Foto: AFP
PADA 20 Juni 2022, rakyat pekerja Kolombia meraih kemenangan historis dalam pertarungan politik nasional. Untuk pertama kalinya, Gustavo Petro, yang dikenal sebagai aktivis politik kiri, berhasil memenangi kursi kepresidenan melalui pemilu. Melalui partainya, Kesepakatan Historis (Historical Pact), Petro beserta wakil presidennya yang merupakan aktivis lingkungan kulit hitam Francia Márquez mampu mengungguli pesaing-pesaing politik yang berasal dari kekuatan elite dominan. Pada putaran kedua, pasangan Petro dan Márquez unggul dengan perolehan 50,5% suara, mengalahkan lawannya yang seorang pengusaha konstruksi besar, Rodolfo Hernandez (47,22% dari total suara).
Capaian ini dapat dikatakan sangat mengesankan. Pasalnya, jika dibandingkan dengan negeri-negeri Amerika Latin lain, Kolombia adalah negara yang paling brutal dalam meredam artikulasi kekuatan kiri. Imbas dari perang sipil berkepanjangan antara kekuatan kiri bersenjata dengan negara kapitalis membuat posisi politik kiri terpinggirkan dalam konstelasi kekuasaan yang ada. Hampir seluruh kekuatan politik kiri di Kolombia mudah untuk mendapatkan cap “pengkhianat negara” hanya karena afinitas ideologi mereka dengan kekuatan kiri bersenjata. Hal ini tentu menciptakan legitimasi yang kuat bagi kekuatan politik yang berkuasa untuk merepresi keberadaan kelompok kiri. Tidak heran jika kemudian politik Kolombia sepenuhnya dimonopoli kelompok kanan yang didukung kelas kapitalis.
Di sinilah menariknya kemenangan Petro. Di tengah dominasi kekuasaan kelompok kanan yang didukung kelas kapitalis, kok bisa tokoh kiri seperti Petro menang pemilu presiden?
Ada beberapa penjelasan yang yang dapat diajukan untuk menjawab pertanyaan ini. Wacana yang paling populer bagi kita kelompok kiri Indonesia tentu adalah tentang ketidakpuasan publik akan praktek neoliberalisme yang telah berlangsung lama. Hal ini setidaknya bisa kita lihat pada bagaimana media massa memberitakan Petro sebagai tokoh perlawanan yang mewakili masyarakat yang dirugikan oleh kebijakan neoliberal elite-elite politik. Hal ini juga sejurus dengan tren geopolitik negara-negara Amerika Latin yang memang tengah bergeser (kembali) ke arah kiri.
Akan tetapi, faktor ketidakpuasan terhadap neoliberalisme tidaklah mencukupi. Harus diingat ini bukan kali pertama Petro ikut serta dalam kontestasi kepresidenan. Ia sudah dua kali terlibat dalam pemilu presiden dengan agenda anti-neoliberal, yaitu dalam pemilu 2010 dan 2018. Oleh karenanya kita perlu pula menelusuri lebih lanjut apa yang membuat kampanye anti-neoliberal Petro pada 2022 ini lebih efektif dibandingkan dengan kampanye tahun-tahun sebelumnya.
Salah satu faktor penting dalam kemenangan Petro kali ini adalah strategi elektoral yang mumpuni: pembentukan koalisi sosial yang diperlukan untuk mendulang suara. Ada dua kelompok utama yang setidaknya menjadi sasaran dari upaya pembentukan koalisi dalam kampanye Petro. Yang pertama adalah kelompok marjinal warga keturunan Afrika dan masyarakat adat yang selama ini kurang terepresentasikan. Banyak dari kelompok sosial ini yang mendiami wilayah ”pinggiran” secara politik seperti Provinsi (atau ”departemen”) Choco yang berada dalam area Pasifik, Departemen Atlantico yang merupakan area Karibia Kolombia, juga Departemen Vaupus yang berada dalam wilayah pedalaman Amazon Kolombia.
Dipilihnya Francia Márquez sebagai wakil presiden mengandung makna strategis dalam menggaet suara kelompok marjinal yang dekat dengan konstituensi politik kiri. Márquez adalah perempuan keturunan Afrika dengan latar belakang aktivisme lingkungan. Ia sering bekerja dengan kelompok masyarakat adat. Ketika muda, ia sempat menjadi asisten rumah tangga.
Kelompok sosial kedua berasal dari faksi elite yang menghendaki perubahan konstelasi kekuasaan. Kelompok ini adalah elite yang tidak puas dengan konsensus neoliberal yang dikelola di bawah kekuasaan Presiden Alvaro Uribe–kemudian dikenal sebagai Uribisme–yang menjabat pada 2002-2010. Faksi elite yang tidak puas ini memulai perlawanan pada pemilu 2010, ketika memajukan seorang profesor matematika Antanas Mockus dalam pemilu presiden yang hanya berhasil lolos sampai putaran kedua. Tren kemunculan faksi elite yang tidak puas ini berlanjut dengan munculnya Rodolfo Hernandez yang selama kampanye mencoba juga membawa agenda ekonomi yang tidak berorientasikan pada neoliberalisme.
