Ilustrasi: Illustruth
TEH LIA adalah ibu rumah tangga pada umumnya. Dia tidak biasa menyampaikan pendapat di depan banyak orang, apalagi berorasi. Tapi pada hari itu dia dengan terbata-bata berbicara, mengungkapkan perasaan, kesedihan sekaligus kemarahan kepada Pemerintah Kota Bandung yang telah bertindak sewenang-wenang—menggusur rumahnya di RW 11 Tamansari, Bandung, Jawa Barat. Sejak 2017 Lia dan para warga berjuang mempertahankan tanah dan rumah yang akan digusur karena proyek rumah deret (rudet).
Pada 12 Desember 2019, Pemkot Bandung akhirnya menggusur paksa kawasan tersebut. Sekurang-kurangnya 1.260 aparat gabungan baik Satpol PP, polisi dan tentara terlibat. Penggusuran dilakukan dengan penuh kekerasan hingga melukai beberapa warga dan mereka yang bersolidaritas. Parade kekerasan ini dipertontonkan langsung kepada anak-anak. 13 rumah yang tersisa sudah tergusur dan rata dengan tanah.
Walaupun begitu, perjuangan menuntut hak atas tanah dan ruang hidup tetap berlanjut. Pada 20 Juni 2020, Forum Juang Tamansari Bandung—yang terdiri dari warga dan mereka yang bersolidaritas—mengadakan peringatan tiga tahun perjuangan di atas puing-puing bangunan. Sebuah pesan yang dengan lantang menegaskan bahwa mereka masih melawan.
Sebanyak 90 rumah yang dihuni oleh 174 kepala keluarga di kawasan itu akan digantikan gedung rudet. Satu gedung, terdiri dari 160 unit tipe 30, akan disewakan kepada warga yang rumahnya telah digusur. Kemudian gedung yang lebih besar terdiri dari 319 unit tipe 39 dengan fasilitas lebih baik akan disewakan kepada masyarakat menengah ke atas.
Terlihat jelas orientasi sebenarnya dari Pemkot Bandung dalam proyek rudet ini—yang seringkali diganti menjadi ‘apartemen’ oleh Wali Kota Bandung saat itu, Ridwan Kamil. Faktanya Tamansari terletak di pusat kota. Lahan sestrategis itu terlalu mubazir kalau hanya menjadi pemukiman warga menengah ke bawah. Membangun apartemen tentu akan mendatangkan keuntungan berkali-kali lipat.
Orientasi bisnis semakin kentara karena sejak awal proyek dirancang sepihak tanpa mendengar aspirasi warga. Sosialisasi tidak dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan dan tanpa konsultasi publik.
Status tanah pun masih dalam sengketa karena Pemkot Bandung tidak memiliki alas hak—salah sat syarat untuk mengajukan permohonan hak atas tanah. Di sisi lain, beberapa warga memiliki persil tanah yang dikeluarkan oleh Dinas Perantjangan dan Perentjanaan Kota Bandung pada tahun 1963. Dalam persil jelas disebutkan tanah Tamansari adalah tanah yang dikuasai negara atau tanah negeri bebas.
Warga Tamansari tidak berjuang sendiri melawan penggusuran. Berbagai organisasi turut serta terlibat dalam advokasi, dari mulai organisasi mahasiswa, pelajar serta pemuda yang ada di Bandung dan sekitarnya—atau dikenal dengan istilah ‘kolektif’. Beberapa kolektif yang terlibat di antaranya adalah Kolektifa, Pembebasan, Rumah Lentera, Angin Malam, Airnisme, Aliansi Pelajar Bandung hingga Bandung Supporter Alliance (BSA).
Jaringan organisasi non pemerintah juga turut serta, seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Pusat Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Jabar, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jabar, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Wakca Balaka dan Agrarian Resources Centre (ARC).
Keterlibatan kolektif-kolektif tersebut memberi warna lain dibanding advokasi pada umumnya. Apa yang dilakukan mereka tidak hanya berkutat soal memenangkan perkara. Advokasi diTamansari menjelma menjadi gerakan politik yang tidak hanya menuntut hak atas rumah atau tempat tinggal, tetapi juga gerakan pendudukan—sebuah gerakan perkotaan untuk mempertahankan ruang hidup alternatif.
