Melihat Kebangkitan Populisme Kanan dan Fundamentalisme Kristen di Australia

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Jonpey


APRIL lalu, Perdana Menteri Australia, Scott Morrison hadir di Konferensi Nasional Gereja Kristen. Dalam kesempatan itu, ia mengaku mendapat pesan dari Tuhan untuk melanjutkan pekerjaannya di bumi. Berita ini lantas menjadi begitu viral dan ramai dibicarakan di Australia. Walaupun kejadian seperti ini tak aneh di negara lain, pencampuran agama dan politik sulit diterima publik Australia.

Australia adalag salah satu negara yang paling tidak beragama sedunia. Sejak 1950an, kehadiran di gereja dan jumlah orang yang mengakui beragama berkurang terus. Menurut data sensus 2016, jumlah ateis mencapai 50%. Bahkan antara yang beragama, hanya sebagian kecil beribadah secara rutin. Lebih jauh lagi, kebanyakan orang Australia, termasuk juga yang beragama, menganggap agama sebagai urusan pribadi. Menurut jajak pendapat ABC News 2019, 60% persen orang berpikir agama lebih baik dipraktikkan secara pribadi. Sejak awal, Australia adalah negara sekuler dan agama tidak berperan besar di politik dalam negeri.

Meski begitu, agama semakin sering muncul di dunia politik. Yang paling menonjol adalah golongan Kristen sayap kanan, yang juga dikenal sebagai Kristen fundamentalis. Mereka semakin gencar mencoba mempengaruhi kebijakan publik. Perkembangan tersebut berakar dari konflik kebudayaan (biasa dikenal sebagai culture wars”) yang dimulai pada awal 1990an, sebagai dampak kejadian besar seperti kejatuhan Uni Soviet dan serangan 11 September.

Peristiwa-peristiwa ini mengawali timbulnya paradoks dalam kehidupan publik Australia. Pertama-tama, semakin sedikit orang Australia beragama, semakin banyak agama berperan dalam perdebatan politik. Keduanya, semakin besar perann agama dalam perdebatan tersebut, semakin tipis hubungan antara apa yang diinginkan golongan Kristen sayap kanan dan ajaran agama yang diakui mereka. Bagaimana ini bisa terjadi? Jika orang tidak begitu taat, mengapa politisi sangat mengandalkan ajaran agama dan tetap menang pemilihan? Untuk memahami hal itu, kita perlu melihat sejarah dan mengerti bahwa agama jarang berfungsi sebagai kepercayaan saja alih-alih sebagai pengenal identitas kelompok etnis dan politik. Tulisan ini akan mengikuti jejak perkembangan golongan Kristen sayap kanan dan melihat bagaimana agama berfungsi untuk kepentingan mereka di Australia. Tetapi, pertama-tama, harus dipahami siapa itu orang Australia dan seperti apa hubungan mereka dengan agama.

Australia merupakan negara bekas jajahan Inggris, yaitu negara yang melakukan genosida terhadap sebagian besar suku asli dan menggantikannya dengan orang-orang keturunan Inggris. Sampai sekarang, mayoritas penduduk Australia adalah keturunan orang Inggris. Awalnya, tanah yang juga merupakan benua ini digunakan untuk memenjarakan para tahanan yang memenuhi penjara-penjara di Britania. Sebagian dari mereka sebenarnya tahanan politik asal Irlandia, yang saat itu menentang pendudukan Inggris di tanah kelahirannya.

Dalam hal keagamaan, orang Inggris dikenal sebagai penganut Kristen Protestan, sedangkan orang Irlandia lebih dikenal sebagai Katolik. Disinilah asal sengketa politik pertama di Australia yang bernafaskan keagamaan. Sejak awal, orang-orang Protestan Inggris merupakan mayoritas yang menduduki posisi dominan di bidang ekonomi dan politik. Mereka cenderung menindas minoritas Katolik karena perbedaan kepercayaan, etnis, dan juga sengketa antara kedua bangsa. Konflik berdarah kerap terjadi antara kedua golongan politik. Kaum Protestan yang cenderung kaya dan berpengaruh lebih terikat dengan politik konservatif, sedangkan orang-orang katolik, yang biasanya miskin, berpihak pada politik buruh yang dianggap lebih progresif. Hal ini terus berlanjut sampai pada tengah abad ke-20.

