Aksi anti-perang pelajar Berlin Barat, 1967/68 (Ludwig Binder, 2001)
KETIKA ilmu politik mengeksplorasi motif ideologi, politik, ekonomi, dan bahkan psikologi di balik dorongan berperang, kontribusi paling menarik dari teori-teori sosialis adalah penjelasannya tentang hubungan perkembangan kapitalisme dan penyebaran perang.
Dalam debat-debat di Internasional Pertama (1864-1872), salah satu tokoh utamanya yang bernama César de Paepe menyusun rumusan yang kelak menjadi posisi klasik gerakan buruh: di bawah rezim produksi kapitalis, perang tak terhindarkan. Dalam masyarakat modern, perang tidak disebabkan oleh ambisi raja atau hasrat perorangan lainnya, tetapi oleh model sosial-ekonomi yang dominan. Gerakan sosialis juga menunjukkan segmen populasi mana yang paling terpukul oleh dampak-dampak perang yang mengerikan. Dalam kongres Internasional pada 1868, para delegasi menerima mosi yang menyerukan kepada kaum pekerja untuk memperjuangkan “penghapusan seluruh perang seutuhnya,” karena buruhlah yang pada akhirnya berkorban—baik harta maupun nyawa, terlepas dari menang atau kalah—untuk keputusan kelas penguasa dan pemerintah yang mewakili mereka. Ihwal yang dipelajari buruh dari sejarah panjang peradaban manusia ini bersumber dari keyakinan bahwa setiap perang harus dianggap sebagai “perang saudara”, sebuah bentrokan sengit para pekerja yang merampas sumber-sumber penghidupan yang mereka perlukan guna melangsungkan hidup. Kaum pekerja harus mengambil sikap tegas terhadap perang apapun, dengan menolak wajib militer dan menggelar aksi mogok. Internasionalisme pun menjadi kiblat masyarakat masa depan. Dalam masyarakat itu, perang akan lenyap karena sebab-sebab utamanya—kapitalisme dan persaingan antar negara borjuis di ranah ekonomi dunia—juga menghilang.
Claude Henri de Saint-Simon adalah salah seorang tokoh pendahulu sosialisme yang mengambil sikap tegas terhadap perang dan konflik sosial. Bagi Saint-Simon, perang dan konflik sosial adalah penghalang bagi kemajuan-kemajuan fundamental dalam industri. Soal perang, Karl Marx tidak mengembangkan pandangan-pandangannya sendiri, yang sifatnya fragmentatif dan kadang saling bertolak belakang. Ia juga tidak menelurkan panduan untuk mengambil sikap yang tepat guna merespons perang. Tiap kali harus mendukung salah satu kubu dalam perang, satu-satunya sikap yang selalu ia ambil adalah menentang rezim Tsar Rusia yang menurutnya adalah garda terluar kontra-revolusi dan salah satu batu penghalang emansipasi kelas pekerja. Dalam Kapital (1867), Marx berpendapat bahwa kekerasan adalah daya penggerak ekonomi, “bidan setiap masyarakat lama yang tengah mengandung janin masyarakat baru.” Namun, Marx tidak pernah memikirkan perang sebagai jalan pintas yang perlu dipertimbangkan bagi perubahan revolusioner dalam masyarakat, dan tujuan besar yang disasar oleh aktivitas-aktivitas Marx adalah menghimpun kelas pekerja berdasarkan asas solidaritas internasional. Sebagaimana juga dikemukakan Engels, kelas pekerja di tanah air masing-masing harus tegas melawan upaya-upaya pengerdilan terhadap perjuangan kelas yang dilakukan negara melalui propaganda “ancaman musuh dari luar” merebak tiap kali perang meletus. Dalam surat-suratnya kepada para tokoh gerakan buruh, Engels selalu memperingatkan betapa chauvinisme bisa mengakibatkan patriotisme yang bercokol secara ideologis dan tertundanya revolusi proletar. Dalam Anti-Dühring (1878), Engels menyatakan bahwa sosialisme mengemban tugas untuk “menghapuskan militerisme dan seluruh tentara reguler.” Pernyataan ini berpijak pada analisis tentang efek senjata-senjata dalam perang yang kian mematikan.
Bagi Engels, perang adalah isu yang sangat penting. Karib Marx ini pun mencurahkan perhatian yang besar untuk isu ini dalam salah satu tulisan terakhirnya. Dalam ”Bisakah Eropa Melucuti Bedil?” (1893), Engels mencatat bahwa tiap negeri adidaya saling berlomba secara militer dan memupuk persiapan perang dalam 25 tahun terakhir. Dalam perlombaan ini, produksi senjata meroket setinggi langit dan menggiring Eropa lebih dekat ke “perang bumi hangus yang belum pernah disaksikan dunia.” Menurut salah satu penulis Manifesto Komunis (1848) ini, “Model tentara reguler (standing armies) telah diterapkan sedemikian ekstrem di seantero Eropa sampai-sampai ia berpotensi menghancurkan ekonomi rakyat saking hebatnya beban militer yang harus ditanggung, atau berkembang menjadi perang pemusnahan massal.” Analisis Engels juga menekankan bagaimana keberadaan angkatan bersenjata terus dipertahankan khususnya demi kepentingan politik domestik dan operasi-operasi militer di luar negeri. Dengan memperhebat kekuatan untuk menindas perjuangan proletariat dan buruh, militer dirancang “bukan untuk melindungi negeri dari musuh eksternal alih-alih dari musuh internal.” Oleh karena rakyat menanggung ongkos terbesar perang lewat pungutan pajak dan rekrutmen pasukan, maka gerakan buruh harus memperjuangkan “pengurangan secara bertahap masa dinas [di militer] melalui perjanjian internasional” serta mendukung pelucutan senjata sebagai satu-satunya “jaminan damai” yang efektif.