Dalam rangka memperkuat
perjuangan warga serta membangun solidaritas publik yang lebih luas, gerakan
solidaritas melakukan aktivasi ruang di Tamansari. Aktivasi ruang adalah
istilah yang dipakai kolektif untuk merujuk berbagai kegiatan di titik konflik
yang tujuannya untuk memperkuat perlawanan warga. Lahan bekas reruntuhan rumah
yang berada di tengah pemukiman dibentuk sebagai tempat berkumpul dan mengadakan
berbagai kegiatan.
Tamansari lantas menjadi episentrum bagi gerakan sosial di Bandung untuk konsolidasi. Di ruang ini kegiatan-kegiatan dilakukan secara rutin, misalnya rapat, diskusi, pameran, nonton film bareng, ‘lapakan kolektif’, panggung seni, pasar mingguan hingga pengajian. Setiap kolektif dapat mengadakan kegiatan apa pun selama sejalan dengan prinsip-prinsip yang telah disepakati bersama, yaitu pro-demokrasi dan kesetaraan, anti kapitalisme serta tidak ada keterlibatan unsur pemerintah apalagi aparat.
Aktivasi ruang tak hanya diperuntukkan bagi internal warga atau kolektif, tapi juga publik. Misalnya, untuk menyikapi agenda Pemilihan Presiden, kolektif dan warga membuat Panggung Rakyat Golput pada 13 April 2019. Di tengah polarisasi masyarakat akibat manuver-manuver elite politik yang berkontestasi, kolektif Tamansari menawarkan pilihan alternatif kepada publik: yaitu tidak memilih alias golput. Tercatat 26 kolektif terlibat, terdiri dari serikat buruh, kaum miskin kota, gerakan perempuan, dan gerakan mahasiswa serta pelajar.
Posisi golput dipilih karena mereka menganggap pilpres hanyalah kompetisi antara kelompok oligarki dengan oligarki lain untuk mendapatkan kekuasaan. Kedua pasangan calon yang berkompetisi, Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, didukung oleh perusahaan-perusahaan pelaku perusakan lingkungan dan perampasan ruang hidup rakyat. Kedua calon juga merupakan pelaku atau setidaknya pelindung pelanggar HAM.
Kegiatanini tidak hanya mengkritisi agenda pemilu, tapi juga menjadi momentum konsolidasi rakyat dan seluruh gerakan sosial untuk menghadapi ancaman perampasan ruang hidupoleh penguasa.
Masih pada tahun lalu, Tamansari juga menjadi tempat diselenggarakannya Festival Kampung Kota (FKK). FKK merupakan festival gotong royong dari berbagai kolektif yang ada di Bandung dan sekitarnya, diadakan di tempat-tempat konflik ruang antara warga dan pemerintah atau pengusaha. Tamansari disulap menjadi venue event yang estetik. Tembok-tembok sisa reruntuhan rumah penuh dengan guratan mural dari para seniman lokal. Ruang-ruang tanpa atap yang tersisa menjadi galeri seni foto, kolase dan berbagai seni rupa lainnya.
FKK diselenggarakan pertama kali pada 2017 di Dago Eloswarganya juga sedang berhadapan dengan konflik tanah. Tujuan utama acara ini adalah mengampanyekan isu sosial terutama perampasan ruang hidup kepada masyarakat umum.
Setidaknya 28 kolektif dan lembaga bergotong-royong
menyelenggarakan festival ini. Setiap kolektif bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan kegiatan yang mereka usulkan. Berbagai acara diadakan selama
satu bulan penuh, seperti diskusi, workshop,
pameran, pemutaran film, gigs musik, ‘lapak
baca’, hingga apresiasi sastra.
Sejak FKK, hampir setiap pekan, Tamansari dipadati oleh anak-anak
muda Bandung. Dengan berbagai variasi kegiatan, festival ini berhasil
mengundang masyarakat luas terutama anak muda di luar ‘lingkaran gerakan’ untuk
terlibat. FKK pun mengukuhkan Tamansari sebagai ruang konsolidasi berbagai
elemen gerakan baik
dari dalam maupun dari luar Bandung.
