Ilustrasi: Jonpey
TULISAN ini hendak membahas penyebab pandemi COVID-19, sebuah virus yang bermula di Wuhan, Cina pada akhir Desember 2019 dan dengan cepat menyebar ke penjuru dunia. Per 16 September 2021, secara kumulatif terdapat lebih dari 225 juta kasus terkonfirmasi dengan hampir 5 juta orang meninggal. Sementara di Indonesia, per hari yang sama, terdapat lebih dari 4 juta kasus terkonfirmasi dengan hampir 140 ribu orang meninggal.
Artikel ini dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, membahas bagaimana wabah dalam sejarah selalu terkait dengan aktivitas ekonomi dan politik. Kedua, mengulas soal lompatan SARS-CoV-2, nama virus yang menyebabkan COVID-19, dari hewan ke manusia yang juga disebabkan oleh aktivitas ekonomi, yaitu makanan hewan eksotis. Ketiga membahas motor pendorong ekonomi makanan hewan eksotis itu sendiri, yang bukan budaya seperti yang disangka banyak orang melainkan kapitalisme.
Ekonomi-Politik Wabah
Wabah bukanlah fenomena yang murni biologis. Kemunculan dan perkembangannya banyak dipengaruhi oleh aktivitas manusia, khususnya aktivitas ekonomi dan politik.
Salah satu contohnya adalah Kematian Hitam (Black Death) yang terjadi pada pertengahan abad ke-14. Wabah pes atau sampar ini disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis yang berasal dari hewan pengerat, khususnya tikus, dan kutunya. Penularan terjadi ketika seekor hewan pengerat yang terinfeksi mati dan kutunya pindah ke manusia. Setelah menginfeksi, penularan bisa terjadi manusia ke manusia melalui kutu yang berpindah. Jika penyakit sampai menyebabkan pneumonia atau radang paru-paru, maka penularan melalui udara (tanpa perantara kutu) juga bisa terjadi meski jarang terjadi.
Wabah Kematian Hitam bermula pada 1338-1339 di sekitar Danau Issyk-Kul, dekat Krimea, bagian selatan Rusia. Di daerah itu kulit marmot (marmut) dijual oleh para pemburu ke pedagang yang kemudian menjualnya lagi di tempat lain. Para pemburu senang jika menemukan marmut yang sakit atau sekarat karena lebih mudah ditangkap. Tak heran ketika itu lebih banyak kulit yang berasal dari marmut yang sudah mati.
Kulit marmut beserta kutu-kutu ini dibawa oleh para pedagang melalui jalur karavan ke arah barat. Kulit marmut ini dihuni kutu-kutu yang kemudian melompat ke manusia dan menularkan Yersinia pestis. Pes pun pada akhirnya sampai ke Krimea.
Di Krimea, terdapat pelabuhan-pelabuhan yang digunakan oleh para pedagang Genoa dan Venesia yang saling bersaing. Para pedagang Genoa dan Venesia bersekutu dengan bangsawan Mongol, yang menguasai utara Krimea, yang berbeda dan saling bersaing juga.
Pada 1340, para pedagang Venesia bersekutu dengan Pangeran Janiberg Khan yang menguasai daerah Kipchak Barat. Mereka lalu menggempur para pedagang Genoa dan sekutunya. Para pedagang Genoa pun terdesak dan bertahan di kota pelabuhan Kaffa (sekarang bernama Feodossia, berada di Ukraina).
Saat Kaffa dikepunglah pasukan Janiberg Khan terjangkiti pes. Sang pangeran tidak berhasil menduduki Kaffa, tetapi ia sempat menggunakan mayat pasukannya yang terinfeksi sebagai “senjata biologis.” Mayat-mayat ini dilontarkan oleh katapel-katapel tempur ke dalam Kaffa. Wabah pes pun berkecamuk. Kutu-kutu yang ada di mayat-mayat yang dikatapel tampaknya telah menulari penduduk kota. Penularan juga mungkin terjadi melalui tikus-tikus yang keluar-masuk Kaffa saat pengepungan.
Pada 1347-1348, Kaffa akhirnya ditinggalkan oleh para penduduknya yang tersisa. Para penyintas dari Kaffa ini pergi menggunakan kapal dan sampai di berbagai kota seperti Konstantinopel (sekarang Istanbul di Turki), Marseille (Prancis), Genoa, Venesia, dan Messina (sekarang di bawah Italia). Dari sini, wabah menyebar ke Spanyol, Portugal, Bavaria (sekarang Jerman), Swiss, Inggris dan negara-negara Balkan.