Sebelumnya harus diketahui bahwa nama-nama partai di Australia memang sedikit membingungkan. Disini Partai Buruh disebut sebagai partai center-left atau demokrat sosial (social democratic) alih-alih partai sosialis atau komunis. Begitu pula dengan sebutan Partai Liberal, yang secara politik tidak liberal melainkan konservatif. Harus digarisbawahi pula sejak 1940an, Partai Liberal berkoalisi dengan Partai Nasional dan kedua partai itu sering disebut sebagai “Koalisi”.

Selama beberapa dekade awal pasca-Perang Dunia II, beberapa pergolakan besar mengubah demografi dan peranan agama di Australia untuk selamanya. Yang pertama adalah masuknya jutaan imigran dari Eropa. Ini merupakan kali pertama pemerintah Australia mendukung imigrasi dari negara selain Inggris. Saat itu pendatang dari Italia dan Yunani mengalami masalah rasisme akut di Australia. Baru pada 1973, ketika pemerintah Australia mengizinkan imigrasi orang non-Eropa dan non-kulit putih, rasisme diarahkan kepada orang Asia dan Afrika yang dari segi penampilan, budaya, bahasa dan agama jauh berbeda dari orang-orang Eropa yang sudah ada di Australia. Selama masa inilah akhirnya perbedaan antara orang katolik dan protestan perlahan berubah, begitu pula politiknya.

Bersamaan dengan perubahan demografi tersebut, terjadi revolusi sosial-budaya yang menggerus signifikansi agama dan merombak norma-norma masyarakat. Terkadang disebut “krisis keagamaan”, pada 1960an terjadilah pengurungan tingkat partisipasi ritual keagamaan. Jumlah baptisan anak, misalnya, berkurang. Berikutnya adalah kemunculan gerakan New Age, yaitu gerakan di kalangan anak muda Barat yang merangkul kepercayaan baru, terutama yang terpengaruhi oleh agama-agama Timur, seperti Buddha dan Hindu. Walhasil, banyak orang meninggalkan kekristenan entah itu untuk menjadi ateis maupun mencari kepercayaan baru.

Norma masyarakat seputar seksualitas, pernikahan, hak kaum gay, peran perempuan, aborsi, kontrasepsi, dan perceraian berubah menjadi lebih liberal. Sejarawan masih memperdebatkan asal-usul pergolakan tersebut. Callum G. Brown mencirikan perubahan tersebut sebagai revolusi khas masyarakat 1960an. Sedangkan bagi Hugh Mcleod, perubahan ini berpangkal pada ranah filsafat dan cendekiawan yang bisa ditarik ke gagasan toleransi beragama di Eropa pada abad ke-17, yang berlanjut seiring gerakan pembebasan politik pada abad-abad kemudian. Yang jelas, wajah Barat, termasuk Australia, jauh berbeda setelah dekade 1960an, terutama terkait agama, norma gender dan seksualitas.

