Foto: “Stone is the Weapon of the Proletariat” (Ivan Shadr, 1927)
Tulisan ini adalah bagian keenam dari perdebatan yang dimulai oleh tulisan Abdil Mughis Mudhoffir di Project Multatuli berjudul “Aktivisme Borjuis: Mengapa Kelas Menengah Reformis Gagal Mempertahankan Demokrasi” (9 Juni 2021). Bagian kedua adalah tanggapan Coen Pontoh berjudul “Menginvestigasi Kelas Menengah: Tanggapan untuk Abdil Mughis Mudhoffir” (16 Juni). Redaksi juga menerbitkan terjemahan tulisan Eduard Lazarus berjudul “Kiri Indonesia: Dihantui Warisan Anti-Komunis dan “Masyarakat Sipil” yang sebelumnya terbit di Jacobin sebagai bagian ketiga untuk perdebatan ini (29 Juni). Bagian keempat adalah respons Abdil Mughis bertajuk “Ilmu Sosial Borjuis: Mengapa Aktivisme Borjuis Liberal Dominan di Indonesia” (16 Agustus 2021) yang kemudian dibalas oleh Coen lewat “Ekspresi Kelas Menengah Sebagai Sebuah Kelas” (24 September)
DALAM “Ilmu Sosial Borjuis: Mengapa Aktivisme Borjuis-Liberal Dominan di Indonesia?”, Abdil Mughis Mudhoffir menolak penjelasan Coen Husain Pontoh mengenai corak aktivisme kelas menengah yang diasalkan pada posisi kelas menengah pada struktur sosial masyarakat kapitalis. Mudhoffir juga menjelaskan tumbuhnya corak aktivisme kelas menengah dalam gerakan-gerakan sosial politik di Indonesia. Ia menolak formulasi struktural yang deterministik dari Pontoh untuk menjelaskan pola perasaan kelas menengah yang lahir dari kepentingan-kepentingan kelas menengah berdasarkan posisinya yang terombang-ambing antara kelas kapitalis dan kelas buruh. Mudhoffir berpendapat bahwa penjelasan Pontoh tersebut berasal dari pandangan yang terlalu menggeneralisasi dan tidak berpijak pada justifikasi empiris berdasarkan kenyataan sosio-historis kelas menengah di Indonesia. Bertumpu pada penjelasan Richard Robison berkait keragaman peran sosial-politik kelas menengah di Indonesia yang terbentuk dari lingkungan sosial dan kekuasaan politik pada masa akhir rezim Soekarno dan dua dasawarsa awal rezim Orde Baru, Mudhoffir menolak pandangan Pontoh mengenai ekspresi dan kepentingan kelas menengah berdasarkan posisinya dalam masyarakat kapitalis.
Kemudian, berkaca dari dihancurkannya gerakan Komunis tahun 1965 dan disusul dengan bercokolnya rezim otoritarian Orde Baru selama tiga dasawarsa lebih di Indonesia, Mudhoffir menemukan hegemoni ilmu-ilmu sosial borjuis sebagai biang keladi dari tumbuh suburnya aktivisme borjuis-liberal. Ilmu-ilmu sosial borjuis dianggap menjadi teori dominan yang digunakan para aktivis dan organisasi-organisasi LSM untuk mengidentifikasi dan menganalisa masalah-masalah sosial serta mengarahkan tujuan gerakan politik reformasi untuk mencapai masyarakat sipil yang liberal. Berdasarkan teori sosial Max Weber dan varian-variannya atau turunan-turunannya, Mudhoffir mengkategorikan perspektif aktivisme borjuis liberal menjadi tiga: pluralisme liberal yang menekankan peran aktor, neo-institusionalisme yang menekankan komponen-komponen kelembagaan, dan kulturalisme yang menekankan aspek-aspek kebudayaan.
Tulisan ini akan membahas dan menganalisis landasan argumentasi keberatan Mudhoffir atas pandangan Pontoh. Kemiripan pola-pola penjelasan Mudhoffir dan kesamaan target kritik dengan Vedi R. Hadiz membawa saya pada kesimpulan bahwa ia menggunakan perspektif institusionalisme historis[i] untuk menganalisa tumbuhnya aktivisme borjuis-liberal yang menyebabkan terpinggirnya politik kelas. Pertanyaan kritisnya bukan apakah aktivisme borjuis-liberal benar-benar meminggirkan politik kelas. Namun, apakah institusionalisme historis relevan untuk menyingkapkan pentingnya aktivisme berbasis politik kelas. Mungkinkah institusionalisme historis membangkitkan politik kelas?
Pertanyaan ini akan coba dijawab dengan mengidentifikasi penggunaan institusionalisme historis oleh Mudhoffir dan Hadiz dengan membandingkan artikel Mudhofir dengan dua karya Hadiz. Kemudian, tulisan ini memeriksa hubungan institusionalisme historis dengan neo-institusionalisme dan memeriksa serangan institusionalisme historis atas neoliberalisme dengan membandingkannya dengan teori analisis sistem-dunia.
Di samping itu, karena kelas menengah merupakan subyek sentral dalam pembahasan Mudhoffir, tulisan ini secara singkat juga akan melacak keberadaan kelas menengah dalam beberapa pemikiran sosial-politik. Upaya pembahasan kelas menengah ini juga layak dilakukan mengingat posisi kelas menengah yang problematis dalam pemikiran politik kelas.[ii]Pada bagian akhir, tulisan ini akan berupaya memaparkan secara umum bagaimana membangkitkan politik kelas dalam kondisi hilangnya batas-batas sosial dan politik dalam rezim demokrasi (neo)liberal.
Institusionalisme Historis dan Keterbatasannya
Mudhoffir banyak bertumpu kepada penyingkapan-penyingkapan kritis Vedi Hadiz atas penerapan kebijakan pembangunan neo-institusionalisme yang dipaksakan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund, IMF) dan Bank Dunia (World Bank), guna mendukung argumennya mengenai corak aktivisme borjuis liberal yang mendominasi gerakan sosial kelas menengah di Indonesia. Bagi Vedi Hadiz, tuntutan-tuntutan good governance, transparansi, akuntabilitas, partisipasi politik, dan pemberantasan korupsi yang diteriakan dan didesakan oleh para aktivis LSM sesungguhnya hanyalah merupakan perpanjangan lidah dan tangan dari lembaga-lembaga neo-liberal internasional. Kampanye norma dan nilai demokrasi liberal yang diteriakan oleh para aktivis LSM tersebut pada dasarnya merupakan upaya-upaya adjustment/penyetelan proyek pembangunan dalam kerangka kelembagaan formal yang mengabaikan pertarungan kekuasaan dan kepentingan yang riil. Propaganda liberal tersebut pada hakikatnya senantiasa bersifat apolitis, agar efisiensi pembangunan yang bertumpu pada neo-instutisionalisme dapat berjalan secara efektif.
Hadiz menilai implementasi desain pembangunan demokrasi liberal yang apolitis berakar dalam asumsi dasar dari neo-institusionalisme. Asumsi tersebut adalah homogenitas nilai dan norma sosial dalam masyarakat (yang dirumuskan menjadi konsep modal sosial) yang mengabaikan proses politik sebagai pola-pola dan jaringan-jaringan persaingan kekuasaan dan kepentingan yang terbentuk secara historis. Dalam kritik atas karut-marutnya proyek desantralisasi di Indonesia, Hadiz menyingkapkan pola-pola historis yang tersimpul pada jejaring orang kuat dan juragan (boss) yang terbentuk selama Orde Baru yang juga merupakan manifestasi kekuatan predatoris yang bertarung dengan trisula politik kotor: guns (senjata), goon (intimidasi), dan gold (suap atau money politics).
Apa yang luput dari perhatian, jika bukan pemahaman, Mudhoffir adalah institusionalisme historis yang menjadi landasan kritik Hadiz atas proyek neo-liberalisme di Indonesia sesungguhnya merupakan salah satu aliran dari pendekatan neo-institusionalisme.[iii] Neo-institusionalisme, yang dikembangkan dalam perspektif teori perilaku, adalah pendekatan teoritik yang menjelaskan peran lembaga-lembaga dalam menentukan perilaku sosial dan politik. Secara umum pendekatan neo-institusionalisme terbagai menjadi tiga aliran: institusionalisme historis, institusionalisme pilihan rasional, dan institusionalisme sosiologis.
Ketiga pendekatan tersebut meletakan lembaga-lembaga sebagai konteks yang memandu dan membatasi perilaku sosial dan politik aktor. Ketiga aliran pemikiran tersebut dapat dibedakan dalam pandangan mereka berkait dengan lembaga, aktor, dan proses perubahan. Bagi institusionalisme historis dan sosiologis, lembaga atau institusi yang diacu mencakup lembaga-lembaga formal dan informal. Sedangkan institusionalisme pilihan rasional mengacu lembaga-lembaga formal. Institusionalisme pilihan rasional mengasumsikan aktor-aktor memiliki kepentingan-kepentingan yang relatif tetap dan berperilaku secara rasional agar dapat mewujudkan kepentingan-kepentingan tersebut secara maksimal.
Dalam menjelaskan proses politis, institusionalisme pilihan rasional menganggap lembaga-lembaga menstruktur interaksi para aktor yang masing-masing berusaha memaksimalkan pemenuhan kepentingan mereka sendiri dengan mempengaruhi rentang dan rangkaian alternatif pilihan-pilihan. Lembaga-lembaga juga menyediakan informasi, mekanisme-mekanisme paksaan dan peraturan-peraturan untuk mereduksi ketidakmenentuan perilaku para aktor yang dapat mengarah pada perilaku predatoris dan pembajakan. Oleh karenanya, kebijakan-kebijakan dalam bingkai institusionalisme pilihan rasional (Mudhoffir hanya menyebutnya sebagai neo-institusional) hampir selalu hanya berkisar pada desain kelembagaan, prosedur kelembagaan, dan peraturan-peraturan. Sebagai misal, untuk mencapai efisiensi dan efektifitas tujuan proyek desentralisasi kebijakan-kebijakan yang diambil hanya merupakan kutak-katik peraturan perimbangan keuangan dan pembagian wewenang politis antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Berbeda dengan aliran institusionalisme pilihan rasional yang dicangkokan sebagai landasan pembangunan demokrasi liberal di Indonesia, pendekatan aliran institusionalisme historis yang digunakan Hadiz lebih lebih menekankan interaksi perilaku kelembagaan dan keorganisasian secara luas. Institusionalisme historis menyingkapkan keberadaan para aktor sosial dengan menapaki pola-pola dan jaringan-jaringan persaingan kekuasaan dan kepentingan yang terbentuk secara historis dalam lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi sosial dengan konsekuensi yang tidak dapat diperhitungkan dari tindakan aktor tersebut. Perilaku aktor yang melekat pada lembaga dan organisasi historis tersebut berurat akar dalam proses politik dan menjadi kekuatan-kekuatan yang dapat menjadi predator dan pembajak proyek perubahan sosio-politik yang sedang berjalan. Proses politik yang mengimplikasikan ketidaksetaraan distribusi kekuasaan dan sumber daya berdasarkan ketimpangan akses yang terbentuk secara historis ini kerap berada di luar lembaga-lembaga formal. Oleh karena itu, bagi Hadiz juga Mudhoffir, proyek perubahan sosial yang berlandas pada institusionalisme pilihan rasional (atau peran aktor dalam pembahasan Mudhoffir) yang hanya berkutat pada persoalan-persoalan teknokratik dalam kerangka lembaga-lembaga formal sesungguhnya telah gagal sejak awal karena mengabaikan aspek-aspek politis aktual.