Masih banyak kegiatan lain yang dibuat warga dan kolektif dalam
rangka mengaktivasi ruang Tamansari. Ruang ini juga menjadirahimlahirnya
aliansi/kolektif baru,
seperti Aliansi Rakyat Anti Penggusuran(ARAP), Bandung
Supporter Alliance (BSA)dan Suara Perempuan Bandung.
Semua yang terjadi ini membuat keberadaan Tamansari menjadi sangat penting bagi perkembangan gerakan sosial di Bandung. Lebih dari itu, mereka yang terlibat juga secara langsung mendefinisikan ulang apa itu ruang publik.
Lefebvre (1991) membagi dua konsep ruang: ruang representation (planned,controlled, ordered space) dan ruang representational (appropriated, lived space, space-in-use). Hampir semua ruang rublik awalnya dirancang sebagai ruang representation, termasuk taman atau area pejalan kaki (Harvey, 1993; Hershkovitz, 1993, Sorkin, 1992). Ruang-ruang yang telah disediakan dan diregulasi oleh pemerintah ini tujuannya untuk hiburan semata atau rekreasional. Ruang-ruang ini dapat dikontrol sedemikian rupa, termasuk pembatasan terhadap aktivitas dan aksesnya.
Namun, ketika masyarakat memanfaatkan ruang publik untuk tujuan-tujuan politis—menuntut hak-hak mereka sebagai bagian dari publik—ruang tersebut menjadi ruang representational. Ruang rublik, dengan demikian, fungsinya berubah sebagaimana masyarakat merepesentasikan dirinya sendiri.
Dalam suatu masyarakat demokratis, ruang publik menjadi aspek yang sangat penting terutama bagi mereka yang termarjinalkan dan hanya menjadi objek pembangunan. Ketika ruang-ruang aspirasi formal tidak memberikan akses kepada mereka untuk menuntut hak atau sekadar menyampaikan pendapat, maka rakyat dapat menciptakan ruang sendiri untuk menuntut hak sosial-politik. Di ruang itu mereka akan dilihat dan didengar.
Dengan mengklaim ruang, dengan menciptakan ruang publik, kelompok sosial tersebut dengan sendirinya juga mengklaim hak mereka sebagai bagian dari publik (Don, 2003).
Aktivasi ruang yang dilakukan oleh warga dan solidaritas menjadikan Tamansari sebagai ruang publik representational; ruang untuk menyuarakan aspirasi tentang masalah demokrasi dan kerakyatan yang semakin terdesak oleh kepentingan oligarki. Warga Tamansari yang terdesak oleh kebijakan pembangunan yang anti demokrasi bersinergi dengan gerakan sosial lain yaitu gerakan buruh, perempuan, tani, mahasiswa dan pelajar. Oleh mereka, Tamansari diproduksi menjadi ruang publik yang sesungguhnya: sebuah ruang politik yang mendorong interaksi langsung; ruang di mana kekuasaan negara dan kepentingan modal dibatasi.
Di situlah demokrasi yang sesungguhnya terwujud, bukan hanya sebatas mencoblos pada pemilu lima tahun sekali.
Maka tidak heran jika Tamansari jadi ancaman bagi penguasa. Beberapa kali aksi kolektif direpresi oleh aparat dan pemerintah. Tamansari juga dituduh sebagai sarang anarko dan paham radikal. Akhir 2019, sempat bertebaran spanduk anti anarko hampir di semua kecamatan di Bandung. Tujuannya jelas: untuk mendiskreditkan gerakan solidaritas di Tamansari.
Rumah dan bangunan di Tamansari kini memang telah rata dengan tanah. Sebagian besar warga mengungsi ke mesjid dan tak jelas masa depannya. Namun, dengan segala keterbatasan tersebut, mereka tetap berjuang. Kegiatan-kegiatan seperti diskusi, screening film dan pembacaan doa tetap rutin dilakukan.
Pemkot Bandung memang berhasil meratakan bangunan di Tamansari. Namun api perlawanan tidak pernah padam dan terus menyebar ke berbagai pelosok daerah. Tamansari tetap menjadi ruang bagi warga dan gerakan sosial di Bandung menyuarakan perlawanan mereka terhadap kesewenang-wenangan penguasa. ***
Hirson Kharisma, lulusan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran; aktif di Aliansi Rakyat Anti Penggusuran (ARAP) Bandung bidang pendidikan; pengacara publik di LBH Bandung 2016-2019.