Akibat banyaknya imigrasi bersama perubahan budaya, demografi Australia saat ini jauh beda dibanding demografi zaman pra-Perang Dunia II. Menurut data sensus 2016, jumlah orang Kristen (termasuk Protestan dan Katolik) masih 52% dari seluruh pendudukan Australia, tapi jumlah ini berkurang terus. Kelompok terbesar kedua adalah orang yang tidak mengaku beragama, yakni 30%. Di sisi lain, penganut agama lain seperti Hindu dan Islam bertumbuh terus. Dengan pertumbuhan penganut non-Kristiani, sekat-sekat perbedaan antara aliran kekristenan menipis. Perbedaan politik antar aliran kekristenan pun kian kabur dan ini dapat dilihat pada pola perwakilan politik. Dahulu Partai Liberal menjadi partai untuk orang protestan dan Partai Buruh menjadi partai untuk orang katolik. Sementara sekarang, kedua kelompok saling membaur dan mayoritasnya memilih Koalisi (koalisi antara Partai Liberal dan Partai Nasional). Terpilihnya John Howard pada 1996 adalah momentum perdana orang Kristen memilih Koalisi, terlepas apapun gereja mereka. Sejak itulah muncul golongan Kristen sayap kanan.

Beberapa peristiwa dunia antara 1980 dan 2001 mendorong Australia semakin ke kanan. Di luar Australia, keruntuhan Uni Soviet pada 1989 menandai tamatnya Perang Dingin. Peristiwa ini pernah diartikan sebagai kejayaan kapitalisme atas komunisme. Francis Fukuyama menyebutnya “Akhir Sejarah” yang membuktikan keungggulan demokrasi liberal dan kapitalisme sebagai sebuah sistem. Menanggapi tulisan Fukuyama, ilmuwan dan konsultan politik Samuel Huntington menyatakan sejarah belum selesai; alih-alih didefinisikan oleh pertarungan komunisme dan kapitalisme, masa depan adalah pergulatan antar-peradaban. Dalam konteks itulah Huntington menuduh Islam sebagai agama yang tidak cocok dengan budaya Barat sehingga hubungan keduanya niscaya antagonis. Lima tahun setelah Clash of Civilizations terbit (1996), terjadilah serangan September 11. Sejak itu, bagi orang konservatif di negara-negara Barat, Islam menggantikan komunisme sebagai musuh nomor satu. Intinya, orang konservatif sejak 11 September lebih tertarik pada identitas, bukan ideologi.

Selama 1980an dan 1990an gerakan buruh Australia mengalami kemunduran besar. Sebagaimana dicatat sejarawan Bradley Bowden kemunduran ini disebabkan oleh perubahan ekonomi plus perlawanan balik para majikan. Serentak, Partai Buruh mulai mengadopsi kebijakan neoliberal yang menurut peneliti Ben Spies-Butcher dalam studi-studinya, menambah kesenjangan ekonomi antara orang kaya dan orang miskin. Intinya, baik gerakan serikat buruh maupun partai buruh tidak lagi efektif memperjuangkan hak-hak pekerja. Seiring kekalahan di bidang hubungan industri, kaum kiri mulai tertarik pada isu identitas seperti gender, ras dan seksualitas. Pendeknya, baik orang konservatif maupun kaum yang kekiri-kirian tak lagi terfokus pada nasib pekerja.

Lalu meletuslah culture wars atau konflik budaya, yang dipelopori Perdana Menteri Howard. Perang ini melibatkan kubu kiri dan kanan dengan isu norma sosial dan budaya, termasuk persoalan gender. Pada waktu itu, sebagaimana dijelaskan wartawan Marion Maddox, Howard mulai melaksanakan reformasi sosial seperti mempromosikan pengajaran agama di sekolah umum. Dia mulai menggambarkan Australia sebagai negara berlandaskan budaya Yudeo-Kristiani dan larut dalam “Perang Melawan Teror” (Global War on Terror/GWOT) yaitu perang negara-negara Barat terhadap “terorisme”—sesuai definisi yang mereka kehendaki—yang diawali dengan invasi ke Afganistan dan Irak. Di Australia, GWOT dibungkus sebagai perang antar-agama dan ini memberikan justifikasi bagi agama agar bisa berperan lebih besar dalam politik, menurut Anna Crabb. Dalam penelitian Crabb pada 2009, ia menemukan bahwa tema kekristenan yang diangkat dalam pidato parlemen Australia naik dari tahun 2000 ke 2006. Demikian pula, penelitian yang dilakukan Paul Pickering pada 1998 juga menemukan bahwa politisi konservatif yang dipilih pada 1996 membicarakan agama lebih banyak dibanding politisi konservatif yang dipilih pada 1975. Ironisnya, semakin orang Australia meninggalkan kekristenan, semakin banyak politisi mengangkat kekristenan.

