Ilustrasi: Deadnauval
KITA akrab dengan hoaks di internet yang melibatkan penggambaran rasis tentang Tionghoa di Indonesia. Terakhir, ketika Bank Indonesia menerbitkan uang Rp75.000, muncul tuduhan bahwa uang tersebut memuat “pakaian adat Cina”. Sebagai bantahan, Bank Indonesia menyatakan bahwa pakaian adat yang dimaksud merujuk ke suku Tidung dari Kalimantan Utara.
Baik tuduhan dan klarifikasi sama-sama bermasalah: kenapa harus takut jika betul ada gambar orang Tionghoa di uang itu? Apakah Tionghoa yang telah tinggal ratusan tahun di sini tak pernah benar-benar dianggap sebagai bagian dari bangsa Indonesia, sehingga harus disingkirkan dari segala citraan adiluhung tentang kolektif bernama “bangsa”?
Sebagai seorang Tionghoa-Indonesia, saya kerap mendapatkan pertanyaan tentang buku bacaan seputar isu Tionghoa. Selain meminta bahan bacaan, tak sedikit juga yang bertanya-tanya apakah ada buku tentang Tionghoa-Indonesia yang bagus. Jujur, saya sendiri lumayan bingung harus memulai dari mana.
Sesungguhnya memang sulit sekali mencari buku serius yang membahas Tionghoa-Indonesia. Masalah rasisme dan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa sangat jarang sekali dibahas di dalam ruang-ruang pendidikan formal di Indonesia. Kalau pun ada buku tentang Tionghoa, pertanyaannya: apakah kita tertarik untuk membacanya?
Kita sulit sekali membuka dialog dan membahas persoalan Tionghoa secara jujur dan terbuka. Kita lupa bahwa masalah rasisme terhadap Tionghoa merupakan serangkaian penindasan sistemik yang terhimpun dari banyak faktor: sosial, politik, hingga ekonomi. Di sisi lain, kritik terhadap komunitas Tionghoa itu sendiri juga sangat diperlukan.
Saya akan memberikan lima rekomendasi buku yang khusus membahas isu Tionghoa-Indonesia. Setidaknya, daftar bacaan ini bisa membantu kita, para pembaca, untuk mengetahui gambaran umum secara singkat bagaimana kondisi masyarakat Tionghoa-Indonesia di ranah politik. Tentu masih banyak buku-buku lainnya yang layak dijadikan rujukan, namun, karena keterbatasan ruang artikel, saya memprioritaskan lima judul ini agar bisa dibaca oleh pubik luas dan akhirnya bisa menarik banyak orang lagi untuk membicarakan masalah Tionghoa-Indonesia.
1. Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches (1972)
Buku pertama adalah karya lawas dari Leo Suryadinata. Isinya semacam ensiklopedia ringkas mengenai tokoh-tokoh Tionghoa di Indonesia beserta biografi singkat mereka. Saya pikir buku ini layak dibaca sebagai pembuka mata kita semua bahwa tidak semua orang Tionghoa-Indonesia berkecimpung di bidang perdagangan. Kita akan banyak menemukan nama-nama yang turut terlibat dalam dunia jurnalisme, sastra, aktivisme, dan ikut andil dalam perkembangan sejarah Indonesia sebagai sebuah bangsa.
Kita tahu, selama ini stigma terhadap Tionghoa-Indonesia selalu merujuk pada stereotip “kekayaan”. Mereka dituduh “mata duitan”. Mereka digambarkan sebagai orang yang selalu mencari untung dalam setiap kesempatan. Tak bisa ditepis, memang banyak orang Tionghoa-Indonesia bergumul dalam dunia ekonomi dan bisnis, tapi itu bukan hukum besi.
Buku ini menyajikan betapa banyaknya orang Tionghoa-Indonesia yang aktif di luar urusan bisnis, lengkap dengan latar belakang kehidupan mereka. Leo berhasil memberikan gambaran secara luas bahwa banyak orang Tionghoa-Indonesia yang ahli di berbagai bidang, termasuk yang berkiprah di bidang politik dan memperjuangkan keadilan sosial secara luas.
2. Catatan Seorang Demonstran (1983)
Nama Soe Hok Gie tidak asing lagi bagi kalangan pelajar dan aktivis mahasiswa di Indonesia. Saya memasukkan buku Gie ke daftar nomor dua karena buku ini kerap menjadi rujukan bagi banyak aktivis yang bisa menggambarkan situasi era Sukarno dan Orde Baru. Menurut saya, buku ini bisa dikatakan semacam panduan ideal bagaimana seseorang yang terpelajar harus bersikap dengan segala tantangan yang dihadapi dalam pusaran politik yang kotor.
Buku ini berisikan puluhan catatan yang ditulis Gie dengan sangat intim. Ia mencurahkan segala pikiran dan sikapnya dalam buku tersebut. Adik kandung sosiolog Arief Budiman (Soe Hok Djin) ini mengkritik keras rekan-rekan seperjuangannya pada gerakan mahasiswa 1966 yang haus akan kekuasaan dan memilih menjilat pantat Orde Baru.
Menurut saya, yang menarik dari buku ini adalah upaya pencarian jati diri seorang Gie sebagai Tionghoa-Indonesia dan aktivis. Di beberapa bagian hidupnya, ia mengalami berbagai jenis diskriminasi karena etnisnya. Bahkan, ia pernah disebut sebagai “cina kecil”. Kendati demikian, Gie adalah seorang Indonesia yang sadar bahwa ia juga merupakan seorang Tionghoa. Hal tersebut terbukti saat dirinya aktif di salah satu di organisasi Tionghoa-Indonesia pada masa itu, Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB). Ia ikut ambil peran dalam pergulatan intelektual Tionghoa-Indonesia ketika diskriminasi dan rasisme terhadap komunitas Tionghoa memanas.
