Ilustrasi: Illustruth
SUDAH lebih dari tiga dekade Herman menjadi buruh di sebuah pabrik mebel di Jakarta Utara. Perjalanannya di tempat ini tergolong panjang. Pertama kali bekerja, ia ditugaskan di bagian pengangkutan. Perlahan posisinya naik sampai akhirnya memegang pos kepala mandor, mengurusi alur masuk dan keluar barang.
Pencapaian itu tak otomatis bikin Herman bergelimang uang. Hidupnya tak jauh berbeda ketimbang satu atau dua puluh tahun lalu. Ia masih mengontrak rumah, mencicil sepeda motor, hingga—tak jarang—pontang-panting cari pinjaman untuk beli beras atau bahan pokok lain.
“Cuma, bedanya, saya sudah bisa menyekolahkan anak-anak saya. Yang satu sebentar lagi mau lulus SMA, satunya lagi bentar lagi lulus D3,” kata lelaki 55 tahun ini kepada saya. “Itu rasanya sudah lebih dari cukup. Senang sekali.”
Perasaan semacam itu yang mendorong Herman terus giat bekerja, menabung sedikit demi sedikit untuk mimpi-mimpi di masa mendatang, serta mengupayakan segala cara agar orang-orang terdekatnya tak mengalami kesusahan seperti dirinya.
Sampai akhirnya pandemi COVID-19 datang, mengubah drastis kondisi Herman, juga prinsip yang ia pegang.
Awalnya Herman tidak punya kecemasan apa pun terkait virus yang masuk ke Indonesia—berdasarkan klaim pemerintah—pada awal Maret 2020 ini. Ia menilai COVID-19 tak ubahnya flu biasa yang kehadirannya hanya sebentar. Tapi, perkiraan Herman keliru. COVID-19 bertahan lebih lama dan berdampak pada banyak aspek kehidupan, tak terkecuali pekerjaannya.
Herman mulai mencium ketidakberesan di pabrik tempatnya mencari uang kurang lebih empat bulan setelah COVID-19 tiba di Indonesia. Gajinya dipotong sebesar 10 persen dengan dalih “efisiensi kas perusahaan.” Empat bulan berikutnya potongannya tak berubah, tapi perusahaan telat membayar haknya. “Telatnya bisa seminggu. Kata perusahaan, ketika saya tanya, lagi cari uang [buat bayar gaji pekerja].”
Alih-alih membaik, nestapa makin Herman—dan buruh lain—terima. Puncaknya awal 2021, tatkala surat PHK sampai di tangannya. Ia memberi perumpamaan, “Rasanya kayak dilempar sama batok kelapa.”
Surat tersebut datang tanpa sedikit pun pertanda, dan sebagaimana yang muncul secara tiba-tiba, ia turut meruntuhkan harapan Herman nyaris tanpa sisa.
“Dan yang menyakitkan kami enggak diajak bicara sebelum keputusan [PHK] ini keluar. Padahal aturan yang ada sudah mengatur itu. Sementara mereka main terabas aja. Tahu-tahu, surat [PHK] sudah di tangan saya.” Nadanya agak meninggi saat merekam kejadian pahit itu.
Termasuk Herman, ada sekitar hampir 20 orang yang diputus sepihak oleh manajemen. Lebih dari setengahnya merupakan buruh senior, dengan kata lain sudah bekerja lebih dari 10 tahun. Alasan pemecatan membawa faktor kondisi terkini, bahwa pandemi membuat kas perusahaan limbung, dan mengurangi jumlah pekerja dinilai jadi salah satu jalan penyelamatan.
Meski demikian, Herman dan mereka yang bernasib serupa tak serta merta menelan klaim perusahaan. Herman mengatakan bahwa selama pandemi pabrik masih menerima beberapa pesanan berskala besar, hasil dari menang lelang di instansi pemerintah.
“Jadi, kalau bilang rugi, itu di sebelah mana? Apakah bener-bener enggak punya duit?” ia bertanya penuh heran. “Karena perusahaan sendiri enggak pernah terbuka selama ini. Karyawan pada enggak dikasih tahu.”
Herman, tentu saja, berupaya mencari keadilan yang tiba-tiba hilang. Tak lama usai surat PHK diteken dan sampai di tangan, ia langsung melayangkan protes. Setidaknya empat kali ajakan berunding dilayangkan ke perusahaan, dan semuanya seperti menemui tembok tebal. Herman pulang dengan tangan kosong dan hanya membawa kekalahan. Perusahaan, ia bilang, sekadar mengobral janji tanpa disertai tindak lanjut.
“Ketika yang terakhir [mediasi] sama pemerintah [DKI Jakarta] itu juga mereka mangkir dari panggilan. Pemerintahnya sendiri juga enggak ada tindakan apa-apa,” ujar Herman. “Bahkan satu orang pemerintahan bilang, ‘Udah, terima aja. Lagi pula masih dapat pesangon’.”
Kalimat itu lantas bikin Herman tambah sadar betapa jalan hidup sebagai buruh cuma beradu dengan ketidakpastian, juga posisi yang paling lemah dalam mata rantai kapitalisme.
“Kami ditindas,” tuturnya.
TIGA malam berturut-turut Ari mengaku tak bisa tidur dengan baik. Pikirannya bercabang ke banyak urusan. Salah satunya yakni mengurus anggota keluarga yang terpapar COVID-19. Istrinya sudah dua hari menjalani isolasi mandiri. Sementara anak dan menantunya juga demikian. Beruntungnya, mereka semua tanpa gejala.
“Coba kalau sampai rumah sakit, saya pasti panik banget,” katanya membuka percakapan. “Untungnya bisa istirahat di rumah aja. Seenggaknya ngurangin beban pikiran, meski tetep aja enggak bisa tenang.”
Di waktu bersamaan, Ari juga mesti menaruh fokus ke perkara lain yang tak kalah penting, yang ia hadapi selama setengah tahun lebih: mencari keadilan dari pabrik tempatnya bekerja.
Cerita bermula pada akhir 2020. Kala itu, Ari bersama beberapa kawan meminta perusahaan membayar gaji sesuai UMP (Upah Minimum Provinsi). Selama bekerja di sana, sekira dua dekade lebih, ia tak pernah menerima upah sesuai standar. Dalam lima tahun terakhir, tuntutan tersebut konsisten digaungkan, dan sayangnya hasilnya selalu sama: perusahaan tak menaikkan gaji dengan bermacam alasan.
Tak menyerah, Ari kembali melayangkan protes. Ia berharap situasi kali ini berpihak padanya. Namun harapannya lagi-lagi meleset, bahkan berbalik menghantamnya. Bukan hanya ditolak, Ari dan belasan buruh justru dirumahkan dan gajinya dipotong sampai setengahnya.
“Perusahaan berdalih karena situasi lagi pandemi, mereka enggak bisa bayar upah sesuai UMP. Ini enggak masuk di akal kami, temen-temen buruh di sini, sebab perusahaan masih menerima beberapa proyek,” tegasnya. “Tapi, sudah enggak dapat pemenuhan hak, kami malah dirumahkan.”
Keputusan perusahaan untuk merumahkan beberapa buruh yang vokal meminta pembayaran UMP sesuai standar ternyata memantik aksi yang lebih keras, mogok massal. Solidaritas terhadap sesama buruh kemudian jadi bahan bakar perlawanan.
Aksi mogok massal sempat membikin perusahaan mengajak buruh berunding, mencari solusi yang sama-sama menguntungkan. Akan tetapi, perundingan itu cuma topeng untuk melakukan tindakan yang culas: memecat belasan buruh—termasuk Ari.
“Pemecatan itu sepihak. Tiba-tiba aja kami dikasih surat sama perwakilan perusahaan. Setelah itu enggak ada keterangan lebih lanjut,” kenang Ari. “Di dalam surat tertulis kami enggak melakukan kewajiban, karena kami melakukan mogok, sebagaimana yang sudah diatur oleh perusahaan.”