Sebagaimana Hadiz, Mudhofir tampaknya juga menggunakan pendekatan aliran institusionalisme historis dalam menerangkan dan mengkritisi pembentukan corak aktivisme borjuis-liberal yang mendominasi gerakan sosial kelas menengah di Indonesia. Bila Hadiz dalam kajiannya tentang proyek desentralisasi di Indonesia merujuk pada Reformasi 98 atau kejatuhan rezim Orde Baru sebagai critical juncture, (titik-titik atau momen-momen perubahan kritis)[iv] setelah periode panjang stabilitas Orde Baru, yang mendorong para aktor politik untuk memodifikasi perilaku mereka agar sesuai dengan perubahan-perubahan dalam kerangka kelembagaan untuk menemukan keseimbangan politik baru, begitupun Mudhoffir. Walaupun Mudhoffir menganggap penumpasan gerakan Kiri tahun 1965 sebagai sebab dari hancurnya pemikiran dan praktik politik kelas, pemikiran teori-teori modernisasi sesungguhnya dikokohkan di masa Orde Baru melalui institusi pendidikan dan kebijakan-kebijakan pembangunan. Sebagaimana Hadiz dalam kajiannya tentang desentralisasi di Indonesia, Mudhoffir juga memandang runtuhnya tembok Berlin atau kemenangan Liberalisme Barat sebagai titik jeda kontinuitas dalam arus sejarah dan menjadi exogeneous shock (gelombang kejut perubahan dari luar).[v]Ini menyebabkan munculnya critical juncture yang membuka kesempatan teori-teori modernisasi lama dimodifikasi menjadi bercorak borjuis-liberal dalam versi kontemporernya. Singkatnya, ilmu-ilmu sosial bercorak borjuis-liberal sekarang ini yang merupakan kelanjutan dari ilmu-ilmu modernisasi lama ala Orde Baru. Keduanya sama-sama bersifat teknokratis dan tidak mempunyai sikap kritis terhadap pola-pola hubungan kekuasaan dalam masyarakat kapitalis.
Tetapi, ada yang bermasalah dari institusionalisme historis. Paradigma tersebut memandang perkembangan institusi ditentukan oleh kontinuitas historis dari sebuah periode panjang stabilitas yang perubahan keseimbangan institusionalnya dipengaruhi terutama oleh perubahan lingkungan eksternal. Bila Orde Baru adalah periode panjang stabilitas yang menjadi penentu kontinuitas ilmu-ilmu sosial borjuasi lantas bagaimana menjelaskan ‘lenyapnya’ Marxisme sebagai perspektif yang relatif dominan dalam ilmu-ilmu sosial pada masaRezim Soekarno? Apakah era Rezim Soekarno selama kurang lebih dua puluh tahun tidak dapat dianggap sebagai periode panjang stabilitas? Mudhoffir memang menjelaskan bahwa perspektif Marxisme tumpas bersama pembantaian komunis 1965 dan pelarangan ideologi Marxisme pada masa Orde Baru. Namun, bagaimana menjelaskan runtuhnya Rezim Soekarno sebagai terputusnya kontinuitas historis suatu periode panjang stabilitas? Dari mana aktor-aktor baru muncul pada masa Orde Baru? Dari mana pola-pola dan jaringan-jaringan interaksi institusional baru muncul pada masa Orde Baru? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak terlalu terbahas di analisis Mudhoffir.
Dominannya variabel exogenous shock sebagai penentu perubahan tampaknya menutupi sumber-sumber endogenous(internal) perubahan. Mungkin kita memerlukan sebuah cara baca alternatif: barangkali jawabannya adalah memandang Rezim Soekarno yang berkuasa kurang lebih dua puluh tahun bukan sebagai periode panjang stabilitas, karenanya Marxisme tidak pernah berakar kuat sebagai perspektif ilmu sosial yang dapat bertahan melalui momen critical juncture yang brutal. Dengan kata lain, periode Rezim Soekarno dapat disebut long punctuated equilibrium (jeda panjang keseimbangan), dan proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan critical juncture, yang mengantarai periode panjang stabilitas kolonial dengan periode panjang stabilitas Orde Baru. Tentu saja asumsi tersebut harus ditopang dengan penjelasan bagaimana teori-teori modernisasi yang teknokratik pada masa Orde Baru berakar pada teori-teori sosial yang berlaku pada masa kolonial.
Institusionalisme Historis, Kelas Menengah, dan Politik Kelas
Pertanyaan mendesak yang harus dijawab selanjutnya adalah apakah perspektif institusionalisme historis relevan digunakan untuk menggugat absennya politik kelas?