Lahir dari paradoks, corak golongan Kristen sayap kanan kontemporer sama membingungkannya. Kelompok ini galak mengampanyekan kekristenan, tetapi yang mereka perjuangkan tipis hubungannya dengan ajaran Kristen. Terkadang ini dilakukan untuk memenangkan pemilihan, namun terkadang juga mereka memperjuangkan hal yang tak populer dan malah kehilangan suara. Ada dua contoh bagaimana kelompok ini berfungsi, yaitu persoalan pengungsi dan persoalan pernikahan sesama jenis.

Mulai 1990an, pemerintahan Australia, baik di bawah Partai Buruh maupun Partai Liberal, memperkuat undang-undang yang mempersulit pengungsi. Sikap ini menuju ke kekejaman yang tak terhingga. Semenjak 2001, kedua partai utama mendukung kebijakan untuk memenjarakan pengungsi yang menginjakkan kaki di beberapa lokasi di pulau-pulau kecil Samudra Pasifik. Secara umum, kebijakan tersebut berlanjut sampai sekarang. Akibat kebijakan ini, ratusan orang telah menderita tanpa kepastian akan masa depannya.

Ada banyak kasus kematian—dan bunuh diri—di pusat-pusat penahanan, baik di Australia maupun di kamp-kamp luar negeri. Penahanan tersebut sebenarnya tidak sah menurut hukum internasional dan telah dikecam oleh badan-badan internasional seperti PBB, Doctors Without Borders, Amnesty International, dan organisasi-organisasi HAM lainnya. Kedua partai utama memang sama-sama menjadi pendukung kebijakan tersebut. Namun, jika ada satu partai yang paling keras mendukung kebijakan tersebut, maka itu adalah Partai Liberal.


Paranoia dan Kenangan Masa Kecil

“Yesus mengerti bahwa ada tempat yang tepat untuk semua orang, tetapi itu bukan Australia.”

Pernyataan itu terlontar dari mulut Tony Abbott dalam diskusi tentang pengungsi di Australia pada siaran televisi Australia Q&A, 5 April 2010. Saat itu, Abbott adalah pemimpin dari partai oposisi, yaitu Partai Liberal. Dia menganjurkan kebijakan yang lebih keras terhadap para pengungsi. Kutipan di atas adalah jawaban atas pertanyaan “Soal pengungsi, apa yang akan Yesus lakukan?” Jawaban Abbott kelak menjadi salah satu ucapannya yang paling terkenal, sampai-sampai menjadi bahan ejekan ketika Abbott dibuang oleh partainya sendiri. Bahkan waktu itu muncul lelucon “Yesus mengerti bahwa ada pekerjaan yang tepat untuk semua orang, tetapi itu bukan sebagai perdana menteri.”

Abbott dicemooh dan dicap munafik. Dia menjadi pemimpin Partai Liberal pada 2009. Setelah menang dalam pemilihan 2013, dia menjadi perdana menteri sampai 2015. Dari awal, dia mengkampanyekan nilai-nilai Katolik. Pada 2009, misalnya, dia mengajukan undang-undang untuk memperkuat hukum pernikahan supaya lebih sulit bercerai, sebagai dilaporkan dalam koran The Sydney Morning Herald. Jelas, dia mengedepankan agama sebagai salah-satu alasan mengapa ia seharusnya dipilih. Nah, sebagai orang Katolik, dia wajib mengikuti ajaran dan tafsiran Paus, yang saat itu adalah Benedict XVI. Ironisnya, beberapa bulan sebelum ucapan Abbott, Benedict mengeluarkan pernyataan tentang hak imigran dan pengungsi, terutama anak. Sang Paus menganjurkan kepedulian terhadap pengungsi dengan mengutip beberapa bagian Alkitab.

