Ilustrasi: Jonpey
DALAM beberapa minggu belakangan ini, komunitas internasional banyak memusatkan perhatian terhadap perkembangan terkini di Tiongkok. Pemerintah Tiongkok di bawah kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok (PKT) tengah mengampanyekan secara aktif apa yang disebut dengan visi “kesejahteraan bersama” (Common Prosperity, KB). Istilah ini sendiri bukan sama sekali baru dalam kosakata politik Tiongkok. Pada kongres ke-18 tahun 2012, PKT menegaskan bahwa “kesejahteraan bersama” akan menjadi prinsip fundamental bagi praktik sosialisme dengan karakteristik Tiongkok.
Penegasan agenda KB ini berkaitan dengan respons struktural pemerintah Tiongkok terhadap problem pembangunan ekonomi Tiongkok modern yang dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal maupun internal. Secara eksternal, pemerintah Tiongkok menilai bahwa praktik pertumbuhan ekonomi yang menggantungkan diri pada pasar global sudah tidak lagi berkelanjutan. Pemulihan ekonomi global yang lemah pasca krisis finansial 2008 yang kemudian diperparah dengan hantaman pandemi COVID-19 tahun 2020 mengalihkan perhatian pemerintah pada pentingnya peningkatan permintaan dari pasar domestik.
Masalahnya, secara struktur ekonomi, kondisi pasar domestik belumlah mencukupi untuk memenuhi syarat tercapainya kemandirian ekonomi. Walaupun Tiongkok mengalami pertumbuhan ekonomi yang mencengangkan banyak pihak, pemerintah Tiongkok mengakui bahwa ekonomi internal Tiongkok masih dipenuhi ketimpangan. Ada tiga bentuk ketimpangan yang terjadi sebagai buah dari pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang sangat pesat ini. Ketimpangan pertama adalah ketimpangan pendapatan dengan diskrepansi besar antara pendapatan kalangan kaya dengan kalangan menengah dan miskin. Ketimpangan kedua adalah ketimpangan desa-kota, di mana masyarakat kota di Tiongkok cenderung lebih sejahtera dibandingkan dengan sejawat mereka di pedesaan. Sedangkan bentuk ketimpangan yang ketiga adalah ketimpangan antara wilayah timur dengan barat dimana wilayah-wilayah timur yang dekat dengan garis pantai relatif lebih kaya jika dibandingkan wilayah barat yang cenderung berbukit dan bergurun.
Sebagai sebuah rencana kebijakan, KB bertujuan untuk mengubah relasi antara negara dengan kapital yang selama ini terbangun di Tiongkok. Selama rentang waktu reformasi ekonomi semenjak 1970-an, PKT cenderung membiarkan praktik ekonomi kapitalis selama hal itu mendukung orientasi pembangunan pasar sosialis ala Tiongkok. Bahkan di tingkat lokal, kelas kapitalis mendapatkan insentif yang menggiurkan jika aktivitas mereka ikut mendukung agenda ekonomi pemerintah lokal. Tidak heran jika kemudian banyak aset negara, seperti tanah dan tenaga kerja, yang dikelola pemerintah lokal, “diobral” oleh otoritas setempat agar dapat dikapitalisasi oleh pihak pengusaha domestik maupun asing. Sebaliknya, KB berupaya untuk mengubah prioritas pembangunan ke arah kebutuhan sosial masyarakat Tiongkok sendiri.
Untuk mencapai tujuan itu, relasi lama negara Tiongkok dengan kapital tidak lagi dapat ditolerir. Perilaku ugal-ugalan kapital menjadi objek koreksi pemerintah. Pemerintah melihat pentingnya restriksi politik bagi aktivitas kapital yang terlampau bebas. Restriksi ini diperlukan untuk memitigasi ekonomi pasar agar tidak memperburuk tingkat ketimpangan yang ada. Bahkan jika memungkinkan, aktivitas ekonomi pasar diharapkan dapat memperbaiki tingkat ketimpangan sosial itu sendiri agar masyarakat menjadi lebih setara.
Bagaimana negara Tiongkok melakukan pendisiplinan terhadap kelas kapitalis dalam kampanye KB adalah hal yang menarik untuk disimak. Dalam sebuah kesempatan, Presiden Xi jinping menyatakan bahwa ada “tiga gunung besar” yang menghambat pembangunan ekonomi Tiongkok yang berkualitas: pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Menurutnya, masih banyak warga Tiongkok yang tidak dapat menikmati layanan yang layak di tiga sektor ini. Oleh karena itu, pemerintah Tiongkok segera melakukan pendisplinan sistematis atas kelas kapitalis yang banyak mendapatkan keuntungan dari tiga sektor ini.
Untuk sektor kesehatan, pemerintah berkomitmen untuk menurunkan premi asuransi swasta. Walaupun 95% penduduk Tiongkok mendapatkan perlindungan asuransi dari pemerintah, akan tetapi untuk mendapatkan pelayanan lanjutan, mereka harus membeli lagi premi asuransi yang kebanyakan disediakan oleh swasta. Kendali swasta atas premi asuransi layanan lanjutan inilah yang membuat banyak warga kesulitan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan lanjutan non-dasar.
Di sektor pendidikan, pemerintah melarang penyelenggaraan aktivitas bimbingan belajar (bimbel) yang dikelola oleh swasta. Dalam pandangan mereka, praktik bimbel swasta hanya memperparah ketimpangan karena layanan tersebut hanya disediakan untuk melayani kebutuhan kalangan kaya. Harga mahal yang dipatok berlebihan oleh penyedia jasa swasta membuat kalangan miskin tidak dapat mengakses layanan bimbel ini.
Sedangkan untuk sektor perumahan, pemerintah menyatakan bahwa rumah haruslah untuk ditinggali, bukan dijadikan objek spekulasi. Praktik jual-beli rumah spekulatif sebagaimana dilakukan banyak pihak swasta harus dihentikan. Untuk itu, pemerintah berencana untuk mengimplementasikan pajak properti demi meredam perilaku spekualtif pelaku properti swasta.
Menariknya, praktik pendisiplinan kapital juga berlaku pada sektor teknologi tinggi (high-tech). Sektor teknologi ini ditengarai ikut berkontribusi bagi pendalaman ketimpangan di tengah masyarakat. Sebagai contoh: Didi, sebuah perusahaan transportasi terbesar seperti Gojek di Tiongkok, mendapatkan hukuman keras dari pemerintah dalam bentuk penghapusan aplikasi mereka dari pasar aplikasi di Tiongkok. Pemerintah menengarai bahwa Didi telah mempraktikkan praktik ketenagakerjaan yang eksploitatif dengan membuat para supirnya bekerja berlebihan untuk sekadar mendapatkan pendapatan yang layak. Selain itu, Didi juga dihukum karenal gagal untuk melakukan perlindungan yang mumpuni terhadap data konsumen.
Kampanye KB untuk mendisiplinkan kapital tentu berimplikasi struktural pada keseluruhan sistem ekonomi Tiongkok. Banyak pelaku bisnis di Tiongkok yang mulai resah dengan praktik pendisiplinan ini. Sejak Februari sampai dengan Juli 2021, pasar saham Hang Seng Tech, yang merupakan pasar saham bluechips bagi perusahaan seperti Tencent dan Alibaba, mengalami koreksi penurunan sampai dengan 40%. Para pelaku bisnis mulai mengakui bahwa ekonomi Tiongkok memasuki era baru, era dimana keadilan akan lebih diprioritaskan dibandingkan efisiensi.
Meski demikian, KB sama sekali tidak ditujukan untuk meninggalkan sistem ekonomi pasar yang telah Tiongkok bangun. Dalam artikel terkini di Jurnal Marxis resmi PKT, Qiushi (Mencari Kebenaran), Xi Jinping menyatakan bahwa KB menolak orientasi “kesejahteraan-isme” (welfarism), di mana negara akan dialihfungsikan untuk menjadi pendistribusi kekayaan yang utama di masyarakat. Xi melihat bahwa fungsi negara seperti itu hanya akan menciptakan “orang malas” (lying flat). Dengan kata lain, pemerintah tidak akan “membayar semuanya” demi menurunkan tingkat ketimpangan. Dengan pola pikir semacam ini, ekonom Keynesian seperti Michael Pettis berpendapat bahwa KB adalah suatu agenda reformisme ala ekonomi neoklasik di mana pola distribusi pendapatan dapat menjadi lebih adil jika ada penyesuaian di sisi penawaran (supply side). Pettis menganggap orientasi ini tidak akan cukup untuk mengatasi ketimpangan, karena ia mengabaikan faktor politik, khususnya terkait dengan peranan pemerintah lokal yang ikut memperburuk tingkat ketimpangan karena kepentingan mereka akan pertumbuhan ekonomi di daerah. Tidak heran jika Pettis menyebut KB sebagai solusi ala Amerika untuk masalah Tiongkok.
Jadi sebenarnya apakah itu KB? Menurut saya, KB adalah insiatif PKT untuk membangun sosialisme berdasarkan ekonomi pasar namun minus konsentrasi kekayaan dan “penumpang bebas” (free-rider, atau orang malas dalam istilah Xi). Orientasi ini tentu bagi banyak pihak sangatlah ambigu karena dalam kenyataannya belum pernah ada presedennya dalam sejarah kemanusiaan. Tidak heran jika kemudian PKC melihat bahwa KB akan diimplementasikan secara gradual atau perlahan. Akan ada banyak eksperimentasi, sehingga akan ada kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi selama kampanye ini berlangsung. Apakah kampanye ini akan sukses mentransformasi Tiongkok untuk semakin dekat dengan cita-cita komunisme? Masih terlalu dini untuk menilainya. Hanya waktu yang dapat menjawab pertanyaan ini.***
Muhammad Ridha adalah anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP)