Barat melalui penerjemahan dan telaah atas pemikirannya di pusat-pusat pengetahuan dan kebudayaan di Eropa di masa fajar baru pencerahan.

Perdebatan dan saling kritik antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd dimungkinkan karena tak ada yang diposisikan sebagai kebal kritik, otomatis benar, tak ada salahnya, atau dianggap sebagai wali yang otomatis benar dan tak boleh dikritik. Apalagi dianggap lebih unggul karena mewarisi darah tokoh tertentu. Jika cara berpikir ini terus dilanjutkan, maka diam-diam, banyak kaum muslim sebenarnya tengah mengidap penyakit rasisme.

Sekarang, disebabkan oleh fanatisme beragama, kita saksikan kaum muslim merasa diri inferior dan rendah diri di tengah perubahan yang makin cepat. Melihat yang lain melulu sebagai ancaman. Atau jika tidak, mereka yang bisa menerima keragaman namun seringkali melumrahkan penindasan dan membiarkan kemiskinan. Agama yang seharusnya hadir di dalam sendi-sendi perjuangan rakyat hanya hadir dalam pesta pora politisi dan pengusaha. Elit-elitnya menjadi kepanjangan tangan penguasa lalim yang meminggirkan rakyatnya.

Kecenderungan pengkultusan elit agama tak hanya menjadi gejala FPI saja, tapi hampir melanda semua kelompok Islam. Mereka, meski dengan kadar berbeda, memperlakukan elit-elitnya tak jauh beda dengan Rizieq. Misalnya, ketika ada seorang elit Islam menjadi penyokong utama Tommy Suharto, para pendukung fanatisnya menepisnya dengan mengatakan apa yang dilakukan sang kiai justru menunjukkan kewalian dirinya, yang tak bisa ditangkap oleh pikiran manusia biasa. Absurd bukan? Tapi itulah faktanya. Mereka menempatkan seoalah-olah elit agama sebagai adikodrati dan supra histori.

Saya tak akan melanjutkan diskursus materialisme pada aspek yang lebih jauh soal penciptaan. Mungkin bisa kita lanjutkan dalam tulisan lainnya. Namun satu hal yang bisa kita sepakati bersama: jika elit agama dianggap berada di luar hukum dunia, yakni materialisme, sehingga dianggap otomatis benar dan tak mungkin salah, disanalah agama tengah menggali lubang kuburnya sendiri. Naudzubillah mindzalik***

Tambahan: Buat saya pribadi, agama tanpa cinta kasih dan pembebasan tak layak dianggap sebagai agama.

 

Batu, 22 Mei 2017

 

—————-

[1] Dalam kasus pornografi Ariel dengan dua artis papan atas di negeri ini. Rizieq dan FPI menjadi kelompok yang paling kencang berteriak agar Ariel dihukum atas tuduhan penyebaran pornografi.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.