Karena hanya berfokus pada narasi reflektif atas diri Gie sendiri, menurut saya, di dalam buku ini penulis tidak cukup bisa menjelaskan kondisi Tionghoa di pusaran perpolitikan Indonesia. Dalam bukunya banyak sekali nama-nama tokoh Tionghoa yang agak samar. Ditambah, ia pun tidak menjelaskannya secara terperinci persaingan antara organisasinya, LPKB, dengan Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI).
3. The End of Silence: Accounts of the 1965 Genocide in Indonesia (2017)
Buku karya Soe Tjen Marching tentang pembantaian massal pada 1965-1966 di Indonesia saya masukkan ke dalam daftar nomor tiga. Kendati sudah banyak buku yang membahas bagaimana kejinya rezim Soeharto membunuh orang-orang tak bersalah pada tahun tersebut, saya melihat buku ini memiliki karakteristiknya tersendiri.
Di dalam buku ini, Soe Tjen berhasil mengumpulkan cerita-cerita dari para penyintas yang mengalami langsung tragedi tersebut. Cerita-cerita yang disampaikan pada buku ini merupakan kisah nyata dari penyintas. Buat saya rasanya sangat personal sekaligus menyedihkan. Betapa kejamnya sebuah negara membunuh rakyatnya sendiri. Peristiwa yang sebagian kalangan menyebutnya dengan “Genosida 65-66” ini menelan banyak sekali korban jiwa. Tidak ada yang tahu pasti berapa banyak nyawa yang ditelan dalam tragedi itu. Hingga saat ini, estimasi angka korban dari ratusan ribu hingga jutaan jiwa.
Di antara semua korban itu, masyarakat Tionghoa-Indonesia juga menjadi sasaran empuk. Beberapa penyintas yang bercerita di buku ini di antaranya adalah Tionghoa-Indonesia. Soe Tjen sendiri menulis sebuah sub bab khusus yang membahas itu berjudul “Soe Tjen Marching The Secret of My Name”, di mana ia bercerita tentang hubungan antara penulis dengan ayahnya.
4. Sumbangsih Siauw Giok Tjhan dan BAPERKI dalam Sejarah Indonesia (2000)
Buku nomor empat adalah kumpulan tulisan yang membahas pemikiran Siauw Giok Tjhan, salah satu pemikir gagasannya banyak berpengaruh terhadap hak politik Tionghoa-Indonesia. Siauw dikenal luas sebagai Ketua BAPERKI, organisasi yang sempat ribut dengan LPKB—wadah Soe Hok Gie bergiat. Namun, peran sosok Siauw sebenarnya lebih dari itu.
Beberapa penulis di buku ini datang dari aktivis, akademisi, dan Indonesianis, sehingga kita bisa melihat pemikiran Siauw dari sudut pandang yang berbeda. Salah duanya adalah Benny Setiono dan Arief Budiman (Soe Hok Djin, kakak kandung Soe Hok Gie). Menurut saya, buku ini cocok menjadi pengantar untuk mengenal seorang aktivis dan pemikir Tionghoa-Indonesia, Siauw Giok Tjhan.
Siauw, sebagai salah satu tokoh di BAPERKI, sangat berpengaruh dalam haluan pergerakan politik Tionghoa-Indonesia yang lebih condong ke politik kiri. Lewat organisasi itu, Siauw berhasil berkecimpung di dunia politik, bahkan dalam tataran politik praktis. Perannya sebagai seorang ketua organisasi memang banyak mendapatkan kritikan. Dalam buku ini, kita dapat membaca pemikiran dan kehidupan Siauw sebagai seorang tokoh kiri Tionghoa-Indonesia.
5. Anti-Chinese Violence in Indonesia: 1996-1999 (2006)
Dan yang terakhir, buku yang pantang dilewatkan adalah buku karangan Jemma Purdey. Jika kita melihat sejarah ke belakang, tragedi 13-15 Mei 1998 dalam pusaran gerakan reformasi masih menyimpan luka mendalam bagi banyak orang, terutama mereka yang berdarah Tionghoa. Kerusuhan terjadi di berbagai kota. Penjarahan dilakukan oleh orang-orang tidak dikenal. Sebagian toko-toko kecil milik Tionghoa-Indonesia terpaksa menuliskan “Milik Pribumi” agar tidak ikut dijarah. Pemerkosaan massal juga terjadi sebagai bentuk intimidasi dan ketakutan.
Salah satu momen sejarah kelam bangsa Indonesia itu yang masuk ke dalam pembahasan buku ini. Jemma melakukan analisis mendalam dengan berbagai sumber sejarah pada tahun 1996-1999, dengan pertanyaan besar: apakah ada sentimen anti-Cina terjadi di Indonesia?
Buku ini ingin menjelaskan pemahaman lebih dalam soal kekerasan rasial terhadap Tionghoa-Indonesia. Keadaan politik dan sosial pada masa itu turut menyebabkan kekerasan terjadi. Jemma berhasil menelusuri motif di balik kebencian terhadap Tionghoa-Indonesia. Sentimen anti-Cina ternyata dianggap sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari.
Studi di dalam buku ini seperti menyarankan kepada semua orang betapa pentingnya mendengar para penyintas tentang apa yang dialami oleh mereka. Saya pikir buku ini dapat membuka mata bagi orang-orang yang menganggap bahwa kekerasan rasial terhadap Tionghoa-Indonesia, termasuk pemerkosaan massal, sebagai suatu kebohongan. Ini dapat menjadi bukti kuat bahwa rasisme dan diskriminasi terhadap Tionghoa-Indonesia sangat mengakar sehingga menimbulkan korban jiwa.***
Sadina Palastri adalah penulis