Bagaimanapun, bertopang pada institusionalisme historis, kelas menengah pada penjelasan Mudhoffir tidak diasumsikan sebagai agen-agen atau aktivis-aktivis yang secara sadar dan sengaja memilih teori-teori borjuis-liberal sebagai landasan gerakan sosial mereka. Interpretasi para aktivis atas kepentingan-kepentingan mereka dibentuk oleh organisasi-organisasi kolektif dan institusi-institusi yang membawa bayangan sejarah kelas mereka sendiri. Hal ini, sebagai konsekuensinya, memicu pertanyaan: bagaimana atau mungkinkah aktivis-aktivis kelas menengah secara sadar mentransformasi diri melampaui organisasi-organisasi kolektif dan institusi-institusi yang membawa bayangan sejarah kelas mereka sendiri? Mungkinkah mereka melompat dari gagasan-gagasan teknokratis yang bersumber dari teori borjuis-liberal, yang berakar dalam pengalaman sejarah, mereka ke gagasan-gagasan politik kelas?
Perspektif institusionalisme historis, saya kira, tidak menyediakan jawaban untuk pertanyaan ini. Menurut Mudhofir, jangankan melompat ke politik kelas, kelas menengah di Indonesia tidak dapat mendorong transformasi politik yang liberal karena dikekang oleh pengalaman historis mereka: kelahirannya dibidani oleh negara. Klasifikasi kelas menengah yang diidentifikasi oleh Robison, seperti dipaparkan dan diacu oleh Mudhoffir – saya cenderung memaklumi kebingungan Ariel Heryanto daripada mengkritisinya seperti Mudhoffir[vi] – merupakan salah satu dari sekian banyak keragaman pengidentifikasian dan pendeskripsian kelas menengah yang pernah dibuat. Kebingungan atas variasi luas kelas menengah semakin menjadi-jadi jika kita mencermati dan berupaya memahami mobilitas internal kelas menengah yang relatif cair.
Kesukaran dalam pendefinisian dan pendeskripsian kelas menengah, yang kemudian memunculkan banyaknya variasi yang membingungkan, karena kelas menengah di dalam dirinya sendiri membawa kontradiksi. Kelas menengah secara inheren mempunyai karakteristik borjuasi sekaligus proletarian, dua di dalam satu. Dalam hal ini pemaparan Raymond Williams saya pikir dapat membantu kita. Analisis Williams lebih dari lima puluh tahun yang lalu[vii] menjelaskan bahwa kesulitan-kesulitan dan kompleksitas-kompleksitas dalam pengidentifikasian kelas menengah tersebut disebabkan oleh karakter dari kelas menengah itu sendiri, yang tidak mungkin diidentifikasi dengan semata-mata menggunakan kriteria sosial atau kriteria ekonomi. Dalam ilustrasinya, Raymond Williams mengambil contoh kelas menengah yang menolak disebut sebagai kelas pekerja (proletariat) karena berimplikasi bawah dalam status sosial, tapi juga menolak untuk dikeluarkan dari kelas pekerja karena berimplikasi tidak bekerja. Artinya, di dalam kelas menengah bersemayam hasrat akan kehormatan sekaligus hasrat mengejar keuntungan, investasi imajiner sekaligus kepentingan material.
Analisis filsuf Perancis Jacques Rancierè tentang demokrasi juga membantu kita dalam memahami ambivalensi kelas menengah tersebut. Rancier[viii], dalam pembacaannya atas Politics-nya Aristoteles menerangkan kelahiran gagasan kelas menengah merupakan cara untuk menangani kontradiksi antara demos (kekuasaan rakyat/otonomi) dan ochlos(hasrat-hasrat individual akan materi/heteronomi), antara aporoi (mereka yang miskin dan tidak memiliki sarana) dan euporoi (mereka yang kaya dan memiliki berbagai sarana dan fasilitas), antara borjuis dan proletar yang eksis di sepanjang sejarah. Kesejarahan, karenanya, bukan faktor determinan satu-satunya. Kelas menengah dibentuk oleh sejarah bersama potensi-potensi universal yang melekat di dalam dirinya sendiri.
Menurut Ranciere[ix], sejak tembok Politeia, demokrasi-kota, terlalu sempit untuk kelas menengah yang membengkak, demokrasi modern adalah demokrasi kelas menengah, demokrasi kota berkembang menjadi demokrasi negara. Kelas menengah yang sebelumnya berfungsi sebagai void, ruang kosong yang mengantarai antara demos dan ochlos, antara human logos (bahasa manusia) dan animal phone (bunyi binatang), dalam demokrasi negara bertransformasi menjadi voidsekaligus center, ruang kosong sekaligus pusat dari aktivitas politik itu sendiri.[x] Oleh karena itu, tak mengherankan jika ada kecenderungan dari kelas menengah untuk mengartikulasikan dirinya sebagai kalangan borjuis atau mengidentifikasi diri dengan nilai-nilai borjuistik, karena tendensi tersebut juga inheren di dalam dirinya sendiri.
Bagi Raymond Williams problem kelas menengah bukan pada varian luas pengelompokan kelas menengah, tapi kelas menengah yang mengingkari etos borjuasi (‘mandiri, bebas, dan ulet’) dan tertarik nilai-nilai aristokratik nan feodal yang sudah lapuk dan usang. Pusat atau center yang menghilang sebagai kategori sosial dikompensasi dengan impersonalitas logos yang membayang pada konstitusi, yang berupaya membatasi kebebasan agar tidak menjadi mobokrasi dan kekacauan serta despotisme. Dengan kata lain, sebuah demokrasi politik yang terbatas.
