Ilustrasi: Jonpey
Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 sempat ditunda selama tiga bulan akibat wabah Covid-19 yang melanda Indonesia. KPU RI menetapkan penundaan dari pusat untuk seluruh wilayah yang menyelenggarakan Pilkada.
Perencanaan Pilkada Serentak kemudian dilanjutkan kembali pada pertengahan Juni sehubungan dengan kesepakatan antara Pemerintah, DPR, dan KPU RI. Sebagai konsekuensi penundaan selama tiga bulan, tanggal pemungutan suara digeser dari 23 September menjadi 9 Desember.
Pemerintah kukuh melanjutkan Pilkada dengan empat alasan. Pertama, demi memacu pertumbuhan ekonomi di daerah. Menurut Pemerintah, pelaksanaan Pilkada merangsang pertumbuhan ekonomi di daerah. Pasalnya, 60 persen anggaran yang diperuntukkan bagi honorarium petugas penyelenggara pemilu dinilai bisa membantu ekonomi masyarakat. Pembelanjaan alat peraga kampanye (APK), bahan kampanye, dan alat pelindung diri (APD) oleh kandidat juga diyakini akan mendorong ekonomi lokal.
Alasan kedua adalah kesulitan mencari penjabat sementara kepala daerah untuk 270 daerah serta keterbatasan wewenang Pelaksana tugas atau Plt.
Ketiga, sebagai insentif bagi penanganan Covid. Petahana kepala daerah diduga akan mengupayakan penanganan Covid di daerahnya agar masyarakat pemilih tak memberikan hukuman dengan tidak memilihnya lagi karena penanganan Covid yang buruk.
Keempat, negara lain terbukti dapat menyelenggarakan pemilu di masa pandemi.
Alasan-alasan tersebut sebetulnya dapat disanggah. Untuk alasan yang pertama, kita bisa melihat hasil riset dari The Indonesia Institute tahun 2018. Riset itu menunjukkan bahwa Pilkada Serentak hanya menyumbangkan pertumbuhan ekonomi sebesar kurang dari 1 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Untuk alasan kedua, mencari penjabat kepala daerah tentu tak sulit. Setiap kepala dinas di daerah atau pejabat pratama di daerah dapat menjadi penjabat sementara kepala daerah. UU Pilkada No.10/2016 Pasal 201 juga menjadi gambaran bahwa Pemerintah dan DPR telah menyiapkan regulasi untuk situasi yang membutuhkan pejabat kepala daerah dalam jumlah besar. Pasal 201 menyebutkan bahwa tidak ada Pilkada di tahun 2022 dan 2023, dan semua Pilkada disatukan di 2024. Artinya, ada 271 penjabat yang dibutuhkan sampai Pilkada Serentak 2024.
Alasan ketiga lebih-lebih telah disanggah oleh fakta bahwa per 11 November, dari data yang dipublikasi oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), 24 petahana kepala daerah dan wakil kepala daerah positif Covid selama tahapan Pilkada. Jumlah ini merupakan bagian dari fakta bahwa 70 calon kepala daerah positif Covid. Bahkan, dari catatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), 6 bakal calon kepala daerah dan calon kepala daerah meninggal akibat Covid-9.
Alasan terakhir, yaitu bahwa karena negara lain dapat menyelenggarakan pemilu di masa pandemi maka Indonesia juga bisa, tentu tak akan keluar dari mulut seseorang yang membaca dan menganalisis hasil kajian Internasional Institute for Democracy and Electoral Assitance (IDEA) mengenai faktor-faktor lanjut-tunda pemilu di masa pandemi di negara-negara lain. Laporan tersebut menyebutkan lima faktor yang menjadi alasan mengapa 56 negara tetap menyelenggarakan pemilu di masa pandemi. Lima faktor itu adalah sebagai berikut: (a) kasus Covid-19 tidak tinggi dan Pemerintah mampu menangani kasus Covid-19 dengan baik; (b) tahapan pemilu telah berjalan jauh sebelum Covid sehingga tidak ada banyak tahapan pemilu yang beresiko menjadi kluster penularan Covid; (c) pemilu yang dilaksanakan merupakan pemilu nasional; (d) negara memiliki mekanisme pemilihan lain selain cara konvensional memilih di TPS; dan (e) seluruh daerah di negara tersebut memiliki jaringan internet yang relatif baik untuk bisa menjangkau pemilih melalui kampanye digital.
