Ilustrasi: Jonpey
ADA perkembangan wacana yang menarik dalam situasi pandemi Covid-19 di Indonesia. Rezim ekonomi-politik global ternyata masih menilai positif pemerintah Jokowi dalam mengelola ekonomi nasional di era pandemi ini. Dalam artikel residen senior IMF di Indonesia, James Walsh, pemerintah Indonesia dilihat berhasil mempertahankan tingkat utang negara yang dianggap berkelanjutan. Kendati selama rentang tahun 2019 sampai 2020 rasio utang terhadap PDB Indonesia mengalami peningkatan dari 31 persen pada tahun 2019 menjadi 36 persen, Indonesia masih dianggap sebagai negara yang jauh dari resiko gagal utang. Bahkan, walaupun IMF memproyeksikan rasio utang akan mengalami lonjakan 41 persen, tingkat utang Indonesia masihlah terlalu rendah untuk mengurangi tingkat kepercayaan aktor ekonomi global.
Penilaian perwakilan IMF tersebut tentu perlu kita telaah lebih lanjut. Apa yang disebut keberhasilan ekonomi negara ternyata berkebalikan dengan ekonomi masyarakat. Banyak yang mengetahui bahwa kenaikan tingkat utang tersebut adalah konsekuensi negara untuk meningkatkan pengeluaran sosial dalam rangka mitigasi efek pandemi. Namun, pertanyaannya, apakah perlindungan sosial yang diberikan mencukupi? Walsh sekadar sambil lalu menyatakan bahwa ada anggaran bagi kalangan miskin di balik kenaikan utang pemerintah sekarang ini, tapi ia tidak memberikan detail lebih lanjut apakah anggaran perlindungan bagi kalangan miskin tersebut dapat melindungi mereka secara layak atau tidak.
Pada titik ini kita perlu secara kritis melihat performa ekonomi Indonesia selama pandemi. Utang yang digunakan untuk belanja mitigasi ternyata tak berdampak signifikan bagi perlindungan masyarakat. Bahkan, jika kita mengorespondensikan peningkatan utang dengan stimulus selama pandemi, kita bisa menyimpulkan bahwa pengeluaran yang dimaksud adalah pengeluaran untuk melindungi aktivitas ekonomi. Tak mengherankan, walaupun dihantam pandemi, Indonesia sampai sekarang masih mencatatkan angka positif pertumbuhan. Namun, ini juga berarti bahwa kelas pekerja Indonesia tetap melakukan aktivitas ekonomi (baca: dieksploitasi) tanpa ada perlindugan negara yang mumpuni dari ancaman virus Covid-19.
Pertanyaannya kemudian, ketika pandemi mengizinkan ruang fiskal kita untuk berutang lebih banyak, mengapa pemerintah tidak meningkatkan rasio utangnya sebagai upaya darurat bagi perlindungan sosial dari imbas pandemi? Padahal jika melihat fluktuasi bunga (yield) surat utang negara yang jatuh tempo selama 10 tahun pada tanggal 13 Desember 2020, tingkat bunga berada pada angka yang murah sekitar kisaran 5,9 persen, setara dengan tingkat bunga pada tanggal 12 Mei 2013. Jika pemerintah memang hendak mempertahankan prinsip kehati-hatian (prudent), momen bunga yang murah tersebut dapat menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk meningkatkan rasio utangnya secara agresif.
Jawaban atas pertanyaan tersebut tentu dapat bermacam-macam. Dari alasan teknis sampai dengan politik dapat diajukan untuk menjawab mengapa pemerintah tidak secara agresif meningkatkan utang dalam rangka perlindungan sosial. Saya sendiri berpendapat, untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu memeriksa lebih jauh kondisi struktural yang membuat pilihan politik untuk peningkatan rasio utang untuk perlindungan sosial menjadi musykil. Perspektif struktural yang umum diajukan menyoroti konfigurasi kekuasaan domestik Indonesia yang menghambat upaya penambahan utang bagi perlindungan sosial. Sejak kekuasaan politik Indonesia dikuasai oleh kelas kapital monopolis (baca: oligarki), agenda utang di era pandemi diatur berdasarkan kepentingan kelas dominan ini. Utang hanya diperkenankan untuk diambil sejauh digunakan untuk melindungi kepentingan akumulasi kapital kelas dominan. Minimnya anggaran perlindungan sosial di era pandemi tentu menjadi konsekuensi logis mengingat ia hanya menjadi “pemanis” untuk menekan munculnya perlawanan massa terhadap rezim.
Masalahnya, ada keterbatasan analitis dari argumen ini. Pada praktiknya, ada variasi kepentingan kelas dalam politik utang di tiap negara. Di negara maju seperti AS misalnya, pasca-kemenangan Joe Biden dalam pemilu presiden lalu, kelas dominannya justru berutang secara agresif. Dari utang tersebut, pemerintah Biden mengalokasikan US$ 1,9 triliun untuk memberikan bantuan tunai kepada seluruh warga negara Amerika Serikat (AS) yang berpendapatan US$ 75.000 per tahun.
