Foto: Goodreads
APRIL lalu, DANIEL DHAKIDAE, ilmuwan sosial dan intelektual publik terkemuka di Indonesia, telah berpulang pada usia 75 tahun. Banyak hal yang membuat nama Daniel Dhakidae patut dikenang dalam torehan tinta emas di hati dan pikiran kalangan intelektual dan aktivis pro-demokrasi di Indonesia.
Di Prisma, misalnya, tiga tiga kali Daniel menahkodai jurnal ilmiah populer prestisius itu (akhir 1970-an, awal 1980-an, dan 2009 hingga wafat). Namun, yang lebih patut dikenang dari kepemimpinannya adalah bahwa Daniel Dhakidae—sebagaimana kesaksian kolega saya Harry Wibowo, awak Prisma—selalu mengusung gagasan-gagasan kritis di tengah dominasi wacana-wacana arus utama, entah itu yang berwatak teknokratis-developmentalis maupun yang mengusung narasi ‘reformasi tata kelola pemerintahan’ a la neoliberal.
Sebagai jurnalis dan intelektual kritis di Indonesia, Daniel Dhakidae telah berkontribusi membangun kesadaran bahwa belenggu utama masyarakat Indonesia bukanlah hal-hal seperti keterbelakangan budaya, lemahnya penerimaan atas perubahan, atau ketiadaan modal sosial untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi atau politik (seperti diyakini oleh para penganut mazhab modernisasi-developmentalis maupun pengusung mantra good governance). Belenggu itu dapat dijumpau pada struktur kekuasaan yang berhubungan dengan otoritas politik. Dengan kata lain, kuasa modal plus kekuatan sosial dominan beserta kepentingannya dalam berbagai ranah pertarungan. Inilah yang menghambat pemajuan pelbagai pengetahuan yang mendorong kesetaraan sosial, demokrasi, dan penguatan politik kewargaan.
Intelektual, pengetahuan, dan kekuasaan
Perjumpaan saya dengan gagasan Daniel Dhakidae secara utuh dimulai pada 2003, ketika magnum opus Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru diterbitkan oleh Gramedia. Karya Daniel Dhakidae ini membentuk pemahaman saya bahwa perkembangan intelektual dan pengetahuan di masyarakat tidak semata-mata ditentukan oleh kapasitas nalar untuk memahami persoalan dan mengutarakannya.
Daniel menjelaskan bahwa intelektual—yang selama ini dipandang sebagai sebuah kelompok sosial adiluhung dalam masyarakat—tidak bisa didefinisikan dalam dirinya sendiri dan terpisah dari lingkungan sosial di mana mereka beraktivitas. Dengan kata lain, peran dan posisi intelektual harus ditempatkan dalam relasinya dengan corak kekuasaan yang bekerja pada setiap periode sejarah. Konkretnya, perspektif ini akan mencoba mengulik pertautan antara pengetahuan intelektual dengan kapital dan otoritas politik. Pada saat bersamaan, cara pandang Daniel juga berfokus pada kapasitas kekuasaan dari karakter spesifik dari kapital, kuasa negara, dan kekuatan sosial dominan yang mendisiplinkan dan mengontrol pengetahuan.
Dalam pertarungan sosial, peran dan posisi intelektual beserta pengetahuan yang mereka produksi sangat ditentukan oleh relasi kekuasaan yang ada. Dominasi suatu kekuatan sosial beserta kepentingannya sangat menentukan proses bagaimana sebuah pengetahuan bisa diterima dan dianggap sah, dan bagaimana pengetahuan lain disingkirkan, lantas dianggap subversif atau bid’ah.
Daniel Dhakidae merumuskan bahwa intelektual Indonesia pada era Orde Baru bekerja dalam suatu rezim berkarakter neo-fasis dan militeristik—corak khas rezim yang bekerja dalam konteks pembangunan stuktur kapitalisme. Rezim ini bertujuan merawat kepentingan kelas sosial dominan dengan menghancurkan kekuatan Kiri progresif, membungkam suara para pengkritik, dan mengonsolidasikan pembentukan pengetahuan untuk melegitimasi kekuasaan dan mengukuhkan otoritas Suharto.
Penelusuran Daniel tentang relasi kekuasaan dan pengetahuan kemudian dilanjutkan dengan karya yang disuntingnya bersama Vedi Hadiz, Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia (2006). Daniel, Vedi, dan para penulis dalam bunga rampai itu menyimpulkan bahwa warisan corak kekuasaan Orde Baru—terutama yang beroperasi melalui aliansi bisnis-politik—masih langgeng di ranah media, asosiasi keilmuan, dan universitas sebagai rumah kalangan intelektual. Mereka juga mencatat bahwa politik Indonesia pasca-Soeharto masih belum mampu mendorong kekuatan sosial progresif agar memiliki dampak signifikan di level negara dan masyarakat sipil. Tak heran, bahkan setelah Soeharto tumbang, produksi dan penerimaan pengetahuan progresif dan demokratik gagal mencapai taraf hegemonik. Pendeknya: ia gagal diterima sebagai bagian dari nalar publik—apalagi nalar kekuasaan.
Dua buku di atas adalah pukulan telak kepada berbagai upaya pengagungan/mistifikasi peran dan posisi kalangan intelektual berikut pengetahuan yang mereka produksi. Mistifikasi ini berangkat dari asumsi naif lagi menyesatkan yang mendudukkan intelektual sebagai penuntun modernisasi, sebagai navigator menuju tujuan-tujuan pembangunan yang diklaim ‘rasional’ dan ‘objektif’.
Menurut narasi antropologi dan sosiologi berspirit modernisasi yang dominan di era Orde Baru, kalangan intelektual memiliki otoritas pengetahuan untuk menyelamatkan masyarakat dari sikap malas, mentalitas terbelakang, dan budaya anti-kemajuan demi mewujudkan masyarakat modern yang produktif, berpikir maju, berbudaya, serta mendukung perubahan. Kajian pembangunan politik yang dominan pada era Orde baru juga mendudukkan kalangan intelektual sebagai pihak yang mengarahkan partisipasi masyarakat ke dalam kerangka tertib sosial dan stabilitas yang bisa diterima rezim. Kaum intelektual akhirnya pun turut menentukan model-model partisipasi sosial yang sah—dan yang tidak—dalam masyarakat modern.
Dengan meletakkan posisi intelektual dalam relasinya dengan corak kekuasaan seperti diuraikan Daniel, terang sudah betapa klaim-klaim kebenaran yang dibangun dari era Orde Baru hingga hari ini bukanlah pengetahuan yang secara asali ‘berwibawa’, ‘bebas kepentingan’, dan “diabdikan semata-mata untuk kemaslahatan dan kemakmuran rakyat”. Ia juga bukan—sebagaimana biasa diklaim—pengetahuan yang dibimbing oleh langkah-langkah pembangunan dari negara beserta mitranya: kalangan intelektual yang waskita.
Pengetahuan tersebut adalah anak kandung pergumulan sosial, yang melibatkan upaya mempertahankan kepentingan kelas dominan, klik kelompok-kelompok intelektual yang seranjang dengan kelas yang berkuasa, pembungkaman terhadap pengetahuan alternatif yang kritis terhadap rezim, dan akhirnya, upaya untuk melanggengkan tatanan kapitalis di Indonesia.
Imajinasi sosiologis
Mengapa perspektif kritis yang Daniel penting bagi kita di Indonesia? Mengapa suatu jalan transformasi sosial yang dibutuhkan oleh gerakan-gerakan sosial membutuhkan perspektif kritis ini?
Menjawab pertanyaan tersebut, Daniel Dhakidae sebetulnya sudah memberikan sinyal terkait ruang publik intelektual di Indonesia. Jawaban itu dapat kita temui pada terjemahan Daniel atas karya klasik The Sociological Imagination (1959).
The Social Imagination ditulis oleh C. Wright Mills, seorang sosiolog Amerika dan bapak ideologis Kiri Baru. Ketika buku ini terbit, disiplin sosiologi Amerika Serikat—yang turut mengilhami teori modernisasi dan diekspor ke negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia—memiliki kecenderungan teknokratis yang sangat dipengaruhi oleh karya-karya Talcott Parson. Bagi Parson, seorang sosiolog bermazhab fungsionalis, masyarakat adalah sebuah sistem tertutup yang senantiasa membutuhkan ekuilibrium dan harmoni—dengan kata lain, stabilitas yang ajeg—agar bisa berfungsi.
Sebaliknya, menurut Mills, model analisis sosiologis Parsonian gagal memaparkan proses dialektis antara yang-historis dan yang-biografis, sehingga tidak menempatkan problem konflik, perubahan sosial, dominasi, dan relasi kekuasaan sebagai problem utama yang harus didedah ilmuwan sosial.
Bagi Mills, karya sosiologi yang bertanggung jawab dan berkontribusi signifikan terhadap perkembangan sosial harus mampu memberikan penjelasan tentang kehidupan manusia sehari-hari dan berbagai macam jebakan hidup yang mereka alami, seturut konteks historis, pertarungan sosial, dan perubahan struktural dalam ruang lingkup yang lebih luas.
Karya sosiologi yang memiliki komitmen perubahan sosial, demikian Mills, harus mampu menjelaskan persoalan yang dihadapi oleh tiap orang dalam kehidupan pribadinya melalui amatan menyeluruh tentang corak struktur sosial, posisi masyarakat dalam sejarah manusia, kelompok sosial yang memiliki akses lebih besar pada kemakmuran dan kekuasaan, dan kelompok yang terpinggirkan dari akses tersebut. Semua hal ini sangat ditentukan oleh relasi kekuasaan yang berlaku.
Daniel memang jarang mengutip Mills secara gamblang. Namun, kekuatan ‘imajinasi sosiologis’ Daniel dalam membaca realitas berpijak kuat pada karya-karya Mills. Dari disertasinya di Cornell Ujiversity berjudul The State, the Rise of Capital, and the Fall of Political Journalism, Political Economy of Indonesian News Industry (1991), Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003), hingga Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia (2006), Daniel Dhakidae senantiasa mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis dan reflektif terkait posisi dirinya dan kalangan ilmuwan, aktivis, dan jurnalis lainnya. Pertanyaan-pertanyaan ini akhirnya juga diajukan terkait komersialisasi media, kurangnya karya-karya kritis dalam jurnalistime dan ilmu sosial, hingga miskinnya kapasitas ilmuwan kritis berikut pengetahuan yang mereka produksi dalam melawan corak kekuasaan yang despotik, menindas, dan pro-kapitalis.
Pendekatan kritis Daniel adalah kontribusi yang luar biasa untuk mendedah berbagai masalah sosial kita hari ini. Mari kita ambil contoh sebuah isu yang kerap dibahas sebagai problem toleransi. Mengapa banyak saudara, kolega, tetangga kita yang berasal dari kalangan kelas menengah tertarik mengikuti pengajian salafi-takfiri? Mengapa pula sebagian dari mereka larut dalam aliran jihadis?
Penjelasan arus utama akan mengulang lagu lama: orang-orang ini terjebak dalam tafsiran agama yang intoleran dan sempit, yang dipopulerkan oleh ustaz A dan B, pengajian ini dan itu. Dengan perspektif arus utama ini, Anda akan diajak untuk menelisik jaringan dan organisasi beserta ideologi yang disebarkannya. Namun, penjelasan ini gagal menjawab mengapa sebuah pemikiran atau ideologi mampu diterima banyak orang.
Penjelasan berbasis perspektif sosial kritis justru akan melihat fenomena ini sebagai bentuk ekspresi populisme Islam. Populisme tersebut muncul sebagai respons atas ekspansi global neoliberalisme yang menciptakan ketimpangan sosial berskala luas. Kalangan kelas menengah Muslim terdidik yakin bahwa mereka bisa naik kelas melalui jalur pendidikan. Namun, mereka frustrasi karena janji-janji bahwa pendidikan adalah jalan emas menuju mobilitas sosial rupanya tak terbukti. Di sisi lain, kanal dan artikulasi politik alternatif makin terbatas di tengah model pemerintahan yang semakin teknokratik. Walhasil, rasa frustasi dan kemarahan itu mereka luapkan melalui artikulasi politik yang tersedia dan dianggap valid—yang bahkan bertahun-tahun kerap dipakai negara—yakni bahasa agama yang bercorak eksklusif dan sektarian.
Daniel Dhakidae telah memberikan sumbangan teramat besar bagi perkembangan pengetahuan kritis di Indonesia. Ia senantiasa menjelaskan bagaimana perjuangan demokrasi baik di media, karya intelektual dan gerakan-gerakan sosial yang lebih luas punya peluang untuk tampil meski terus berhadapan dengan warisan penghancuran kekuatan politik kiri di Indonesia dan hambatan-hambatan struktural lainnya.
Daniel Dhakidae dan generasi intelektual angkatannya telah menjelaskan dengan baik bagaimana kekuasaan dan pengetahuan dalam negara kapitalis Indonesia terawat sedemikian rupa selama puluhan tahun. Tapi kerja-kerja mereka baru separuh tuntas. Tugas yang diemban generasi selanjutnya adalah membongkar berbagai kondisi status quo di masyarakat dan bagaimana kita memenangkan pertarungan sosial dan mengubah corak relasi kuasa yang ada di dalamnya. Untuk sampai ke sana, ada dua pertanyaan kunci yang harus dijawab sebagai bahan evaluasi bersama: Bagaimana kalangan pemikir, akademisi, aktivis, dan jurnalis menciptakan pengetahuan politis untuk membawa perubahan sosial bagi kalangan sosial yang selama ini terpinggirkan dan tertindas? Seperti apa koneksi mereka dengan gerakan-gerakan sosial dan massa rakyat pekerja itu sendiri?
Inisiatif Daniel memperkenalkan perspektif kritis dalam khasanah ilmu sosial di Indonesia adalah upaya rintisan yang sangat menentukan. Tanpanya, kerja-kerja teoritis dan praktis untuk mengubah keadaan bagi mayoritas kaum tertindas mustahil dimulai.
Rest in Power and Peace, Om Daniel!***