Foto: dua sobat brunch, Gough Whitlam dan Soeharto, April 1975 (NAA)
PROSES dekolonisasi bergulir di tanah-tanah jajahan Iberia pasca-revolusi Portugal 1974. Salah satunya Timor Leste, yang mendeklarasikan kemerdekaan pada 1975. Dipelopori partai kiri bernama Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente (FRETILIN), kemerdekaan Timor Leste segera menghadapi ancaman rezim Soeharto Indonesia dan sekutu-sekutu Baratnya.
Soeharto berkuasa di Indonesia sejak 1965, ketika ia membantai sekitar satu juta orang kiri dengan dukungan AS. Rezim Soeharto telah bertahun-tahun berusaha menggagalkan proses dekolonisasi Timor Leste. Ketika kemerdekaan Timor Leste diproklamasikan, militer Indonesia langsung menyerbu dan akhirnya mencaplok negeri itu pada Mei 1976. Narasi resmi rezim Orde Baru berbunyi: Indonesia ogah-ogahan turun tangan dalam konflik sipil Timor dan TNI hanya bertindak sebagai pasukan penjaga perdamaian.
Pemerintah Australia saat itu adalah salah satu sekutu utama Soeharto. Canberra mengkritik para aktivis Australia yang mengabarkan tentang kelaparan, kekejaman, dan pembantaian pasca-aneksasi di Timor Leste. Salah seorang aktivis ini, Peter Job, meneliti dokumen-dokumen yang telah dideklasifikasikan. Dokumen-dokumen itu membuktikan bahwa para politikus dan birokrat Australia membohongi publik seraya memuluskan tindakan-tindakan paling kejam rezim Soeharto. Jurnalis Zacharias Szumer mewawancarai Peter Job tentang buku terbarunya, A Narrative of Denial: Australia and the Indonesian Violation of East Timor. Berikut petikannya.
Bagaimana Anda bisa terlibat dalam aktivisme solidaritas untuk Timor Leste?
Waktu itu usia saya 20 tahun dan saya sedang menggarap jaringan Radio Maubere ke FRETILIN. Sebelum invasi Indonesia 1975, beberapa aktivis Australia bertemu FRETILIN di Timor Leste untuk memberikan radio dua arah. Setelah invasi, ketika FRETILIN tengah bergerilya di hutan melawan Indonesia, radio itu digunakan untuk mengirim informasi ke luar negeri.
Saat itu pemerintah Australia melakukan apa yang bisa diperbuat untuk memutus jejaring radio itu dan membantah pernyataan-pernyataan Timor Leste tentang operasi-operasi militer besar Indonesia, yang di antaranya dilakukan dengan membuat penduduk kelaparan, menghancurkan hasil bumi dan sumber daya pangan, dan pelanggaran hak-hak asasi manusia lainnya.
Akibatnya, ada seorang operator radio di hutan sekitar Darwin yang harus terus pindah tempat supaya tidak ditangkap. Orang inilah yang mengirimkan pesan ke Timor Leste. Mustahil bagi dia untuk datang ke Darwin dan mengirim pesan-pesan FRETILIN karena dia akan ditangkap. Jadi, kami mendirikan stasiun penerima terpisah yang juga terletak di hutan di luar Darwin. Saya jaga stasiun ini selama enam bulan terakhir operasinya. Saya rekam pesan-pesan yang mereka terima, yang akhirnya disebarkan ke markas-markas eksternal FRETILIN di Mozambique dan ke José Ramos-Horta di New York. [Saat itu José Ramos-Horta secara de facto adalah menteri luar negeri de-facto FRETILIN dan utusan untuk PBB].
Meski pemerintah Indonesia dan Australia menyangkal kejahatan militer Indonesia, kita sekarang tahu bahwa sebagian besar informasi FRETILIN benar belaka. Hal ini menumbuhkan pemahaman dan komitmen terhadap masalah Timor dalam diri saya seumur hidup.
