Ilustrasi: Jonpey
APA impian saya setiap kali hari Sumpah Pemuda datang?
Tidak, impian saya tidak muluk-muluk. Saya tidak memimpikan pecahnya revolusi pemuda, datangnya hari pengadilan untuk boomer yang memborong properti dan mengerek harganya ke langit ketujuh, atau turunnya juru selamat berusia di bawah 40 tahun.
Mimpi saya sederhana: para boomer tidak lagi menyanyikan lagu lama yang sumbang itu. Ketika saya terbangun di hari Sumpah Pemuda, saya berangan-angan, tidak ada lagi yang cuap-cuap bahwa milenial generasi kreatif, tak bisa diam, suka tantangan. Tidak ada pembawa acara yang menaruh masa depan bangsa di pundak milenial beseta kecerdikannya berinovasi. Dua puluh delapan Oktober hanya hari biasa yang selingannya ialah seremoni-seremoni menjemukan di berbagai instansi pemerintahan.
Tapi, bahkan mimpi sederhana itu masih terlalu muluk-muluk. Menteri Tenaga Kerja belum lama ini menegaskan pentingnya UU yang tak usah disebutkan namanya itu. Dan seperti yang mungkin sudah Anda tebak, pernyataannya adalah tentang milenial. Bedanya, pernyataan ini membuat saya ingin memaki-maki lebih dari semua pernyataan tentang milenial yang sudah-sudah.
“Sekarang anak-anak milenial kita tidak ingin terikat. Dia suka dengan tantangan baru,” ujarnya. “Memang dinamika jenis pekerjaan dan passion dari anak-anak milenial kita sekarang seperti itu [serba kontrak]. Itu yang harus diakomodasi di UU Cipta Kerja ini.”
Alamak.
***
Tahukah siapa saja yang Ibu sebut milenial itu?
Itu pertanyaan yang langsung terbersit di benak saya dalam kejengkelan berapi-api terhadap pernyataan Menaker. Namun, saya lantas sadar, milenial sendiri ialah satu idiom yang bermasalah—sangat bermasalah. Kapan terakhir Anda mendengar kata milenial sebelum dari pernyataan Menaker tersebut? Tak usah bilang. Biarkan saya menerkanya:
- Anda mendapatinya dari brosur properti “hunian milenial”.
- Anda membacanya dari artikel “milenial membunuh… [silakan masukan apa pun yang disukai boomer]”.
- Anda mendengarnya dari seminar memberdayakan generasi milenial sebagai aset masa depan bangsa.
- Anda memperolehnya dari ujaran politisi atau partai politik yang mengklaim mereka memberikan ruang bagi milenial.
Anda perlu tahu, tidak ada satu pun dari antara keempat penggunaan idiom milenial di atas yang memperlakukan generasi yang direpresentasikannya dengan benar. Semuanya adalah bagian dari politik bahasa yang garing sekaligus culas.
“Hunian milenial” adalah hunian sempit yang tak jarang cuma sebesar satu kamar, yang itu pun harus dibeli dengan cicilan dua puluh tahun. Pencicilnya pun masih harus dikerjai secara rutin oleh pengelola hunian. Promosi-promosi kurang ajar pengembang adalah manuver agar hunian memprihatinkan itu seakan didambakan oleh satu generasi. Judul-judul artikel “milenial membunuh…” ialah umpan klik yang tak bermutu. Mereka ingin menjelaskan perubahan yang disebabkan pergeseran teknologi, corak ekonomi, dan komodifikasi. Tapi, apa yang lebih mengundang pembaca kalau bukan judul yang mengambinghitamkan generasi yang lebih belia?
Dua hal yang terakhir saya sebutkan, yang biasanya digadang pejabat dan politisi, adalah klise milenial yang paling garing dan paling culas. Generasi milenial adalah aset bangsa?
No shit kalau pengertian aset adalah penggerak ekonomi. Jumlah mereka besar. Mereka tinggal, mencari makan, dan buang air di NKRI. Namun, adakah sekali saja mereka yang rajin cuap-cuap milenial ini membayangkan juga bagaimana kualitas hidup generasi bersangkutan nantinya? Tidak ada, setahu saya. Konsekuensi dari jargon teknokratis-pop ini adalah generasi “milenial” harus dieksploitasi sebaik-baiknya sebagai motor pertumbuhan, tak peduli jika pertumbuhan itu tidak tentu sejalan dengan kualitas hidup.
Milenial kini direpresentasikan dalam politik? Benar, partai politik konsisten menyuarakan itu. Benar, jumlah caleg anak muda melonjak dalam pemilu 2019. Tapi, kalau Anda sudah lihat siapa-siapa yang terpilih dari generasi ini di pileg DPR, Anda akan mengamini slogan-slogan partai politik tak lebih dari kosmetik elektoral.