Selandia Baru yang melaksanakan Pemilihan Umum pada bulan Oktober, misalnya, berada di urutan ke 155 dari 215 negara di dunia dengan tingkat positif Covid-19 terbanyak. Berbeda dengan Indonesia yang pada saat yang sama berada di peringkat ke-21, setelah Filipina dan Jerman. Begitu pula dengan Korea Selatan yang pada saat Pemilihan Anggota Parlemen dilaksanakan jumlah kasus ada sekitar 20an ribu. Korea Selatan juga memiliki mekanisme pemilihan via pos dan pemilu pendahuluan sehingga dapat memecah kerumunan pada hari pemungutan suara.
Poinnya, segala alasan yang disampaikan Pemerintah untuk injak gas Pilkada Serentak sebetulnya dapat disanggah. Namun, Pilkada jalan terus dengan perhatian yang minim pada kesehatan dan keamanan pekerja penyelenggara pemilu, terutama penyelenggara pemilu ad hoc atau penyelenggara pemilu yang direkrut untuk masa waktu kerja tertentu, yang pekerjaannya banyak berkontak langsung dengan masyarakat.
Minimnya Perhatian pada Pekerja Penyelenggara Pemilu
Pada hari Kamis, 3 Desember lalu, saya mendapatkan kiriman meme yang berisi sindiran terhadap sosialisasi KPU RI mengenai layanan hak pilih bagi warga yang menjalani isolasi atau dirawat di rumah sakit karena mengidap Covid-19. Meme tersebut pada intinya menyampaikan bahwa kepentingan oligark agar Pilkada Serentak 2020 jalan terus lebih diprioritaskan ketimbang urusan nyawa rakyat. Tidak tanggung-tanggung, meme tersebut menggunakan kalimat yang frontal. “Sabar ya pak, jangan mati dulu ya pak, nyoblos sebentar saja dulu, nanti setelah nyoblos mati gapapa.”
Kritik bernada satir dalam meme tersebut, menurut saya, masih kurang lengkap. Semestinya, titik tekannya tidak hanya pada pemilih pengidap Covid-19 yang akan dilayani hak pilihnya, yang banyak di antaranya kemungkinan merupakan kelas pekerja, melainkan juga pada pekerja pemungutan suara yang berada di garis depan penyelenggaraan Pilkada di masa pandemi, yakni KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) dan Pengawas TPS.
Kerja KPPS dan penyelenggara pemilu ad hoc lainnya yakni Panitia Pemutakhiran Daftar Pemilih (PPDP), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Pengawas TPS, Panitia Pengawas Keluarahan (Panwaskel) dan Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam), memang seringkali luput dari perhatian. Eksistensinya sebagai pekerja dengan hak-hak tertentu tertutupi dengan slogan “Pengabdian untuk Negara” yang terdengar semakin ironis saat Pilkada dipaksakan penyelenggaraannya di masa pandemi. Terlebih lagi, mulai bermunculan kabar KPPS yang positif Covid-19, dan posisi mereka sebagai KPPS harus segera digantikan agar tidak menularkan virus tersebut. Cara pandang demikian betul-betul mencerminkan cara kerja sistem ekonomi kapitalisme, di mana tenaga kerja yang tak lagi “berdaya” cipta harus segera digantikan dengan tenaga kerja baru yang siap untuk digunakan kembali.
Eksploitasi. Semestinya istilah eksploitasi-lah yang digunakan untuk menggantikan istilah yang begitu heroik: pengabdian. Menjadi KPPS di masa pandemi berarti dieksploitasi negara.
Lucu bukan? Dengan imajinasi pemerintah bahwa pemberian upah untuk penyelenggara ad hoc dapat menggerakkan perekonomian di berbagai daerah, KPPS beserta penyelenggara ad hoc lainnya didorong untuk “berpartisipasi” lewat kerja pengabdian, berjibaku dalam penyelenggaraan Pilkada di masa pandemi yang membahayakan kesehatan karena pandemi yang masih melanda.