Kita masuk ke argumen utama buku Anda. Apa garis kebijakan resmi pemerintah Australia pada masa pencaplokan Timor Leste oleh Indonesia?
Di bawah pemerintahan Perdana Menteri Gough Whitlam dan Malcolm Fraser Australia main dua kaki. Yang mereka katakan di hadapan masyarakat umum dan komunitas internasional berbeda dari yang mereka nyatakan ke Indonesia. Nah, yang mereka sampaikan ke Indonesia itulah apa yang sebetulnya mereka lakukan.
Awalnya, PM Whitlam (dari Partai Buruh) dan kemudian pemimpin oposisi Fraser mengaku mendukung penentuan nasib sendiri bagi Timor Leste. Namun, pada September 1974, Whitlam mengatakan kepada Soeharto bahwa dia tidak percaya bahwa Timor Leste harus menjadi negara merdeka, bahwa kemerdekaan Timor Leste akan mengacaukan kawasan. Kepala OPSUS Indonesia saat itu mengatakan bahwa pertemuan [dengan para pejabat Australia] adalah faktor utama yang menguatkan keputusan mereka untuk “mengintegrasikan” Timor Leste ke Indonesia.
Bahkan sebelum itu, Whitlam telah mengirim sekretaris pribadi pribadinya ke Jakarta untuk bertemu OPSUS, sayap pemerintahan Soeharto yang paling berjasa mengagalkan proses dekolonisasi Timor. Sebelum invasi, OPSUS juga memberitahu kedutaan Australia di Jakarta tentang operasi rahasia dan kekerasan yang dilakukan oleh Indonesia untuk memaksa integrasi. Aktivitas-aktivitas Indonesia ini mencakup siaran radio, infiltrasi ke partai-partai politik Timor, dan operasi militer rahasia di mana personil TNI menyamar sebagai aktivis pembangkang Timor.
Whitlam dan Fraser membohongi rakyat Australia dan komunitas internasional tentang apa yang sesungguhnya mereka ketahui. Whitlam mengatakan Indonesia tidak berniat mengintegrasikan Timor Leste dengan paksaan, meskipun badan intelijen Australia dan Kementerian Luar Negeri tahu persis Indonesia melakukan itu.
Bagaimana dukungan Whitlam terhadap posisi Indonesia di Timor Leste bisa menyatu dengan aspek-aspek yang lebih progresif dalam rekam jejak politiknya?
Dalam kebijakan luar negeri, Whitlam cukup konservatif. Ketika Soeharto mengambil alih kekuasaan pada 1965–66, Whitlam sangat mendukung rezim baru itu. Di artikel yang dia tulis di The Australian pada 1967, Whitlam menyatakan betapa bersyukurnya kita bahwa rezim pro-Barat ini telah berkuasa. Partai Buruh Australia di bawah pemimpin sebelumnya, Arthur Calwell, tidak suka pemerintah-pemerintah yang berkuasa di Asia. Whitlam ingin memutuskan ketidaksukaan ini dan menjangkau Asia Tenggara, khususnya negara-negara ASEAN. Indonesia adalah yang terbesar dan terdekat, dan Whitlam melihatnya sebagai kunci. Dia percaya permainan blok-blok negara besar dan kurang menyokong negara-negara kecil. Jadi, dia percaya bahwa sudah semestinya Timor Leste menjadi bagian dari Indonesia.
Seperti yang Anda tulis dalam Narrative of Denial, pemerintahan Whitlam dan Fraser konsisten menggaungkan narasi bahwa Indonesia ogah-ogahan intervensi dan sekadar menjadi penengah dalam konflik antar kelompok di Timor Leste. Namun, pemerintah Australia rupanya sudah menerima arahan dari intel-intel top Indonesia yang menunjukkan bahwa mereka telah secara aktif berusaha menggagalkan proses dekolonisasi sejak awal 1970an.