Penyebaran lebih luas di Eropa banyak difasilitasi oleh aktivitas perdagangan yang menggunakan kapal. Misalnya wabah sampai di Inggris pada 1348 dengan kapal yang membawa anggur merah dari Bordeaux. Kemudian sampai di Norwegia dengan kapal yang membawa kain wol dari London. Dari Norwegia, wabah juga menyebar ke negara-negara Skandinavia lain. Wabah sampai di Polandia pada 1351, kemudian masuk ke pedalaman Rusia pada 1351 atau 1352.
Kenyataan bahwa pes ini tidak menyebar langsung dari bagian selatan Rusia―tempat asal usul wabah―ke pedalaman Rusia, tetapi memutar melalui Swedia dan Polandia, menunjukkan peran besar jalur perdagangan dalam penyebaran penyakit.
Wabah sampai ke Timur Tengah melalui jalur yang berbeda. Ia dibawa ke Baghdad dan Damaskus oleh karavan-karavan dagang dari Samarkand (sekarang di bawah Uzbekistan) melalui jalur sutra dan rempah di sebelah selatan Laut Kaspia. Pada 1347, wabah sudah sampai di Aleksandria (Mesir) dengan kapal-kapal yang membawa sutra, budak dan kulit. Dari Aleksandria, wabah menyebar ke Kairo, Gaza dan Beirut.
Selama 1348-1350, korban meninggal akibat Kematian Hitam diperkirakan mencapai 25 juta orang.
Meski Kematian Hitam mulai surut pada 1350-an, pes yang penyebarannya lebih terbatas masih sering muncul sampai abad ke-19. Pada 1890-an, pes yang skalanya agak besar kembali terjadi. Beruntung kondisi ilmu pengetahuan sudah berbeda. Penyebab penyakit, Yersinia pestis, telah ditemukan pada 1894 dan itu membuka jalan bagi penemuan vaksinnya.
Contoh lain yang memperlihatkan peran aktivitas ekonomi dan politik manusia dalam penyebaran wabah adalah “Influenza Spanyol” atau “Flu Spanyol.” Wabah ini terjadi selama 1918-1920 atau pada akhir Perang Dunia I. Dalam hal ini perang juga ikut berperan menyebarkan wabah.
Disebut “Flu Spanyol” bukan karena asalnya dari Spanyol, tetapi karena Spanyol adalah negara yang pertama kali memberitakan dampak wabah ini secara luas. Hal ini dapat terjadi karena Spanyol tidak terlibat dalam perang dan tidak menerapkan sensor berita.
Ledakan pertama yang tercatat muncul di Amerika Serikat (AS). Pada suatu hari di bulan Maret 1918, di pangkalan militer Fort Riley di Kansas, 107 orang mengalami sakit dengan gejala demam dan radang tenggorokan. Lima pekan kemudian, jumlah yang sakit menjadi 1.127 dan 46 orang meninggal. Yang sakit didiagnosis terkena influenza, sementara yang meninggal karena pneumonia yang disebabkan oleh bakteri.
Pada Mei 1918, Divisi 89 dan 92 yang menyelesaikan latihan di Fort Riley dikirim ke Prancis. Tidak lama kemudian, muncul kasus influenza di Prancis. Selanjutnya, Flu Spanyol muncul di Inggris, Jerman, India, dan negara-negara Asia serta Timur Jauh.
Sampai sekarang masih ada perbedaan pendapat tentang asal-usul virus penyebab Flu Spanyol. Ada yang mengatakan dari babi, tetapi ada juga yang mengatakan dari burung. Yang cukup pasti, virus ini berasal dari hewan. Adapun setelah melompat ke manusia, virus ini menyebar dari manusia ke manusia melalui butiran ludah (droplet) yang keluar saat bersin atau batuk.
Gelombang utama Flu Spanyol menyusut setelah terjadi kesepakatan gencatan senjata antara sekutu dengan Jerman pada November 1918. Gelombang tambahan terjadi selama 1919-1920. Lebih dari 21 juta orang tewas karenanya dan sebagian besar meninggal di empat bulan sebelum gencatan senjata terjadi.
Contoh terakhir yang penting untuk dibahas di sini karena merupakan “saudara tua” COVID-19 adalah Severe Acute Respiratory Syndrome (Sindrom Pernapasan Akut Berat), disingkat SARS. Wabah SARS terjadi pada akhir 2002 sampai 2003.
Kasus-kasus awal SARS muncul pada November 2002 di sekitar Kota Foshan, Provinsi Guangdong, Cina. Banyak dari mereka yang terkena adalah buruh restoran yang bekerja menyiapkan makanan dari hewan langka. Guangdong memang terkenal dengan makanan eksotis dan segar yang hewannya baru dibunuh setelah dipilih oleh pembeli.
Pada Desember 2002, salah satu kasus awal ini―seorang penjual ular dan burung―meninggal dunia. Di sekitar waktu yang sama, seorang koki terkena SARS dan masuk ke Rumah Sakit Rakyat di Kota Heyuan, sebelah utara Foshan. Delapan dokter di RS itu pun tertular.