Ujian dan keruntuhan
Tak lama berselang, debat teoretis di masa damai berkembang menjadi isu politik teratas pada zamannya. Gerakan pekerja harus menghadapi situasi-situasi riil dan para wakil mereka pada mulanya menentang segala dukungan untuk perang. Dalam konflik Prancis-Prusia (1870) yang kelak mengawali Komune Paris, anggota parlemen dari Partai Sosial Demokrat Jerman, Wilhelm Liebknecht and August Bebel, mengutuk misi aneksasi Imperium Jerman di bawah Kanselir Bismarck. Setelah “menolak RUU pendanaan tambahan untuk melanjutkan perang” dalam pemungutan suara, keduanya diganjar dua tahun hukuman penjara dengan dakwaan berkhianat terhadap negara. Namun, sikap yang diambil Liebknecht dan Bebel menunjukkan kepada kelas pekerja sebuah cara alternatif untuk membangun momentum politik di kala krisis.
Perang semakin menjadi isu kontroversial dalam debat-debat Internasional Kedua (1889-1916) seiring negeri-negeri adidaya Eropa terus melangsungkan ekspansi imperialis mereka. Dalam kongres pendiriannya, Internasional Kedua telah menetapkan resolusi perdamaian sebagai ”prasyarat wajib setiap emansipasi pekerja.” Kebijakan perdamaian ala borjuasi diolok-olok sebagai wujud lain dari ”perdamaian bersenjata”. Pada 1895, pemimpin Partai Sosialis Prancis (SFIO) Jean Jaurès memberikan pidato di parlemen yang kelak diingat sebagai cermin kegelisahan kaum kiri dalam merespons perang. “Bahkan ketika menginginkan perdamaian, bahkan dalam suasana tenang,” demikian Jaurès, “perang masih berkecamuk di dalam masyarakatmu yang kacau dan penuh kekerasan ini bak awan yang terlelap menanggung badai.”
Ketika Weltpolitik—kebijakan agresif imperium Jerman untuk memperluas kekuasaannya di ranah internasional—mengubah percaturan geopolitik, prinsip-prinsip anti-militerisme semakin mengakar dalam gerakan kelas pekerja dan mempengaruhi diskusi-diskusi tentang konflik bersenjata. Perang tak lagi semata dilihat sebagai gerbang menuju revolusi dan pemicu kehancuran sistem (sebuah gagasan kiri yang berakar pada slogan Robespierre, “Tak ada revolusi tanpa revolusi”). Bagi kaum kiri saat itu, perang adalah marabahaya karena dampak-dampaknya yang luar biasa destruktif bagi proletariat: kelaparan, kemelaratan dan pengangguran. Perang, dengan demikian, menjadi ancaman serius bagi kekuatan progresif. Dalam situasi perang, tulis Karl Kautsky dalam Revolusi Sosial (1902), kaum pekerja akan “dibebani tugas-tugas tidak esensial” yang akan membuat kemenangan final proletariat kian jauh alih-alih mendekat.
Resolusi “Tentang Militerisme dan Konflik Internasional” yang diadopsi Internasional Kedua dalam Kongres Stuttgart (1907), merangkum seluruh pokok yang kelak menjadi warisan bersama gerakan buruh, di antaranya: voting menolak peningkatan anggaran belanja militer, antipati terhadap sistem tentara reguler, dukungan terhadap sistem milisi rakyat dan rencana pembentukan peradilan arbitrase untuk menyelesaikan konflik internasional dengan cara-cara damai. Yang tidak terkandung dalam resolusi ini adalah aksi-aksi pemogokan umum menentang segala jenis perang, sebagaimana diusulkan Gustave Hervé; mayoritas peserta kongres menganggap ide ini terlalu radikal dan hitam-putih (Manichaean). Resolusi diakhiri dengan amandemen yang disusun Rosa Luxemburg, Vladimir Lenin, dan Yulii Martov. Amandemen tersebut menyatakan: “jika perang meletus … [kaum sosialis] mengemban tugas untuk menghentikannya secepat mungkin, dan dengan segala daya memanfaatkan krisis ekonomi dan politik yang dipicu perang, untuk membangkitkan massa sehingga mempercepat tumbangnya kekuasaan kelas kapitalis.” Para perwakilan Partai Sosial Demokrat Jerman (SPD) mendukung amandemen ini karena di dalamnya tidak ada tuntutan bagi partai untuk mengubah garis politik. Resolusi dalam bentuknya yang telah diamandemen ini adalah dokumen terakhir tentang perang yang mendapat suara bulat dari Internasional Kedua.
Gambaran umum perang kian merisaukan seiring kian ketatnya persaingan ekonomi antar negara kapitalis yang dibarengi merebaknya konflik-konflik global. Pada 1911, Jaurès menerbitkan Tentara Baru (1911) yang memancing percakapan tentang isu lain yang menjadi buah bibir kala itu: perbedaan antara perang ofensif (perang dalam rangka menyerbu negara lain) dan defensif (perang yang dilancarkan untuk mempertahankan diri), serta bagaimana perang defensif harus disikapi, termasuk dalam kasus-kasus dimana kemerdekaan suatu negara terancam. Bagi Jaurès, satu-satunya tugas militer adalah membela negara dari invasi atau dari pihak agresor manapun yang menampik penyelesaian perselisihan dengan jalan mediasi. Semua tindakan militer yang tergolong dalam kategori ini harus dianggap sah. Namun, kritik jernih Luxemburg terhadap posisi Jaurès menunjukkan bahwa “fenomena-fenomena sejarah seperti perang modern tidak dapat dinilai dengan tolok ukur ’keadilan’, atau melalui skema ideal pertahanan dan agresi.” Luxemburg memperingatkan betapa sulitnya memastikan apakah sebuah perang betul-betul berwatak ofensif atau defensif, atau apakah negara yang memulainya sengaja menyerbu atau terpaksa menyerang karena terjebak siasat negara-negara yang penentang. Oleh sebab itu, bagi Luxemburg, perbedaan ofensif-defensif itu harus dibuang. Ia pun mengkritik usulan Jaurès tentang “bangsa yang dipersenjatai”, dengan alasan bahwa ide seperti ini akhirnya hanya akan menyuburkan militerisasi di masyarakat.