Koalisi pernah berdalih kebijakan mereka akan menyelamatkan para pengungsi yang terancam tenggelam di laut ketika berlayar ke Australia. Namun alasan ini sulit dipercaya jika kita melihat banyaknya kematian yang terjadi di dalam kamp tahanan yang dikelola sendiri oleh pemerintah Australia. Ada juga yang menyebut anggaran sebagai alasan mengapa Australia tidak bisa menerima pengungsi. Namun, ongkos untuk memenjarakan orang di pulau pasifik jauh lebih mahal dibanding biaya menerima dan mendukung kehidupan pengungsi setelah masuk ke Australia.

Sebenarnya semua kecakauan ini tak semata disebabkan oleh ulah politisi. Kebijakan keras terhadap pengungsi juga mendapatkan banyak dukungan dari sejumlah segmen masyarakat Australia. Tokoh yang paling mewakili hal ini adalah Andrew Bolt, seorang kolumnis Herald Sun yang rajin mengisi acara-acara radio dan televisi. Bolt yang terkenal rasis sering mengomentari isu-isu imigrasi, pengungsi, dan ketegangan rasial di Australia. Bolt juga sering mengungkit perbedaan agama sebagai alasan mengapa Australia seharusnya tak menerima pengungsi. Dalam sebuah tulisan, dia menyiratkan bahwa para pengungsi muslim adalah teroris. Dalam tulisan lain, dia menyiratkan muslim tak bisa tinggal bersama orang Kristen dan akan merusak kehidupan dan kebudayaan Barat. Dalam pemikiran Bolt, bisa dilihat bahwa agama memainkan peran yang penting. Padahal, dia sendiri sepertinya lebih mengkhawatirkan agama lain daripada mengikuti ajaran Kristen itu sendiri. Sialnya Bolt adalah tokoh masyarakat yang memiliki banyak pengikut.

Sama halnya dengan Bolt, demi kepentingan politik, para politisi sayap kanan bisa dengan sangat munafiknya melupakan kebaikan amal yang begitu penting dalam ajaran Kristiani. Namun, mereka bisa memperalat ajaran agama dalam isu lain. Perdebatan tentang pernikahan sesama jenis (PSJ) adalah salah satu contohnya. Tokoh-tokoh yang menentang PSJ menyebut agama sebagai salah satu alasan mengapa PSJ tak boleh diberlakukan. Padahal, jika dikaji lagi, ajaran agama tentang PSJ juga tak jelas. Pengesahan PSJ sendiri sangat diinginkan oleh masyarakat umum di Australia.

Sebagai latar belakang, isu PSJ di Australia menonjol kurang lebih sejak awal tahun 2000an bersamaan dengan negara-negara Barat lainnya. Walaupun PSJ sudah lama didukung oleh Partai Buruh dan ditentang oleh Koalisi, pada akhirnya Koalisi yang memberlakukannya pada 2017. Hal ini karena pemimpin Koalisi waktu itu, Perdana Menteri Malcolm Turnbull, tergolong anggota fraksi progresif dalam partai tersebut dan ia mendukung PSJ. Salah satu penentang utamanya adalah Abbott, yang saat itu menjadi menteri bawahan Turnbull dan sedang memimpin fraksi konservatif. Abbott termasuk tokoh golongan Kristen fundamentalis yang juga sangat menentang pengungsi. Untuk menghindari perpecahan langsung, Turnbull mengajukan permasalahan itu kepada jajak pendapat negeri. Akhirnya, jajak pendapat tersebut menghasilkan respons yang sangat positif terhadap PSJ.