Tak terima dengan perlakuan tersebut, Ari dan kawan-kawan buruh mendirikan tenda persis di depan pabrik yang berlokasi di Jakarta Barat. Di tenda ini mereka membangun konsolidasi, juga mobilisasi, untuk memperjuangkan hak-hak yang telah dikebiri perusahaan.
Hampir tujuh bulan lamanya tenda perlawanan itu berdiri. Mereka terus menyuarakan tuntutan, berharap perusahaan bersedia diajak urun rembuk. Persoalannya, semakin keras bersuara, semakin tak jelas masa depan mereka.
“Janji dan hanya janji yang kami terima. Ketika kami meminta perusahaan menepati janji tersebut, mereka selalu bergeming dengan [bilang] ini dan itu. Alasannya banyak, entah lagi sibuk, entah lagi apa, lah. Ada aja alasannya,” tegas Sugeng, buruh senior, sudah bekerja selama 25 tahun, yang juga dipecat sepihak.
Setiap perjuangan selalu punya batas, dan batas yang dihadapi para buruh korban PHK ini adalah ketika mereka harus memikirkan kebutuhan hidup esok hari. Sebagian buruh bisa memperoleh pendapatan pengganti dengan, misalnya, jadi pengemudi ojek daring. Sementara sisanya, dan jumlahnya tak sedikit, belum mendapatkan keberuntungan serta hanya mengandalkan tabungan guna memenuhi banyak urusan: keluarga, perut, hingga tenda protes.
Kondisi tersebut lantas memaksa mereka untuk menyusun ulang kembali prioritas, dengan kata lain: meletakkan perjuangan dan memilih menerima nasib. Ari mengatakan bahwa tujuh bulan melakukan protes bukan waktu yang sebentar. Energinya telah habis. Harapannya terbentur tembok tebal.
“Bagaimanapun saya ada kebutuhan, saya ada keluarga yang harus diperhatikan. Makin lama protes, kayaknya makin bikin capek, dan kami makin enggak dapat apa yang kami perjuangkan,” jelas Ari.
Pandemi COVID-19 telah membuat limbung perekonomian, dan hasilnya adalah pemutusan kerja dalam jumlah yang begitu masif. Secara nasional, berdasarkan rekapitulasi Kementerian Ketenagakerjaan, angka PHK melonjak tajam pada 2020, menyentuh 3,6 juta, jauh dari tahun sebelumnya yang “hanya” 45 ribu. Di ibu kota, Jakarta, pandemi turut menambah angka pengangguran terbuka. Data Badan Pusat Statistik memperlihatkan pada Agustus 2020 ada 572.780 orang yang masuk dalam kategori tersebut, atau sekitar 10,95 persen. Jika dibandingkan dengan 2019, terdapat kenaikan kurang lebih 4,41 persen—bertambah 233.378 orang. Dari total pengangguran terbuka yang sudah dihitung, 175.890 orang di antaranya disebabkan perusahaan tempat mereka bekerja terdampak pandemi atau implementasi PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Sektor formal kehilangan 453.295 pekerja, tapi dalam perjalanannya hanya 259.597 orang saja yang dapat diserap sektor informal.
Di waktu bersamaan, efek pandemi tak sebatas menciptakan pengangguran, melainkan juga memengaruhi tingkat produktivitas pekerja. Tercatat 1.673.028 pekerja terpaksa mengalami pengurangan jam kerja lantaran COVID-19.
Masalahnya, banyak perusahaan yang memakai dalih COVID-19 untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan regulasi. Misalnya, menutupi kondisi keuangan perusahaan. Lalu, buruh-buruh juga tak dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan dipaksa menerima hasil akhir yang jauh dari kata layak.
Peran pemerintah, berdasarkan reportase yang saya jalankan, turut menambah runyam permasalahan. Pasalnya, sebagai pembuat kebijakan, mereka kerap “berdiam diri” tatkala ada problem yang mengintai para buruh, termasuk pemutusan hubungan kerja. Peran mediator—antara buruh dan perusahaan—tak maksimal dijalankan. Banyak kasus yang menguap tanpa jejak, meninggalkan buruh dalam posisi yang sulit.
