Foto: Goodreads
SAYA ingin menulis obituari untuk Daniel Dhakdiae, seorang Flores yang baru saja meninggalkan dunia untuk selamanyapada 6 April 2021 dalam usia ke-76, yang mungkin berbeda. Semua obituari yang telah muncul indah dan menakjubkan. Banyak puja puji yang memang sudah sepatutnya ia terima. Saya hampir tidak menemukan titik hitam dalam sepak terjang Dhakidae, terutama dalam dunia aktivisme dan keilmuan. Saya tentu banyak sepakat dengan semua obituari itu. Tetapi, sebagai orang Flores dan pengagum Dhakidae, saya tidak ingin memandang orang yang sudah meninggal seperti malaikat atau Tuhan yang tanpa cela.
Sebagai orang Flores yang suka bicara blakblakan, saya ingin memandang Dhakidae sebagai manusia biasa dan, karena itu, dia tidak sempurna walau sudah melakukan banyak hal-hal baik dan menakjubkan di dunia ini.
Dhakidae lahir pada 22 Agustus 1945 di Wekaseko Toto-Wolowae, Nagekeo,[1] Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Saya pertama kali mendengar nama Dhakidae di awal 2000an ketika dia berpolemik sengit dengan Abraham Runga Mali, sanak familinya sendiri karena sama-sama memiliki hubungan darahWekaseko, di koran lokal NTT, Pos Kupang, tentang pahlawan lokal Nagekeo, Nipa Do, yang melawan penjajahan Belanda. Setelahnya kadang saya mendengar lagi namanya ketika berkuliah dan bekerja di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dari 2009-2016.
Saya memang tidak terlalu mengenal Dhakidae, orang Flores yang dikagumi banyak orang itu. Namun, dari kacamata primordialistis, saya kira saya cukup dekat dengannya. Kami sama-sama berasal dari Flores; sama-sama pernah berkuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero; sama-sama pernah berkuliah di UGM; dan sama-sama orang Katolik yang pernah mau menjadi pastor tapi gagal total.
Obituari ini mungkin tidak terlalu lengkap, tetapi semoga saja saya bisa menyajikan sesuatu yang baru, yang belum diketahui banyak orang atau yang tidak ditulis orang sejauh ini. Saya mengajukan pertanyaan—sekaligus jawaban—sebagai berikut: Mengapa saya, sebagai orang Flores, mengagumi Dhakidae? Sebagai seorang cendekiawan, apa yang sudah dibuat oleh Dhakidae untuk masyarakat Flores melalui aktivisme dan karya intelektualnya? Apakah pilihan intelektual Dhakidae tentang berbagai persoalan di Flores dipengaruhi oleh modal, kekuasaan dan kebudayaan seperti yang menjadi tesis utamanya dalam buku masterpiece-nya Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru? Apa yang harus dilakukan agar bisa lahir generasi penerus dari Flores sekaliber Dhakidae di masa depan?
Saya Kagum
Saya adalah orang yang mengagumi Dhakidae seperti banyak orang lain. Saya mengagumi Dhakidae karena dia adalah ‘pemberontak’ dan pembela massa rakyat.[2] ‘Pemberontak’, bagi saya, adalah seorang yang fasih menggunakan akal dan nuraninya secara progresif untuk melawan berbagai bentuk penindasan, entah itu feodalisme, kolonialisme atau pun kapitalisme.
Dhakidae adalah seorang pemberontak sejak di seminari. Ia memberontak pada sistem pengajaran yang feodal dan kolonialis. Pada tahun 1960an, Prior[3] menulis bahwa para formator di Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, Seminari Tinggi Ledalero dan Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero masih didominasi oleh para pastor dari barat dan beberapa pastor pribumi yang menganut gaya pendidikan yang feodal dan kolonialis. Gaya dan watak pendidikan tersebut juga untuk menutupi kelemahan dan kekurangan para pastor yang secara akademis agak terbelakang dan malas. Kala itu pendidikan calon imam Katolik di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero dilakukan dengan menggunakan bahasa Latin yang menurut Prior[4] tidak dikuasai dengan baik oleh para dosen, yang adalah para pastor misionaris Barat.
Tepat sekali apa yang ditulis oleh Made Supriatma, yang mungkin sudah sering mendengar kisah hidup Dhakidae dalam obrolan ringan mereka di Amerika Serikat dan Indonesia, bahwa di masa Dhakidae bersekolah “jejak-jejak sistem kolonial masih ada. Jejak-jejak sistem pendidikan kolonial masih ada. Guru-guru masih dalam ‘cadaver discipline’ dalam menegakkan otoritasnya dalam kelas. […] Di kelas guru-guru seringkali hadir dengan rotan atau penggaris. Sementara di seminari, guru-guru adalah para pater yang, seperti namanya, sangat paternalistik.”