Berdasarkan fakta ini, kita setidaknya perlu analisa struktural yang melampaui relasi kuasa domestik. Menurut saya, yang harus dimajukan di sini adalah analisis tentang imperialisme berdasarkan struktur ekonomi internasional dimana negara maju melakukan pertukaran yang tidak seimbang (baca: eksploitasi) dengan negara berkembang. Keterbatasan negara berkembang untuk meningkatkan rasio utang perlu dipahami sebagai akibat dari konstruksi ekonomi-politik global yang memang memprioritaskan posisi negara maju beserta kelas dominannya. Posisi prioritas negara maju yang kebanyakan adalah negara Eropa Barat dan Amerika Utara, memberikan keuntungan komparatif bagi negara-negara tersebut ketika mengambil utang.
Dalam artikel termutakhirnya, Jayati Gosh menunjukkan bagaimana stagflasi (stagnasi yang disertai inflasi) mulai terjadi di banyak negara berkembang di era pandemi ini. Menurut Gosh, anggapan bahwa stimulus yang berbasis utang tidak berimplikasi inflasi pada negara-negara maju adalah prematur. Gosh menunjukkan secara perlahan, negara-negara berkembang mulai mengalami tekanan fiskal yang bukan hanya didasari oleh kenaikan harga komoditas global, namun juga karena pengetatan pasar kredit internasional yang disebabkan praktik pengambilan utang secara agresif oleh negara maju, khususnya AS.
Desain ekonomi-politik yang timpang inilah yang, menurut saya, menyebabkan Indonesia tidak memiliki banyak pilihan dalam mendorong agenda utangnya. Walau ruang fiskal Indonesia lebih luas karena rasio utang dan PDB-nya paling rendah di Asia Tenggara, namun secara struktural ia dibatasi oleh institusi ekonomi-politik yang didominasi oleh negara kapitalis maju. Praktik pengambilan utang secara ekspansif, terlepas dari motif yang diajukan, memiliki implikasi inflasi yang serius. Kelas kapitalis domestik Indonesia dengan kendali alat produksinya akan secara oportunis melihat keberlimpahan uang hasil utang sebagai sinyal keberlimpahan uang di masyarakat, walau uang tersebut merupakan pengupayaan atas perlindungan sosial. Di sini kita bisa berhipotesis akan ada justifikasi kenaikan harga dengan alasan kenaikan permintaan efektif. Situasinya membuat ancaman inflasi tidak lagi muncul dari luar tapi juga lahir dari dalam (endogenous). Kehadiran inflasi yang diiringi peningkatan pengangguran karena pandemi merupakan resep ampuh bagi terjadinya instabilitas politik kelas berkuasa—suatu hal yang tentu ingin dihindari oleh kelas berkuasa itu sendiri.
Tentu pandangan ini tidak hendak menihilkan kontribusi kelas kapitalis dominan Indonesia yang memang tidak memiliki kepentingan untuk menyediakan perlindungan sosial yang layak bagi warga negara Indonesia. Apa yang hendak diajukan di sini adalah amatan atas faktor imperialisme yang ikut mempengaruhi pilihan politik kelas berkuasa Indonesia. Utsa dan Prabat Patnaik (2021) menyatakan bahwa praktik imperialisme kontemporer ditandai oleh sistematisasi deflasi pendapatan kelas pekerja dan produsen kecil. Dalam sistem kekinian ini, negara berkembang tidak diperkenankan untuk mendorong tingkat pendapatan yang lebih tinggi dari sekadar subsisten, mengingat hal ini bertentangan dengan kepentingan negara maju yang melihat negara berkembang semata sebagai penyuplai tenaga kerja murah bagi industri negara maju. Pengalaman praktik utang Indonesia mengafirmasi tesis deflasi pendapatan ini. Negara Indonesia tidak memiliki kesempatan struktural untuk meningkatkan standar pendapatan melalui skema perlindungan sosial, walaupun pandemi mengancam pendapatan sekaligus nyawa kelas pekerja.
Selain itu, perspektif ini juga hendak mengingatkan bahwa upaya pemulihan ekonomi Indonesia di era pandemi tidaklah bisa dilakukan secara terisolir dari hierarki ekonomi-politik yang imperialistis. Menjadi keharusan untuk menantang struktur imperialis ini untuk sekadar memberikan ruang fiskal yang cukup dalam rangka penyediaan perlindungan sosial dari efek pandemi. Tantangan ini, sebagai contoh, bisa dilakukan dalam rupa renegosiasi ulang utang Indonesia yang selama ini hanya digunakan untuk memperkaya kelas dominan, atau membuat institusi keuangan alternatif yang beroperasi di luar keuntungan negara-negara maju. Apapun itu pilihan praktisnya, kritik atas imperialisme harus dihadirkan kembali dalam percakapan politik kita, khususnya kalangan sosialis yang partisan atas kesejahteraan umum kelas pekerja.***
Muhammad Ridha, anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP)