Ilustrasi: Jonpey
PADA Januari 2022, sebuah unggahan muncul di feed instagram saya. Isinya undangan untuk mendaftar dan mengikuti “Sekolah Pemikiran Perempuan 2022” (selanjutnya disebut SPP). Saya segera mengirimkan email menyatakan keinginan untuk menjadi peserta. Tak lama, email saya pun dibalas dan … voila!; betapa bahagianya bisa belajar bersama para ‘penyihir’ yang membuat saya semakin yakin bahwa dunia yang adil bagi perempuan itu sangat mungkin untuk diwujudkan.
Di SPP, para perempuan seniman, penulis, aktivis, dan perempuan yang bergiat di bidang seni dan budaya dari berbagai wilayah di Indonesia berkumpul secara online (daring) setiap Sabtu siang. Meski berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda, tidak ada feminis (tapi) neolib, feminis (tapi) rasis, atau feminis yang tidak mendukung kepentingan kelas-kelas tertindas di dalamnya. Selain itu, SPP tidak melihat feminisme sebagai suatu hal yang tuntas tapi sebagai proyek politik jangka panjang untuk merombak dunia yang masih kapitalis dan patriarkis ini.
Inisiatif seperti SPP sebetulnya bukan hal baru. Sudah banyak organisasi atau institusi yang menyelenggarakan pendidikan informal tentang kesetaraan gender, tentang aktivisme perempuan, atau tentang feminisme. Yang membedakan SPP dari pendidikan informal sejenis lainnya yang pernah saya ikuti: tidak ada nuansa girl gang yang membuat para perempuan yang terbiasa soliter seperti saya merasa terkucilkan. Persahabatan yang terjalin secara genuine selama SPP menunjukkan wujud feminisme yang kolaboratif, kritis, inklusif, apresiatif, ceria, tapi juga mendalam.
Singkatnya, SPP memang tidak terjebak pada slogan. Prinsip-prinsip feminis dipraktikkan dalam setiap sesi pembelajaran sehingga esensinya dapat dirasakan langsung. Hasilnya, feminisme bukan hanya dibincangkan dan menjadi suatu mitos yang membuat sebagian orang takut ketika mendengarnya.
Beberapa kegelisahan muncul di awal sesi SPP: bagaimana jika pesertanya nanti kurang bisa nyambung karena berbeda bidang? Kebanyakan dari pengampu, para peserta, dan penyelenggara kelas berkecimpung di bidang seni dan budaya. Sementara saya di dunia akademik. Bagaimana jika ada hal yang ingin dikritisi atau tidak disepakati? Mendebat atau mengkritisi sesama feminis terkadang lebih menimbulkan rasa sungkan (dan bersalah yang mendalam dan berkepanjangan). Bagaimana jika dalam proses belajar nanti, masing-masing dari kami terlalu menunjukkan bias-bias individual? Bagaimana mengatasi itu? Apakah semua prosesnya nanti akan mengubah orang menjadi seorang people pleasure? Meski diawali berbagai pertanyaan “what ifs”, saya malah merasa betah mengikuti dua puluh pekan pertemuan.
Kurikulum SPP dibagi ke dalam tiga modul pembelajaran. Modul pertama bicara tentang teori-teori feminisme sekaligus pemikiran-pemikiran para perempuan yang cenderung dilupakan sejarah. Pemikiran-pemikiran feminis (dengan pandangan non-western feminism) seperti bell hooks, Saba Mahmood, Audre Lorde, Chandra Talpade Mohanty, dan sebagainya, dibahas di modul ini. Selain itu, pemikiran dan kiprah para perempuan di Indonesia seperti Marianne Katoppo, Saparinah Sadli, dan sebagainya pun dipelajari secara mendalam di modul pertama ini. Beragam refleksi dan kritisisme pun muncul dalam modul pertama.
Ada beberapa catatan singkat (yang tentu tidak lengkap) yang ingin saya bagi mengenai pemikiran-pemikiran mereka:
Pertama, Audre Lorde, seorang feminis lesbian kulit hitam, begitu menekankan solidaritas bagi sesama perempuan tertindas. Audre Lorde juga menekankan pentingnya komunitas feminis sebagai salah satu kunci menuju pembebasan perempuan yang diimpikan.
Kedua, definisi bell hooks soal opresi/ketertindasan sebagai “the absence of choice” begitu akurat. Apalagi, bagi kebanyakan perempuan, keputusan macam “saya memilih jadi (sebut nama pekerjaan/profesi-dalam hal ini termasuk ibu rumah tangga)” sebetulnya datang di tengah pilihan yang serba terbatas. Di tengah masyarakat yang patriarkis ini, berapa banyak yang misalnya dapat menentukan pilihan hidupnya dengan bebas tanpa prasyarat ini itu? Ada, tapi sedikit sekali.
Selain itu, bell hooks juga mempertanyakan equality (kesetaraan) seperti apa, sih, yang hendak kita capai. Ia sekaligus berpendapat bahwa feminisme harus menjadi gerakan politik berbasis massa karena (meminjam kata-kata guru saya, Coen Husain Pontoh), “kemenangan politik itu tak cukup hanya berada di level narasi.”
Ketiga, pemikiran Gloria Anzaldua tentang bahasa misalnya, mengingatkan saya pada ucapan Bo Jong Hoo yang menyutradarai Parasite (film terbaik Oscar 2020): “Anda akan menemukan banyak film dahsyat jika Anda mau membaca terjemahan selebar satu inci di layar kaca”. Pada saat yang sama, pemikiran Gloria Anzaldua tentang perempuan yang seringkali dijadikan “token” juga masih relevan hingga saat ini.