Berapa upah KPPS di Pilkada Serentak 2020? Dari keterangan yang diberikan oleh anggota KPU Kota Depok, Kholil Pasaribu, upah Ketua KPPS 650 ribu dan anggota KPPS 550 ribu untuk masa kerja satu bulan.
Nasib PPS (Panitia Pemungutan Suara), panitia penyelenggara di tingkat kelurahan atau desa, dan PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) tak berbeda jauh dengan KPPS. Dengan masa kerja 7 bulan, ketua PPK diupah sebesar 2,2 juta rupiah dan anggota PPK 1,9 juta rupiah per bulan. Sementara PPS, menurut seorang kawan yang saat ini menjadi PPS untuk Pilkada di Kota Tangerang Selatan, diupah 1,1 juta rupiah per bulan dengan masa kerja 6 bulan plus 2 bulan jika ada sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi.
Kerja sebagai penyelenggara pemilu ad hoc, pada tahapan tertentu, memang terbilang sebagai pekerjaan yang cenderung bisa disambi. Upah pekerjaan sebagai PPS dan KPPS bisa jadi uang jajan tambahan bagi mahasiswa atau kaum muda yang sedang menunggu panggilan kerja. Namun, pada masa-masa puncaknya, pekerjaan sebagai penyelenggara ad hoc sangat menyita waktu. Berdasarkan cerita dari teman-teman yang pernah menjadi PPS, terkadang mereka harus bertugas pada hari Sabtu dan Minggu. Bahkan jam malam untuk istirahat pun mesti dikorbankan untuk kegiatan mendadak dari KPU. Pengawas di setiap tingkatan juga mesti selalu siaga mengawasi pelanggaran pemilu atau pelanggaran terhadap protokol kesehatan di masa kampanye. Oleh karena itu, menggeser label kerja sebagai penyelenggara pemilu ad hoc ke ranah “pengabdian” sebetulnya telah menginformalisasi mereka yang sebenarnya merupakan pekerja formal.
Betul, mereka sejatinya adalah pekerja formal. Sebab PPK, PPS, KPPS, Panwascam, Panwaskel, dan Pengawas TPS diangkat dengan Surat Keputusan Pengangkatan dan menerima upah yang telah ditentukan. Namun, mereka menjadi rentan dan terinformalisasi karena tidak menerima hak-hak dasar sebagai pekerja, seperti jaminan kesehatan (jamkes).
Di dalam Undang-Undang Pilkada, baik di UU No.1/2015, UU No.8.2015, maupun UU No.10/2016, tidak ada norma tentang jaminan kesehatan bagi penyelenggara pemilu ad hoc. UU mengenai Ketenagakerjaan juga tak menjadi acuan saat itu untuk menjamin jamkes bagi pekerja penyelenggara pemilu ad hoc.
Saya pernah mengikuti rapat dengar pendapat yang membahas anggaran Pilkada. Beberapa anggota Komisi II DPR RI dan KPU RI meminta agar pemerintah memberikan jaminan kesehatan kepada penyelenggara pemilu ad hoc, namun Kementerian Keuangan tak dapat memberikan jamkes dengan alasan ketiadaan anggaran. Alasan ini merupakan alasan yang berulang kali disampaikan pemerintah pada saat pembahasan anggaran Pemilu Serentak 2019.
Karena tidak dianggarkannya jamkes oleh Kementerian Keuangan untuk penyelenggara pemilu ad hoc, maka tidak ada satu pun aturan, baik di surat keputusan ataupun surat edaran KPU, yang menjanjikan jamkes kepada penyelenggara pemilu ad hoc. Secara nomenklatur, hanya ada istilah santunan, bukan jamkes. Pada Pemilu 2019, santunan diberikan kepada penyelenggara pemilu yang meninggal karena tugas atau kecelakaan atau mengalami cacat atau keguguguran selama bertugas . KPPS pun hanya diberikan fasilitas rapid test sebelum bertugas, bukan swab test. Swab test hanya akan diberikan kepada penyelenggara pemilu ad hoc yang hasil rapid test-nya menunjukkan hasil reaktif.
