COVID-19 dan Bangkrutnya Proyek Individu Neoliberal

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


DALAM periode krisis Pandemi COVID-19 selama ini, kita menyaksikan aktivitas-aktivitas warga, individu maupun kelompok, yang rela berkorban dan bersolidaritas satu-sama lain dalam mengatasi serangan Covid-19 ini. Kita saksikan bagaimana para petugas kesehatan, bekerja sangat keras dan bertarung nyawa untuk melayani pasien yang terdampak COVID. Hingga Juli 2021, setidaknya 1.031 tenaga medis meninggal dunia.[1] Lebih dari sekadar angka, kita kehilangan tenaga-tenaga terdidik di bidang kesehatan, yang untuk mewujudkannya dibutuhkan waktu bertahun-tahun dengan biaya yang tidak murah.

Selain itu, kita juga menyaksikan aktivitas spontan dan genuine dari sesama warga, yang terdampak COVID-19. Seperti yang telah ditulis dengan baik oleh Astried Permata[2], di tengah-tengah ketidakbecusan pemerintahan neoliberal Jokowi-MA dalam mengatasi pandemi ini, “warga mulai melakukan inisiatif penggalangan dana, membangun dapur-dapur umum, dan menyediakan secara gratis paket-paket obat isoman dan alat pelindung diri (APD).”

Namun Astried mengingatkan dengan sangat jernih bahwa glorifikasi aktivitas “Warga bantu Warga” ini rentan terjebak ke dalam logika kerja neoliberalisme jika pada saat yang sama kita tidak menuntut kepada negara untuk meredistribusi kekayaan yang sangat timpang akibat dari beroperasinya sistem ini. Kita harus selalu ingat bahwa kesulitan yang mendera rakyat, terutama rakyat pekerja, baik sebelum dan terutama selama masa pandemi ini, adalah akibat dari ketundukkan dan kepatuhan pemerintahan Jokowi terhadap agenda-agenda neoliberalisme. Itu sebabnya, tanpa tuntutan dan desakan kepada negara dan kepada pemerintah untuk meredistribusi kekayaan, maka menurut Astried, aktivitas Warga bantu Warga itu “seolah mengafirmasi bahwa persoalan hak-hak ekonomi bukan urusan pemerintah melainkan individu/masyarakat itu sendiri, bahwa masyarakat punya kebebasan untuk memutuskan dan bertanggungjawab mengurus hidupnya melalui pasar. [3]

Sampai di sini, kita bisa melihat bahwa sistem kapitalisme neoliberal yang eksis dan dominan saat ini terbukti gagal dalam mengatasi pandemi ini, baik dalam aspek kesehatannya maupun jaminan kesejahteraan rakyat yang terdampak. Kegagalan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di hampir seluruh negara yang terserang Pandemi ini. Tetapi di sisi lain koin yang sama, sistem ini juga telah menyiapkan jejaring ilusi untuk menjebak dan mengkooptasi aktivitas-aktivitas individual dan masyarakat yang spontan dan genuine tersebut ke dalam logika kerjanya. Astried menulis:

“Tak heran jika berbagai inisiatif yang didasari ketulusan warga ini mendapatkan apresiasi dari Pemerintah. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) bahkan memberikan penghargaan kepada inisiatif-inisiatif pelayanan publik di tengah COVID-19. Terdapat 144 inovasi berasal dari masyarakat sipil yang Kemenpan-RB catat pada 2020.

Di sisi lain, penting kemudian untuk melihat sikap Solidaritas Pangan Jogja (SPJ) yang dengan kritis menolak gimik dari pemerintah tersebut. Mereka menolak diberikan penghargaan oleh Kemenpan-RB. Safiatudina, perwakilan SPJ, mengatakan enggan menerima penghargaan tersebut karena gerakan SPJ hadir sebab pemerintah dinilai tak mampu memberikan akses kesehatan, pangan dan kesejahteraan masyarakat. Sebuah sikap kritis yang juga tidak banyak ditemukan saat ini.”

Agar kita bisa terhindar dari jejaring ilusi dan kooptasi itu, bagian selanjutnya dari artikel ini saya ingin menunjukkan bahwa sikap rela berkorban nyawa yang telah ditunjukkan oleh para petugas kesehatan kita dan aktivitas Warga bantu Warga sejauh ini merupakan fakta penting yang menandai “kebangkrutan proyek individu neoliberal”.


Individu Neoliberal

Seperti sudah kita ketahui bersama, neoliberalisme pada dasarnya adalah sebuah proyek kelas kapitalis (baca: elit kelas kapitalis) untuk terus mengakumulasi keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa terinterupsi. Untuk mewujudkan proyeknya ini, maka kelas kapitalis tidak hanya harus mengalahkan kelas pekerja melalui revolusionerisasi berkelanjutan atas alat-alat produksi dan manajemen kerja, tapi juga harus mengkomodifikasi seluruh aspek-aspek kehidupan yang sebelumnya dianggap sebagai barang publik (public domain) dan barang rumah-tangga (household domain).

Aneka ragam kebijakan seperti privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara, deregulasi beragam peraturan yang menghambat investasi yang diikuti oleh re-regulasi peraturan yang memfasilitasi dan memuluskan investasi (omnibus law, contohnya), liberalisasi (perdagangan, jasa dan keuangan), pasar kerja yang fleksibel (outsourcing, kontrak kerja yang terbatas tanpa jaminan untuk diangkat sebagai pekerja tetap, penghapusan cuti haid, mempersulit buruh untuk berserikat, dan pelemahan/penghancuran serikat buruh), pengurangan atau bahkan penghapusan anggaran-anggaran untuk pemenuhan hak-hak dasar warga negara (komodifikasi sektor pendidikan dan kesehatan, air bersih, bahkan udara), dan militerisasi ruang publik adalah manifestasi dari proyek kelas ini.

Tetapi, seperti yang pernah saya tulis, “kapitalisme neoliberal tidak hanya melulu soal ekonomi-politik. Sistem ini juga memperkenalkan nilai-nilai baru di tingkat individual. Artinya, agar sistem ini bisa bekerja maka manusia-manusia “baru” juga harus dicetak agar cocok dengan sistem sosial, politik, dan ekonomi ini. Nilai-nilai atau norma-norma lama seperti kolektivitas, solidaritas, dan kesetiakawanan kini digantikan oleh nilai dan norma baru seperti individualisme, egoisme, dan kompetisi.”[4] Konsepsi tentang warga negara yang hak hidup dasarnya wajib dijamin dan dipenuhi oleh negara, kini diganti dengan konsepsi sebagai konsumen yang harus memenuhi sendiri kebutuhan hidupnya melalui pasar. Pasar di sini bisa bermakna lokasi atau ruang orang bertemu dan bertransaksi, tapi yang terutama pasar dimaknai sebagai seberapa banyak kapital yang bisa diakumulasi oleh individu tersebut.

Melalui mediasi pasar, individu konsumen dalam hal memenuhi kebutuhan hidupnya akan bertindak secara bebas dan rasional. Ia akan memilih dan bertransaksi barang apa yang terbaik buat dirinya, dan dengan pilihan bebas dan rasional itu diharapkan berimplikasi pada kebaikan kolektif. Saya melayani atau membantu Anda bukan karena saya peduli pada nilai-nilai kemanusiaan yang diyakini bersama, atau pada ajaran-ajaran moral keagamaan yang diajarkan oleh para pemuka keagamaan, tapi karena saya peduli pada kepentingan pribadi saya sendiri. Dalam logika neoliberal, kepentingan pribadi (self-interest) atau egoisme personal adalah dasar dari kebaikan bersama.

Namun sekali lagi, manusia individual yang bebas, rasional dan egois ini harus terkoneksi ke pasar. Dan inilah imperatif moral baru yang ditekankan oleh neoliberalisme, yang membedakannya dengan kapitalisme terorganisasi a la Keynesianisme atau demokrasi sosial (social democracy). Karena itu, jika individu bebas, rasional dan egois ini tidak terkoneksi ke pasar maka ia tidak dipandang sebagai individu yang ideal bagi bekerjanya sistem ini. Bahkan, ia bisa dianggap sebagai anomali yang berpotensi melawan sistem. Itu sebabnya, sangat sering kita mendengar glorifikasi cerita-cerita sukses tentang individu-individu yang berhasil memenangkan pertarungan dalam pasar, baik itu individu yang memang sejak dari sononya sudah hidup dalam lingkungan yang mapan, terlebih-lebih individu yang datang dari keluarga serba kekurangan. Cerita-cerita mengharu-biru tentang anak tukang becak, atau anak tukang tambal ban di pinggir jalan yang sanggup menyelesaikan kuliahnya di perguruan tinggi terkemuka di cetak tebal-tebal di media massa atau menjadi trending topic di media sosial. Atau kisah sukses seorang petani kecil di sebuah dusun terpencil yang sanggup memasarkan produknya di pasar nasional maupun internasional.