Seiring waktu komitmen Internasionale Kedua untuk mendukung kebijakan damai semakin kendur. Organisasi ini tidak terlihat serius menentang kebijakan pemersenjataan kembali (rearmament) dan persiapan perang. Sebuah faksi SPD yang kian moderat dan bertendensi legalistik malah mendukung obligasi perang—bahkan kelak menyepakati ekspansi kolonial—sebagai imbalan untuk kebebasan politik yang lebih besar di Jerman. Gustav Noske, Henry Hyndman dan Antonio Labriola terhitung sebagai tokoh dan teoritikus terkemuka yang pertama-tama mengambil posisi ini. Akhirnya, sebagian besar kaum Sosial Demokrat Jerman, Sosialis Prancis, para pemimpin Partai Buruh Inggris dan kaum reformis Eropa lainnya mendukung Perang Dunia Pertama (1914-1918). Rangkaian peristiwa ini berujung malapetaka. Berkat iming-iming bahwa “manfaat kemajuan” tak semestinya dimonopoli oleh kaum kapitalis, gerakan kelas pekerja malah menyepakati misi ekspansionis kelas yang berkuasa. Mereka terbuai dalam dekapan ideologi nasionalis. Internasional Kedua, yang terbukti tak berdaya menghadapi perang, gagal mewujudkan salah satu misinya: melestarikan perdamaian.
Dalam Konferensi Zimmerwald (1915), Lenin dan delegasi lainnya—termasuk Leon Trotsky yang menulis draf akhir Manifesto Zimmerwald—meramalkan: “Untuk beberapa dekade ke depan, anggaran belanja perang akan menguras energi terbaik rakyat, merusak upaya-upaya perbaikan sosial, dan menghambat kemajuan apapun.” Bagi Lenin dkk., perang menelanjangi “kapitalisme modern yang semakin sulit didamaikan tak hanya dengan kepentingan massa pekerja […] tetapi juga dengan syarat-syarat mendasar kehidupan bersama umat manusia.” Peringatan itu hanya diindahkan oleh segelintir orang dalam gerakan pekerja. Seruan kepada seluruh buruh Eropa di Konferensi Kienthal (1916) juga bernasib sama. Seruan Kienthal berbunyi: “Pemerintah kalian dan koran-koran mereka sudah mengumumkan bahwa perang harus berlanjut agar militerisme mampus! Mereka membohongi kalian! Perang tidak pernah membunuh perang. Perang memang memicu perasaan dan keinginan balas dendam. Dengan menandai kalian agar berkorban, mereka menjerumuskan kalian ke lingkaran setan.” Dokumen final Kienthal—yang akhirnya pisah jalan dengan Kongres Stuttgart yang menyerukan penyelenggaraan peradilan arbitrase internasional—menyatakan bahwa “ilusi pasifisme borjuis” tidak akan memutus mata rantai perang alih-alih sekadar ikut melanggengkan tatanan sosial-ekonomi yang ada. Penaklukkan kekuasaan oleh massa-rakyat dan penggulingan sistem hak milik kapitalis adalah satu-satunya jalan untuk mencegah konflik bersenjata di masa depan.
Rosa Luxemburg dan Vladimir Lenin adalah dua penentang perang di garis terdepan. Karya-karya Luxemburg memperluas pemahaman teoretis di kubu kiri dan menunjukkan bagaimana militerisme berperan sebagai tulang punggung negara. Luxemburg, dengan iman baja dan daya tutur yang nyaris tak tertandingi pemimpin komunis lainnya, menegaskan bahwa slogan “Perang melawan perang!” harus menjadi “landasan politik kelas pekerja.” Internasional Kedua, tulis Luxemburg dalam Krisis Demokrasi Sosial (1916)—yang kelak dikenal sebagai Pamflet Junius—bubar karena gagal “menyepakati taktik dan aksi bersama proletariat di seluruh dunia.” Sejak itulah “memerangi imperialisme dan mencegah perang, baik dalam situasi damai maupun perang” menjadi “misi utama” yang wajib diemban proletariat.