Warga yang sedang menjalani isolasi mandiri atau dirawat di rumah sakit akibat Covid-19 tetap dilayani hak pilihnya agar tak ada satu suara pun yang tertinggal. KPPS, Pengawas TPS, dan saksi kandidat yang akan menjalankan tugas mendatangi pemilih tersebut dengan tingkat kerawanan tinggi, mengingat tak sedikit tenaga medis yang terpapar Covid-19 akibat berkontak dengan pasien Covid-19. Jadi, Pilkada yang terus berlanjut di masa pandemi tentu sangat beresiko bagi kesehatan pekerja penyelenggara pemilu yang akan menjemput suara pemilih positif Covid.
Tak hanya penyelenggara pemilu, saya sebagai pekerja di LSM yang mengusung isu pemilu dan pekerja media yang harus meliput pemilu pun juga ketar-ketir ketika bertugas di masa pandemi. Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) pernah menyelenggarakan diskusi dengan topik perlindungan jurnalis dalam meliput Pilkada pada 5 Oktober mengingat ada 242 jurnalis dan pekerja media yang dinyatakan positif Covid sejak 30 Maret hingga 18 September 2020.
Memang diskusi-diskusi dan banyak kegiatan lain sehubungan dengan Pilkada telah beralih ke metode daring, namun kegiatan-kegiatan yang mengharuskan mereka untuk datang secara langsung ke lokasi terkait tetap ada,seperti kegiatan simulasi pemungutan dan penghitungan suara dengan protokol kesehatan, dan simulasi dan uji coba Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap). Kegiatan tersebut pasti diminta untuk dipantau atau diliput.
Jika seseorang memiliki kendaraan pribadi atau bisa mengemudikan kendaraan pribadi, ia terbilang beruntung. Namun, banyak buruh LSM pemilu lainnya, yang seperti saya, harus menggunakan kendaraan umum demi menghemat uang dan waktu. Tidak ada fasilitas swab test berkala bagi buruh LSM yang ditugaskan untuk memantau kegiatan Pilkada seperti halnya teman-teman buruh media. Kalaupun diberikan, tersedianya fasilitas ini sangat mengandalkan kepedulian dari sosok direktur LSM terkait.
Partisipasi dalam Pilkada di masa pandemi bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Dorongan bagi masyarakat umum untuk turut aktif mengawal Pilkada rasa-rasanya menjadi suatu hal yang tidak lumrah, jika tak mau dibilang konyol. Mungkin ini memang kekonyolan yang disengaja oleh penguasa yang terus menginjak pedal gas Pilkada.
Di daerah-daerah dengan pasangan calon tunggal, muncul gerakan organik dari masyarakat yang kecewa dengan partai politik dan elit-elit politik. Di Kebumen misalnya, ditengah minimnya sosialisasi kolom kosong oleh KPU, Relawan Kotak Kosong berkampanye seadanya, mengingatkan masyarakat untuksadarterhadap aturan bahwa paslon tunggal tak mesti dipilih.
Di Humbang Hasundutan, inisiatif melawan rezim elit lokal disampaikan melalui lagu berjudul “Kotak Kosong”. Beberapa penggal liriknya berbunyi, “Melawan rezim pembungkam demokrasi, pemborong partai demi kepentingan. Marilah kawan rapatkan barisan, melawan elit politik yang serakah.”
Di Pilkada dengan paslon tunggal yang ada di 25 daerah, tentu golput saja bukanlah pilihan tepat. Masyarakat yang tergerak untuk melawan kuasa elit di daerah perlu menggunakan instrumen “Kolom Kosong” sebagai bentuk perlawanan politik yang efektif. Setelah itu, paslon alternatif perlu diupayakan dan diusung oleh masyarakat untuk ikut Pilkada jilid dua dari jalur perorangan. Singkat kata, memenangkan kolom kosong di Pilkada merupakan ujian tersendiri bagi gerakan rakyat di daerah untuk memobilisasi gerakannya guna melawan kuasa elit dan menggantinya dengan kuasa rakyat. Ini bukan ujian yang mudah, mengingat gerakan rakyat berhadapan dengan gerakan elit yang disokong mesin partai dengan segala sumber dayanya. Di 25 daerah berpaslon tunggal, mayoritas calon tunggal merupakan petahana yang mengandalkan basis massa suatu partai.