Keempat, dalam “Under the Western Eyes: Revisited” (2003), Chandra Talpade Mohanty melakukan otokritik atas pemikirannya pada 1984 yang cenderung masih mendikotomikan “feminis Barat” dan “Non-Barat” secara hitam putih. Ia menekankan bahwa posisinya saat itu (2003) ialah mendukung feminisme transnasional yang anti-kapitalis dan anti-rasis. Selain itu, Mohanty juga menjelaskan tiga metode pedagogis dalam menginternalisasi kurikulum mengenai kajian/studi perempuan. Kemudian, dalam bukunya Feminism without Borders: Decolonizing Theory, Practicing Solidarity (2003), Mohanty juga menekankan pentingnya posisi feminisme yang anti-imperialis dan anti-rasis. Menurut Mohanty, “kapitalisme tidak cocok dengan visi feminis tentang keadilan sosial.”
Kelima, tulisan Linda Tuhiwai Smith berjudul Decolonizing Methodologies mengingatkan saya pada white saviorism dalam riset-riset pembangunan (contoh paling banal dari white saviourism ini bisa dilihat dalam foto anak-anak dari negara Dunia Ketiga yang diambil tanpa persetujuan, dengan peneliti bule tampil tersenyum lebar seolah telah berhasil menyelamatkan anak-anak tersebut). Linda Tuhiwai Smith mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar, misalnya untuk siapa riset ditulis, siapa yang memiliki risetnya, siapa yang diuntungkan, bagaimana riset akan ditulis, bagaimana riset akan disebarkan, pengetahuan seperti apa yang akan dihasilkan. Pertanyaan-pertanyaan ini sangat penting untuk terus dijadikan dasar ketika melakukan sebuah riset. Apalagi, pengetahuan dan riset-riset yang mendasarinya memang seringkali dan hampir selalu dijadikan alat legitimasi para penindas alih-alih amunisi bagi perjuangan pembebasan kelas-kelas tertindas (termasuk perempuan).
Di modul kedua dan ketiga, tak banyak catatan tertulis yang saya buat. Pengalaman-pengetahuan mengenai politik gender di bidang seni budaya serta pengorganisiran feminis mendominasi kedua modul. Dalam kedua modul ini, para peserta berbagi pikiran dan apresiasi terhadap kerja-kerja di bidang seni budaya (termasuk kerja-kerja reproduktif). Semuanya dihargai sama besarnya, sama pentingnya. Tidak ada yang lebih tinggi atau rendah; tidak ada seni tinggi atau rendah.
Kami belajar, misalnya, bagaimana proses menenun melibatkan kerja kolektif para desainer hingga tukang tenun; bagaimana kerja-kerja di panggung pertunjukkan melibatkan manajer panggung hingga artis yang jadi penampil; bagaimana proses menerbitkan sebuah buku melibatkan periset, penulis, penerjemah, hingga para penjual buku. Semua didefinisikan dengan kerja (labour) bukan romantisme yang rawan menempatkannya dalam hierarki: ada yang lebih begawan di antara para pariah.
SPP sangat tidak Jakarta-sentris. Di modul ketiga, pengalaman-pengalaman yang dibagi oleh para organizer feminis, yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, begitu kaya dan membuka berbagai percakapan sekaligus kemungkinan-kemungkinan baru. Proses di balik kerja-kerja seni budaya seperti kerja kuratorial, atau bagaimana metode-metode feminis yang mengedepankan proses dengan narasi perempuan sebagai subjeknya dapat dipraktikkan dalam berbagai penelitian, juga dibahas dan didiskusikan secara kritis dan reflektif.
Pendekatan lintas disiplin juga begitu dikedepankan sehingga analisis feminisme yang hadir di SPP menjadi lebih kaya. Dari SPP, saya semakin menginsyafi bahwa ketidaknyamanan yang mungkin timbul dari perdebatan di antara sesama feminis harus diterima dan diwajarkan karena dari situlah pengetahuan justru dapat bertumbuh. Adapun bias-bias individu yang muncul selama pembelajaran dapat menjadi sumber pengetahuan baru yang dapat direfleksikan sekaligus dapat dikritisi tanpa kehilangan makna personalnya yang juga bernilai. Dari hal-hal inilah, proses dekolonisasi pikiran berlangsung, dipraktikkan, dan terus berjalan hingga saat ini. Di SPP, “decolonize your mind” atau dekolonisasi pikiran tidak berhenti sebagai slogan atau kata-kata menggugah semata.
Sebagaimana sekolah pada umumnya (lihat tulisan ahli pendidikan panutan saya, Ben K.C. Laksana, di sini), tentu ada yang banyak hal yang bisa disempurnakan lagi dari SPP. Baik dari aspek kurikulumnya, proses kurasi para pesertanya, penyelenggarannya, hubungan pengajar dan peserta, dan sebagainya. Tapi, ada satu hal maju yang bisa dipastikan: para peserta dan pengampu (baik tetap maupun tamu) yang berasal dari berbagai latar belakang menunjukkan bahwa kolaborasi banyak perempuan lintas wilayah, generasi, sangat mungkin diwujudkan—dan itulah yang saya saksikan selama berminggu-minggu bersekolah di SPP.***