Lebih dari 60% menjawab “Ya” untuk pertanyaan “Apakah undang-undang seharusnya diubah untuk memperbolehkan PSJ?”. Namun jajak pendapat itu menjadi pil pahit. Para penentang melancarkan kampanye hitam, menakut-nakuti masyarakat dengan menyatakan bahwa akan terjadi pelbagai perubahan mengerikan jika PSJ disahkan. PSJ, menurut kampanye itu, adalah langkah pertama untuk merampas hak orang tua atas pendidikan anaknya. Menurut para juru kampanye hitam ini, setelah PSJ diketok, aktivis radikal akan menyelenggarakan pendidikan seksual di sekolah yang mengajarkan homoseksualitas hingga tukar pakaian laki-laki dan perempuan (cross-dressing) kepada anak-anak. Kampanye tersebut sangat merugikan komunitas LGBT, yang akhirnya menjadi sasaran kebencian. Menurut analisis hasil jajak pendapat, kebanyakan penentang PSJ berasal dari komunitas keagamaan, terutama aliran-aliran Kristen tetapi juga dari agama lain seperti Islam. Akan tetapi, dalam ajaran Kristen pasal-pasal terhadap PSJ juga sebenarnya tak jelas.

Di dalam Alkitab, tak ada pasal apapun mengenai “homoseksualitas” atau PSJ karena konsep-konsep itu memang belum ada saat Alkitab ditulis. Memang ada beberapa pasal yang sering digunakan oleh penentang LGBT untuk menggagalkan pengesahan PSJ, benar atau tidaknya pasal-pasal tersebut melarang hubungan homoseksual sangat tergantung si penafsir. Tentu yang paling terkenal adalah pasal-pasal mengenai Sodom dan Gomora. Di situ diceritakan tentang kota Sodom yang memutuskan tak lagi menyambut tamu. Lalu seorang bernama Lot menerima dua tamu laki-laki yang sebenarnya adalah malaikat. Lot melindungi keduanya dari perkosaan oleh gerombolan laki-laki lain. Karena kejahatan yang ada di kota itu, Tuhan akhirnya menghancurkan seisi kota dan menyelamatkan Lot. Banyak penolak PSJ yang memandang kisah penghancuran tersebut sebagai kecaman untuk perilaku homoseksual. Namun, sebenarnya lagi-lagi semua ini hanya varian dari banyaknya tafsir—bisa jadi kecaman terhadap Kota Sodom dan Gomora muncul karena ketidakramahan dan kekerasan penduduk.

Lantas, jika tak ada asas yang pasti di dalam agama, mengapa penentang PSJ begitu menolaknya? Di sini ada perbedaan yang begitu jelas antara kasus pengungsi dan kasus PSJ. Di kasus pengungsi, kedua partai utama memang mendapatkan banyak suara dengan mengasingkan pengungsi. Sedangkan di isu PSJ, sebenarnya ada banyak dukungan dari masyarakat yang menginginkan PSJ, bahkan dari para pemilih di daerah pemilihan Abbott sendiri. Putri dan adik Abbott pun pendukung “Ya” dalam jajak pendapat seputar PSJ. Ini membuktikan bahwa menentang PSJ tidak hanya dilakukan untuk mendapatkan lebih banyak suara; ada alasan yang lebih dalam mengapa tokoh konservatif sangat keras menolaknya.

Abbott dan tokoh-tokoh lainnya akhirnya menggiring isu PSJ sebagai perjuangan untuk kebebasan agama. Pada 2016, Bolt menulis sebuah artikel yang mengklaim ada “Perang terhadap Kekristenan” dan menuduh aktivis pro-PSJ menyerang agama Kristiani. Pada Desember, 2017, Abbott mengatakan “Kalau Anda peduli kebebasan agama dan kebebasan berbicara, pilih tidak untuk PSJ.”