Pada awal Januari 2003, Kota Heyuan dan Zhongshan di Provinsi Guangdong melaporkan adanya sekumpulan kasus pneumonia yang tidak biasa.
Pada Februari 2003, seorang dokter spesialis paru dari Rumah Sakit Zhongshan, Dr. Liu Jianlun, pergi ke Hong Kong untuk menghadiri pernikahan keponakan. Ia pergi dalam keadaan demam. Ia tampaknya tidak menyadari bahwa penyakitnya itu adalah SARS―SARS memang baru diketahui dunia sebagai penyakit pada Maret 2003.
Saat di Hong Kong, Dr. Liu Jianlun menginap di Hotel Metropole. Ia pun menularkan penyakit ke beberapa tamu lain. Di antaranya dua orang Kanada, seorang pebisnis AS yang hendak menuju Hanoi, tiga perempuan dari Singapura, dan seorang penduduk Hong Kong. Tidak lama kemudian, SARS menyebar di Hong Kong dan muncul di Hanoi, Singapura serta Toronto. Dr. Liu Jianlun sendiri pada akhirnya meninggal dunia di Hong Kong. Penyebarannya ke berbagai negara banyak difasilitasi oleh perjalanan wisata dan bisnis antar-negara dengan pesawat terbang.
Patogen penyebab SARS adalah Corona yang berbeda dengan penyebab COVID-19. Para mikrobiolog dari Universitas Hong Kong menemukan virus ini di beberapa hewan yang dijual di pasar makanan di Guangdong seperti musang bulan dan anjing rakun. Corona penyebab SARS tampaknya melompat ke manusia dari hewan-hewan ini. Sementara penularan dari manusia ke manusia terjadi melalui droplet yang keluar saat bersin atau batuk.
Secara global, SARS menginfeksi 8.098 orang dan yang meninggal berjumlah 774 orang.
Demikianlah. Kita bisa melihat bagaimana aktivitas ekonomi dan politik manusia memfasilitasi penyebaran wabah. Dalam kasus Kematian Hitam, aktivitas perdagangan yang memfasilitasinya; kemudian perang dalam kasus Flu Spanyol; dan aktivitas wisata dan perjalanan bisnis antar-negara dalam kasus SARS.
Lompatan patogen penyebab wabah dari hewan ke manusia juga difasilitasi oleh aktivitas ekonomi manusia. Dalam kasus Kematian Hitam, lompatan bakteri Yersinia pestis dari marmut ke manusia difasilitasi oleh aktivitas bisnis kulit marmut. Dalam kasus SARS, lompatan virus Corona dari hewan ke manusia difasilitasi oleh aktivitas bisnis makanan dari hewan langka atau eksotis.
Menelusuri Asal-Usul COVID-19
Ledakan pertama COVID-19 terjadi pada akhir 2019 di Kota Wuhan, Cina. Pada 31 Desember 2019, Komisi Kesehatan Daerah Wuhan mengumumkan adanya sekumpulan kasus pneumonia yang tidak diketahui penyebabnya. Pemerintah Cina memberitahu WHO tentang kasus ini. Pada 7 Januari 2020, sebuah virus Corona tipe baru ditemukan sebagai penyebabnya.
Tidak sampai sebulan kemudian, penyakit ini sudah menyebar cukup luas. Pada 30 Januari, terdapat 7.818 kasus yang terkonfirmasi di seluruh dunia. Sebagian besar berada di Cina, tetapi ada 82 kasus yang tersebar di 18 negara. Penyakit ini kemudian diberi nama resmi Corona Virus Disease 2019 (Penyakit Virus Corona 2019), disingkat COVID-19. Sementara virusnya diberi nama SARS-CoV-2. Pada 11 Maret, WHO menyatakan COVID-19 sebagai pandemi (menyebar di wilayah yang sedemikian luas, dalam hal ini seluruh dunia).
Karena sebagian besar kasus awal di Wuhan adalah pekerja dan pelanggan Pasar Grosir Makanan Laut Huanan, maka pasar itu dianggap sebagai tempat asal wabah. Pemerintah Cina akhirnya menutup pasar itu pada 1 Januari 2020.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Cina juga mengambil sampel lingkungan dari pasar Huanan untuk dianalisis. Hasilnya, 33 dari 585 sampel yang dikumpulkan mengandung asam nukleat SARS-CoV-2. Adapun 31 dari 33 sampel positif itu berasal dari bagian barat pasar Huanan, di mana banyak terdapat stan penjualan hewan liar.