Pilkada di masa pandemi hampir-hampir menggerus semua ruang gerakan rakyat di daerah. Mengusung calon alternatif dari jalur perorangan amatlah sulit. Kesulitan makin bertambah ketika upaya ini dilakukan di masa pandemi. Akibatnya, jumlah daerah berpaslon tunggal meningkat dari 16 daerah di Pilkada Serentak 2018, menjadi 25 daerah di 2020.
Pilkada paslon tunggal tentu merugikan masyarakat, sebab paslon yang memborong seluruh dukungan dari partai-partai politik atau mayoritas partai pemilik kursi di parlemen akan membuat pemerintahan hasil Pilkada paslon tunggal sangat sarat dengan transaksi kebijakan. Paslon tunggal juga menjadi cermin dari kuatnya oligark atau elit di daerah yang memastikan kemenangannya sejak awal dengan memborong dukungan dari semua partai. Kenyataan ini juga menampilkan wajah buruk proses kaderisasi yang dilakukan partai politik, menunjukkan pendekatan pragmatis partai, dan merupakan dampak dari regulasi yang mengharuskan dukungan minimal 20 persen kursi partai di parlemen daerah untuk dapat mengusung pasangan calon.
Memang ada daerah berpaslon tunggal yang kampanye kolom kosongnya dimobilisasi oleh partai politik atau elit politik yang gagal mencalonkan diri di Pilkada. Di Pilkada Kota Makassar 2018, gerakan kampanye kolom kosong dimobilisasi oleh paslon yang dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar. Di Pilkada Raja Ampat 2020, dari informasi yang saya dapatkan dari anggota KPU Raja Ampat dan percakapan dengan warga sekitar Raja Ampat, kampanye kolom kosong digerakkan oleh salah satu partai yang tidak bisa mengusung pasangan calon karena tak cukup kursi di parlemen. Namun faktanya, di beberapa daerah, gerakan rakyat yang organik itu masih ada, meski dalam skala yang amat kecil dengan segala sumber daya gerakan yang terbatas.
Pentinglah bagi gerakan rakyat untuk segera memulai gerakan politik yang terorganisir. Rangkaian demonstrasi mahasiswa dan buruh menentang Omnibus Law bukannya mustahil untuk didata, dipetakan dan dikelola menjadi dukungan politik di daerah agar Pilkada langsung menjadi ruang bagi tampilnya calon-calon alternatif. Dengan begitu, Pilkada tidak senantiasa menjadi ajang pertarungan orang-orang paling berkuasa di berbagai daerah.
Pilkada yang dijalankan di masa pandemi ini, dengan para pekerja di garis depan, semoga menyadarkan para pihak yang berwenang untuk memperhatikan hak-hak pekerja penyelenggara pemilu ad hoc. Mereka sungguh tak mendapatkan perhatian di setiap pemilu atau pilkada yang diselengarakan. Anggaran untuk memfasilitasi kampanye kandidat seperti APK, bahan kampanye, dan iklan kampanye di media selalu diberikan oleh Pemerintah karena terdapat norma di UU Pilkada dan UU Pemilu. Namun, jamkes bagi pekerja penyelenggara pemilu tak dianggarkan, setidaknya pada Pemilu Serentak 2019 dan Pilkada Serentak 2020.
Dorongan untuk menjamin hak pilih pemilih positif Covid juga mempertaruhkan kesehatan dan keamanan KPPS, petugas saksi paslon, dan pengawas TPS. Sebab, kampanye agar tidak ada satu pun hak pilih yang tertinggal mesti dijalankan oleh KPPS, petugas saksi paslon, dan pengawas TPS yang mau tak mau mesti berkontak langsung dengan pasien positif Covid. Pilkada di masa pandemi ini jelas mempertaruhkan kesehatan dan nyawa para pekerja kesehatan, kepemiluan, dan media.***
Nurul Amalia Salabi, Pegiat Perludem.