Mustahil agama diasingkan dari politik. Untuk banyak orang, agama menjadi sumber nilai, yang kemudian mempengaruhi kebijakan politik. Namun, di Australia, politisi yang mengangkat persoalan agama tak selalu saleh. Kebijakan yang dianjurkan tak tulus, kerap selektif, dan bahkan bisa dianggap munafik. Lagi pula, kekristenan ketat yang dikampanyekan oleh politisi Kristen sayap kanan ketinggalan zaman dan tak mencerminkan kepercayaan penduduk Australia. Mayoritas orang Australia memang menganut agama selain Kristen, atau ‘Kristen santai’, atau ateis. Anehnya, meski tidak mewakili kepercayaan mayoritas orang, golongan Kristen sayap kanan masih mendulang kesuksesan politik. Kontradiksi ini menjelaskan banyak hal tentang apa yang sebetulnya terjadi di masyarakat Australia.

Golongan Kristen sayap kanan tidak mewakili kepercayaan atau ajaran Kristen. Justru, golongan ini mewakili kelompok berdasarkan identitas. Menurut penelitian dilakukan oleh Miriam Pepper dan Rosemary Leonard pada 2106, partisipan acara-acara gereja umumnya sudah tua. Mereka umumnya juga kelahiran Australia atau negara yang berbahasa Inggris. Maka kebanyakan mereka adalah orang “Anglo-Australian”, yaitu orang berkulit putih yang leluhurnya berasal Inggris. Artinya, mereka tidak mencerminkan keberagaman budaya dan bangsa yang tinggal di Australia. Kemudian, mereka cenderung punya pendapat serupa untuk isu-isu seperti pemanasan global—mereka tidak percaya bahwa pemanasan global benar-benar terjadi—meskipun persoalan tersebut tidak berhubungan dengan agama. Mereka, dengan kata lain, adalah golongan politik, terlepas dari agamanya.

Orang Kristen sayap kanan, yang sudah sepuh dan bukan imigran itu, telah mengalami perubahan besar sepanjang hidupnya. Mereka bisa mengingat zaman ketika semua tetangga mereka adalah orang berkulit putih. Waktu itu, laki-laki bekerja di luar rumah dan perempuan mengurus rumah tangga. Kala mereka kecil, pasangan jarang bercerai, tak ada gay yang berani terbuka soal orientasi seksualnya, dan orang tak boleh berhubungan seks sebelum menikah. Ketika mereka masuk usia kerja, pasar lokal dilindungi oleh tarif perdagangan, pekerjaan lebih terjamin, dan gaji lebih tinggi dibanding biaya hidup. Sekarang, norma masyarakat tentang gender dan seksualitas berubah drastis, budaya yang sebelumnya dianggap asing kini ada di sekitar mereka, dan ekonomi tidak terjamin seperti dulu. Bagi mereka, zaman ketika mereka masih kecil mungkin terasa lebih aman dan akrab.

Tak mengejutkan jika golongan konservatif itu merasa terancam, dan kecemasan tersebut terlihat jelas dalam bahasa yang mereka gunakan. Persoalan pengungsi ditafsirkan sebagai serangan terhadap budaya Barat oleh budaya lain, terutama muslim. Golongan Kristen sayap kanan pun menggambarkan isu PSJ sebagai serangan terhadap kebebasan agama sehingga Perdana Menteri Scott Morrison mengajukan undang-undang perlindungan kebebasan agama, walaupun perlindungan tersebut sebenarnya sudah ada. Golongang Kristen sayap kanan menganggap diri mereka korban; korban imigran dan budaya asing, korban perubahan sosial dan gerakan feminis, dan sebagainya. Persekongkolan untuk menghancurkan budaya Barat adalah omong kosong teori konspirasi. Yang terjadi sebaliknya: negara-negara Barat yang menduduki atau mendominasi negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim. Tak bisa tidak, kecemasan mereka adalah paranoia belaka. Kenyataan ini sebenarnya diakui oleh Morrison dalam perdebatan tentang Undang-Undang Perlindungan Kebebasan Bergama. Ia menyatakan, “Walaupun belum ada masalah sebelumnya, tidak berarti bahwa tidak mungkin ada masalah ke depan.”