Kisah-kisah persuasif dan menyentuh emosi ini diproduksi dan terus diulang-ulang untuk menunjukkan bahwa sistem kapitalisme neoliberal ini memberi ruang dan kesempatan bagi orang-orang miskin dan terpinggirkan itu untuk sukses, jika mereka bersikap rasional, punya jiwa wirausaha dan memiliki motivasi ekstra dalam mewujudkan mimpi-mimpinya. Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit, giatlah dalam berusaha seolah-olah kamu akan mati besok, maka niscaya usahamu akan sukses dan siapa tahu akan ada orang atau insitusi di luar sana yang bisa membantumu untuk menggenapi ambisi-ambisimu itu. Tetapi, seperti yang ditulis oleh Rachel C. Riedner, apa yang dilupakan dari glorifikasi kesuksesan individu-individu terpinggirkan seperti ini adalah kompleks kemiskinan dan kekerasan struktural yang melingkupi masyarakat secara luas.[5] Tidak heran jika cerita-cerita sukses itu mengabaikan pertanyaan-pertanyaan investigatif kenapa mereka menjadi miskin, kenapa mereka kehilangan lapangan pekerjaan, kenapa mereka tercerabut dari sektor perdesaan, kenapa perempuan lebih rentan menjadi miskin dan mengalami kekerasan, dsb.


Penutup 

Seperti yang kita saksikan sekarang ini, sistem kapitalisme neoliberal ini ternyata gagal mengatasi serangan COVID-19 yang bersifat global ini. Lebih khusus lagi, kita juga menyaksikan kegagalan proyek individu neoliberal yang rasional dan egois di era pandemi ini. Laku rela berkorban nyawa yang ditunjukkan oleh para pekerja medis dan aktivitas Warga bantu Warga membuktikan bahwa solidaritas sosial dan semangat rela berkorban adalah respon paling rasional saat ini. Namun demikian, laku solidaritas sosial dan semangat rela berkorban nyawa sekalipun itu tidak boleh berhenti di tataran ekspresi sosial-kultural belaka. Ia tidak cukup sekadar sebuah respon pasif, sebagai aktivitas bertahan hidup di masa suram ini, lalu diglorifikasi melalui pemberitaan media massa dan media sosial. Aktivitas-aktivitas seperti “Warga bantu Warga” itu harus diradikalkan, harus menjadi sebuah respon aktif dalam wujud perlawanan/serangan ekonomi dan politik terhadap sistem kapitalisme neoliberal dan proyek individu neoliberalnya itu. Hanya dengan cara ini maka pengorbanan para tenaga medis kita dan aktivitas Warga bantu Warga bisa terbebas dari ilusi dan kooptasi sistem kapitalisme neoliberal.***


Coen Husain Pontoh, editor IndoPROGRESS


Kepustakaan

[1] Nicky Aulia Widadio, “1.031 tenaga medis di Indonesia meninggal selama pandemi Covid-19”, https://www.aa.com.tr/id/nasional/1031-tenaga-medis-di-indonesia-meninggal-selama-pandemi-covid-19/2294795. Diakses pada 21/08/2021.

[2] Astried Permata, “Pandemi COVID-19: Hidup-Mati Masyarakat di Tangan Pasar”, https://indoprogress.com/2021/08/pandemi-covid-19-hidup-mati-masyarakat-di-tangan-pasar/. Diakses pada 21/08/2021.

[3] Garis miring dari saya.

[4] Coen Husain Pontoh, “Rasisme, Politik Identitas dan Masalah Papua: Sebuah Penjelasan”, https://indoprogress.com/2020/06/rasisme-politik-identitas-dan-masalah-papua-sebuah-penjelasan/. Diunduh pada 25/08/2021.

[5] Rachel C. Riedner, Writing Neoliberal Values Rhetorical Connectivites and Globalized Capitalism, (New York: Palgrave MacMillan, 2015).


 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.