Foto: Mural oleh Boanerges Cerrato
PADA hari tulisan ini dimuat, umat Kristen sedunia tengah merayakan Hari Raya Pentakosta. Hari raya ini jatuh pada hari ke-50 setelah Paskah dan dalam tradisi Kristen dijadikan momen untuk memperingati turunnya Roh Kudus pada orang-orang Kristen mula-mula yang merevitalisasi kehidupan iman mereka serta membangkitkan keberanian untuk meneruskan serta menyebarkan ajaran Yesus.
Menurut cerita dalam kitab Kisah Para Rasul, usai menyaksikan kenaikan Yesus ke sorga, murid-murid-Nya berkumpul di Yerusalem, bertekun dalam doa dan memilih pengganti Yudas, murid Yesus yang berkhianat. Hingga kemudian pada waktu para pengikut Yesus itu berkumpul, turunlah dari langit bunyi tiupan angin keras dan tampak lidah-lidah api menyala di atas kepala mereka, lalu dari mulut mereka keluar bahasa-bahasa lain (Kis. 2:2-4). Penulis kitab ini menyebut fenomena tersebut sebagai tanda turunnya Roh Kudus.
Hingga hari ini, banyak di antara mereka yang mengaku Kristen masih gencar memperdebatkan gambaran spektakuler ini. Pertanyaan-pertanyaan seperti apakah orang Kristen ‘sejati’ harus mengalami kejadian serupa agar betul-betul terbukti bahwa dirinya telah dipenuhi Roh Kudus ataukah ini merupakan peristiwa yang terjadi sekali saja dan hanya dialami oleh para murid di masa itu, masih kerap kita temui sebagai topik yang dipergunjingkan di perkumpulan-perkumpulan Kristen yang ada.
Tentunya topik-topik perdebatan semacam itu bukanlah topik yang bakal menarik bagi pembaca IndoPROGRESS. Apa hubungannya sosialisme ilmiah dengan cerita dari sekian ribu tahun silam tentang fenomena-fenomena spiritual?
Hubungannya bukan terletak pada cerita tentang turunnya Roh Kudus pada hari Pentakosta itu sendiri, melainkan pada cerita yang menyusulnya.
Kitab Kisah Para Rasul mencatat bagaimana setelah dikuasai oleh Roh, rasul Petrus segera berkhotbah pada orang banyak dan pada hari itu juga, sekitar 3000 orang memberi diri dibaptis dan bergabung pada komunitas Kristen mula-mula. Dari sanalah muncul deskripsi tentang bagaimana jemaat perdana tersebut hidup:
Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. (Kis. 2:44-45)
Penggambaran serupa muncul lagi dalam dua pasal setelahnya, ketika jemaat mula-mula tersebut dikisahkan terus mengalami perkembangan:
Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorang pun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama. […] Sebab tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka; karena semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualan itu mereka bawa dan mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul; lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya. (Kis. 4:32, 34-35)
Kedua teks Alkitab ini disebut-sebut oleh Roland Boer (2018: 2), pakar kajian-kajian seputar kekristenan dan Marxisme, sebagai dua bagian kunci dalam Alkitab yang menginspirasi tradisi panjang komunisme Kristen. Petikan dari teks tersebut, “segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama,” menjadi salah satu slogan dari gerakan petani yang dimotori Thomas Müntzer di abad ke-16, omnia sunt communia. Dalam teks Alkitab ini jugalah kita menemukan frase “kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya,” yang gemanya sering terdengar dalam slogan gerakan sosialis modern, to each according to his needs.
Apakah jemaat Kristen mula-mula sejatinya adalah komunis? Mereka yang bergidik ketika mendengar sebutan “mengerikan” tersebut atau berkepentingan agar ide kesetaraan radikal semacam ini dijauhkan dari pikiran orang banyak, tentu akan memasang kuda-kuda dan menyiapkan sekian banyak jurus untuk berkilah. Akan menarik untuk ditelusuri bagaimana para teolog dan kaum rohaniwan dalam tradisi Kristen sepanjang sejarah membendung riak-riak yang muncul dari teks-teks Alkitab semacam ini serta bagaimana strategi-strategi serupa muncul lagi dari kelompok yang sama di zaman sekarang.