Pemberontakan dan menentang para dosen dan formator yang feodal dan kolonialis di ruang kuliah atau rumah pembinaan Seminari kerap dilakukan mahasiswa yang brilian seperti Dhakidae, yang mampu belajar sendiri karena sudah ditempa dengan baik di seminari menengah ala gimnasium Eropa di Seminari St. Yohanes Berchmans Todabelu Mataloko.
Pada masa 1960an, menurut Prior,[5] para formator seminari tinggi di Flores, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero dan keuskupan lokal memang tidak suka dengan mahasiswa dan para dosen cum pastor pemberontak atau progresif. Paradosen cum pastor pemberontak dan progresif, termasuk dosen pastor Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero seperti Clemens Pareira, Stefanus Kopong Keda dan Lambert Padji[6] yang mengganti bahasa pengantar di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero dari Latin ke Indonesia, mendorong indonesianisasi tenaga pengajar dan kurikulum agar sesuai dengan “cita-cita dan kepribadian bangsa” kala itu,[7] dipindahtugaskan ke tempat lain seperti ke paroki-paroki atau ditempatkan dalam jabatan administratif lain yang tidak ada hubungannya dengan formasi calon imam Katolik.
Untuk para seminaris pemberontak seperti Dhakidae, pembesar seminari juga menyikapinya dengan tindakan tidak demokratis seperti: disarankan untuk mundur atau dikeluarkan.
Pemberontakan Dhakidae berujung pada kegagalannya menjadi pastor Katolik. Supriatma menulis bahwa Dhakidae “dikeluarkan dari seminari karena mengorganisasi sebuah seminar untuk mereformasi pendidikan imam-imam Katolik.” Sementara Wolo menulis, “Romo Sius mengisahkan sikap kritis Dhakidae di ruang kuliah terhadap dosen filsafat Dr. Osias Fernandes dan berujung pada ‘penanggalan jubah’ di markas keuskupan Ndona. Dhakidae, menurut Romo Sius, punya niat yang kuat menjadi imam projo Ende. Tapi situasi saat itu akhirnya membuat Dhakidae harus beralih ke jalan hidup lain.”
Pemberontakan Dhakidae terus dipertahankan sampai di UGM dan Prisma—kecuali soal sikapnya terhadap eksploitasi di Flores yang akan saya ulas kemudian. Ketika bekerja membesarkan Prisma, Dhakidae kerap kali membenturkan diri dengan Orde Baru walau kadang-kadang dilakukan secara sangat taktis, yang bagi beberapa orang terlihat ironis karena seperti bermain layang-layang dengan kekuasaan. Karena itu, jika Vedi Hadiz menyebut Dhakidae “an intellectual force of nature”, saya lebih suka menggambarkannya sebagai “a relative progressive force of nature”. Mengapa ada kata sifat ‘relatif’? Karena Dhakidae, bagi saya, bukan Tuhan atau malaikat yang sempurna walau saya sangat mengaguminya. Saya akan jelaskan hal ini kemudian.
Seorang cendekiawan seperti Dhakidae selalu merupakan seorang pemberontak terutama di mata kekuasaan, sebab keilmuan selalu berkembang melalui ‘pemberontakan-pemberontakan’ yang dalam bahasa Popper disebut falsifikasi.[8]Tidak jarang pemberontakan dalam dunia ilmu adalah refleksi dari pemberontakan atas kekuasaan, modal dan kebudayaan. Sebab, seringkali modal dan kebudayaan mengatur gerak ilmu pengetahuan untuk kepentingannya sendiri. Walhasil, ilmu pengetahuan, seperti ilmu sosial, menjadi alat rekayasa sosial[9] untuk kepentingan kapital, modal dan kebudayaan tertentu. Karena itu ‘pemberontakan’ dalam dunia ilmu berujung pada pemberontak pada kekuasaan, modal dan kekuasaan.
