Ilustrasi: Illustruth
PERAMPASAN ruang oleh industri ekstraktif terus memakan korban. Baik di wilayah hulu, yaitu wilayah operasional yang setiap hari mengeruk dan menghisap inti bumi untuk dijual dan diproduksi menjadi komoditas dan menambah keuntungan bagi segelintir orang; hingga tempat pengelolaannya di hilir.
Tuban, salah satu lumbung pangan Jawa Timur, menjadi salah satu lokasi perampasan ruang. Kilang Minyak Tuban akan menjadi proyek percontohan pengembangan infrastruktur nasional, selain Balikpapan dan Cilacap. Digadang-gadang lokasi ini akan menghasilkan 300 ribu barel minyak per hari. Inilah ambisi pemerintah memproduksi minyak secara efisien sehingga mendapatkan keuntungan besar.
Proyek ini sendiri seharusnya dimulai tahun lalu—situs Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) menyebut konstruksi direncanakan mulai tahun ini—dan ditargetkan selesai pada 2025.
Lahan pertanian produktif seluas 841 hektare terancam beralih fungsi akibat pembangunan kilang minyak milik PT Pertamina ini, yang nilai investasinya Rp199,3 triliun dan bersandar pada utang. Ini mempertaruhkan ketahanan pangan Indonesia yang terus defisit sehingga harus impor. Jika 0,5 hektare dapat memproduksi empat ton gabah, potensi yang hilang dari konversi 841 hektare ini mencapai 6.728 ton.[1]
Dari total 841 hektare lahan yang terancam terkonversi, 348 hektare di antaranya milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), PT Perhutani seluas 109 hektare dan sisanya, 384 hektare, milik warga.
Terdapat 799 petani penggarap pada lahan yang dikuasai oleh KLHK. Rata-rata petani menggarap 0,43 hektare lahan. Sementara pada lahan milik warga seluas 384 hektar yang tersebar di tiga desa, yakni Sumurgeneng, Wadung dan Kaliuntu, terdapat sekitar 800-900 petani—rata-rata mengerjakan 0,4-0,7 hektare.[2] Saat ini tinggal sekitar 50 hektare atau kira-kira 10 persen lahan yang belum ‘dibebaskan’. Di sana terdapat hampir 100 petani.
Kira-kira sebanyak itu pulalah petani yang bakal beralih profesi. Alih-alih menciptakan lapangan pekerjaan, pemerintah malahan menciptakan tentara cadangan kerja yang melimpah—situasi yang akan semakin melanggengkan praktik fleksibilitas tenaga kerja, serta akan memperbanyak pekerja rentan di sektor informal. Ini kontraproduktif dengan dalih-slogan “kesejahteraan rakyat” hingga “kedaulatan pangan” dan “keberlanjutan pangan” yang digaung-gaungkan pemerintah.
Semua situasi ini—potensi kehilangan lahan, pangan dan kehidupan begitu terpampang jelas—adalah dampak sementara yang dapat dipetakan. Belum lagi dampak-dampak lain, seperti hancurnya ekosistem.
Perampasan Ruang yang Difasilitasi Negara
Selain pihak yang beroperasi adalah korporasi pelat merah, perampasan ruang juga dimungkinkan karena keterlibatan negara lewat kebijakan tata ruang nasional, provinsi dan daerah.
Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, substansi kebijakan tersebut adalah mengamanatkan “pembangunan berkelanjutan” guna menunjang sektor pertambangan, salah satunya migas.
Menyambung ke RTRW Provinsi Jawa Timur, pada pasal 40 poin ke-6, Tuban masuk dalam wilayah pengembangan sarana dan prasarana terkait migas. Pasal 79 yang bicara soal kawasan pertambangan lebih vulgar: poin ke-6 menyebutkan bahwa Tuban adalah salah satu daerah yang diprioritaskan untuk pembangunan proyek strategis migas nasional. Lebih jauh, pasal 92 menyebutkan Tuban masuk dalam rencana Kawasan Strategis Nasional (KSN).
RTRW Kabupaten Tuban pun selaras dengan aturan di atasnya—dan lebih detail. Secara gamblang pada pasal 43 Perda RTRW Tuban menyebutkan Kawasan Peruntukan Pertambangan mencakup seluruh wilayah di Kabupaten Tuban. Lebih khusus lagi untuk wilayah Jenu masuk dalam skema pengembangan sarana-prasarana migas baik hulu maupun hilir. Ini disebutkan pada pasal 22 terkait Jaringan Pengembangan Sistem Energi.
Ringkasnya, penetapan ruang melalui rencana tata ruang terintegrasi dengan proyek strategis nasional. RTRW secara tidak langsung diciptakan untuk memfasilitasi industri ekstraktif dari hulu sampai hilir.
Selain lewat RTRW, perampasan ini juga dimungkinkan lewat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Peraturan ini sempat diuji materinya di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2012 karena dianggap melegalkan perampasan lahan, tapi tak dikabulkan.
Apa yang bermasalah dari peraturan ini adalah kriteria “kepentingan umum” yang sangat problematis. Dengan dasar peraturan ini dan dalih kepentingan umum, para petani Tuban terus dipaksa melepaskan tanahnya.