Gelombang demokrasi negara atau demokrasi politis melahirkan golongan kapitalis/borjuasi dan juga sektor ketiga yang melimpah – proletariat. Kepala raja, pusat kekuasaan di tatanan lama, telah menggelinding dipacung oleh guillotine industrialisasi yang menghasilkan kelas menengah yang membengkak. Jikapun kelas menengah sebagai pusat, kelas menengah menjadi pusat tanpa kepala, tanpa logos, tanpa hubungan ilahiah dengan kata-kata suci yang menjadi basis legitimasi kekuasaan atau sabda pandita ratu.
Dalam perspektif ini, demokrasi modern dapat dibaca sebagai upaya menciptakan sistem politik swa-regulasi yang terus-menerus mencari pusat yang hilang via konsensus di antara dua kekuatan kontradiktif: demos dan ochlos, borjuasi dan proletarian, kaya dan miskin. Namun demikian, demokrasi yang sejati tidak mungkin mendorong leburnya demos dan ochlos sebagai kesatuan kolektif. Demokrasi membutuhkan demos untuk mengekang ochlos. Karena itu, demokrasi yang mengingkari pemisahan demos dari ochlos, atau mengizinkan membanjirnya ochlos ke dalam demos, adalah demokrasi yang mengakhiri esensi dari demokrasi itu sendfiri.
Contoh paling gamblang ‘matinya’ demokrasi adalah demokrasi (neo)liberal. Istilah demokrasi (neo)liberal tak lebih sebagai eufimisme dari totalitarianisme ochlos: membanjirnya hasrat-hasrat individual ke dalam kekuasaan rakyat. Demokrasi liberal berdiri di atas hapusnya penyekatan antara demos dari ochlos atas nama ‘kesetaraan’ dalam tatanan ekonomi pasar. Namun, pada kenyataannya kesetaraan tidak pernah termanifestasi sebagai satu kesatuan kolektif. Karena kesetaraan merupakan kekuatan disintegratif, kekuatan yang terus-menerus melepaskan politik dari beragam hasrat kebinatangan.
Sebaliknya, kesetaraan ala demokrasi (neo)liberal adalah kesetaraan semu. Perlombaan virtue atau kebajikan manusia diubah menjadi perburuan pleasure (kenikmatan) kebinatangan dalam bentuk perlombaaan akumulasi kapital tanpa akhir. Politik manusia ‘mati’ dan politik binatang bangkit. Demokrasi politik manusia yang beroperasi dari pencarian konsensus secara kolektif berdegenerasi menjadi demokrasi politik binatang yang bertumpu kepada pengutamaan tatanan kekuatan yang ada.
Oleh karenanya, ruang ‘politik’ yang tersedia dalam demokrasi (neo)liberal bukan ruang untuk pencapaian konsensus kolektif demi kepentingan rakyat. Dalam demokrasi (neo)liberal, ruang politik adalah ruang prosedural yang mencakup pengaturan problem-problem administrasi, kuantifikasi, dan indeksasi demi hasrat-hasrat individual-kebinatangan. Penatalaksanaan (administrasi), pereduksian kebutuhan-kebutuhan manusia agar dapat dihitung dan diukur (kuantifikasi), dan penyesuaian pembayaran – kerja-upahan – untuk memelihara daya beli (indeksasi) membuat ruang ‘politik’ menjadi sekedar perpanjangan tangan tirani pasar. Contoh dari fenomena ini adalah polling dan survei-survei politik, yang mengadopsi teknik riset pemasaran mengenai persepsi publik atas suatu produk, yang hasilnya menjadi input penting bagi partai-partai politik borjuis untuk memelihara atau meningkatkan nilai jualnya dalam persaingan politik hari ini. Contoh-contoh lain adalah privatisasi sektor-sektor publik dan pencabutan subsidi layanan publik
Sekarang waktunya kita kembali pada institusionalisme historis yang dioperasikan Vedi Hadiz dan digemakan oleh Mudhoffir dalam kritik-kritik mereka terhadap proyek politik developmentalis, aktivisme kelas menengah, dan absennya politik kelas. Di atas telah saya uraikan analisis kelas menengah dalam kacamata institusionalisme historis dan problem ketidakmungkinan kelas menengah untuk melampaui beban kesejarahannya sendiri untuk menjelma sebagai agen politik kelas. Kemudian, kita akan berupaya menyelidiki bagaimana organisasi kelas dikonstruksi dalam konteks perjuangan kelas dan apa tujuan paripurna dari perjuangan kelas. Namun, pertama-tama kita harus menjelaskan lebih jauh kenapa institusionalisme historis tidak relevan untuk membangkitkan politik kelas.
Memikirkan dan Membayangkan Kembali Politik Kelas
Mengapa analisis yang dipengaruhi oleh mazhab institusionalisme historis tidak relevan untuk merevitalisasi politik kelas? Jawaban paling mudah untuk pertanyaan tersebut adalah karena institusionalisme historis adalah instrumen rasionalisasi demokrasi liberal untuk kepentingan-kepentingan neoliberal. Institusionalisme historis, dalam pandangan saya, hanya sekedar memperdalam cakupan institusionalisme pilihan rasional (yang disebut Mudhoffir sebagai peran aktor atau secara umum sebagai neo-institusionalisme) dalam mendorong proses-proses kuantifikasi, indeksasi, dan administrasi nafsu-nafsu individual berbasis pasar. Institusionalisme historis bukanlah kritik radikal atas institusionalisme pilihan rasional atau neo-institusionalisme. Kita juga dapat mengatakan bahwa institusionalisme historis tidak mempersoalkan aspek politis dari politik neoliberal. Sebaliknya, pendekatan tersebut mengokohkan asumsi dasar tatanan demokrasi (neo)liberal yang meringkus dan mensubordinasi demos ke dalam ocholos.