Oleh sebab itu pula kekuasaan dan modal selalu takut pada ilmuwan—dan juga sastrawan. Keduanya mungkin tidak bisa membunuh secara langsung tubuh fisik—yang di dalamnya melekat kekuasaan, modal dan kebudayaan—tetapi ‘peluru kata-kata’ yang keluar dari pena ilmuwan dan sastrawan bisa membunuh dan menganiaya modal, kekuasaan dan kebudayaan. Karena alasan inilah, seperti yang ditulis oleh Dhakidae: “Hampir tidak ada yang lebih menakutkan modal, kekuasaan dan kebudayaan daripada Karl Marx yang hanya bermodalkan rumah kontrakan seumur hidupnya, seonggok janggut, dongeng-dongeng, angan-angan, dan cita-cita, yang keluar dari penanya. Tidak ada yang lebih menakutkan kekuasaan Olanda daripada Suryadiningrat yang kelak menjadi Ki Hadjardewantara, pendiri Taman Siswa, yang menulis pamflet kecil; daripada Soekarno, Hatta, Sjahrir, Mas Marco yang hanya bermodalkan pena. Hal yang sama terulang lagi tidak ada yang lebih menakutkan Orde Baru daripada Pramoedya Ananta Toer yang kreatif, dan Wiji Thukul yang miskin, kerempeng, dan seumur hidup bernaung di bawah atap rumah petak di pojok kota Solo. Pada gilirannya, meneliti, menulis dan membuka kepada khalayak tentang mereka yang menakutkan juga sama menakutkan…”[10]
Dhakidae sendiri tentu tidak menyebut dirinya cendekiawan. Sebab, seperti yang ditulisnya sendiri, “sebutan cendekiawanhanya diberikan oleh orang lain untuk orang lain lagi, dan bukan penamaan diri sendiri.”[11] Karena itu saya ingin memberikan gelar itu kepada Dhakidae. Kecendekiaan Dhakidae tidak ditunjukkan oleh ijasah doktoral yang dia peroleh dari Cornell University. Sebab, orang bisa saja memiliki ijasah doktoral tetapi tidak memainkan peran sebagai cendekiawan. Ada yang mungkin tidak bergelar sarjana, master, dan doktor tetapi bisa memainkan peran kecendekiawanan yang hebat seperti Pramoedya Ananta Toer dan Wiji Tukul, misalnya. Kecendekiaan itu, seperti Dhakidae katakan sendiri, adalah sebuah relasi, “dan karena itu gejala kecendekiawan sifatanya lebih relational.”[12]
Bagi saya, sama seperti Dhakidae, kecendekiaan adalah pemberontakan sebab “pemberontakan selalu berarti pemberontakan karena apa dan untuk siapa—yang berarti juga relasional. Secara lebih detail Dhakidae menulis bahwa “cedekiawan, kecendekiaan, kaum cendekiawaan adalah relasi, bukan definisi, yang keluar sebagai akibat dari hubungan modal, kekuasaan, dan kebudayaan. …[C]endekiawaan adalah relasi dalam satu medan—medan sosial, medan ekonomi, medan sastra, medan politik—dengan titik berat diberikan pada produksi wacana, pertikaian wacana, pergantian wacana dan kembali kepada formasi wacana baru lagi.”[13]
Sebagai relasi, kecendekiawan itu tidak netral tetapi selalu berpihak pada kelas tertentu seperti dalam pengertian Gramscian.[14] Dan Dhakidae adalah seorang cendekiawan yang berpihak pada massa-rakyat, bukan pada kekuasaan dan modal—kecuali dalam konteks Flores.
Keberpihakan Dhakidae pada massa-rakyat mewujud dalam produksi wacana dan aksi—walaupun mayoritas obituari melihatnya lebih sebagai intelektual yang berdiri di belakang, kecuali tulisan Hadiz dan Wildan Sena Utama. Saya, seperti Hadiz, melihatnya sebagai seorang scholar–activist. Dalam kaitannya dengan aksi, Dhakidae pernah memberi ruang kepada para tahanan Pulau Buru yang memiliki ideologi dan pemikiran yang berbeda dari Orde Baru untuk menulis di Prisma, yang membuatnya harus menghadapi pengadilan. Prisma yang digawangi oleh Dhakidae merupakan salah satu, jika bukan satu-satunya, media yang waktu itu berani memberi ruang bagi cendekiawan eks-tapol PKI yang baru kembali dari Pulau Buru di tahun 1970an dan 1980an. Akibatnya, saya mendapat informasi dari orang terdekatnya bahwa tidak jarang pergerakan Dhakidae diawasi, yang bisa saja menyebabkan nyawanya hilang.
Saya menyesal
Selain kagum, saya juga menyesali beberapa hal dari Dhakidae, terutama berkaitan dengan pilihan kerjanya di Kompassetelah menyelesaikan studi doktoral di Cornel University dan pengabaiannya secara intelektual terhadap eksploitasi di Flores, tempat di mana Dhakidae lahir dan dibesarkan secara fisik dan intelektual.