Suasana paranoid seperti itu kerap memicu kekerasan. Pada 2019, seorang teroris berasal Australia masuk dalam dua masjid di kota Christchurch, Selandia Baru, dan membunuh 51 orang yang sedang beribadah. Serangan itu, klaim sang teroris, bertujuan untuk “menunjukkan kepada para penjajah bahwa tanah kita takkan pernah menjadi tanah mereka, tanah air kita adalah milik kita sendiri dan bahwa selama masih ada orang berkulit putih hidup, mereka [orang Islam] tidak pernah akan menaklukkan tanah kita.”

Politik berlandaskan identitas hanya bisa melahirkan dendam kesumat. Tak hanya di antara kalangan Kanan, golongan kiri pun terpecah-belah oleh politik identitas yang berfokus pada gender, ras, seksualitas, dll. Keadaan ini memudahkan politisi memanfaatkan perbedaan antar-kelompok untuk mengambilalih kekuasaan. Di Amerika Serikat, mantan presiden Donald Trump mempermainkan rasisme untuk mendapatkan dukungan dari pemilih kelas pekerja dan berkulit putih, walaupun Trump jelas menyokong kaum bos. Sama halnya dengan pemilihan di Australia pada 2019, koalisi yang memenangkan pemilihan mendapat banyak dukungan dari warga kelas pekerja. Sebelum terpilih, Morrison mengumumkan kebijakan yang rencananya akan mengurangi jumlah kuota imigran. Orang yang mengkhawatirkan imigrasi cenderung memilih partai kecil sayap kanan, tapi karena sistem pemungutan suara preferensial, suaru tersebut beralir ke Koalisi. Tingkat pendidikan, yang berhubungan erat dengan kelas, merupakan faktor utama apakah orang Australia mendukung imigrasi. Dengan mengkambinghitamkan imigran dan pengungsi, politisi sayap kanan, termasuk golongan Kristen sayap kanan, bisa meyakinkan kelas pekerja untuk mengabaikan kepentingan kelasnya sendiri.

Gerakan sayap kanan ekstrem berlandaskan identitas keagamaan telah bangkit di banyak tempat di dunia. Di India, Perdana Menteri Narendra Modi mendapat dukungan untuk kebijakan Hindu nasionalis yang menindas muslim. Variasi kebijakan yang kurang lebih sama juga muncul di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, dengan korban minoritas non-muslim. Perkembangan tersebut sangat berbahaya karena bisa memancing kekerasan baik antar-negara maupun antar-komunitas.

Namun, tak hanya kekerasan yang harus dikhawatirkan. Pembelahan komunitas ke dalam kelompok-kelompok identitas juga menghalangi kelas pekerja untuk memerdekakan diri. Scott Morrison, yang menyangkal tuduhan bahwa dirinya seorang “culture warrior”, adalah anggota Assemblies of God, gereja konservatif asal AS yang jumlah anggotanya kini menjamur di mana-mana. Cabangnya di Australia bernama Gereja Hillsong, yang didirikan oleh Brian Houston, yang juga dekat dengan Morrison. Pada tahun 2000, Houston menulis buku berjudul You Need More Money: Discovering God’s Amazing Financial Plan for Your Life yang berisi doktrin Gospel Kemakmuran. Berkebalikan dengan ajaran Yesus, doktrin ini percaya bahwa kekayaan adalah berkah dari Tuhan dan menunjukkan tingkat keimanan pengikutnya. Pertanyaannya, sejauh mana Morrison dan golongan Kristen sayap kanan mampu mewujudkan gerakan Kristen ala Amerika yang mabuk kapitalisme dan rasisme?

Inilah pelajaran penting dari Australia: jika orang berkubu menurut agama, yang menang hanyalah kapitalis.***


Alex Gotts adalah penulis dan pengamat media, tinggal di Canberra


 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.