Australia sadar bahwa Indonesia secara aktif mendestabilisasi Timor Leste dan menggunakan destabilisasi ini sebagai dalih invasi. Namun, pemerintah Australia juga meneruskan narasi bohong Indonesia ini.
Padahal sebelum 1975 partai-partai politik Timor Leste sudah berusaha keras mengadakan kontak dengan rezim Soeharto. Mereka ingin ada hubungan baik dengan Indonesia. Mereka paham harus hidup berdampingan dengan tetangga besar dan tidak ingin memusuhinya.
Isu Timor Leste ini pun tidak disambut dengan suara bulat di internal rezim Soeharto sendiri. Saat itu Indonesia sedang mengincar posisi kepemimpinan Gerakan Non-Blok. Dan salah satu faksi dalam rezim Soeharto khawatir—dan kekhawatiran ini benar—bahwa ambisi ini akan gagal jika Indonesia mencaplok Timor Leste. Sampai batas-batas tertentu Soeharto sendiri tampaknya punya kekhawatiran yang sama. Australia memutuskan untuk mendukung faksi lain dalam rezim Soeharto —yakni faksi OPSUS—guna mendorong kebijakan Indonesia ke arah intervensi di Timor Leste. Tanpa dukungan Australia, mungkin invasi Indonesia ke Timor Leste tidak akan terjadi.
Tampaknya adalah titik balik kritis dalam sejarah Indonesia. Sebelum penggulingan Presiden Sukarno pada 1965, Indonesia ada di garis depan dalam upaya penciptaan blok ketiga—Gerakan Non-Blok—di luar dua kubu Perang Dingin. Di bawah Soeharto, Indonesia makin mendekat ke Amerika Serikat dalam Perang Dingin. Invasi Timor Leste mempercepat kedekatan ini.
Australia membingkai kemerdekaan Timor Leste sebagai perang proksi dalam Perang Dingin. Sayangnya, tak ada alasan untuk menggunakan bingkai itu. Kedua faksi politik besar di Timor Leste bersedia bekerjasama dengan Australia. Dua-duanya tidak berminat membiarkan gerakan kemerdekaan mereka menjadi arena pertempuran proksi dalam Perang Dingin.
FRETILIN memang bukan organisasi Marxis. Ada beberapa Marxis di dalamnya. Tapi toh juga ada Marxis di Partai Buruh Australia saat itu. FRETILIN adalah front besar (broad front) yang pada dasarnya pro-kemerdekaan. Dalam banyak hal, politik mereka cukup moderat.
Meski begitu, AS dan Australia membingkai gerakan pembebasan nasional Timor Leste sebagai konflik Perang Dingin, sebagian karena mereka ingin membekingi rezim Soeharto. Ingat, pada 1975, Asia Tenggara baru saja mengalami banyak perubahan. Vietnam kembali bersatu setelah kekalahan AS dan rezim-rezim Marxis baru saja berkuasa di Kamboja dan Laos. Ini hanya terjadi beberapa bulan sebelum invasi Indonesia.
AS dan Australia melihat Soeharto sebagai kekuatan pro-Barat dan benteng melawan komunisme. Para pejabat Australia—termasuk menteri luar negeri saat itu—bahkan menggambarkan rezim Soeharto sebagai orang yang moderat, bertanggung jawab, dan layak mendapatkan dukungan Australia, betapapun rezim ini memiliki rekam jejak berdarah.
Mari kita bicara periode 1975 hingga 1982. Seperti yang Anda katakan, pemerintah Fraser secara efektif menjadi propagandis dan apologis rezim Soeharto.
Pemerintah Australia tidak secara resmi mendukung invasi Indonesia. Di PBB, Australia bahkan enggan memilih resolusi Majelis Umum 1975 yang mengkritik invasi tersebut. (Namun, setelah itu, Australia pindah ke posisi abstain, sebelum akhirnya menentang resolusi-resolusi yang mengkritik invasi.)
