Still film Detropia (2012). Foto: PBS
SEORANG pemuda tengah berjalan seorang diri di ruas jalan penghubung bandara dam pusat keramaian. Ia mengenakan baju olahraga—jenis yang biasanya bertuliskan nama tim basket atau berlambangkan bendera AS. Namun, baju yang satu ini menunjukkan satu kata dengan lima huruf: Black.
Saya menghampirinya untuk bercakap-cakap dan menanyakan di mana posisi saya tepatnya. Ia mengaku telah tinggal di sana sejak lahir. Pemandangan yang melatari percakapan kami tampak tidak biasa: saya belum pernah melihat yang seperti itu. Saya terus melihat ke sekeliling dan menyadari betapa semua yang telah saya baca tentang tempat ini sesuai kenyataan. Bangunan-bangunan kosong merentang panjang tanpa ujung. Pabrik-pabrik tua ditinggalkan lama selama puluhan tahun, dengan puing-puing raksasa yang tergerus oleh waktu. Bangunan-bangunan yang musnah, pecahan kaca, mesin-mesin yang diselimuti es dan salju. Tanah pembuangan yang hanya dihuni anjing liar, pecandu narkoba, tuna wisma, dan orang-orang pinggiran. Saya sedang berada di Detroit: kota hantu, salah satu contoh paling mengejutkan dari Amerika yang lain, yang tidak pernah ditayangkan dalam serial-serial televisi yang lokasi syutingnya berada di Manhattan atau film-film 3-D yang diproduksi di Hollywood.
Mereka Menyebutnya Motor City
Jika arkeologi industri menjadi bidang studi, Detroit jelas akan menjadi spesimen pertama yang akan dipelajari. Namun sejarahnya di masa lalu identik dengan pertumbuhan dan gemerlap kelimpahan. Baptised Motor City—yang juga jadi latar belakang nama Motown, perusahaan rekaman lagu-lagu soul-rhythm-blues—selama puluhan tahun merupakan pusat mobil di dunia. Pada 1902, kota ini menyambut kelahiran Cadillac, dan setahun berikutnya Henry Ford membuka pabrik yang pada 1908 akan melahirkan Model T, kendaraan pertama yang menjadi produk lini perakitan. Tak lama kemudian, General Motors didirikan pada tahun yang sama, diikuti Chrysler pada 1925. Pendeknya, segala serba-serbi industri mobil di AS berawal dari Detroit.
Kemajuan mengepakkan sayapnya lebar-lebar, demikian pula kota ini. Pada dekade kedua abad ke-20, populasi Detroit bertambah lebih dari dua kali lipat dan menjadikannya pusat penduduk terpadat nomor empat di AS. Proporsi terbesar pendatang berasal dari negara-negara bagian di Selatan – bagian dari rombongan Afro-Amerika (120.000 di Detroit saja) yang pergerakannya di kemudian hari dikenal sebagai ‘migrasi besar pertama’.
Ekspansi ini tidak hanya memengaruhi dunia roda-empat. Keterlibatan Amerika dalam Perang Dunia II mentransformasikan kota utama Michigan ini menjadi ‘gudang senjata demokrasi’, mengutip slogan Franklin Roosevelt. Sejumlah besar pekerja, baik laki-laki maupun perempuan, pindah ke Detroit yang saat itu tengah mengembangkan sektor persenjataan dan berkontribusi lebih dari kota-kota di AS lainnya bagi kerja-kerja dalam perang. Pertumbuhan ini berlanjut setelah 1945. Pada 1956 populasi Detroit mencapai puncak di angka 1.865.000. Para profesor ternama dan wartawan terhormat pada masa itu memuja-mujanya sebagai simbol akhir perjuangan kelas di Amerika, mengacu pada semakin banyak pekerja yang terangkat status ekonominya menjadi kelas menengah dan mulai menikmati kesenangan-kesenangan yang mengikutinya.