Namun, riset yang dilakukan sekumpulan ilmuwan Cina terhadap fitur-fitur klinis dari 41 pasien awal di Wuhan yang dipublikasikan di The Lancet menemukan hal lain. Dari ke-41 pasien itu, 27 orang memang terpapar secara langsung dengan pasar Huanan. Tetapi, pasien yang pertama kali menunjukkan gejala COVID-19―gejalanya muncul pada 1 Desember 2019―ternyata tidak terpapar oleh pasar Huanan. Dia juga tidak memiliki hubungan epidemiologis apa pun dengan pasien yang menunjukkan gejala COVID-19 setelah dia.
Temuan ini menimbulkan pertanyaan: dari mana pasien pertama itu tertular penyakit COVID-19? Temuan ini juga membuat teori yang menyatakan asal wabah adalah pasar Huanan menjadi meragukan. Berdasarkan temuan ini, ahli penyakit menular Dr. Daniel Lucey berhipotesis bahwa virus SARS-CoV-2 muncul di luar pasar Huanan dan sudah menyebar sejak Oktober-November 2019 atau lebih awal lagi.
Dalam perkembangannya, muncul teori konspirasi yang menyatakan SARS-CoV-2 berasal dari laboratorium. Variannya ada banyak, tetapi bisa dikelompokkan menjadi dua jenis. Pertama, virus ini sengaja dibuat sebagai “senjata biologis”; kedua, virus ini tidak sengaja tersebar karena kebocoran di laboratorium.
Penyebaran teori konspirasi tidak terlepas dari urusan politik. Di antara mereka yang gemar menyebar teori konspirasi adalah para politikus. Mereka saling menuduh lawan politiknya sebagai pembuat SARS-CoV-2. Adapun AS dan Cina adalah negara yang paling sering dituduh sebagai pembuat virus ini.
Saat menjabat sebagai Presiden AS, Donald Trump cukup agresif dalam menyebar teori konspirasi yang menyalahkan Cina. Ia menyebar teori bahwa virus SARS-CoV-2 berasal dari sebuah laboratorium di Wuhan. Pada 14 April 2020, ia menghentikan kontribusi dana AS ke WHO karena menganggap WHO gagal merespons wabah COVID-19. Ia pun menuduh WHO sebagai boneka Cina.
Teori konspirasi ini kemudian mendapatkan bantahan dari berbagai ilmuwan. Salah satu bantahan yang cukup sering dirujuk karena ketajaman argumennya adalah artikel Kristian G. Andersen dkk. di Nature. Berdasarkan analisis komparatif terhadap genom atau materi genetik virus SARS-CoV-2 dan virus-virus sejenis, mereka menyatakan bahwa sangat kecil kemungkinan virus SARS-CoV-2 dibuat di laboratorium.
Ada beberapa alasan mereka. Pertama, komponen RBD (receptor binding-domain atau domain pengikat reseptor) virus SARS-CoV-2 lebih sesuai untuk mengikat reseptor ACE2 (Angiotensin-converting enzyme 2 atau enzim pengubah Angiotensin 2) di manusia daripada RBD virus SARS-CoV (penyebab SARS). Ini kenapa COVID-19 lebih menular dibanding SARS.
Namun, susunan RBD virus SARS-CoV-2 bukanlah yang ideal untuk mengikat ACE2. Begitu pula, ada susunan RBD yang optimal dan bisa dibuat berdasarkan RBD virus SARS-CoV, tetapi bukan ini yang terdapat di virus SARS-CoV-2. Selain itu, RBD virus SARS-CoV-2 punya kesamaan yang kuat dengan RBD beberapa virus Corona di tenggiling. Ini adalah tanda-tanda bahwa virus ini bukan buatan manusia, tetapi hasil mutasi alami.
Kemudian, jika virus ini dibuat dengan rekayasa genetika, maka salah satu sistem genetika arah-balik yang tersedia untuk virus Corona beta kemungkinan akan digunakan. Tetapi, data genetiknya menunjukkan bahwa virus SARS-CoV-2 tidak diturunkan dari backbone virus apa pun yang sebelumnya pernah digunakan.
Bagaimana dengan kemungkinan virus SARS-CoV-2 terbuat secara tidak sengaja dalam proses pembiakan di suatu laboratorium? Menurut Andersen dkk, secara teoretis mutasi RBD virus SARS-CoV-2 bisa terjadi dalam proses pembiakan sel. Tetapi, ada bagian lain dari virus ini yang sulit terbentuk melalui proses pembiakan sel. Komponen glikan terkait-O (O-linked glycans) dari virus SARS-CoV-2, misalnya, mensyaratkan keterlibatan sebuah sistem imun dalam pembentukan.
Jadi, kemungkinan virus SARS-CoV-2 dibuat secara sengaja atau terbuat tidak sengaja di laboratorium sangat kecil. Penjelasan yang lebih sesuai dengan bukti-bukti empiris yang ada ialah virus ini melompat dari hewan.