Sejak awal, Australia secara resmi menyerukan penarikan mundur Indonesia dari Timor Leste. Tapi di belakang layar, Australia menyatakan ke negara-negara lain bahwa mereka harus menerima kekuasaan Indonesia di Timor Leste. Pada Oktober 1975, Fraser melawat ke Jakarta dan bertemu Soeharto. Setelah pertemuan itu, pemerintahannya efektif menjadi propagandis dan apologis tindakan-tindakan Indonesia.
Pertama-tama, Australia salah menggambarkan sejarah Timor Leste sebelum invasi. Australia sengaja membuat Indonesia seolah tampil sebagai pihak yang dirugikan dan ogah-ogahan melakukan intervensi. Kedua, ketika invasi terjadi, Australia membantah kadar pelanggaran HAM yang dilakukan Indonesia dan menyebut laporan-laporan HAM ini desas-desus belaka. Ini terlepas dari bukti-bukti yang masuk lewat jejaring radio, lewat sumber-sumber Gereja Katolik, melalui surat-surat yang diselundupkan, dan melalui kesaksian para pengungsi. Akhirnya, ada begitu banyak bukti sehingga Australia tidak bisa lagi menyangkal apa yang sedang terjadi. Lalu, mereka muncul dengan sederet rekomendasi untuk memutarbalikkan situasi. Alih-alih menyangkal, mereka menyalahkan orang Timor sendiri. Mereka bilang Timor Leste selalu miskin, selalu nyaris kelaparan, dan bahwa masalah Timor Leste diperparah oleh perang saudara.
Tentu pemerintah Australia sangat sadar akan kampanye Indonesia untuk mengepung dan memusnahkan kekuatan pro-kemerdekaan di Timor Leste. Mereka sadar bahwa TNI sedang berusaha menghancurkan sumber-sumber pangan. Ini dibuktikan dengan laporan-laporan petugas Australia yang mengunjungi Timor Leste dan berbicara dengan pejabat Indonesia. Laporan-laporan ini telah dideklasifikasikan. Mereka tahu Indonesia memiliki kebijakan melarang distribusi pangan ke daerah-daerah yang dikuasai FRETILIN, yang awalnya mencakup mayoritas penduduk. Australia tidak berusaha menghubungkan kebijakan ini dengan tragedi mengerikan kelaparan buatan yang melanda seluruh Timor Leste. Sebaliknya, mereka menyalahkan infrastruktur Timor yang buruk, diabaikannya Timor oleh kolonialis Portugis, seraya menuding betapa tidak bertanggungjawabnya orang Timor dalam perang saudara.
Kebijakan ini punya konsekuensi serius. Beberapa negara Barat mulai tertarik mendukung Timor Leste, sebagai respons atas bukti-bukti yang baru dirilis. Australia berulang kali melobi mereka, mengklaim bahwa Indonesia secara umum telah mengambil sikap yang bertanggungjawab. Karena negara-negara ini menganggap Australia negara demokrasi dan pembela hak asasi manusia di kancah internasional, narasi Australia ini sungguh-sungguh dipercaya.
Reputasi pro-HAM Australia dipoles oleh sikap pemerintah Fraser terhadap apartheid di Afrika Selatan. Fraser juga mendukung diakhirinya rezim kulit putih di Zimbabwe. Akibatnya, lobi-lobi pemerintah Fraser untuk membela invasi Indonesia cukup ampuh dan sukses menunda masuknya bantuan ke Timor Leste, meredam kritik terhadap rezim Soeharto, dan membiarkan pelanggaran HAM di sana berlanjut. Kalau bukan karena lobi Australia, pelanggaran HAM yang dilakukan Indonesia pasti mustahil berlanjut dengan cara yang sama.
Buku Anda menyebutkan bagaimana pemerintah Fraser menyebarkan “narasi penyangkalan” resmi ini melalui sekelompok akademisi dan jurnalis yang simpatik. Anda sebut mereka “Lobi Jakarta”. Bisa Anda jelaskan bagaimana pemerintah membina kelompok ini dan menyuarakan posisinya melalui mereka?