Jasa besar Lenin—sebagaimana terlihat dalam Sosialisme dan Perang (1915) dan banyak tulisan lainnya yang terbit selama Perang Dunia I—adalah mengidentifikasi dua persoalan fundamental. Persoalan pertama menyangkut “falsifikasi sejarah” yang dilakukan kaum borjuasi tiap kali mereka mengait-ngaitkan “sentimen progresif pembebasan nasional” dengan apa yang sebenarnya merupakan perang “penjarahan”—sebuah perang yang dilancarkan demi satu tujuan: memutuskan kubu mana yang bakal mendapat giliran untuk menindas bangsa-bangsa yang dianggap paling asing seraya meningkatkan taraf ketimpangan kapitalisme. Persoalan kedua yang diangkat Lenin adalah pengaburan kontradiksi oleh kaum reformis sosial—atau “chauvinis sosial”, demikian sebut Lenin—yang pada akhirnya mendukung justifikasi perang sekalipun mereka sudah mendefinisikan perang sebagai aktivitas “kriminal” dalam resolusi-resolusi Internasional Kedua. Di balik klaim kaum reformis untuk “membela tanah air”, terkandung privilese negara-negara adikuasa untuk “menjarah tanah jajahan dan menindas bangs-bangsa asing.” Perang tidak dilakukan untuk menjaga “eksistensi bangsa-bangsa”, melainkan untuk “ mempertahankan privilese, dominasi, penjarahan dan kekerasan” yang melekat pada berbagai spesies “borjuasi imperialis”. Kaum sosialis yang tunduk pada patriotisme telah menggantikan perjuangan kelas dengan perjuangan untuk berebut “jatah keuntungan yang diperoleh borjuasi nasional lewat penjarahan negeri-negeri lain.” Maka dari itu, Lenin mendukung “perang untuk mempertahankan diri” (defensive wars)—bukan “pertahanan nasional negara-negara Eropa ala Jaurès, melainkan “perang yang adil” (just wars) yang dilancarkan “bangsa-bangsa yang ditaklukkan dan ditindas,” yang telah “dijarah dan dirampas hak-haknya” oleh “negeri-negeri adikuasa pemilik budak.” Tesis paling tersohor dari pamflet ini—bahwa kaum revolusioner harus berusaha “mengubah perang imperialis menjadi perang saudara”—menyiratkan bahwa siapapun yang benar-benar mendambakan “perdamaian demokratis nan langgeng” harus mengobarkan “perang saudara melawan borjuasi dan pemerintah mereka sendiri.” Lenin memiliki keyakinan—yang kelak dibantah oleh sejarah—bahwa setiap perjuangan kelas yang konsisten dilancarkan pada masa perang “niscaya” akan menciptakan spirit revolusioner di tengah massa.
Menarik garis pemisah
Perang Dunia I melahirkan perpecahan tidak hanya di Internasional Kedua tetapi juga di tubuh gerakan anarkis. Tak lama setelah perang meletus, Kropotkin menulis sebuah artikel yang menyatakan bahwa “menghentikan invasi Jerman di Eropa Barat adalah tugas setiap orang yang mencintai gagasan kemajuan umat manusia.” Membaca artikel ini, banyak pihak beranggapan Kropotkin telah mencampakkan prinsip-prinsip yang telah ia perjuangkan seumur hidupnya. Namun, pernyataan ini merupakan upaya Kropotkin untuk melampaui slogan “pemogokan umum melawan perang”—yang tak diacuhkan massa pekerja—dan untuk menghindari kemunduran umum dalam politik Eropa yang akan terjadi jika Jerman menang. Dalam pandangan Kropotkin, jika kaum anti-militer tetap berpangku tangan, maka secara tak langsung mereka telah membantu misi penaklukkan para agresor, dan hambatan yang muncul dari sana akan lebih sulit diatasi oleh siapapun yang memperjuangkan revolusi sosial.
Menanggapi Kropotkin, anarkis Italia Enrico Malatesta berargumen bahwa meskipun dirinya bukan pasifis dan menganggap sah perjuangan bersenjata dalam perang pembebasan, Perang Dunia bukanlah—sebagaimana digaungkan propaganda borjuis—perjuangan demi “kemaslahatan umum melawan musuh bersama” demokrasi. Alih-alih, bagi Malatesta, Perang Dunia adalah sekadar contoh lain dari upaya kelas yang berkuasa untuk menaklukkan massa pekerja. Dia menyadari “kemenangan Jerman niscaya berarti kemenangan militerisme, namun di sisi lain kemenangan bagi pihak Sekutu juga sama saja dengan dominasi Rusia-Inggris di Eropa dan Asia.”
Dalam Manifesto Enam Belas (1916), Kropotkin bersikukuh akan pentingnya “melawan agresor yang menjadi wajah kehancuran seluruh harapan pembebasan kita.” Kemenangan Triple Entente terhadap Jerman akan mendatangkan keburukan yang lebih kecil (lesser evil) dan lebih minim efeknya untuk pelemahan kebebasan-kebebasan yang ada. Di sisi lain, Malatesta dan para penandatangan manifesto anti-perang dari Anarkis Internasional (1915) menyatakan: “Mustahil perang ofensif dan defensif bisa dibedakan.” Mereka juga menambahkan bahwa “Tak satu pun dari kubu dalam perang berhak mengklaim peradaban, sebagaimana mereka juga tak berhak mendaku melakukan pembelaan diri secara sah.” Perang Dunia I, tegas mereka, adalah episode lanjutan dalam pusaran konflik antar kapitalis dari berbagai negeri imperialis, sebuah perang yang dilancarkan dengan mengorbankan kelas pekerja. Malatesta, Emma Goldman, Ferdinand Nieuwenhuis dan sebagian besar aktivis gerakan anarkis yakin bahwa mendukung pemerintah borjuis adalah kesalahan yang tak termaafkan. Sebaliknya, tanpa terkecuali, mereka berakhir dengan slogan “tolak kirim orang dan uang untuk tentara,” dan bahkan secara tegas menolak memberikan dukungan tak langsung dalam upaya-upaya perang.