Pada 19 Februari 2020, saat Cina sedang dihantam keras oleh COVID-19, sekumpulan ilmuwan dari berbagai negara mengirimkan pernyataan sikap ke jurnal The Lancet. Mereka menyatakan solidaritas dan dukungan terhadap para ilmuwan dan pekerja kesehatan di Cina yang sedang berjuang melawan wabah COVID-19.
Mereka juga mengecam keras teori konspirasi, yang dianggap menciptakan ketakutan, rumor dan prasangka yang bisa merusak kerja sama global dalam melawan COVID-19. Dengan merujuk ke delapan tulisan lain yang sebagian besar diterbitkan di jurnal ilmiah, mereka menyatakan bahwa analisa ilmuwan dari berbagai negara menyimpulkan virus SARS-CoV-2 berasal dari hewan.
Saya sendiri sejauh ini juga berpendapat SARS-CoV-2 berasal dari hewan. Meskipun penelusuran terhadap asal-usul virus ini sekarang masih berjalan, dan belum ada kesimpulan yang betul-betul konklusif, tetapi bukti-bukti empiris yang ada sejauh ini mengarah pada kesimpulan tersebut.
Ini bukan berarti virus SARS-CoV-2 berasal dari pasar Huanan, mengingat pasien yang pertama kali menunjukkan gejala COVID-19 di Wuhan tidak terpapar di sana. Virus ini bisa berasal dari pasar makanan hewan eksotis lain di Wuhan atau di luar Wuhan. Bahkan virus ini bisa bukan berasal dari pasar makanan hewan eksotis, tetapi dari jenis usaha lain dalam rantai pasokan bisnis makanan hewan eksotis seperti peternakannya.
Ekonomi Makanan Hewan Eksotis dan Kapitalisme
Adanya indikasi bahwa SARS-CoV-2 berasal dari pasar makanan hewan eksotis di Cina menimbulkan anggapan yang keliru dan cenderung rasis: bahwa COVID-19 disebabkan oleh budaya makan orang Cina.
Senator AS untuk Texas, John Cornyn, misalnya, menyatakan bahwa “Cina harus disalahkan karena budaya orang-orangnya yang memakan kelelawar dan ular dan anjing dan hal-hal semacam itu.” Ia juga menyatakan, “Itulah kenapa Cina selama ini menjadi sumber dari banyak virus ini seperti SARS, seperti MERS, flu babi, dan sekarang virus Corona.”
Selain cenderung rasis, pernyataan Cornyn juga keliru secara faktual. Pertama, MERS yang merupakan singkatan dari Middle East Respiratory Syndrome (Sindrom Pernapasan Timur Tengah) bukan berasal dari Cina, tetapi Arab Saudi. Begitu pula flu babi―jika yang dimaksud adalah flu babi yang mewabah pada 2009―bukan berasal dari Cina, tapi AS. Terakhir, dua hewan yang disebut Cornyn, yaitu ular dan anjing, tidak ada hubungannya dengan penyakit-penyakit yang ia sebut.
Mengenai apakah praktik memakan daging hewan eksotis merupakan budaya Cina, riset yang dilakukan oleh Li Zhang, Ning Hua dan Shan Sun di beberapa daerah seperti Shanghai, Guangzhou, Beijing, Chengdu dan Kunming, menunjukkan bahwa dari 1.352 responden yang disurvei, 932 atau 68,9% tidak pernah mengonsumsi hewan liar. Hanya 420 atau 31,1% yang melakukan itu, meski angka ini bisa lebih besar mengingat responden bisa saja menyembunyikan perilaku konsumsi mereka ketika menjawab survei.
Adapun dari 420 responden yang mengkonsumsi hewan liar, 326 mengkonsumsi spesies yang ditanyakan dalam survei dan menyadari frekuensi konsumsi mereka. Dari 326 responden ini, 59,8% merupakan konsumen kelas ringan (2 kali atau kurang dalam setahun); 28,7% konsumen kelas menengah (3-9 kali per tahun), dan hanya 11,5% yang merupakan konsumen kelas berat (10 kali atau lebih dalam setahun).
Yang menarik adalah data karakteristik mereka yang mengkonsumsi hewan liar. Mereka yang masuk dalam kelompok konsumen kelas berat kebanyakan adalah laki-laki muda berusia di bawah 35 tahun dengan latar belakang pendidikan yang baik dan pendapatan rumah tangga bulanan yang cukup tinggi―mayoritas berpendapatan di atas 3.001 renmibi atau yuan.