Persoalan ini tidak pernah benar-benar diatasi oleh analisis Mudhoffir maupun Hadiz. Sebagai contoh, setelah kritik hebatnya atas pengabaian aspek-aspek politis pada neo-institusionalisme sebagai varian dari neo-liberalisme dalam proyek desentralisasi, Hadiz dalam Decentralisation and Democrazy in Indonesia: A Critique of Neo-Institutionalist Perspectives (2003) memperingatkan bahwa kritiknya tidak menyasar tujuan dari desentralisasi itu sendiri.[xi] Dalam pandangan saya, kritik Hadiz yang cenderung ‘netral’ ini rawan dibaca sebagai saran dalam upaya mencapai tujuan-tujuan neoliberal. Artinya, praktik politik predatoris yang immoral dinetralkan atau dirasionalisasi sebagai bagian dari proses politik neoliberal. Namun demikian, pengintegrasian perilaku politis dalam lembaga-lembaga formal dan informal ke dalam struktur sistemik politik neoliberal pada akhirnya tidak dapat dipastikan akan mengarah pada tujuan-tujuan seperti yang diharapkan para pendukung visi politik neoliberal tersebut.
Dalam Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia (2010), Hadiz menyatakan, kontras dengan posisi pilihan rasional yang menyingkirkan aspek-aspek politik dari proyek pembangunan, posisi institusionalisme historis menawarkan” . . . pembuatan kebijakan secara mendasar dibentuk oleh konstestasi antara kepentingan-kepentingan yang bersaing, yang hasilnya sangat menunjukan cara-cara distribusi kekuasaan di negara dan masyarakat. Posisi tersebut mengharuskan pemahaman akan neo-institusionalisme, bukan hanya sebagai upaya intelektual yang tekun, tapi sebagai bagian dari proyek neo-liberal yang sangat berpengaruh dan politis untuk membentuk ulang kekuasaan negara dan relasi-relasi negara/masyarakat dengan cara-cara pemfasilitasan pasar”[xii]. Bagi saya, jelas sudah: institusionalisme historis tidak mengambil posisi berseberangan secara diametral dari rezim demokrasi liberal atau neo-liberalisme.
Dalam pemaparan selanjutnya[xiii], walaupun politik kelas dianggap sebagai salah satu penentang sistem predatoris kapitalisme, Hadiz tampaknya memandang sebelah mata politik kelas dengan menyebutnya tidak dapat mengorganisasi diri dan berkembang menjadi kekuatan sosial yang koheren. Pada konteks ini, politik kelas tidak dapat mengorganisasi diri dan berkembang karena tidak memiliki sumber historis yang cukup. Dengan demikian, analisis institusionalisme historis bermasalah karena dua hal. Pertama. ia tidak mengambil posisi tegas sebagai penentang neoliberalisme. Kedua, iua juga menutup kemungkinan kebangkitan politik kelas berdasarkan analisa kelembagaan secara historis.
Tampaknya apa yang ditentang secara serius oleh institusionalisme historis adalah asumsi neoliberal mengenai homogenitas sosial-politik. Hadiz menyatakan bahwa dampak homogenisasi yang terjadi karena tekanan-tekanan globalisasi ekonomi dan implikasi politisnya terbukti agak terlalu dibesar-besarkan oleh kemenangan transformasi neoliberal.[xiv] Tetapi, memandang asumsi homogenitas neo-liberal sebagai fenomena sosio-politis total adalah kekeliruan.
Immanuel Wallerstein[xv] dengan teori analisis sistem-dunia menyatakan bahwa ekonomi-dunia, yakni ekonomi kapitalis, tidak diikat oleh suatu kesatuan struktur politik. Ekonomi dunia berisi banyak kebudayaan dan kelompok, bukan homogenitas kebudayaan maupun homogenitas politik. Apa yang menyatukan sebagian besar struktur tersebut adalah pembagian kerja yang terbentuk di dalam ekonomi dunia. Pembagian kerja tersebut diatur oleh suatu mekanisme struktural yang beroperasi dengan ditenagai oleh motivasi pengakumulasian kapital tanpa akhir. Siapapun yang bertindak di luar motivasi pengakumulasian kapital akan dihukum, dikeluarkan dari panggung sosial. Jadi, jantung dari sistem kapitalisme neoliberal adalah pengakumulasian kapital tanpa akhir. Dengan demikian, serangan institusionalisme historis terhadap asumsi neo-liberal mengenai homogenitas tidak relevan. Neoliberalisme tidak mungkin ditentang oleh keragaman morfologi struktur politik dan kebudayaan yang justu bisa diakomodasi oleh struktur neoliberal itu sendiri.