Dhakidae direkrut Kompas sebagai Kepala Penelitian dan Pengembangan (Litbang) meski kerap mengkritik tajam media tersebut. Bagi beberapa orang seperti Evi Mariani, pekerjaan tersebut memang tepat untuk Dhakidae. Tetapi bagi saya sebaliknya. Ada dua alasan. Pertama, watak pemberontak Dhakidae yang tumbuh sejak di seminari tidak cocok dengan gaya jurnalistik Kompas. Kompas adalah media yang ingin selalu “menjaga ketenangan dan kedamaian,” yang kerap kali harus “bermain layang-layang” dengan kekuasaan.
Saya ingat pada awal 2000an pendiri Kompas Jakob Oetama pernah memberikan kuliah umum di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Pada kuliah umum itu seorang peserta bertanya: “Mengapa Kompas tetap eksis di masa Orde Baru walau beberapa koran nasional yang lain diberedel?” Oetama menjawab dengan mengutip kitab suci orang Kristiani, kurang lebih seperti ini—yang saya susun kembali dari ingatan belaka: “Kompas itu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati di hadapan serigala kekuasaan.” Sebaliknya, Dhakidae tidak selalu ingin tunduk bahkan kadang harus membenturkan diri dengan kekuasaan yang menindas, seperti yang dia lakukan di Prisma sehingga bolak-balik menghadapi pengadilan Orde Baru.
Kedua, waktu yang disia-siakan untuk bekerja di tempat seperti itu. Seandainya bekerja di tempat yang tepat, mungkinDhakidae akan lebih produktif dan bermanfaat bagi bangsa Indonesia, termasuk bagi perkembangan ilmu.
Saya menyesali mengapa Dhakidae, doktor lulusan salah satu universitas terbaik di Amerika Serikat, dengan disertasi yang mendapatkan penghargaan dari Program Studi Asia Tenggara karena dianggap memberikan kontribusi signifikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, hanya bekerja sebagai kepala Litbang Kompas. Sekelas Dhakidae mau menerima tawaran untuk menjadi kepala Litbang Kompas itu aneh dan tidak masuk akal, menurut saya. Bagi saya Dhakidae lebih cocok bekerja di kampus atau institusi penelitian non-media; bukan bekerja di media halus.
Saya melihat Dhakidae tampak mulai berkejaran dengan waktu, tenaga dan umurnya sendiri di masa tua untuk mulai serius menulis dan meneliti, dan menghasilkan beberapa buku dan artikel yang bagus. Tetapi menurut saya sudah terlalu terlambat. Dhakidae harusnya sudah mulai meneliti dan menulis serius apa yang menjadi minat dan bidangnya sejak tamat studi doktoral pada 1991. Jika tidak bekerja di Kompas, Dhakidae tentu lebih banyak menghasilkan karya intelektual dan aktivisme yang lebih berguna bagi bangsa Indonesia.
Soal ini, saya pernah mendengar dari orang dekat bahwa Dhakidae juga sebenarnya agak menyesal terlalu lama bekerja di Litbang Kompas karena membuatnya tidak aktif dalam aktivisme dan produktif menulis buku dan artikel bermutu.
Saya juga menyesalkan mengapa Dhakidae hampir tidak pernah menulis tentang persoalan Flores, tanahnya sendiri. Tulisan Dhakidae tentang Flores yang terakhir adalah tentang pembuangan Sukarno di Ende, yang diterbitkan oleh Prisma pada 2013.[15] Dalam tulisan itu Dhakidae kelihatan cukup objektif dalam melihat situasi ekonomi politik di Flores walau tidak detail. Dhakidae menulis bahwa Flores yang sudah ditundukkan oleh kolonialisme dan dalam kadar tertentu Gereja Katolik dalam payung politik etis sebagai “Flores yang sudah jinak seperti bunga.”[16] Ketika menjelaskan tentang persoalan tanah, Dhakidae menjelaskan dengan tepat: “Flores […] yang tidak terkena hukum ‘hak pribadi atas tanah’ pada dasarnya dikuasai oleh para tuan tanah yang tidak lain adalah raja-raja lokal.”[17]
Persoalannya Dhakidae tidak memberikan kritik yang lebih jauh secara sistematis. Mungkin karena sibuk menjelaskan tentang Sukarno. Namun, menurut hemat saya, itu sama saja dengan melegitimasi apa yang terjadi. Pada titik inilah Dhakidae saya sebut sebagai “relative progressive of nature”.
Pertanyaan lanjutannya, apakah Dhakidae tidak suka atau menolak orang lain yang mengkritik Gereja Katolik dan tuan tanah di Flores? Tidak. Tentu ia tidak keberatan dan malah senang dengan hal-hal seperti ini, yang mungkin tidak bisa atau belum sempat dia lakukan. Inilah keyakinan Dhakidae, seperti yang dia tulis sendiri: “Bertempur dengan teks lain, bergaung dengan teks lain, dan dalam bergabung teks lain lagi—kalau tidak untuk menunjukkan, sekurang-kurangnya membongkar kenyataan yang lebih sering diterima sebagai mitos dengan menganyam fiksi dari satu ujung ke ujung lainnya.”[18] Selain itu, dalam artikel di Prisma baru-baru ini, dia menceritakan saat-saat ketika ia diadili karena Prismamenerbitkan tulisan seorang ‘petani’yang tidak lain adalah bekas tapol PKI dari Pulau. Pembelaannya di pengadilan: tulisan seorang ‘petani’ bisa terbit karena bisa dipertanggunjawabkan secara ilmiah.
Sikap inilah yang saya kira terus diemban Dhakidae sepanjang hidupnya.
Ia membiarkan ada yang mengkritik Gereja Katolik dan tuan tanah di Flores, yang mungkin saja merugikan keluarga Dhakidae—jika bukan Dhakidae sendiri. Dan itu saya alami sendiri.
Pada 11 Desember 2019, sekitar pukul 5 sore WITA, saya mendapat informasi melalui surel dari editor Prisma, Arya Wisesa, bahwa tulisan saya yang berjudul Ketimpangan Agraria dan Persoalan Migrasi di Flores[19] akan segera terbit. Hari itu komunikasi selanjutnya dengan Prisma dilakukan melalui WhatsApp. Wisesa mengatakan bahwa Dhakidae ingin berbicara langsung dengan saya melalui sambungan telepon WhatsApp. Saya begitu gugup karena seorang Dhakidae, yang saya kagumi, seorang “raksasa dalam komunitas intelektual di Indonesia” seperti yang dikatakan Hadiz, ingin berbicara secara langsung dengan saya yang baru belajar menjadi seorang intelektual. Saya kira siapa pun itu pasti akanmengalami apa saya alami: gugup dan takut.
Percakapan itu dimulai dengan basa-basi, yang saya susun kembali murni dari ingatan belaka:
“Apakah Emil sekarang di Yogyakarta?” Sudah lama, sejak 2013, Dhakidae mengetahui saya bekerja di UGM. Saya menjawab: “Tidak, saya sudah tidak lagi bekerja di UGM. Saya sudah menjadi dosen non-pastor Katolik di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.” Dhakidae tidak merespons jawaban saya lebih jauh walau dia adalah alumni sekolah tersebut. Dia langsung ke poin utama pembicaraan: “Saya sudah membaca tulisanmu. Anda memang benar-benar marxis dari Flores. Engkau mengkritik Gereja Katolik dan kami juga kena kritikanmu. Tetapi, saya suka tulisanmu. Saya sepakat dengan semua apa yang kamu tulis, kecuali satu hal, yakni soal kerajaan. Anda mengutip Tule[20] yang menyatakan ada kerajaan di Flores. Itu tidak benar. Di masa kolonial, di Flores tidak ada kerajaan (rajaschap) seperti di Jawa melainkan pemerintahan swapraja otonom (zelfbestuurende landschappen). Anda bisa membaca tulisan saya tahun 2013 di Prisma. Koreksi bagian itu saja, tidak perlu terlalu terburu-buru, dan, jika sudah kelar, kirim kembali tulisanmu.”[21]
Saya ingin menjelaskan mengapa Dhakidae mengatakan “engkau mengkritik Gereja Katolik dan kami juga kena kritikanmu.” Dhakidae berasal dari golongan tuan tanah (mosalaki). Hal itu diketahui lewat namanya sendiri. Di Flores, nama seorang anak tidak asal disematkan. Nama orang Flores selalu diambil dari nama nenek moyang atau generasi terdahulu yang diwariskan secara tetap turun-temurun. ‘Dhaki’ adalah nama dari pihak ibu dan ‘Dae’ dari pihak bapak di Wekaseko, Toto-Wolowae, Nagekeo. Dhaki adalah seorang tuan tanah besar di Toto-Wolowae. Dae adalah nama yang diambil dari kakeknya, Yohanes Karolus Biae, kepala Hamente Wolowae dari zelfbestuurende landschappen Tanah Rea di masa penjajahan Belanda. Pada zaman Belanda, seseorang hanya akan menjadi pemimpin politik di Flores seperti kepalaHamente jika dia memiliki tanah yang luas alias tuan tanah, walau dalam kasus-kasus tertentu tidak terjadi seperti di Bajawa dengan Raja Bajawa.[22] Tule menulis bahwa pada 1917, Seme Rau diangkat menjadi kepala mere di Worowatu karena memiliki sekurang-kurangnya 10 hektare tanah.[23]
Maka, tidak bisa dibantah bahwa Dhakidae adalah keturunan mosalaki, yang memiliki tanah luas di Toto-Wolowae. Dengan demikian, kata kami yang disebut Dhakidae di atas menunjukkan bahwa dia sendiri mengidentifikasikan diri sebagai tuan tanah atau berasal dari keluarga tuan tanah.