Tempat di mana hewan liar ini dikonsumsi juga tampak terkait dengan latar belakang sosial-ekonomi konsumennya. 41% konsumsi terjadi di restoran, baik yang mewah maupun biasa, dan 34% terjadi di hotel. Sementara, pembelian di pasar dan supermarket masing-masing adalah 32,8% dan 24%.
Riset serupa oleh organisasi lingkungan hidup, Traffic, di 6 kota besar di Cina, yakni Beijing, Shanghai, Guangzhou, Kunming, Harbin dan Chengdu memperlihatkan 44% dari 969 responden yang mereka wawancara mengonsumsi hewan liar selama 12 bulan terakhir; sekitar 18% mengkonsumsi hewan liar lebih dari setahun yang lalu tapi tidak dalam 12 bulan terakhir, dan 38% belum pernah mengonsumsi hewan liar.
Meski yang pernah mengonsumsi hewan liar―baik dalam setahun terakhir atau sebelumnya―lebih banyak dari yang tidak pernah, tapi 38% adalah angka yang cukup signifikan. Begitu pula, kalau kita lihat rincian datanya, praktik ini terkonsentrasi hanya di beberapa jenis hewan liar saja.
Dalam kuesioner Traffic, ada 21 jenis hewan yang dikelompokkan menjadi 4 kelompok berdasarkan hukum negara Cina. Kelompok 1 berisikan hewan yang mendapat perlindungan kelas 1; kelompok 2 berisikan hewan yang mendapat perlindungan kelas 2; kelompok 3 berisikan hewan yang dilindungi karena memiliki nilai sosial, ekonomi dan ilmu pengetahuan; kelompok 4 berisikan hewan yang tidak dilindungi oleh hukum Cina. Kebanyakan hewan di kelompok 4 adalah hewan laut yang oleh hampir setengah responden dianggap bukan “hewan liar”.
Dari ke-21 jenis hewan yang ditanyakan, yang cukup banyak dimakan dalam 12 bulan terakhir oleh responden hanyalah teripang (19,8% responden), kura-kura air tawar (11,8%), kerang abalon (10,9%), burung liar (10,8%) dan ular (10,5%). Semua hewan itu berada di kelompok 3 dan 4.
Adapun responden yang memakan hewan lain di luar kelima hewan itu dalam 12 bulan terakhir jumlahnya sangat sedikit. Responden yang memakan mamalia kecil seperti musang bulan yang terkait dengan virus penyebab SARS, misalnya, hanya 0,8%. Kemudian, responden yang pernah memakan tenggiling yang diduga terkait dengan virus penyebab COVID-19 hanya 0,6%.
Hal yang juga penting dicatat, riset Traffic menemukan bahwa karakteristik mereka yang mengonsumsi hewan liar mirip dengan yang ditemukan oleh riset Li Zhang dkk, yakni cenderung berpendidikan dan berpendapatan tinggi. Sebanyak 50,3% di antara mereka yang berpendapatan tinggi pernah memakan hewan liar dalam setahun terakhir dan hanya 29,2% yang tidak pernah. Sementara di antara mereka yang berpendapatan rendah, 46,5% tidak pernah memakan hewan liar dan hanya 29,7% yang pernah dalam setahun terakhir.
Dari sisi latar belakang pendidikan, polanya juga mirip. Sebanyak 41% dari mereka yang sampai kuliah 2 atau 4 tahun pernah memakan hewan liar dalam setahun terakhir dan hanya 36,2% yang tidak pernah memakannya. Sementara di antara mereka yang hanya bersekolah sampai sekolah menengah pertama atau di bawahnya, 50,5% tidak pernah memakan hewan liar dan hanya 26,6% yang pernah dalam setahun terakhir.
Fenomena ini tidak begitu mengherankan karena faktanya harga daging hewan eksotis cukup mahal. Harga rata-rata kerang abalon pada 2016, misalnya, sekitar 26 dolar AS per kg. Sementara tenggiling—yang merupakan hewan ilegal untuk diperdagangkan di Cina—harganya pada 2016 sekitar 600 dolar AS per kg. Di restoran-restoran di Cina bagian selatan, harga tenggiling bisa mencapai 1.000 dolar AS per ekor.
Lalu mengapa mereka mengonsumsi hewan liar? Dalam riset dinyatakan hampir setengah responden menyatakan karena daging hewan liar lebih bergizi (49%), lebih sehat dan alamiah (40%) serta lebih memberikan manfaat pengobatan dan perawatan bagi tubuh (53%) dibandingkan daging hewan konvensional. Gagasan bahwa daging hewan liar menyehatkan dipengaruhi oleh dunia pengobatan tradisional Cina dan juga ide modern tentang “makanan hijau” (green foods). Lebih dari seperempat responden menganggap makanan daging hewan liar merepresentasikan status sosial dan merupakan suguhan istimewa untuk tamu atau diri mereka sendiri. Sekitar 40% responden juga menyatakan bahwa makanan daging hewan liar tidak mungkin dihindari di dunia bisnis.