Penyikapan terhadap perang juga menimbulkan perdebatan dalam gerakan feminis. Kaum lelaki direkrut ke medan tempur sehingga kalangan industri menggantikan mereka dengan perempuan di posisi-posisi yang telah lama dimonopoli laki-laki. Namun, pekerja perempuan ini mendapat upah yang jauh lebih rendah dan bekerja dalam kondisi yang sangat eksploitatif. Situasi ini memicu penyebaran ideologi chauvinis di sebagian besar gerakan hak pilih perempuan (suffragette) yang baru lahir. Beberapa pemimpin gerakan melangkah lebih jauh dengan mengajukan petisi untuk penyusunan undang-undang yang bakal mengizinkan perempuan untuk mendaftar sebagai tentara. Ekspos terhadap pemerintah yang bermuka dua—yang memukul mundur capaian-capaian mendasar reformasi sosial dengan cara menggaungkan ketakutan akan “musuh di perbatasan”—adalah salah satu prestasi terpenting tokoh-tokoh terdepan komunis perempuan kala itu. Clara Zetkin, Alexandra Kollontai, Sylvia Pankhurst, dan tentu saja Rosa Luxemburg termasuk dalam golongan pertama yang secara tegas dan berani menapaki jalan yang kelak menjadi teladan bagi generasi mendatang bahwa perlawanan terhadap militerisme amatlah penting bagi perlawanan terhadap patriarki. Kelak, penolakan terhadap perang menjadi unsur tak terpisahkan dalam peringatan Hari Perempuan Internasional, dan kerja-kerja menggugurkan anggaran perang untuk konflik-konflik baru terus mengemuka di banyak panggung gerakan feminis internasional.
Tujuan akhir tidak berarti menghalalkan segala cara dan cara yang salah bisa merusak tujuan
Pasca-kelahiran Uni Soviet dan berkembangnya dogmatisme ideologi pada 1920an dan 1930an, perpecahan mendalam antara kaum revolusioner dan reformis merembet hingga ke perkara strategi, hingga menihilkan aliansi anti-militerisme antara Komunis Internasional (1919-1943) dan partai-partai Sosialis dan Sosial Demokrat Eropa. Setelah mendukung perang, partai-partai yang terlibat dalam pembengtukan Buruh dan Sosialis International (Labour and Socialist International Buruh dan Sosialis Internasional) (1923-1940) kehilangan martabatnya di mata kaum komunis. Gagasan Leninis tentang “mengubah perang imperialis menjadi perang saudara” masih berlaku di Moskow. Para politisi dan teoretikus terkemuka di Rusia masih berpikir bahwa “1914 Jilid Dua”—alias perang dunia berikutnya—mustahil dihindari. Masing-masing kubu lebih sibuk bicara tentang apa yang harus dilakukan jika perang kembali pecah ketimbang membahas cara-cara mencegah perang baru. Pada dasarnya, slogan-slogan dan pernyataan sikap yang mereka utarakan saat itu berbeda dari apa yang diharapkan, dan berjarak pula dari apa yang kelak menjadi tindakan politik. Pendapat-pendapat kritis di kubu Komunis disuarakan oleh Nikolai Bukharin, seorang pendukung slogan “perjuangan untuk perdamaian.” Pemimpin Rusia lain yang meyakini perdamaian sebagai “salah satu isu utama dunia dewasa ini” adalah Georgi Dimitrov, yang berpendapat bahwa tak semua negara adidaya memikul tanggung jawab yang sama atas ancaman perang. Dimitrov juga menghendaki pemulihan hubungan dengan partai-partai reformis untuk membangun front rakyat guna melawan perang. Kedua pandangan ini kontras dengan mantra-mantra ortodoksi Soviet yang juga tidak memperbarui analisis teoretis mereka. Ortodoksi Moskow bersikeras bahwa hasrat berperang telah mengalir di tubuh seluruh kekuatan imperialis tanpa pengecualian, tanpa ada bedanya.
Pandangan Mao Zedong berbeda. Sebagai pemimpin gerakan pembebasan melawan invasi Jepang, ia menulis dalam On Protracted War (1938) bahwa “perang yang adil”—di mana komunis wajib berpartisipasi—“diberkahi kekuatan luar biasa yang dapat mengubah banyak hal atau merintis jalan untuk perubahan-perubahan tersebut. Maka dari itu, Mao mengusulkan strategi “melawan perang yang tidak adil dengan perang yang adil,” kemudian “meneruskan perang hingga tujuan politiknya tercapai.” Argumen-argumen Mao yang mendukung “keperkasaan perang revolusioner” kembali muncul dalam Masalah Perang dan Strategi (1938). Dalam tulisan ini ia bersikukuh bahwa “hanya senjata yang mampu mengubah seluruh dunia,” dan “perampasan kekuasaan oleh militer, penyelesaian masalah dengan perang, adalah tugas utama dan wujud tertinggi revolusi.”
Di Eropa, eskalasi kekerasan aliansi Nazi-Fasis di dalam maupun di luar negeri, serta pecahnya Perang Dunia II (1939-1945) memunculkan skenario yang bahkan lebih jahat daripada perang 1914-18. Setelah pasukan Hitler menyerbu Uni Soviet pada 1941, Perang Patriotik Akbar (The Great Patriotic War) yang berakhir dengan keoknya Nazisme menjadi unsur sentral dalam wacana kebangsaan Rusia yang sukses bertahan dari keruntuhan Tembok Berlin dan terus eksis hingga sekarang.
Setelah Perang Dunia II berakhir, dunia terbelah menjadi dua blok. Joseph Stalin menegaskan bahwa tugas utama gerakan Komunis internasional adalah melindungi Uni Soviet. Pilar utama kebijakan ini adalah pembentukan zona penyangga (buffer zone) yang terdiri dari delapan negara di kawasan Eropa Timur (setelah keluarnya Yugoslavia menjadi tujuh negara). Pada periode tersebut, Doktrin Truman menandai kemunculan jenis perang baru: Perang Dingin. Selanjutnya, Amerika Serikat berperan penting dalam menghambat kekuatan progresif di Eropa Barat dengan menyokong kekuatan anti-komunis di Yunani, menjalankan program Marshall Plan (1948), dan mendirikan NATO (1949). Uni Soviet merespons langkah-langkah AS dengan mendirikan Pakta Warsawa (1955). Konfigurasi baru ini akhirnya memicu perlombaan senjata besar-besaran, yang juga melahirkan lomba uji coba bom nuklir, terlepas dari fakta bahwa kehancuran Hiroshima dan Nagasaki masih segar dalam ingatan.