Untuk menggaet dukungan dari kalangan elite yang tidak puas ini, Petro memutuskan untuk melakukan moderasi atas agenda ekonominya. Alih-alih mengusung anti-kapitalisme radikal, Petro mengusung agenda ekonomi pasar yang memberikan prioritas lebih kepada redistribusi kesejahteraan yang menyasar rakyat jelata. Ia bahkan secara blak-blakan menyatakan bahwa kepresidenannya akan mengupayakan untuk membangun kapitalisme. Ini dilakukan mengingat ekonomi Kolombia masih dikuasai relasi ekonomi terbelakang dan feodal yang dipresentasikan oleh pengaruh kuat kelompok tuan tanah.
Keputusan strategis ini berbuah manis. Keputusannya untuk berkoalisi dengan kelompok marjinal menghasilkan suara di departemen pinggiran Kolombia. Di Choco dan Vaupes, pasangan ini mendapatkan 65% dari total suara yang ada. Di Atlantico dan Valle del Caucal bahkan Petro dan Márquez mendapatkan kenaikan yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan jumlah suara yang menyatakan setuju dengan kesepakatan damai antara pemerintah dengan kelompok kiri bersenjata dalam referendum 2016.
Menariknya, karena berhasil menggaet simpati faksi elite yang tidak puas, Petro mampu mengoptimalisasi performanya di wilayah pusat yang selama ini merupakan benteng kekuatan elite politik dominan. Aliansi politik Kesepakatan Historis (Historical Pact) dengan faksi elite ini memungkinkan Petro menggunakan jaringan politik tradisional yang ada untuk menggaet dukungan di luar konstituen kiri tradisional. Tidak heran jika kemudian di pusat kekuasaan seperti di Bogota performa elektoral Petro mampu meraup 60% dari total suara pada putaran kedua. Wilayah pusat Kolombia yang tidak memberikan kesempatan bagus untuk performa Petro hanyalah Santander dan Antioquia. Santander adalah kampung halaman Hernandez, sementara Antioquia merupakan kampung halaman Uribe.
Strategi elektoral ini juga mengubah konstelasi suara secara keseluruhan. Jika sebelumnya pemilu Kolombia selalu dibayang-bayangi masalah golput, keterlibatan Petro dalam pemilu presiden kali mampu memobilisasi warga yang selama ini enggan mencoblos. Dalam pemilu putaran kedua, kemenangan Petro diikuti tambahan 2,7 juta suara jika dibandingkan dengan putaran pertama.
Tantangan Gustavo Petro
Tentu ilusi jika koalisi politik seperti ini akan serta-merta memudahkan Petro mengimplementasikan agenda kirinya. Koalisi suara dengan basis kelas sosial yang luas ini berpotensi menciptakan ketegangan internal terkait mana agenda serta kepentingan politik yang harus diprioritaskan pemerintah. Belum lagi tantangan institusional lainnya karena partai Petro, Kesepakatan Historis, bukanlah partai mayoritas di parlemen. Kondisi ini tentu sudah pasti akan memaksa Petro melakukan negosiasi, kompromi, bahkan bertarung dengan kekuatan politik lama yang menguasai parlemen, dan ini berpotensi melumpuhkan kepresidenan. Dengan kata lain, penting bagi kita untuk tidak secara langsung mengaitkan momen kemenangan kampanye pemilu dengan momen kekuasaan ketika Petro sudah memerintah.
Namun, tantangan pada momen pemerintahan tentu tidak memudarkan signifikansi kekuasan eksekutif yang dipegang Petro. Ada tiga alasan mengapa peluang bagi kepemimpinan kiri yang efektif di era Petro masih terbuka.
Pertama adalah alasan institusional itu sendiri. Dalam derajat tertentu, institusi eksekutif memiliki diskresi untuk mendorong kebijakan yang dianggap penting dan perlu bagi pimpinan eksekutif itu sendiri. Dalam hal ini, legitimasi kekuasan eksekutif melalui kebijakan tidak melulu terkait masalah prosedur yang memungkinkan presiden mengakomodasi banyak suara berbeda dalam kebijakan publik. Legitimasi itu lebih terkait dengan apakah dorongan kebijakan eksekutif tersebut dilakukan dalam prinsip “mampu (capable), memiliki informasi (informed), kredibel (credible), responsif (responsive), dan adil (fair)”.
Faktor kedua adalah modal politik Petro itu sendiri, khususnya dalam hal program politik. Sedikit banyak program politik Petro telah diakui kredibilitasnya bukan hanya oleh konstituen tradisional kelompok kiri, tapi juga kelompok tengah dan juga teknokrat. Kredibilitas ini tentu mempermudah komunikasi politik untuk meyakinkan para pemangku kepentingan.
Ketiga, pengalaman selama masa kampanye. Pendekatan politik strategis selama kampanye dapat menjadi preseden bagi pemerintahan Petro dalam mencari siasat politik koalisi yang diperlukan untuk mendorong kepemimpinan yang transformatif. Hal ini tentu diperlukan untuk memastikan bahwa pemerintahannya tidak terlalu mendapatkan penentangan yang serius dari kekuatan-kekuatan sosial yang ada.***