Institusionalisme historis, dengan kata lain, sama sekali tidak menyentuh universalisasi pengakumulasian kapital tanpa akhir yang menjadi jantung dari kapitalisme neoliberal. Melalui cara tersebut, demokrasi (neo)liberal menghapus kontradiksi antara demos dan ochlos, kontradiksi antara kekuasaan rakyat dengan penyatuan kacau dari hasrat-hasrat individual. Ocholos kembari membanjiri demos, membanjirinya dengan kepentingan-kepentingan individual sembari meminggirkan kepentingan publik dan daulat rakyat. Inilah momen depolitisasi alias ‘matinya’ politik. Momen yang disalahpahami oleh institusionalisme historis sebagai pasang naik praktik-praktik teknokratik.
Untuk membangkitkan kembali politik, politik kelas harus dipanggil. Membangkitkan kembali politik kelas berarti menggarisbawahi dan memperjelas kembali kontradiksi-kontradiksi dalam tatanan kapitalistik, menyingkapkan kembali hubungan antagonistik antara kapitalis dengan proletary dan membatalkan peleburan ochlos dan demos. Untuk itu, kesadaran kelas perlu digemakan kembali dengan menggali situasi alienasi atau dehumanisasi kita hari ini yang semakin kompleks dan multimensi, yang tidak hanya dikarakterisasi oleh kelebihan jam kerja dan upah minimum. Kita juga perlu melawan internalisasi cara hidup neoliberal yang menyamarkan dehumanisasi dengan sogokan janji emansipasi dan kesetaraan semu atas nama universalisasi pengejaran profit dan akumulasi kapital tanpa akhir.
Pengorganisasian kelas yang hanya didasarkan pada kesadaran untuk menghapuskan kelebihan jam kerja dan umum minimum, mengkonversinya menjadi kerugian material, bakal memerangkap kesadaran pada pengejaran keuntungan material semata. Pengorganisasian kelas harus berpijak pada kesadaran untuk mencabut internalisasian cara hidup kapitalistik. Untuk itu, pengorganisasian kelas perlu memanggil dan mempersatukan seluruh kelompok yang sumber daya esensialnya dihisap untuk akumulasi kapital borjuasi. Ini berarti tidak hanya memanggil seluruh kelas pekerja dengan menyingkirkan halangan klasifikasi internal kelas pekerja – pekerja kasar/manual dan pekerja terampil/mental, tetapi juga memanggil ekologi dan kebudayaan yang sumber daya esensialnya dihisap melalui berbagai cara proses komodifikasi. Proletarianisasi semacam ini membuat politik kelas dapat menggalang persekutuan dengan berbagai kelompok radikal, seperti gerakan ekologi dan gerakan masyarakat adat.
Politik kelas tidak mungkin dibangkitkan hanya dengan berlandaskan kepada institusionalisme historis yang hanya mendamprat teknokratisasi dan homogenisasi sosial-politik, yang hanya mendeskripsikan heterogenitas kepentingan dan menyerahkan kesetaraan pada proses sejarah yang tak dapat diperhitungkan hasilnya. Politik kelas harus mengambil posisi politik yang bertentangan secara diametral dan esensial dari kapitalisme neoliberal melalui pendidikan-pendidikan politik dan perjuangan yang keras dan panjang.***
Dwi Pranoto adalah penulis esai-esai sosial dan budaya
[i] Tulisan ini mengabaikan masalah beberapa kekeliruan atau ketidaktepatan istilah dan penjelasan-penjelasan berkait neo-institusionalisme dan varian-variannya dalam tulisan Mudhoffir.
[ii] Pembahasan problem kelas menengah secara mendalam yang berangkat dari kekeliruan Pontoh memaknai keteromban-ambingan posisi politis kelas menengah dalam sudut pandang Marxisme patut dibahas dalam tulisan tersendiri.
[iii] Vedi R. Hadiz memilah neo-institusionalisme menjadi neo-institusionalisme ekonomi (economics neo-institutionalism atau economics-inspired neo-institutionalism yang kemudian ia sebut dikenal secara sempit sebagai rational choice institutionalism) dan institusionalisme historis (historical institutionalism). Institusionalisme historis, yang ia sebut sebagai bentuk paling penting dari neo-institusionalisme, yang dijadikan dasar teoritis untuk mengkritik institusionalisme pilihan rasional menurut Hadiz juga melekat secara luas pada prinsip-prinsip ekonomi neo-liberal yang berkait dengan “rasionalitas” pasar. Baca Vedi R. Hadiz, Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia, Stanford University Press, 2010, hal.33. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai tiga aliran pemikiran dalam neo-institusionalisme baca Peter A. Hall & Rosemary R. C. Taylor, Political Science and Three New Institutionalism, makalah yang disajikan pada pertemuan dewan MPIfG (Institut Max Planck untuk Tata Kelola Lembaga), 1996.
[iv] Institusionalisme historis yang menekankan ketakmenentuan sejarah, menekankan irregularitas sejarah daripada regularitas sejarah menjelaskan perubahan dalam model punctuated equilibrium. Model punctuated equilibrium menyatakan bahwa lembaga-lembaga dikarakterisasi oleh periode panjang stabilitas yang secara berkala dijeda oleh krisis yang menyebabkan perubahan kelembagaan yang kasar sebelum mencapai keseimbangan lagi. Critical juncture dalam konteks dapat didefinisikan sebagai momen-momen kritis saat perubahan kelembagaan terjadi.
[v] Model punctuated equilibrium juga menyatakan bahwa krisis kelembagaan yang terjadi biasanya disebabkan oleh perubahan yang terjadi di lingkungan eksternal. Dalam konteks tersebut exogenous shock dapat didefinisikan sebagai gelombang perubahan yang terjadi di lingkungan eksternal yang menyebabkan perubahan kelembagaan dalam satu kawasan tertentu.