Sejak 1961, di bawah kepemimpinan Nikita Khrushchev, Uni Soviet merintis jalan politik baru yang kelak dikenal sebagai “koeksistensi damai”. Perubahan sikap yang menekankan pentingnya prinsip non-intervensi dan penghormatan atas kedaulatan nasional, serta kerjasama ekonomi dengan negara-negara kapitalis ini, dimaksudkan untuk mencegah potensi perang dunia ketiga (seperti yang telah terlihat selama krisis misil Kuba pada 1962) serta menguatkan pandangan bahwa perang bisa dihindari. Namun, upaya kerjasama konstruktif ini hanya terarah ke AS, bukan ke negara-negara yang saat itu telah menjadi bagian dari blok sosialis (actually existing socialism). Pada 1956, Uni Soviet mengkremus pemberontakan rakyat di Hongaria. Alih-alih mengutuk, partai-partai komunis Eropa Barat membenarkan intervensi militer tersebut dengan dalih melindungi blok sosialis. Sekretaris Partai Komunis Italia Palmiro Togliatti, misalnya, menyatakan: “Kami tetap mendukung kubu kami sendiri sekalipun keliru.” Mayoritas pihak yang mengambil posisi yang sama kelak memahami dampak desktruktif intervensi Soviet dan menyesal keputusan mereka.
Nasib serupa menimpa Cekoslowakia pada 1968. Kala itu, koeksistensi damai antara kedua blok tengah berada di puncak. Dihadapkan pada tuntutan demokratisasi dan desentralisasi ekonomi selama Musim Semi Praha, Politbiro Partai Komunis Uni Soviet secara bulat memutuskan untuk mengirim setengah juta tentara dan ribuan tank. Dalam kongres Partai Persatuan Pekerja Polandia 1968, Leonid Brezhnev menjelaskan bahwa intervensi tersebut mengacu pada apa yang disebutnya “kedaulatan terbatas” negara-negara Pakta Warsawa: “Ketika kekuatan-kekuatan yang memusuhi sosialisme mencoba mengubah perkembangan beberapa negara dalam blok sosialis ke arah kapitalisme, ini tidak hanya menjadi perkara negara yang bersangkutan, tetapi juga menjadi urusan dan keprihatinan bersama seluruh negara sosialis.” Menurut logika anti-demokrasi ini, mana yang “sosialis” dan mana yang bukan sosialisme sudah sewajarnya diputuskan oleh para pemimpin Soviet. Namun, kali ini para pengkritik dari kubu kiri mengambil sikap lebih terbuka dan bahkan mewakili mayoritas. Meskipun ketidaksetujuan atas tindakan Soviet diungkapkan tidak hanya oleh gerakan Kiri Baru tetapi juga oleh mayoritas partai Komunis, termasuk Tiongkok, Rusia tetap pantang mundur dan malah melakukan proses yang mereka sebut “normalisasi”. Uni Soviet terus mengalokasikan sebagian besar sumber daya ekonominya untuk belanja militer, dan ini ikut memperkuat budaya otoriter di masyarakat. Walhasil, Uni Soviet kehilangan kepercayaan dari gerakan perdamaian yang saat itu membengkak berkat aksi mobilisasi besar-besaran melawan perang di Vietnam.
Salah satu perang terpenting dalam dekade berikutnya dimulai dengan invasi Soviet ke Afghanistan. Pada 1979, Tentara Merah kembali menjadi instrumen utama kebijakan luar negeri Moskow, yang terus mengklaim hak untuk campur tangan dalam ”zona keamanan” yang ia definisikan sendiri. Keputusan buruk itu berubah menjadi petualangan melelahkan selama lebih dari sepuluh tahun, menyebabkan angka kematian yang besar, dan membuat jutaan orang mengungsi. Dalam kesempatan ini gerakan Komunis internasional jauh lebih berani bersikap ketimbang saat mereka menanggapi invasi Soviet ke Hongaria dan Cekoslowakia. Namun, di mata publik internasional, perang baru ini telah mengungkap perceraian antara blok sosialis dengan alternatif politik yang berpijak pada perdamaian dan perlawanan terhadap militerisme.
Secara keseluruhan, intervensi militer Soviet tidak hanya menciderai inisiatif pengurangan senjata secara umum tetapi juga mendiskreditkan dan melemahkan sosialisme secara global. Uni Soviet semakin dilihat sebagai kekuatan imperial yang tindakannya tidak berbeda dengan Amerika Serikat. Washington sendiri diam-diam telah menyokong kudeta dan upaya penggulingan pemerintahan yang dipilih secara demokratis di lebih dari 20 negara dunia. Terakhir, “perang sosialis” pada 1977-1979 yang melibatkan Kamboja dan Vietnam serta Tiongkok dan Vietnam—tanpa melupakan latar belakang perpecahan Uni Soviet dan RRC—telah menggerus pengaruh ideologi “Marxis-Leninis”—yang bahkan sudah melenceng jauh dari fondasi asli yang diletakkan oleh Marx dan Engels—yang selama ini terus mengaitkan perang secara eksklusif dengan kekacauan ekonomi dalam sistem kapitalisme.
