Menginvestigasi Kelas Menengah: Tanggapan untuk Abdil Mughis Mudhoffir

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: abaforlawstudents.com


Tulisan ini bagian kedua dari rangkaian debat yang dimulai dari tulisan Abdil Mughis Mudhoffir berjudul “Aktivisme Borjuis: Mengapa Kelas Menengah Reformis Gagal Mempertahankan Demokrasi?


DI TENGAH-TENGAH berbagai silang sengkarut persoalan yang mendera kita secara bertubi-tubi saat ini, artikel Abdil Mughis Mudhoffir menjadi oase penyegar otak. Artikel berjudul “Aktivisme Borjuis: Mengapa Kelas Menengah Reformis Gagal Mempertahankan Demokrasi?” ini secara jitu dan telak mengkritik aktivisme gerakan sosial di Indonesia yang cenderung berhenti sebagai sekadar aktivisme belaka yang spontan, sporardis, parsial, temporer, kasuistik, tanpa kepemimpinan, dan elitis.

Mughis menyebutnya: aktivisme borjuis. Walaupun aktivisme itu dikerjakan secara sungguh-sungguh, militan, dengan semangat rela berkorban nyawa sekalipun, hasilnya nihil belaka. Apa hasil dari aksi gerakan #reformasidikorupsi atau #tolakomnibuslaw? Mughis menjawab, “Tidak satu pun tuntutan dasar mereka berhasil dicapai meski paling tidak lima mahasiswa telah mati, ratusan lainnya luka-luka serta puluhan demonstran ditangkap dan ditahan hingga kini.”

Yang lebih menarik lagi, Mughis menelusuri akar kegagalan gerakan sosial ini dan menemukan dua sebab. Pertama, latar belakang pegiat “aktivisme borjuis” yang berasal dari kelas menengah reformis, terutama mahasiswa dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO). Penyebab kedua, absennya politik berbasis kelas sebagai akibat dari pembantaian di tahun 1965 yang diikuti dengan serangkaian kebijakan politik yang membatasi ekspresi politik kelas hingga kini.

Sayangnya, identifikasi kegagalan aktivisme kelas menengah reformis oleh Mughis lebih menyasar aspek ekspresi politik (spontan, sporardis, parsial, temporer, kasuistik, tanpa kepemimpinan, dan elitis). Mughis justru alpa melihat kegagalan itu pada aspek mendasarnya, yakni posisi kelas menengah itu sendiri dalam struktur kelas masyarakat kapitalis.

Tanggapan saya tidak bertujuan untuk membantah kesimpulan Mughis terkait ekspresi politik dari kelas menengah, alih-alih mengajak pembaca untuk masuk lebih dalam ke pertanyaan, “mengapa kelas menengah reformis melahirkan ekspresi politik seperti itu?”


Siapa itu Kelas Menengah?

Dalam artikelnya itu, Mughis tidak mendefinisikan secara jelas siapa yang ia maksud dengan kelas menengah reformis. Yang bisa kita tangkap, istilah itu ia nisbatkan pada gerakan mahasiswa dan aktivis LSM.

Karena itu, sebelum lebih jauh mendiskusikan tentang posisi kelas menengah dalam struktur masyarakat kapitalis, kita perlu mengeksplisitkan siapa itu kelas menengah. Sosiolog Nicos Poulantzas dalam buku Fascism and Dictatorship (1977), membagi kelas menengah (petty bourgeoisie/borjuasi kecil) ini ke dalam dua bentuk: kelas menengah lama (old petty bourgeoisie) dan kelas menengah baru (new petty bourgeoisie). Kelas menengah lama terdiri atas pemilik produksi skala kecil dan pengusaha skala kecil. Pemilik produksi skala kecil ini terdiri atas pekerja kerajinan tangan atau bisnis keluarga skala kecil yang mana mereka merupakan pemilik sekaligus pekerjanya atau ketersediaan buruh terutama dipasok oleh keluarga dan biasanya tidak dibayar dalam bentuk upah. Adapun pemilik usaha skala kecil utamanya menjalankan usaha perdagangan yang beroperasi di medan sirkulasi kapital.

Lebih lanjut, kelas menengah baru yang dimaksud Poulantzas merujuk kepada mereka yang bekerja di medan sirkulasi kapital dan mereka yang menyumbang pada realisasi nilai lebih. Poulantzas menyebut kalangan ini terdiri atas buruh yang bekerja di sektor perdagangan, perbankan, asuransi, periklanan, bagian penjualan, dan juga buruh jasa pelayanan, pegawai negeri di berbagai departemen aparatur negara (dengan pengecualian buruh yang bekerja di pabrik-pabrik milik negara).

Sedikit berbeda dengan kategorisasi Poulantzas, dalam kasus India, Meera Nanda dalam bukunya the God Market How Globalization is Making India More Hindu (2011), membagi kelas menengah ke dalam dua kategori: kelas menengah lama (old middle class) dan kelas menengah baru (new middle class). Kelas menengah lama terdiri atas pemilik toko, pengusaha, pejabat pemerintah, guru, wartawan, dan petani pemilik tanah. Sementara kelas menengah baru adalah pekerja kerah putih di sektor industri internet, bankir, akuntan, buruh di sektor asuransi, hotel dan pariwisata.

Chris Harman (2018) menunjukkan bahwa kelas menengah baru di beberapa negeri berpenduduk mayoritas muslim seperti Mesir, Sudan, Aljazair, Iran, Afghanistan dan Turki, berasal dari mahasiswa, intelektual, pekerja sektor industri teknologi, dan mereka yang diuntungkan dari industri minyak.

Berdasarkan amatan Nanda dan Harman, kelas menengah yang dirujuk Mughis masuk ke dalam kategori kelas menengah baru.


Kelas Menengah, Kelas yang Ambivalen

Geografer Raju J. Das dalam buku Marxist Class Theory for A Skeptical World (2017) mengatakan upaya untuk menteoretisasikan kelas mensyaratkan ada tiga pertanyaan yang saling berkaitan—di luar soal isu-isu kekuatan-kekuatan produktif yang harus diajukan:

  1. Masalah kepemilikan (siapa yang mengontrol sumberdaya-sumberdaya produktif masyarakat).
  2. Masalah proses kerja (siapa yang mengontrol kerja siapa dan pengerahan kekuasaan untuk melakukan kerja).
  3. Masalah proses kerja-cum-eksploitasi (siapa yang mengambil nilai lebih dari siapa dan bagaimana).

Kelas, dengan begitu, pertama-tama adalah sebuah hubungan ketimpangan dalam kepemilikan/kontrol atas alat-alat produksi. Dan karena itu pula, kelas dikarakterisasikan oleh posisinya dalam sistem sosial ekonomi dan terutama oleh hubungannya dengan alat-alat produksi.

Karena kelas ditentukan oleh hubungan dengan alat-alat produksi, maka dalam setiap masyarakat berkelas ada kelas yang memiliki/mengontrol alat-alat produksi dan ada kelas yang tidak memiliki/tidak mengontrol alat-alat-alat produksi. Dalam masyarakat kapitalis, kelas yang memiliki/mengontrol alat-alat produksi ini adalah kelas borjuasi atau kelas kapitalis, sementara kelas yang tidak memiliki alat-alat produksi adalah kelas proletariat atau kelas buruh.

Inilah dua kelas utama/fundamental dalam masyarakat kapitalis. Hubungan kedua kelas bersifat internal. Artinya, keberadaan satu kelas ditentukan oleh keberadaan kelas yang lainnya; agar ada kelas borjuasi maka harus ada kelas buruh. Jika salah satunya tidak ada maka kita tidak bisa menyebut bahwa sistem kapitalisme itu eksis. Tetapi, karena hubungan kelas ini bersifat eksploitatif, maka hubungan internal antara kelas borjuasi dan kelas buruh ini dengan sendirinya bersifat eksploitatif. Agar terus eksis, kelas borjuasi harus senantiasa mengeksploitasi kelas buruh. Sebaliknya, kelas buruh akan terus menerus berjuang untuk menghapuskan hubungan sosial yang eksploitatif tersebut. Itulah sebabnya hubungan di antara kedua kelas ini bersifat antagonistik. Pertentangannya tidak terdamaikan selama sistem kapitalisme ini tetap ada—walaupun kita tahu bahwa dalam momen-momen sejarah tertentu, pertentangan antagonistik itu kadang tidak muncul ke permukaan.

Karena hubungan kedua kelas utama ini bersifat antagonistik maka pada kedua kelas inilah kita menemukan ideologi yang komprehensif dan elaboratif mengenai doktrin perjuangan, program-program, dan bentuk-bentuk organisasinya. Ideologi kelas borjuasi adalah pro-kapitalisme; ideologi proletariat adalah anti-kapitalisme (sosialisme). Kelas borjuasi bertujuan mempertahankan kelas-kelas dalam masyarakat, kelas proletariat bertujuan menghapuskan kelas-kelas dalam masyarakat. Adalah aneh, misalnya, partai kelas buruh mengusung doktrin dan program perjuangan untuk membela atau mereformasi kapitalisme. Begitu pula sebaliknya, sangat ganjil jika partai kelas borjuasi mengusung doktrin dan program perjuangan untuk menghancurkan kapitalisme. Tentu saja keanehan selalu muncul dalam sejarah, misalnya, Partai Sosial Demokrat Jerman di masa Perang Dunia I yang kuat berada di bawah pengaruh reformisme Eduard Bernstein atau Partai Buruh Inggris di bawah kepemimpinan Tony Blair medio 1990an.

Tetapi dalam setiap masyarakat berkelas, kelas-kelas yang eksis bukan hanya kelas-kelas yang fundamental atau yang utama, seperti kelas borjuasi dan kelas buruh dalam masyarakat kapitalis. Di luar kedua kelas utama ini, terdapat kelas-kelas lainnya seperti kelas menengah (petty bourgeoisie) dan lumpen proletariat yang berarti proletariat yang tidak terorganisasi atau proletariat yang tidak memiliki kesadaran kelas.

Dengan posisinya yang berada di antara kelas borjuasi dan proletariat, maka secara ideologis kelas menengah ini terombang-ambing di antara pertarungan ideologis dan politik kedua kelas fundamental tersebut. Menurut Poulantzas (1977; 1975) secara ekonomi kelas menengah (1) berbeda dari borjuasi (mereka bukanlah borjuasi dan menentang borjuasi yang secara progresif menghancurkan sumberdaya ekonominya), dan juga berbeda dari proletariat, tetapi (2) mereka juga memiliki kesamaan dengan borjuasi (karena keterkaitannya dengan kepemilikan) dan juga kesamaan dengan proletariat (karena mereka juga adalah produsen langsung). Dalam pengertian ini maka kelas menengah ini tidak memiliki kepentingan politik jangka panjang buat diri mereka sendiri dan karena itu mereka tidak memiliki partai politiknya sendiri. Inilah basis material dari kesimpulan Mughis itu. Kondisi ini kemudian berdampak pada level ideologis:  

Pertama, secara ideologis mereka anti-kapitalis tapi dalam wujud yang pro-kemapanan. Sikap anti-kapitalisnya mewujud sebagai sikap “anti-orang kaya.” Namun, karena mereka adalah pemilik properti, maka mereka juga memelihara ketakutan akan transformasi radikal dalam masyarakat. Mereka ingin perubahan tanpa harus mengubah sistem dan karena itu aspirasi politiknya adalah menuntut “distribusi” kekuasaan politik dan menentang transformasi radikal dari kekuasaan politik itu.

Kedua, sebagai konsekuensi penolakannya atas transformasi sosial radikal, maka yang dituntut oleh kelas menengah ini adalah promosi sosial. Watak pekerjaan telah mengisolasi kelas menengah dalam kompetisi pasar, sehingga menguatkan individualisme dalam pergaulan sosial mereka sendiri. Akibatnya, kelas ini sangat berambisi menjadi borjuis melalui cara-cara individual. Dalam situasi ketika ekonomi berjalan normal (kapitalis bisa dengan leluasa mengakumulasi kapital secara terus-menerus tanpa terinterupsi), maka tuntutan/aspirasi yang dikedepankan oleh kelas menengah adalah penerapan mekanisme/prinsip meritokrasi.

Ketiga, ideologi pemujaan kekuasaan. Karena isolasi ekonominya (individualisme kelas menengah), mereka percaya bahwa posisi negara netral alias berada di atas kelas-kelas. Pemujaan terhadap negara dan pengidentifikasian dengan negara dan level atas kekuasaan, lebih dari apapun, adalah melalui birokratisme dan hierarki subordinasi. Dalam situasi krisis ekonomi-politik, mereka melihat bahwa hanya negara yang memiliki kemampuan untuk mengatasinya dengan segala cara.


Melampaui Kelas Menengah

Mendiskusikan kegagalan gerakan sosial yang dimotori oleh kelas menengah dengan menunjukkan posisi kelas menengah dalam struktur masyarakat kapitalis berdampak pada dua keadaan: pertama, pijakan material yang dilibatkan dalam pembahasan ini menuntut diskusi-diskusi tentang topik sejenis untuk ke depannya tidak bisa mengawang-awang lagi. Kedua, diskusi ini juga kemudian bisa menunjukkan kepada kita pilihan alternatif untuk membangun gerakan sosial/politik yang tidak berbasis kelas menengah.***


Coen Husain Pontoh, editor IndoPROGRESS


IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.