Berapa banyak air yang telah mengalir di kolong jembatan sejak itu! Kemerosotan dimulai pada 1960-an dan dipercepat setelah krisis minyak 1973 dan 1979. Hari ini Detroit berpenduduk kurang dari 700.000, angka terendah dalam kurun seratus tahun—dan kelihatannya akan terus turun. Dalam dekade pertama abad ke-21, kota ini kehilangan seperempat dari populasi totalnya. Setiap dua puluh menit ada keluarga yang mengumpulkan seluruh barang miliknya, mengirimkannya ke wilayah tujuan baru, dan mengucapkan selamat tinggal kepada Detroit.
Seratus Ribu Lahan Kosong
Selagi saya berjalan kaki di jalan-jalan kota tersebut, kesan tentang kota berhantu ini semakin kuat. Lebih dari seratus ribu lahan kosong dan rumah dicampakkan, mayoritasnya tinggal puing atau bangunan reyot yang tak aman. Sepuluh ribu di antaranya harus dirobohkan dalam empat tahun ke depan, namun dana operasinya tidak mencukupi. Ada kesan tentang kehancuran yang riil, karena seringkali hanya tersisa satu rumah berpenghuni dalam satu blok. Situasi yang sebelumnya sudah eksplosif menjadi makin dramatis berkat pandemi. Pengelola kota tengah mencoba untuk mengelompokkan penduduk di area-area tertentu dan mengubah sejumlah area lainnya menjadi lahan pertanian komersil. Namun, krisis yang sedang terjadi membuat gambarannya menjadi lebih muram daripada sebelumnya. Demi mengatasi kebangkrutan yang melilit, Detroit belakangan memotong layanan publik terakhirnya, termasuk bus (satu-satunya sarana transportasi bagi kelompok tak berpunya) dan penerangan malam hari di area-area terpencil.
Situasi sosial Detroit juga tidak kalah suram dari lingkungan sekitar. Di Detroit, satu dari tiga penduduknya hidup dalam kemiskinan, demikian pula lebih dari separuh kanak-kanak. Taraf segregasi rasial masih sangat tinggi: lebih dari 80 persen populasi adalah warga kulit hitam dan tinggal di pusat kota, sementara kelas pekerja ‘kulit putih’, atau sisa penduduk yang tidak bermigrasi, telah pindah ke pinggiran atau daerah sekitar pertokoan-pertokoan besar. Ini menunjukkan bahwa meskipun zaman telah berubah, rasisme yang menjadikan Detroit zona perang pada Juli 1967—ketika Lyndon Johnson mengirimkan mobil-mobil berlapis baja yang menyebabkan 43 orang tewas, 7.200 manusia ditangkap, dan 2.000 bangunan dilumat habis—belum sepenuhnya dihapuskan. Tingkat kejahatan Detroit adalah salah satu yang tertinggi di seantero negeri. Ironisnya, ongkos asuransi kendaraan di tempat lahirnya industri mobil ini adalah yang paling mahal. Angka pengangguran mencapai 50 persen dan uang yang diinvestasikan di kasino raksasa di jalan utama hanya menghasilkan satu perubahan: jiwa-jiwa yang putus asa dan pahit, yang setiap malam antre untuk menghabiskan helai-helai terakhir dolar mereka, dan harapan terakhir mereka, di dahapan deretan panjang mesin judi.