Menjadi di kiri berarti melawan perang
Berakhirnya Perang Dingin tidak mengurangi frekuensi campur tangan dalam urusan negara lain, tidak pula meningkatkan kebebasan setiap orang untuk memilih rezim politik di mana ia bisa hidup. Banyak perang—tanpa mandat PBB dan bahkan didefinisikan dengan absurdnya sebagai intervensi “kemanusiaan”—yang dilakukan oleh AS dalam dua puluh lima tahun terakhir—plus bentuk-bentuk baru konflik, sanksi politik dan ekonomi yang dilakukan secara ilegal, dan pengkondisian media—menunjukkan bagaimana pembagian kutub antara dua negara adidaya gagal melapangkan jalan menuju era kebebasan dan kemajuan yang dijanjikan oleh mantra neoliberal “Tatanan Dunia Baru”. Dalam konteks ini, banyak kekuatan politik yang pernah mengklaim nilai-nilai kiri kini terlibat dalam sejumlah perang. Dari Kosovo hingga Irak dan Afghanistan—beberapa contoh perang besar yang dilancarkan NATO sejak runtuhnya Tembok Berlin—kekuatan-kekuatan ini kerap mendukung intervensi bersenjata dan membuat sikap mereka semakin sulit dibedakan dari kubu kanan.
Dalam perang Rusia-Ukraina kaum kiri kembali menghadapi dilema klasik: respons apa yang semestinya diberikan ketika kedaulatan suatu negara diserang? Pemerintah Venezuela, misalnya, tidak mengutuk invasi Rusia ke Ukraina. Ini kesalahan politik. Absennya kecaman Caracas bisa mempersulit posisi Venezuela seandainya kelak diserbu oleh Amerika Serikat. Kecaman Venezuela atas invasi AS—jika nanti benar-benar kejadian—akan terdengar kurang kredibel. Memang benar “dalam kebijakan luar negeri, tak banyak yang dapat diperoleh dengan menggunakan jargon populer seperti ’reaksioner’ dan ’revolusioner’”—bahwa apa yang “secara subjektif reaksioner [mungkin terbukti] revolusioner secara objektif dalam kebijakan luar negeri,” demikian isi surat Marx kepada Ferdinand Lassalle pada 1860. Namun, kaum kiri sudah seharusnya belajar dari pengalaman abad ke-20 bahwa aliansi “dengan musuhnya musuh saya” seringkali mengarah pada kesepakatan-kesepakatan kontraproduktif, terutama ketika—seperti yang hari ini terjadi—front progresif lemah secara politik, gagap secara teori, dan miskin mobilisasi massa.
Dalam Revolusi Sosialis dan Hak Bangsa-Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri, Lenin berujar: “Dalam kondisi-kondisi tertentu, perjuangan pembebasan nasional melawan kekuatan imperialis dapat dimanfaatkan oleh kekuatan “adidaya” lain untuk kepentingan yang sama-sama imperialisnya; namun ini tidak berarti bahwa kaum Sosial Demokrat bisa mengabaikan pengakuan atas hak semua bangsa untuk menentukan nasib sendiri.” Di luar kepentingan dan intrik geopolitik yang lazim turut bermain, dalam sejarahnya kaum kiri telah lama mendukung prinsip penentuan nasib sendiri dan membela hak masing-masing negeri untuk mendirikan perbatasan atas dasar kehendak warganya. Kaum kiri telah melancarkan perang terhadap perang dan “pencaplokan wilayah” karena mereka sadar bahwa perang dan aneksasi hanya akan memicu konflik besar antara pekerja di negara yang mendominasi dan bangsa-bangsa tertindas, lantas menciptakan kondisi bagi yang bangsa-bangsa terjajah untuk bersatu dengan kelas borjuasi mereka sendiri dan memusuhi buruh-buruh di negara penindas. Dalam Hasil Diskusi Penentuan Nasib Sendiri (1916), Lenin menulis: “Jika revolusi sosialis ingin menang di Petrograd, Berlin dan Warsawa, maka pemerintah sosialis Polandia, seperti halnya pemerintah sosialis Rusia dan Jerman, harus menanggalkan upaya-upaya penuh paksaan untuk mengontrol, misalnya, orang-orang Ukraina di dalam perbatasan Polandia melalui.” Jika demikian, mengapa opsi yang berbeda harus ditawarkan kepada pemerintah nasionalis pimpinan Vladimir Putin?
Di sisi lain, terlalu banyak kaum kiri yang menyerah pada godaan untuk terlibat dalam perang—baik langsung maupun tidak—lantas mengobarkan ‘persekutuan suci’ (union sacrée, sebuah ungkapan yang dicetuskan pada 1914 untuk menyambut dukungan kaum kiri Prancis kepada pemerintah yang memutuskan untuk terjun ke kancah Perang Dunia I). Hari ini, posisi semacam itu semakin mengaburkan perbedaan antara Atlantisisme dan pasifisme. Sejarah menunjukkan, ketika kubu progresif tidak menentang perang, bagian penting dari alasan keberadaan mereka akan hilang dan pada akhirnya mereka pun akan larut dalam ideologi kubu lawan. Ini terjadi tiap kali partai kiri menjadikan eksistensi mereka di pemerintahan sebagai tolok ukur tindakan politik. Itulah yang dilakukan kaum komunis Italia ketika mendukung intervensi NATO di Kosovo dan Afghanistan, atau ketika mayoritas anggota Unidas Podemos hari ini bersama parlemen Spanyol mendukung keputusan pengiriman bantuan senjata ke kubu Ukraina. Perilaku rendahan semacam itu sudah berkali-kali diganjar hukuman, termasuk di bilik-bilik pemungutan suara ketika pemilu digelar.