Benar, ada nama seperti Angela Tanoesoedibjo yang masih berumur 32 tahun ketika ia diangkat sebagai Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Namun, saya tak perlu menjelaskan bagaimana ia tak duduk di sana untuk mewakili generasinya lebih dari mewakili keluarganya.
***
Nyaris semua ungkapan tentang milenial di dunia politik dan bisnis hari ini luar biasa menyesatkan. Ia cuma menyenangkan penuturnya ketimbang menggambarkan kenyataan.
Wajar belaka apologi menyakitkan hati yang melibatkan milenial diucapkan oleh Menaker ketika ia menjadi samsak buruh dan masyarakat sipil. Presidennya sendiri adalah yang mengalungkan identitas milenial pada sosok seperti Adamas Belvara, Putri Tanjung yang getol bikin startup di sana-sini dan nampaknya takut ikatan kelembagaan akan membatasi kelincahan mereka mengepul koneksi. Kolega-koleganya adalah yang setiap hari memperlakukan generasi ini sebagai objek—sebagai mereka yang harus dimanfaatkan untuk mencapai atau bahkan melampaui target pertumbuhan.
Yang ingin saya bilang adalah bagaimana kita menjelaskan membeludaknya peminat lowongan CPNS setiap kali ia dibuka bila anak muda mendambakan ketidakterikatan? Mengapa banyak dari jebolan segar perguruan tinggi memburu ikatan kerja hingga akhir hayat dalam institusi negara kalau mereka dianggap sebagai penggemar tantangan?
Jawabannya terlampau sederhana: ikatan itu juga berarti ketenangan hingga akhir hayat.
Kenyataannya, ketenangan adalah barang mewah di kalangan milenial. Mewah karena tagihan, cicilan, kebutuhan hidup keluarga selalu menggentayangi mereka. Mewah karena mereka konstan berdebar-debar—kontrak kerja mereka harus dimutakhirkan setiap beberapa minggu sekali. Dan mereka, saya yakin, akan jauh lebih marah dari saya ketika mendengar pernyataan Menaker.
Saya tak tahu berapa jumlah persis kelompok yang saya sebutkan ini. Yang saya tahu dan saya pasti benar tentang ini, mereka jauh lebih banyak dari milenial yang ada dalam kata-kata Menaker dan, jangan-jangan, di imajinasi Jokowi cs ketika merumuskan UU Cipta Kerja. Para minion di Istana, yang dielu-elukan sebagai ‘teladan’ milenial bagi presiden dan jajarannya, adalah kecelakaan sejarah yang sama sekali tak mewakili generasinya. Mereka terdiri dari penerima kebaikan hati investor gede, keluarga pembesar partai atau taipan, broker donor atau makelar politik. Kemungkinan seorang milenial biasa mendapatkan koneksi atau terlahir di keluarga yang tepat seperti mereka jauh lebih dekat ke nol persen ketimbang satu persen.
Karena nyaris nol persen, mereka pada dasarnya adalah representasi yang fiktif. Tapi, seperti kata seorang kawan, anggapan tentang milenial tak ayal mitos pribumi malas yang berkembang di antara kaum penjajah Belanda pada masanya. Anggapan ini tak berdasar dan menghilangkan kemanusiaan dari subjek yang dimitoskannya. Namun, yang penting adalah fungsinya: menyamankan perasaan elite ketika mereka melanggengkan ketimpangan.
Para birokrat Belanda tak perlu merasa bersalah telah memaksa masyarakat jajahannya membanting tulang, menanam komoditas yang ujung-ujungnya bakal disetor kepada mereka. Bila tidak demikian, dalam fantasi mereka, masyarakat jajahan hanya akan bermalas-malasan.
Para pejabat kita pun tak perlu merasa bersalah bila nantinya angkatan kerja baru kita disakiti dengan kerja kontrak silih berganti pasca UU Cipta Kerja. Milenial, toh, menikmati kebebasan.
***
Dalam beberapa hari ke depan, Anda hanya bakal semakin sering mendengar kata “milenial” dicetuskan. Anda tahu apa yang mesti dilakukan: sikapi mereka dengan kecurigaan yang meruah. Generasi yang gemar tantangan, Anda tahu, bisa jadi sekadar basa-basi agar Anda mau diobral negara ke perusahaan-perusahaan. Tanggung jawab sebagai masa depan bangsa bisa berarti Anda harus memikul target pertumbuhan para politisi tanpa harus peduli apakah Anda kelak mendapat kehidupan yang berkualitas.
Saya tahu satu sumpah yang dapat Anda ucapkan tahun ini untuk menimpali mitos milenial bila ia menghampiri Anda. Izinkan saya menutup tulisan ini dengannya.
Kami
Putra dan putri milenial
Mengaku bernasib satu
Kerja kontrak selamanya***
Geger Riyanto, Mahasiswa Ph.D. Institut Antropologi Universitas Heidelberg