Saya berupaya meminta konfirmasi kepada pejabat setempat, tepatnya Dinas Ketenagakerjaan DKI Jakarta, sehubungan dengan maraknya kasus PHK sepihak oleh perusahaan. Namun, hingga laporan ini tayang, belum ada jawaban dari pemerintah.
“Kami buruh. Bagaimanapun kami berusaha memperjuangkan hak-hak kami, rasanya selalu susah, dan akhirnya kami yang kalah,” ucap Sugeng. “Kami seperti berada dalam perang yang enggak pernah dimenangkan. Setiap kali ingat itu, rasanya sakit hati juga.”
Sugeng lalu tertawa. Tertawa getir.
INDAH mengatakan kepada saya bahwa baru bisa melakukan wawancara pukul lima sore. Tak seperti pekerja pada umumnya yang memiliki keistimewaan untuk bekerja dari rumah, Indah masih diwajibkan datang ke pabrik, di kawasan Karawang, Jawa Barat. Padahal, ketika kebijakan itu diterapkan, pandemi masih ganas.
“Dulu sempat dua minggu pabrik memberlakukan kebijakan sif kerja. Kayak gini, misalnya, dua hari masuk, dua hari libur. Nah, enggak lama kemudian, kebijakan itu diubah. Semua pekerja wajib masuk, dari jam 7 pagi sampai 5 sore,” terang perempuan 30 tahun ini kepada saya.
Indah dan kolega buruh lainnya tak diam. Mereka sempat mempertanyakan kebijakan itu dan kemudian meminta perusahaan mengubahnya, agar para pekerja tidak berada dalam posisi rentan. Namun, bukannya dituruti, pihak manajemen bersikukuh bahwa “mengganti sistem kerja” merupakan cara buat “menyelamatkan perusahaan.”
Yang bikin Indah geram, ketika perusahaan meminta pekerja wajib datang ke pabrik, mereka tak menyediakan fasilitas kesehatan yang dibutuhkan, seperti hand sanitizer, masker, atau vitamin. Mau tak mau para buruh mesti memenuhi sendiri perlengkapan tersebut, yang otomatis menambah beban pengeluaran.
“Di kantor cuma ada beberapa hand sanitizer buat bersama. Masker juga enggak disediakan. Jadi, kami harus beli,” kata Indah, yang telah bekerja sebagai buruh selama 10 tahun. “Pabrik kayak enggak peduli sama nasib kesehatan buruh.”
Ini realitas pahit yang dihadapi buruh di masa pandemi, selain pemecatan sepihak dan tidak dipenuhinya hak-hak dasar mereka—upah dan pesangon yang proporsional. Bagi buruh yang “selamat” dari PHK, mereka harus bersinggungan dengan lingkungan kerja yang sekadarnya. Dalam konteks pandemi, kondisi tersebut berarti menempatkan buruh pada posisi yang berbahaya.
“Bayangin, Mas,” Indah bilang, dengan intonasi penuh kekhawatiran, “kalau ada satu buruh yang kena COVID-19 pas di pabrik, bisa jadi nularin banyak teman-teman.”
Indah tidak sendirian. Iwan, buruh di Bekasi, turut mengungkapkan kegelisahan yang sama. Juli silam, Iwan terpapar COVID-19. Beruntung, gejalanya tak kelewat parah sehingga tak perlu dirawat di rumah sakit. Meski begitu, Iwan tak mendapatkan sedikitpun perhatian dari perusahaan.
“Saya bayar sendiri buat [tes] swab, antigen sama PCR. Ketika saya sakit, perusahaan juga enggak ngirim obat-obatan ke rumah. Minimal vitamin, lah. Enggak ada kayak gitu,” ceritanya. “Bahkan, sama HRD, saya malah ditanya kapan bisa masuk.”
Di pabrik situasinya tak lebih baik. Perusahaan tak menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Saat Iwan dinyatakan positif COVID-19, perusahaan hanya menutup operasional pabrik selama dua hari. Setelahnya, kegiatan produksi berjalan seperti biasa, seolah tidak terjadi hal yang luar biasa.