Bonaparte bukanlah demokrasi
Pada 1853-1856, Marx menulis serangkaian artikel yang cemerlang untuk New-York Daily Tribune. Kumpulan artikel itu menyuguhkan banyak sekali paralel yang menarik dan berguna sebagai pelajaran untuk hari ini. Dalam sebuah artikel bertahun 1853, Marx membahas seorang penguasa besar Moskow dariq abad ke-15 yang dianggap telah menyatukan Rusia dan meletakkan pondasi bagi kekuasaannya yang otokratik. Marx menyatakan: “Orang cukup mengganti deretan nama dan tanggal ini sehingga jelas bahwa kebijakan Ivan III […], dan kebijakan Tsar Rusia sekarang tidak hanya serupa tetapi juga identik.” Namun, pada tahun berikutnya, ketika Marx berseberangan dengan kaum demokrat liberal yang mengusung koalisi anti-Rusia, ia menulis: “Keliru ketika perang melawan Rusia digambarkan sebagai pertempuran antara kebebasan dan despotisme. Bahkan seandainya gambaran itu benar, kebebasan untuk sementara waktu diwakili oleh seorang Bonaparte, seluruh misi yang dipikul perang ini adalah pelestarian … Traktat Wina—perjanjian-perjanjian yang membatalkan kebebasan dan kemerdekaan bangsa-bangsa.” Jika kita mengganti Bonaparte dengan Amerika Serikat dan Traktat Wina dengan NATO, amatan Marx seakan ditulis untuk hari ini.
Keraguan politik atau kekaburan teori tak terlihat dalam pemikiran mereka yang menentang nasionalisme Rusia dan Ukraina serta ekspansi NATO. Dalam beberapa pekan terakhir, sejumlah ahli memberikan penjelasan tentang akar konflik Rusia-Ukraina (tanpa sama sekali mengurangi bobot kebrutalan invasi Rusia); posisi mereka yang mengusung kebijakan untuk tidak berpihak pada kubu-kubu yang bertikai adalah jalan paling efektif untuk mengakhiri perang sesegera mungkin dan memastikan agar jumlah korban jiwa tak bertambah. Ini bukan soal berperilaku bak “jiwa-jiwa molek” yang mabuk idealisme abstrak, yang menurut Hegel tak mampu menghadapi realitas penuh kontradiksi di dunia nyata. Sebaliknya: pokok dari pendekatan ini adalah memberikan basis kenyataan kepada satu-satunya penangkal sejati perang agar tidak merembet ke mana-mana. Di sisi lain, seruan rekrutmen serdadu untuk perang terus bergema. Demikian pula suara-suara yang menekankan bahwa Eropa wajib menyuplai senjata dan amunisi yang dibutuhkan untuk berperang (sikap ini misalnya diambil oleh Perwakilan Tinggi Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan Uni Eropa). Namun, berbeda dengan posisi-posisi tersebut, yang perlu terus digencarkan adalah diplomasi berlandaskan dua tuntutan pokok yang tak bisa ditawar—de-eskalasi konflik dan netralitas Ukraina yang merdeka.
Meskipun dukungan untuk NATO meningkat karena invasi Rusia, diperlukan kerja keras untuk memastikan agar publik tidak memandang NATO—mesin perang terbesar dan paling agresif di dunia—sebagai solusi untuk masalah-masalah keamanan global. NATO harus diekspos sebagai organisasi berbahaya lagi tidak efektif, sebagai organisasib yang telah menjerumuskan dunia ke dalam ketegangan-ketegangan yang bisa melahirkan perang, sebagai akibat dari upayanya untuk melancarkan ekspansi dan dominasi tatanan dunia unipolar.
Dalam Sosialisme dan Perang, Lenin berpendapat bahwa kaum Marxis berbeda dari pasifis dan anarkis karena mereka “menilai perlunya mempelajari setiap perang secara historis (dari sudut pandang materialisme dialektis Marx) dan secara terpisah.” Selanjutnya ia menegaskan: “Terlepas dari semua kengerian, kekejaman, kesulitan dan penderitaan yang niscaya mengiringi semua perang, ada banyak perang dalam sejarah yang berwatak progresif, yaitu yang menguntungkan perkembangan umat manusia.” Jika benar demikian yang terjadi di masa lalu, sulit rasanya menegaskan pernyataan tersebut dalam konteks masyarakat hari ini, ketika senjata pemusnah massal terus menyebar. Jarang sekali perang—yang tidak semestinya dirancukan dengan revolusi—membuahkan dampak demokratisasi sebagaimana diharapkan oleh para teoritikus sosialisme. Perang memang sering terbukti menjadi cara terburuk untuk melakukan revolusi, baik karena harga nyawa yang harus dibayar maupun karena penghancuran kekuatan produktif yang ditimbulkannya. Pelajaran ini juga tidak boleh dilupakan oleh kaum kiri moderat.
Bagi kaum kiri, perang tidak boleh menjadi—mengutip Clausewitz—“kelanjutan politik dengan cara lain.” Kenyataannya, perang hanya akan memperjelas kegagalan politik. Jika kaum kiri ingin kembali hegemonik dan menunjukkan bahwa dirinya mampu menggali dan menafsirkan sejarahnya untuk tugas-tugas hari ini, mereka perlu menulis “anti-militerisme” dan “Katakan tidak untuk perang!” di spanduk-spanduk.***
Marcello Musto adalah Profesor Sosiologi di York University, Toronto. Tulisan-tulisannya yang tersedia di www.marcellomusto.org telah diterbitkan dalam lebih dari dua puluh bahasa.