Mereka ini kelompok yang merasa harus mengabarkan apa yang mereka sebut “posisi bertanggung jawab” terkait rezim Soeharto. Mereka tahu setelah Soeharto berkuasa, ada kebencian terhadap rezim ini dan bahwa beberapa kekejaman Soeharto diketahui di Australia. Oleh karena itu, mereka mengorganisir akademisi di Australian National University, termasuk beberapa jurnalis dan diplomat seperti Richard Woolcott. Mereka rutin bertemu untuk membahas hal-hal yang bisa mereka lakukan guna mendukung kebijakan Australia agar terus mendukung rezim Soeharto.
Yang dilakukan kelompok ini klop dengan kebijakan luar negeri Australia. Walhasil, baik pemerintah maupun Kementerian Luar Negeri tidak mempermasalahkannya. Ketika invasi Timor Leste terjadi, Lobi Jakarta menyebarkan narasi resmi. Ketika para pengkritik invasi Indonesia menekan anggota-anggota kelompok ini tentang keadaan di Timor Leste, Lobi Jakarta rupanya tidak cukup melek informasi. Namun demikian, mereka terlihat kredibel karena punya posisi sebagai akademisi, jurnalis kawakan, dan pejabat senior urusan luar negeri. Kredibilitas palsu inilah yang turut membuat khalayak yakin bahwa mereka harus dipercaya dan menjadikan mereka pendukung kebijakan pemerintah yang efektif.
Dalam Narrative of Denial, Anda menjelaskan bahwa para diplomat Australia memberikan saran untuk pemerintah mereka sendiri sekaligus menjadi konsultan bagi rezim Soeharto. Ketika muncul berita kekejaman di Timor Leste, misalnya, mereka menyarankan rekan-rekan di Indonesia untuk membungkus kekejaman itu sebagai perilaku spontan dan sembrono beberapa prajurit rendahan di awal invasi.
Hal semacam itu dilakukan oleh banyak elemen di kedutaan Australia di Jakarta. Di PBB di New York, diplomat Australia melakukan hal yang persis sama. Mereka aktif berunding dengan Indonesia tentang Timor Leste dan bekerjasama untuk melobi negara-negara lain terkait isu ini; para pejabat Indonesia sangat berterimakasih kepada mereka. Mereka paham bahwa Australia dipandang sebagai negara Barat yang tahu bagaimana cara berpikir negeri-negeri Barat, dan bagaimana segala sesuatu bisa diputarbalikkan.
Australia sering memberikan saran kepada Indonesia untuk siaran pers dan pernyataan publik. Dan Australia mendukung pernyataan-pernyataan publik ini dengan lobinya sendiri.
Apa para pejabat senior atau jurnalis yang mendukung Soeharto waktu itu menyatakan penyesalan?
Tidak, para diplomat dan jurnalis berpengaruh ini tak banyak mengungkapkan penyesalan. Demikian pula masyarakat Australia secara umum. Ini harus dianggap sebagai salah satu kegagalan utama kebijakan luar negeri Australia. Bukan hanya kegagalan, tetapi kejahatan yang kami lakukan. Australia tidak hanya menutup mata, tapi bahkan aktif berkampanye untuk mempermulus pelanggaran-pelanggaran HAM tersebut. Kasus-kasus ini tidak akan terjadi tanpa kita dan tidak akan tertutup dari sorotan publik tanpa peran pemerintah Australia. Saya yakin seharusnya ada proses rekonsiliasi untuk mengakui apa yang sudah kita lakukan. Rupanya, minat untuk menuju ke sana juga masih kurang.***
Wawancara ini sebelunya diterbitkan di Jacobin. Diterjemahkan dan dimuat ulang di IndoPROGRESS untuk kepentingan pendidikan.