Riset Traffic menemukan dua momen kunci di mana konsumsi hewan liar terjadi, yaitu di acara bisnis (khususnya untuk hewan liar di kelompok 1 dan 2) dan festival-festival tradisional (kebanyakan makanan laut). Namun, di antara responden yang memakan hewan liar di kelompok 3, setengahnya menyatakan mereka memakan hewan liar tersebut sebagai makanan biasa. Ada sepersepuluh dari mereka yang mengonsumsi hewan liar selama setahun terakhir, mengkonsumsi hewan di kelompok 3 dan 4 setidaknya sebulan sekali.
Jadi, apakah praktik memakan hewan eksotis merupakan budaya Cina? Jika yang dimaksud dengan “budaya Cina” adalah bahwa daging hewan eksotis itu merupakan makanan harian masyarakat, tampaknya hal itu tidaklah demikian. Jumlah yang tidak pernah memakan hewan eksotis cukup banyak. Yang menjadi konsumen kelas berat juga hanya sedikit. Dan jenis hewan eksotis yang dimakan pun terkonsentrasi di beberapa jenis saja.
Melihat bahwa mereka yang mengonsumsi hewan eksotis cenderung berpendidikan dan berpendapatan tinggi; lalu menganggap makanan daging hewan eksotis merepresentasikan status sosial, dan bahwa praktik ini cukup marak di dunia bisnis, saya berpendapat bahwa fenomena ini sepertinya lebih merupakan praktik kelas sosial tertentu, dalam hal ini kelas menengah ke atas, daripada praktik umum masyarakat.
Bukan berarti praktik itu sama sekali tidak dipengaruhi oleh “budaya tradisional” Cina. Misalnya, seperti yang dijelaskan di atas soal kepercayaan sebagian konsumen bahwa daging hewan liar itu menyehatkan. Tapi, praktik memakan hewan eksotis itu memiliki “karakter kelas” yang kuat. Mungkin bisa dikatakan bahwa praktik ini merupakan budaya kelas menengah ke atas di Cina, tapi bukan budaya masyarakat Cina secara umum.
Pertumbuhan pesat kelas menengah Cina dipicu oleh peluncuran ulang berbagai pembaharuan pada 1990-an. Berbagai pembaharuan ini merupakan kelanjutan dari penerapan “ekonomi pasar sosialis” yang dimulai sejak akhir 1970-an, yang sebenarnya merupakan perjalanan kembali ke kapitalisme. Langkah ini tampaknya diambil karena problem kemacetan perkembangan kekuatan produktif yang biasa terjadi pada negara-negara sosialis yang belum maju dan hendak menjalani transformasi sosialis di tengah kepungan sistem ekonomi dunia yang masih kapitalistik.
Standar kehidupan di Cina pun meningkat pesat. Selama 1978-1990, konsumsi material per kapita riil naik rata-rata 7% per tahun. Sementara selama 1992-2012, pendapatan rumah tangga tahunan yang siap dibelanjakan (pendapatan dikurangi pajak langsung) per kapita meningkat sekitar 10 kali lipat dari 784 ke 7.917 yuan di pedesaan, dan meningkat 13 kali lipat dari 1.826 ke 24.565 yuan di perkotaan. Perbedaan tingkat kenaikan ini menunjukkan adanya peningkatan ketimpangan sosial. Tampaknya inilah ongkos dari kemajuan ala kapitalis.
Pada awal tahun 2000-an, konsumen tingkat menengah dari barang-barang yang tidak habis sekali pakai (mobil, kulkas, dlsb.) berjumlah 56,9% dari total penduduk. Ini menunjukkan bahwa pada tahun itu sudah terbentuk kelas menengah dengan jumlah yang signifikan. Sebagian besar, yakni 77%, berada di perkotaan; hanya 43,7% yang di perdesaan.
Salah satu cara kelas menengah ini menegaskan status sosialnya adalah dengan konsumsi. Konsumsi makanan hewan eksotis oleh sebagian kelas menengah ke atas di Cina tidak akan bisa terwujud jika tidak ada aktivitas bisnis (produksi dan perdagangan) yang menyediakannya. Pelaku bisnis makanan hewan eksotis pun tidak hanya berasal dari Cina. Negara penghasil kerang abalon, misalnya, terdiri dari (selain Cina) Korea Selatan, Jepang, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Meksiko, Chili dan AS. Pada 2015, Australia yang merupakan negara barat adalah penghasil kerang abalon ketiga terbesar di dunia.
Begitu pula dengan teripang. Ada berbagai negara yang menjadi penghasil teripang. Indonesia yang masyarakatnya jarang memakan teripang sudah menjadi penghasil teripang sejak zaman VOC. Pada 2000, Indonesia menjadi penghasil teripang terbesar di dunia dengan tujuan utama ekspor ke Cina, Singapura dan Taiwan, meski saat ini semakin langka.
Sementara tenggiling yang dilarang diperdagangkan di Cina dan banyak negara lain karena merupakan hewan langka, perdagangannya—tentu saja ilegal—melibatkan pelaku di berbagai negara. Selama 2010-2015, sepuluh negara yang paling banyak terlibat dalam perdagangan ilegal tenggiling, baik sebagai asal, transit, atau tujuan adalah Cina, AS, Vietnam, Malaysia, Hongkong, Thailand, Laos, Nigeria, Indonesia dan Jerman. Tidak semua tenggiling ini dikonsumsi sebagai makanan. Di AS, misalnya, tenggiling dipakai kulitnya untuk membuat sepatu bot, ikat pinggang, dlsb.
Bisnis hewan eksotis (tidak terbatas hanya pada yang digunakan untuk makanan) tampaknya merupakan bisnis yang cukup menguntungkan. Pada 2005, Traffic Eropa memperkirakan perdagangan satwa liar legal (tidak termasuk ikan) bernilai 22,8 miliar dolar AS. Estimasi lain memperkirakan perdagangan satwa liar yang legal bernilai 25 miliar dolar AS, sementara yang ilegal sekitar 7,6-8,3 miliar dolar AS. Adapun menurut Koalisi Melawan Perdagangan Satwa Liar (Coalition Against Wildlife Trafficking, disingkat CAWT) perdagangan satwa liar ilegal bernilai 10 miliar dolar AS.
Jadi, jika kita abstraksikan lebih jauh lagi, motor pendorong aktivitas di sektor ekonomi makanan hewan eksotis bukanlah budaya Cina, tetapi kapitalisme. Di sisi konsumsi, maraknya praktik ini didorong oleh pertumbuhan kelas menengah ke atas di Cina yang dipicu oleh berbagai pembaharuan ekonomi, yang sebenarnya adalah perjalanan kembali ke kapitalisme. Di sisi persediaan, terdapat jaringan bisnis hewan eksotis yang berwatak global dan beroperasi dengan logika pencarian laba tanpa memperhitungkan kelestarian lingkungan hidup.
Catatan Penutup
Berdasarkan uraian di atas, kita mendapatkan kesimpulan berikut: bahwa sama seperti banyak wabah sebelumnya dalam sejarah manusia, COVID-19 bukanlah sebuah fenomena yang murni biologis. SARS-CoV-2 melompat ke manusia akibat aktivitas di sektor ekonomi makanan hewan eksotis.
Motor pendorong aktivitas ini bukanlah budaya Cina, tetapi kapitalisme. Di sisi konsumsi, maraknya praktik ini didorong oleh pertumbuhan kelas menengah ke atas di Cina yang dipicu oleh berbagai pembaharuan ekonomi yang berwatak kapitalistik―membuka diri terhadap investasi asing, privatisasi, dekolektivisasi di pedesaan, dlsb. Di sisi persediaan, terdapat jaringan bisnis hewan eksotis yang berwatak global dan beroperasi dengan logika pencarian laba. Wabah COVID-19, dengan demikian, adalah produk kapitalisme.
Lompatan patogen dari hewan ke manusia akibat aktivitas ekonomi manusia sudah berkali-kali terjadi sebelum wabah COVID-19. Selain SARS dan flu Spanyol yang telah dibahas di atas, ada banyak patogen lain yang muncul di zaman modern ini akibat aktivitas ekonomi manusia. Sebagai contoh, berbagai virus terkait kelelawar yang muncul di Australia, seperti virus Hendra, lyssavirus kelelawar Australia dan virus Menangle, terkait dengan hancurnya habitat kelelawar akibat deforestasi dan ekspansi pertanian.
Dengan adanya wabah COVID-19, sudah saatnya kita berpikir ulang tentang sistem ekonomi tempat kita hidup, yaitu kapitalisme. Wabah ini merupakan salah satu dari sekian banyak bukti bahwa kapitalisme―yang motornya adalah akumulasi laba dan kompetisi pasar―tidak cocok dengan kemaslahatan manusia. Kita membutuhkan sebuah sistem ekonomi baru yang benar-benar berorientasi pada kemaslahatan manusia, yang tentu saja memerlukan dukungan lingkungan hidup yang sehat.***
=========
Artikel ini pertama kali tayang di Jurnal Tanah Air 2021 terbitan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dengan judul “Wabah Covid-19, Ekonomi Makanan Hewan Eksotis dan Kapitalisme.” Diterbitkan ulang dengan penyuntingan di IndoPROGRESS untuk tujuan pendidikan.