Hingga zaman Dhakidae, Gereja Katolik menyeleksi anak-anak tuan tanah dan orang-orang berpengaruh di Flores untuk dididik di seminari dan sekolah-sekolah Katolik dengan biaya yang sangat murah dan hampir gratis (malah gratis di awal-awal misi Gereja Katolik di Flores) demi keberhasilan misi Katolik,[24] persis seperti yang dilakukan oleh kolonial Belanda di abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Jawa.
Sebagai seorang yang berasal dari trah tuan tanah dan pernah dididik di seminari, saya kira Dhakidae sulit untuk melakukan ‘bunuh diri kelas’ dengan mengkritik tuan tanah dan Gereja Katolik. Mungkin karena utang budi pada Gereja Katolik dan ingin menjaga nama baik trah keluarga tuan tanah Dhakidae hanya bisa melakukan ‘bunuh diri kelas’ pada level nasional, tetapi gagal di level lokal. Apalagi mayoritas orang Flores yang berpendidikan tinggi berasal golongan kelas sosial atas (keluarga pemimpin adat, kampung dan para tuan tanah, seperti Dhakidae) dan sudah mapan hampir pasti tak sudi melakukan perbaikan terhadap ketimpangan relasi sosial produksi di sektor agraria yang merugikan diri dan keluargannya sendiri.[25]
Saya Harap
Dalam bahasa daerah saya dan Dhakidae,[26] kata ‘dhaki’ berarti ‘menyalakan’ dan ‘dae’ memiliki dua arti, yakni ‘tempat’ dan ‘belum’. Ada dua makna yang muncul dari kombinasi dua kata ini, “Daniel, Dhaki Dae?” (yang berarti pertanyaan: Daniel, Anda sudah menyalakan api atau belum?) dan “Daniel Dhaki Dae” (bermakna pernyataan: Daniel sudah menyalakan/menerangi sebuah tempat). Saya berharap Allah Bapa yang mahakuasa di surga akan memberikan pernyataan dan pertanyaan ini kepada Dhakidae di depan pintu surga.
Dalam pernyataan “Daniel Dhaki Dae”, Allah Bapa tentu sangat memuji Dhakidae akan sumbangan aktivisme dan intelektualnya yang luar biasa berharga untuk menyempurnakan ciptaan-Nya bernama Indonesia. Dalam pertanyaan “Daniel, Dhaki Dae?, Allah akan mempertanyakan Dhakidae apakah kerja aktivisme dan intelektualnya sudah memberikan ‘terang api’ untuk ciptaan-Nya bernama bumi Flores. Untuk pertanyaan itu saya yakin Dhakidae akan menjawab “belum” dengan kepala tegak, sebab dia sadar tetaplah manusia, bukan malaikat apalagi Tuhan, dan karenanya tidak sempurna selama hidup.
Setelah pernyataan dan pertanyaan dari Allah Bapa ini, Dhakidae akan dipersilahkan memasuki kerajaan surga, “meninggalkan dunia ini tanpa penyesalan setitik pun tentang kepada siapa” dia berpihak sepanjang hidupnya, seperti di kalimat pamungkas obituari Mariani untuk Dhakidae.
Dalam iman Katolik, saya yakin jawaban “belum”-nya Dhakidae akan disempurnakan oleh Yesus Kristus yang baru bangkit dan naik ke surga saat Paskah, dua hari sebelum Dhakidae meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Karena Dhakidae belum melakukan tugasnya itu, maka Yesus Kristus, yang baru bangkit di hari Paskah itu, akan mengutus Allah Roh Kudus untuk generasi muda di Flores hari ini untuk mengerjakan kerja aktivisme dan intelektual yang belum dilakukan oleh Dhakidae untuk bumi Flores.
Sebagai seorang yang beriman Katolik, saya meyakini Allah Roh Kudus tidak bisa bekerja sendiri untuk mempersiapkan generasi muda Flores pengganti Dhakidae. Saya selalu yakin mukjizat sebagai karya Allah Roh Kudus di bumi adalah hasil dari doa dan kerja keras manusia. Di sini, menurut saya, peran pendidikan sangat penting. Untuk itu mungkin perlu dikembangkan lagi pendidikan model gimnasium ala Eropa seperti di masa Dhakidae di Seminari Yohanes Berchmans Todabelu Mataloko sembari memenggal watak kolonial dan feodalnya di masa lalu agar pendidikan model itu tidak hanya melahirkan segelintir intelektual dan aktivis seperti Dhakidae, tetapi satu rombongan besar generasi muda Flores. Pendidikan ala gimnasium itu juga harus benar-benar memberi kesempatan kepada semua anak-anak di Flores tanpa diskriminasi. Tidak boleh meniru dan mengulangi apa yang pernah dilakukan oleh Gereja Katolik di masa lalu yang hanya menerima dan mendidik anak-anak tuan tanah seperti Dhakidae.[27]
Keunggulan sekolah ala gimnasium adalah berasrama dengan disiplin yang ketat, fokus pada pendidikan bahasa, filsafatdan sastra yang kuat. Sekolah ala gimansium itu seperti sekolah menengahnya Benedict Anderson di Eton, yang dapat membuatnya mempelajari berbagai macam bahasa dunia seperti Latin, Yunani, Jerman, Perancis, Rusia dan juga menekuni sastra-sastra terbaik dunia.[28] Seperti Anderson, Dhakidae juga punya disiplin tinggi, menguasai bahasa Latin, Inggris, Jerman, dan mungkin juga Belanda. Tak heran jika Dhakidae pernah berujar: “Saya hanya benar-benar sekolah di dua tempat: Mataloko dan Cornell.”
Sama juga seperti Anderson, Dhakidae mencintai sastra sejak di Seminari Yohanes Berchmans Todabelu Matoloko. Jika membaca tulisan-tulisan Dhakidae, Anda akan merasakan sentuhan sastra di sana. Dhakidae tidak asal memilih diksi dan tanda baca. Diksi dan tanda baca yang Dhakidae pilih biasanya selalu indah dan tepat.
Selain itu, mempelajari sastra juga penting karena bisa mengasah kepekaan sosial dan menjadikan seseorang menjadi pemberontak yang berpihak pada yang lemah. Pramoedya Ananta Toer benar ketika mengatakan bahwa “kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hewan yang pandai.” Orang pandai yang tidak membaca sastra menjadi hewan yang pandai karena minus kepekaan sosial. Anderson dan Dhakidae memiliki kepekaan sosial yang tinggi karena membaca sastra, jika dilihat dari teropong Pram.
Menemukan lagi orang seperti Dhakidae dari bumi Flores memang sangat sulit dengan mempertimbangan kondisi ekonomi politik pendidikan di Indonesia umumnya dan Flores khususnya hari ini, yang sangat dikontrol oleh pemerintah pusat dan sangat politis, bergantung pada kebijakan menteri pendidikan tiap periode yang selalu berubah-ubah.[29]Karena itu, orang seperti Dhakidae mungkin hanya muncul satu orang dari masyarakat Flores setiap 100 tahun. Namun, kesulitan yang besar, bagi saya, tidak harus menjadi masalah dan halangan yang mematikan daya juang dan kreativitas.Justru sebaliknya, kesulitan itu harus menjadi kesempatan untuk mencari ruang peluang.
Saya optimistis Flores akan melahirkan Dhakidae-Dhakidae baru di masa depan, yang mungkin akan melampaui kegemilangan Dhakidae itu sendiri. Inilah keyakinan Dhakidae sendiri, yang juga diyakini oleh saya: “Setiap kitab dari pengarang mana pun yang pernah melihat terbit dan terbenamnya matahari, tidak lain daripada kata pengantar kepada buku lain lagi kelak di kemudian hari, yang jauh-jauh lebih penting.”[30] Jika Dhakidae adalah buku atau kitab, maka ia hanyalah kata pengatar untuk buku-buku hebat di masa depan yang datang dari Flores, yakni para generasi muda.