Rongsokan Logam untuk Cina
Pada 2009, menindaklanjuti krisis, General Motors dan Chrysler mengajukan petisi kebangkrutan. Ford juga babak-belur terkena dampak krisis. Bantuan yang diterima oleh ketiga perusahaan besar pada akhir dekade lalu, baik dari pemerintahan Bush maupun Obama, mencapai 80 milyar dolar. ‘Restrukturisasi’ paralelnya—yang meliputi pemecatan, pemotongan gaji, dan kontrak kerja yang lebih rentan—mengikuti model yang direpresentasikan oleh American Axle & Manufacturing, yang didirikan pada 1994 untuk menyuplai komponen-komponen mobil yang lebih murah ke General Motors dan Chrysler. Faktanya, banyak karyawan perusahaan yang sejak awal sudah bekerja dengan kontrak per jam telah dipecat pada 2008, meski profit yang didulangnya sangat berlimpah. Dan mengikuti aksi mogok melawan pemotongan gaji dari 28 ke 14 dolar per jam, pabrik lain di Detroit memecat semua pekerjanya dan menutup pintu. Dengan nada filantrofis, salah satu bos pabrik menjelaskan bahwa, sama seperti pabrik-pabrik Axle & Manufacturing dibuka beberapa tahun sebelumnya di Meksiko, Brazil, dan Polandia, ‘prioritas utama kita adalah membangun Asia’. Bab berikutnya akan ditulis di Cina, dan benar bahwa perusahaan tersebut telah beroperasi di sana sejak 2009 dengan dua pabrik baru.
Bagaimanapun juga, Detroit tak hanya berbicara tentang abad keduapuluh; ia juga bersaksi tentang perubahan-perubahan yang terjadi hari ini dan menanti di masa depan. Ia menggarisbawahi sejauh mana kemiskinan dan pengangguran adalah hasil dari hubungan-hubungan ekonomi yang mencegah perkembangan teknologi dari pemanfaatannya untuk kemaslahatan orang banyak. Detroit menunjukkan bahwa pabrik-pabrik kosong melompong bukan karena tidak ada lagi kerja, tetapi karena produksi telah dialihkan ke tempat-tempat yang upah buruhnya lebih murah dan perjuangan untuk hak-hak sosialnya masih lemah.
Langit lekas gelap di Detroit pada musim dingin. Beberapa orang mengemis di dekat jalur keluar jalan tol. Dari kejauhan, tampak nyala api di lokasi yang dulunya adalah jantung kawasan industri. Sekelompok anak muda menyalakan api di reruntuhan pabrik, sembari berharap menemukan potongan logam yang akan dikirim ke Timur melalui laut. Potongan-potongan logam yang bernilai dua setengah dolar per ons ini adalah satu-satunya barang berharga yang tersisa untuk bertahan hidup. Potongan-potongan logam ini adalah salah satu barang ekspor utama AS ke Cina. Detroit memilikinya dalam jumlah terbesar dibanding seluruh kota lain di dunia. Di tempat lain, logam-logam rongsokan itu digunakan untuk membangun apa yang dulunya pernah ada di sini, untuk menciptakan infrastruktur yang memungkinkan para bos meraup laba yang lebih tinggi. Dalam kosakata dari masa yang lain: ‘Eksploitasi yang dihasilkan melalui tingkatan nilai-lebih yang lebih tinggi’
Tapi jangan salah: pelbagai konflik dan harapan baru akan muncul seiring munculnya pabrik-pabrik baru.***
Marcello Musto (1976) adalah Professor bidang Teori Sosiologi di York University (Toronto), Kanada. Ia telah menulis banyak buku dan artikel yang diterbitkan di lebih dari 20 bahasa. Di antaranya ia mengedit beberapa volume seperti Karl Marx’s ‘Grundrisse’: Foundations of the Critique of Political Economy 150 Years Later (Routledge, 2008); Marx for Today (Routledge, 2012); Workers Unite!: The International 150 Years Later (Bloomsbury, 2014). Ia juga menulis buku Another Marx: Early Manuscripts to the International (Bloomsbury, 2018) dan The Last Marx (1881-1883): An Intellectual Biography (forthcoming 2019). Tulisan-tulisannya tersedia di www.marcellomusto.org. Buku terbarunya dalam bahasa Indonesia berjudul, Marx Yang Lain, akan diterbitkan dalam waktu dekat oleh penerbit Marjin Kiri.
Artikel ini diterjemahkan oleh Daniel Sihombing.