Namun, bukan mereka yang akan jadi rujukan kita kali ini. Tokoh yang pandangannya tentang komunisme Kristen purba akan diteropong di sini adalah Karl Kautsky (1854-1938), seorang pimpinan gerakan sosialis di Jerman pada masanya sekaligus intelektual yang berkomitmen pada tradisi sosialisme ilmiah. Nama Kautsky memang agak terpinggirkan dalam tradisi gerakan dan pemikiran kiri sejak konfliknya dengan Lenin yang meruncing pada masa Perang Dunia I dan awal Revolusi Bolshevik, yang pada akhirnya membuat sosok tersebut berlabel “pengkhianat.” Namun demikian, selama puluhan tahun ia telah menekuni kerja panjang pengembangan ilmu Marxis, dan kontribusinya tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Ben Lewis — sarjana Germanic Studies yang berkomitmen untuk menerjemahkan karya-karya Marxis berbahasa Jerman ke dalam bahasa Inggris, termasuk karya-karya Kautsky — menyebut bahwa antara tahun 1883 dan 1918, Kautsky telah menelurkan hampir 40 buku, 500 artikel jurnal, dan lebih dari 300 artikel surat kabar, selain menyunting mingguan teoretik Marxis Die Neue Zeit yang amat populer pada masa itu. Karya-karya “Kautsky muda” (sebelum 1914) menjadi bagian dari proyek penerbitan Institut Marx-Engels di Moskow, di mana ada 4 volume yang telah diterbitkan dari 14 volume yang direncanakan. Proyek yang berjalan mulai dari tahun 1923 hingga 1930 tersebut berhenti sejak David Ryazanov disingkirkan sebagai direktur (Lewis, 2017: 144).
Salah satu dari 4 volume karya “Kautsky muda” yang diterbitkan oleh Institut Marx-Engels itu adalah Foundations of Christianity (1908). Buku ini merupakan hasil studi Kautsky tentang sejarah kekristenan purba dengan menggunakan analisis materialisme sejarah. Dengan kata lain, Kautsky hendak menemukan penjelasan tentang kemunculan dan perkembangan kekristenan purba dari embrio Yudaisme di tengah imperialisme Romawi kuno, termasuk corak komunismenya, dengan sorotan utama pada perkembangan corak produksi dan kekuatan produksi, relasi sosial produksi, serta kontradiksi kelas, alih-alih menyimpulkannya sebagai wahyu baru yang tiba-tiba turun dari sorga.
Apa yang ditemukan oleh Kautsky dalam studinya tentang kekristenan purba? Ia mengklaim bahwa kekristenan purba memang mempraktikkan komunisme. Namun corak komunismenya adalah komunisme konsumsi. Maksud Kautsky ialah bahwa orang-orang Kristen mula-mula itu saling berbagi barang-barang konsumsi untuk dinikmati bersama, tetapi tidak merebut sarana-sarana produksi untuk dikelola bersama. Corak komunisme yang seperti ini tidak dapat dilepaskan dari basis kelas dari gerakan tersebut, dalam kaitan dengan perkembangan corak produksi pada waktu itu.
Basis kelas dari kekristenan purba, menurut Kautsky, adalah kaum proletar urban di zaman Romawi kuno, yang tidak bisa disamakan dengan kaum proletar modern di era kapitalisme. Di masa itu, basis produksi yang utama adalah pertanian. Lokasinya terletak di wilayah desa. Belum ada proletar industri seperti yang digambarkan Engels dalam The Condition of the Working Class in England (1845). Kaum pekerja di kota umumnya adalah para budak atau orang merdeka yang bekerja di ranah domestik. Mereka menjadi pelayan bagi orang-orang kaya di rumah-rumah besar mereka. Selain para budak dan pekerja domestik, kelas bawah di kota terdiri pula atas pedagang-pedagang kecil serta kaum gelandangan. Karena posisi sosialnya yang rentan, mereka juga bakal tertarik dengan ide-ide komunisme.
Dalam kondisi yang demikian, ide tentang komunisme yang tercipta karena kaum proletar berhasil merebut alat-alat produksi lalu dikelola bersama tidaklah terbayangkan. Berbeda dengan kenyataan yang dihadapi oleh Marx dan Engels delapan belas abad berselang, kota belum menjadi basis produksi. Komunisme produksi dalam skala kecil mungkin dipraktikkan, tapi lokasinya di desa. Inilah yang dilakukan oleh kaum Esseni, sebuah sekte Yudaisme di zaman itu yang bermukim di dekat Laut Mati. Mereka bercocok-tanam dan tinggal bersama, berbagi kepemilikan dan harta.
Namun kelompok kecil semacam ini terbatas perkembangannya. Kegiatan produksi yang mereka lakukan cuma berskala kecil dan komunitas seperti ini hanya bisa bertahan sejauh ditolerir oleh penguasa. Ketika konflik antara orang-orang Yahudi dengan penjajah Romawi meruncing hingga terjadi perang yang berakhir dengan kehancuran Yerusalem di tahun 70 ZB, tamatlah pula riwayat komunitas ini.
Sebaliknya, kekristenan yang basisnya di kota berkembang luas dari Yerusalem ke berbagai kota lain di wilayah Romawi. Kondisi masyarakat pada waktu itu mendukung perkembangan ini. Ekspansi militer Romawi membuat perekonomian di imperium tersebut makin bertumpu pada tenaga para budak. Mereka yang sebelumnya menggarap lahan di desa harus menjadi prajurit, sementara ketika mereka kembali dari medan perang, lahan mereka bisa jadi telah terbengkalai, atau posisi mereka telah digantikan oleh sejumlah budak murah hasil kemenangan perang. Banyak di antara mereka yang lalu mengadu nasib di kota. Di sana, orang-orang kaya telah memenuhi rumah-rumah besarnya dengan budak-budak murah pula. Maka jumlah penduduk kota jadi membludak. Dengan keterbatasan lapangan kerja yang ada karena belum terjadi revolusi industri, banyak di antara mereka yang hidup berkekurangan atau bahkan harus menggelandang. Di sinilah praktik berbagi serta cita-cita kesetaraan yang ditawarkan oleh jemaat Kristen purba menjadi opsi menarik. Dengan cakupan wilayah Romawi yang luas serta banyaknya jumlah kota dengan kondisi serupa dalam kekaisaran tersebut, kekristenan purba menyebar dengan cepat.
Namun, tanpa penguasaan atas alat-alat produksi, komunisme semacam ini tidak mampu bertahan lama. Tidak ada jaminan pemasukan tetap dan keberlangsungan komunitas akan sangat bergantung pada masuknya anggota-anggota baru yang menyerahkan kepemilikan yang cukup bernilai. Ketika harapan akan datangnya Mesias masih kuat, antusiasme orang banyak masih terjaga. Tapi, pada kenyataannya, Mesias yang dinanti-nanti tak kunjung datang juga. Sementara itu kebutuhan untuk menarik mereka yang lebih berpunya ke dalam komunitas makin meningkat. Maka berkembanglah kompromi-kompromi dalam konten pewartaan iman Kristiani. Muatan-muatan kebencian kelas yang tadinya amat kuat dan masih dapat ditemukan jejak-jejaknya dalam Alkitab, makin dikurangi. Seiring dengan makin banyaknya orang kaya yang masuk ke dalam komunitas, dan meningkatnya kebergantungan pada kelompok ini, karakter proletar dari jemaat Kristen purba pun makin redup. Cita-cita emansipasi yang sempat muncul di awal perkembangannya semakin dilupakan.
Sungguh pun demikian, apa yang dicita-citakan oleh jemaat Kristen purba ini tidak sepenuhnya lenyap ditelan sejarah. Jejak-jejaknya masih dapat kita temukan dalam Alkitab. Dan betapapun reaksionernya institusi gereja, isi kepala pendeta, serta pemahaman tentang kekristenan yang populer pada hari ini, mereka tetap harus berhadapan dengan teks-teks Alkitab yang menunjukkan kepada kita jejak-jejak komunisme Kristen purba. Terkhusus di hari Pentakosta ini, barangkali kisah dalam Alkitab tentang turunnya Roh Kudus dan praktik komunisme konsumsi yang menyusulnya akan dibaca kembali dan menginspirasi orang banyak. Tugas kita, seperti yang coba dilakukan oleh Kautsky, adalah menunjukkan keterbatasan praktik komunisme purba tersebut dalam kondisi sosio-historisnya, serta jalan baru perwujudan cita-cita serupa yang lebih permanen, di abad ke-21.***
Daniel Sihombing adalah anggota Kristen Hijau dan tim redaksi harian IndoProgress
Kepustakaan:
Boer R (2018) Christian Communism. Culture Matters.
Kautsky K (1908) Foundations of Christianity. https://www.marxists.org/archive/kautsky/1908/christ/index.htm.
Lenin V (1918) The Proletarian Revolution and the Renegade Kautsky. https://www.marxists.org/archive/lenin/works/1918/prrk/.
Lewis B dan D Broder (2020) “Karl Kautsky Was Once a Revolutionary: An Interview with Ben Lewis”. https://jacobinmag.com/2020/10/karl-kautsky-ben-lewis-marx-lenin.
Lewis B (2017) “Marxism After Marx: Karl Kautsky’s Disputed Legacy”. Dalam: Historical Materialism 25/3: 141-147. https://doi.org/10.1163/1569206X-12341527.