[vi] Dalam komentarnya atas catatan pengantar yang ditulis Ariel Heryanto untuk versi terjemahan bahasa Indonesia buku The Politics of Middle Class Indonesia, Mudhoffir menulis “Akan tetapi, saya melihat bahwa catatan itu sesungguhnya lebih mengesankan kebingungan Ariel sendiri dalam upaya memahami kelas menengah”. Baca Abdil Mughis Mudhoffir, Ilmu Sosial Borjuis: Mengapa Aktivisme Borjuis-Liberal Dominan di Indonesia, Indoprogress, 16 Agustus 2021. https://indoprogress.com/2021/08/ilmu-sosial-borjuis-mengapa-aktivisme-borjuis-liberal-dominan-di-indonesia/
[vii] Untuk keluar dari keruwetan pengidentifikasian dan pendeskripsian kelas menengah, Raymond Williams menyatakan “Pertanyaan yang perlu kita jawab bagaimanapun – dan ini satu-satunya yang sangat jarang ditanyakan – untuk apa semua klasifikasi ini, apa tujuan sesungguhnya yang disasar dalam masyarakat. Beberapa orang menatap ke depan untuk meningkatkan keakuratan klasifikasi, dan mengajukan formula-formula baru. Sebagian orang lainnya berbicara untuk mengubah deskripsi-deskripsi kelas lama untuk membawanya segaris dengan ‘pengalaman modern. Posisiku sendiri adalah bahwa kita mungkin dapat singkirkan sebagian besar klasifikasi ini, dan menyelamatkan diri kita sendiri dari banyak masalah yang tak diperlukan, jika kita melihat secara cermat apa yang terjadi di sana.” Baca Raymond Williams, Long Revolution, Pelican Book, 1965, hal.344. Meskipun, menurut Raymond Williams keruwetan tersebut disebabkan karena struktur masyarakat kapitalis Inggris belum berkembang secara penuh pada masa itu, masih berada di bawah bayang-bayang masyarakat feudal, namun, saya kira, masalah keruwetan tersebut eksis bukan hanya proses transformasi historis yang belum selesai, tapi juga karena kerumitan itu inheren dalam kelompok kelas menengah itu sendiri.
[viii] Ranciere menarik asal-usul kelas menengah sampai ke era Solon (antara 630 SM sampai 560 SM), Athena, yang reformasi hukumnya mengakhiri kekuasaan eksklusif kaum aristokrasi dan memberikannya pada kaum kaya. Baca Jacques Ranciere, On the Shores of Politics, Verso, 2021, hal.13 – 14.
[ix] Ringkasan kasar yang dibuat untuk kepentingan tema tulisan ini ditarik dari Jacques Ranciere, On the Shores of Politics, Verso, 2021, hal.14 – 18.
[x] Center dalam konteks ini adalah konsep spasial (keruangan) berkait kewarganegaraan. Center atau pusat tidak dapat hanya dimaknai sebagai pusat kekuasaan di luar bingkai hubungan interaktif antara center (pusat) – void (ruang kosong terbuka) – periphery (pinggiran) yang merupakan suatu partisi/penyekatan sosial yang mengimplikasikan distribusi hak-hak dan kewajiban-kewajiban warga negara.
[xi] Baca Vedi R. Hadiz, “Decentralisation and Democrazy in Indonesia: A Critique of Neo-Institutionalists Perspectives” dalam Southeast Asia Research Centre Working Paper Series, No.47, 2003, hal.7.
[xii] Vedi R. Hadiz, Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia, Stanford University Press, 2010, hal.26.
[xiii] Ibid. hal.46.
[xiv] Baca ibid. hal.181 dan “Decentralisation and Democrazy in Indonesia: A Critique of Neo-Institutionalists Perspectives” dalam Southeast Asia Research Centre Working Paper Series, No.47, 2003, hal.4.
[xv] Pengajuan teori analisis sistem-dunia di sini bukan berarti menyepakati seluruh gagasan analisis sistem-dunia. Teori analisis sistem-dunia dengan tegas mengidentikan sistem-dunia dengan sistem kapitalisme. Namun penjelasannya mengenai operasi struktural sistem ekonomi kapitalisme yang direproduksi secara luas sebagai fenomena sosio-politis, saya kira berguna, untuk menemukan jantung kapitalisme neo-liberal. Teori analisis sistem-dunia memandang relasi produksi sosial adalah reproduksi relasi produksi kapitalis; hubungan kapitalis-pekerja menengah (terampil)-pekerja kasar terreproduksi menjadi zonasi pusat-semipinggiran-pinggiran. Hubungan relasi produksi tersebut dipandang sebagai semacam sistem swa-regulasi yang mencakup mekanisme internal untuk pemulihan dari krisis dan pengembangan-kemajuan kapitalisme lebih lanjut, alih-alih relasi produksi eksploitatif yang antagonistik. Menurut sistem-dunia ketaksetaraan ekonomi dihasilkan secara inheren di dalam sistem kapitalisme dan mendefinisikan krisis kapitalisme sebagai fase stagnasi yang akan dipulihkan sendiri melalui mekanisme internal. Untuk bantahan terhadap homogenitas dan penjelasan lebih lanjut mengenai sistem kapitalisme baca Immanuel Wallerstein, World-Systems Analisys: An Introduction, Duke University Press, 2004, terutama Bab “The Modern World-Systems as a Capitalist World-Economy”, hal.23 – 41.