Akhirnya, selamat jalan Oom Daniel Dhakidae, menuju surga keabadian. Terima kasih banyak untuk inspirasi dan hal-hal baik dan besar yang telah engkau sumbangkan dan tanamkan untuk Indonesia.***
Bumi Flores, 8 April 2021
Emilianus Yakob Sese Tolo, Staf Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores, NTT, Indonesia Timur
Kepustakaan
[1]Dhakidae lahir di Kabupaten Nagekeo, bukan Kabupaten Ngada. Ngada sudah pecah jadi dua yang salah satunya adalah Wekaseko Toto-Wolowae, berada di kabupaten Nagekeo, baru berdiri pada 2007.
[2]Massa rakyat seperti yang didefinisikan Max Lane. Lane (2013: 188) mengatakan: “…kata rakyat secara esensial adalah terminologi kelas. Kata tersebut mengacu terutama pada orang yang miskin dan dihisap; kata tersebut adalah istilah yang disebandingkan dengan kata pembesar, orang kaya, pengusaha dan pejabat.” Lihat, Max Lane, Unfinished Nation (Jakarta: Penerbit Djaman Baroe, 2013).
[3]John Prior, “Pada Masa Itu…: Clemens Pareira, SVD, Dosen Filsafat Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero 1964-1965, Pelopor Gerakan Indonesianisasi”, Jurnal Ledalero 13: 2, 2014, hlm., 399-420.
[4]Ibid.
[5]Prior, Pada Masa Itu…
[6]Prior, Pada Masa Itu…, hlm., 410.
[7]Ibid., hlm., 408.
[8]Karl Raimund Popper, The Open Society and Its Enemies, volume 1 (London: Routledge &Kegan Paul, 1945).
[9]Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (Jakarta: LP3S, 1987); Vedi R. Hadiz dan Daniel Dakidae (eds.), Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia (Jakarta: PT Equinox Publishing Indonesia, 2006).
[10]Dhakidae, Cendekiawan dan…hlm., xxvi.
[11]Ibid., hlm., 8.
[12]Dhakidae, Cendekiawan dan…hlm., 12.
[13]Ibid., hlm., xxxvii, xxxi.
[14]A. Gramsci, Selection from the Prison Notebooks (New York: International Publisher, 1971).
[15]D. Dhakidae, Dari Tempat Pembuangan Menjadi Rumah Pemulihan: Makna Sukarno Bagi Ende dan Ende Bagi Sukarno. Prisma 32 (2&3), 2013, hal. 119-121
[16]Ibid., hlm., 128.
[17]Ibid., hlm., 119-121.
[18]Dhakidae, Cendekiawan dan…, hlm., xxvi.
[19]Emilianus Yakob Sese Tolo, Ketimpangan Agraria dan Persoalan Migrasi di Flores, Prisma, Vol 39, No. 1, 2020.
[20]Philipus Tule, Longing for the House of God, Dwelling in the House of Ancestors: Local Belief, Christianity, and Islam among the Keo of Central Flores (Freiberg, Switzerland: Studia Instituti Anthropos 50. Academic Press, 2004).
[21]Daniel Dhakidae, komunikasi pribadi melalui sambungan telepon WhatsApp, 11 Desember 2019.
[22]Daniel Dhakidae, komunikasi pribadi melalui sambungan telepon Whatsup, 11 Desember 2019.
[23]Philipus Tule, “We are Children of the Land: A Keo Perspective”, dalam Thomas Reuter (ed.) (2006), Sharing the Earth, Dividing the Land: Land and Territory in the Austronesian World (Australia: ANU Press, 2006), hlm., 213.
[24]K. Steenbrink, Orang-Orang Katolik di Indonesia 1808-1942 (Maumere: Penerbit Ledalero, 2006); A. K. Molnar, “Christianity and Traditional Religion among the Hoga Sara of West-Central Flores.” Anthropos 92, 1997, hlm., 389-408.
[25]Tolo, Ketimpangan Agraria dan…
[26]Semestinya nama aslinya ditulis Daniel Dhaki Dae, tetapi diubah sendiri oleh Daniel, menurut pengakuan adik kandungnya, Longginus Bhiadae.
[27]Steenbrink, Orang-Orang Katolik…; Molnar, Christianity and Traditional…
[28]Benedict Anderson, Hidup di Luar Tempurung (Jakarta: Marjin Kiri, 2016).
[29]Emilianus Yakob Sese Tolo, Kembalikan Kejayaan Sekolah Katolik di Flores, Flores Pos, 22 Maret 2012.
[30]Dhakidae, Cendekiawan dan…, hlm., xxxvii-xxxviii