“Kayak saya itu lagi kena flu aja, bukan COVID-19 yang membahayakan banyak orang,” tambah Iwan. “Saya kadang enggak habis pikir dengan pola pikir perusahaan yang kayak gitu. Cari untung, kok, segitunya.”
Iwan merasa nasib buruh tak (pernah) diperhatikan serius saat pandemi menyapu hidup banyak orang di Indonesia selama dua tahun terakhir. Buruh, Iwan berkata, terus diperas tenaganya, sedangkan kebutuhan mendasar mereka—akses terhadap fasilitas kesehatan, contohnya—dihiraukan begitu saja.
“Kalau pengin frontal, ya, Bang, buruh mati kayaknya juga enggak pada peduli,” tandas Iwan.
Sejenak kemudian Iwan terdiam. Ada raut gusar yang terpancar jelas dari wajahnya.
Apakah ada harapan yang bisa dipegang, terang di antara gelap, bagi buruh yang berjibaku dengan ketidakpastian nasib, nestapa yang tak kunjung sirna, selama wabah COVID-19 melanda? Pertanyaan itu terus berputar di kepala saya, seperti meminta jawaban dengan segera.
“Teman-teman, syukur, pada saling bantu, saling menguatkan solidaritas di tengah pandemi seperti sekarang,” kata Ratna, buruh asal Bogor yang sehari-hari bekerja di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara.
“Waktu ada teman buruh yang kena COVID-19, kami langsung japri di grup [WhatsApp], ngumpulin kebutuhan yang bisa dipakai buat isolasi mandiri di rumah,” jelasnya. “Setelah terkumpul, barang-barang itu langsung kami antar ke rumah yang bersangkutan.”
Lain Ratna lain pula Ridwan, yang berkisah bahwa selama pandemi ia dan teman-temannya menjalankan iuran rutin yang nantinya dipakai untuk membeli alat-alat kesehatan, membikin dapur umum, sampai membantu mereka yang terkena PHK.
“Total, selama delapan bulan terakhir, sampai Oktober 2021, kami sudah mengumpulkan kurang lebih 15 juta. Semua dialokasikan untuk teman-teman buruh yang terdampak pandemi, selain juga membantu mereka yang butuh masker, vitamin, atau makanan ketika sedang isolasi mandiri,” paparnya, saat kami berjumpa di kawasan Kalideres, Jakarta Barat.
“Lumayan, ada sekitar 50-an buruh yang berkontribusi. Tiap bulan donasi beda-beda. Mau kecil atau besar, kami terima. Enggak lihat jumlah donasinya, tapi kepedulian mereka terhadap sesama buruh,” tambahnya.
Ridwan menerangkan solidaritas yang ia bangun bersama teman-teman buruh tak hanya berlaku untuk satu lingkaran. Ia juga membuka pintu kepada yang lain.
“Ada kemarin masuk pesan dari Cikarang yang butuh bantuan obat sama makanan. Kami langsung mengusahakan untuk segera dikirim,” tegas lelaki 45 tahun ini. “Kami cuma ingin buruh enggak sendirian menghadapi kesusahan.”
Solidaritas yang senantiasa menyala tersebut, untuk banyak buruh, jadi cara bertahan yang cukup ampuh, setidaknya sementara waktu. Ketika negara abai, perusahaan cenderung memikirkan profit, maka satu-satunya jalan adalah saling bantu satu sama lain seraya menaruh keyakinan bahwa gelap bakal berlalu.
“Kami sadar bahwa kami enggak punya banyak jalan keluar. Dari UU Cipta Kerja sampai pandemi COVID-19, kami selalu terjepit,” Ratna bilang. “Solidaritas buruh, lah, yang bikin kami bisa bertahan, walaupun kami sendiri enggak yakin ini bisa bertahan sampai kapan.”***
Faisal Irfani, wartawan ibu kota, pernah bekerja untuk Tirto, Asumsi, dan Vice, kini di Narasi