Berbagai cara digunakan otoritas yang berkuasa memaksa warga melepaskan lahannya. Pada 2 Agustus lalu, misalnya, polisi berseragam lengkap terjun ke lahan-lahan warga Desa Sumurgeneng, Jenu, untuk mengawal pengukuran tanah. 100 dari 1.200 bidang tanah milik warga belum diukur. Kehadiran aparat menyebabkan ketakutan yang teramat besar bagi warga yang menolak menjual tanah. Hal ini diakui oleh beberapa warga yang dapat dijumpai saat peristiwa tersebut terjadi.
Aparat selalu menggunakan UU 2/2012 untuk memaksa petani menyerahkan lahan mereka.
Sehari setelah pengukuran tanah, puluhan warga mendatangi Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tuban memprotes apa yang terjadi di lapangan. Mereka juga mengungkapkan bahwa pemerintah tidak adil, sebab warga dipaksa menyerahkan tanahnya, semua demi mega proyek kilang minyak.
Kriminalisasi pun kerap dilakukan untuk memuluskan rencana ini. Tiga warga penolak kilang minyak dikriminalisasi pada 22 Maret 2019. Atas nama hukum mereka ditahan atas sesuatu yang tidak jelas duduk perkaranya, sehingga mereka harus meringkuk dalam dinginnya penjara.
Tidak berselang lama kala Joko Widodo menghadiri peresmian pembangunan kilang minyak, tiga warga kembali diciduk saat ingin menyatakan penolakannya terhadap pembangunan dengan membentangkan spanduk. Polisi menahan mereka dan melarang aksi demokratis tersebut (Walhi Jatim, 2020).
Perlawanan seperti ini terus muncul dan tidak satu pun warga yang melepas lahannya. Namun, seiring semakin intensifnya kriminalisasi dan represi, kini pembebasan lahan hampir mencapai 90 persen. Para warga ketakutan dan tidak punya kekuatan untuk melawan kuasa negara. Aparat merusak kondisi psikis warga hingga melepaskan lahannya.
Watak Negara
Apa yang sebenarnya terjadi di balik ini semua? Pertama, soal bagaimana ruang dimaknai; kedua, perkara hukum yang kabarnya berdiri di atas semua kepentingan.
Dari kasus Tuban watak negara terlihat jelas. Mereka menciptakan ruang untuk kepentingan kelas tertentu, dalam hal ini kapitalis, untuk terus melanggengkan eksploitasi geografis dalam rangka akumulasi kapital.
Apa yang terjadi di Tuban adalah proses accumulation by dispossession, dalam bentuk konkret privatisasi dan pengusiran petani melalui konversi lahan dan hak milik dari petani ke korporasi atau terkonsentrasi pada segelintir orang. Melalui kekuasaan negara, yang mewujud dalam regulasi RTRW, aturan dan rancangan ruang dibuat untuk memperlancar akumulasi kapital (Harvey, 2003:145).
Lefebvre dalam Production of Space (1991: 26-27) menyatakan ruang diproduksi secara sosial. Ruang yang dihasilkan nantinya akan berfungsi sebagai alat pemikiran dan tindakan, yang selain menjadi alat produksi juga menjadi sarana kontrol dari mereka yang menggunakannya (pihak berkuasa).
Regulasi-regulasi yang hadir memuluskan akumulasi tersebut selaras dengan pengertian hukum sebagaimana didefinisikan Zia Akhtar dalam studi berjudul “Law, Marxism and State” (2015), yakni hukum sebagai sudut pandang kelas yang berkuasa. Peraturan-peraturan seolah legal dan adil, tapi sebetulnya jauh dari itu. Kebijakan berupa undang-undang merupakan gambaran dari hasrat kelas yang berkuasa (Marx & Engels, 1848: 16-17).
UU 2/2012 merupakan instrumen pemaksa. Ia semakin menegaskan kuasa negara yang mengatasnamakan rakyat tapi digunakan untuk merampas hak rakyat; menakut-nakuti hingga melakukan kekerasan.
Semua ini telah menciptakan kesengsaraan, menciptakan ketimpangan struktural dan membuka keran kemiskinan. Situasi ini semakin menunjukan bahwa tidak ada orientasi keberpihakan kepada rakyat sebagaimana yang terus digaungkan oleh pemerintahan Jokowi. Yang ada hanya berpihak kepada kapitalis dan penguasa.
Situasi ini semakin mengarah ke kengerian yang sistematis dengan ancaman di depan mata bernama Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba) yang baru saja disahkan legislatif dan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Kedua peraturan ini akan menjadi salah satu faktor utama perampasan ruang hidup rakyat.
Bukan hanya Tuban yang dijarah. Konflik yang dipicu tambang emas terjadi di Tumpang Pitu. Perampasan lahan oleh perkebunan swasta, dan di Pasuruan perampasan lahan oleh TNI AL terjadi di Banyuwangi. Ini semua menjadi bukti bahwa negara merupakan aktor penting dalam perampasan ruang hidup rakyat.
Kasus-kasus ini adalah contoh vulgar dari hukum besi negara sebagai alat dari kelas yang berkuasa.***
Wahyu Eka Setyawan, Manajer Kampanye WALHI Jatim Redaktur Coklektif.com
Kepustakaan
Akhtar, Z. (2015). Law, marxism and the state. International Journal for the Semiotics of Law-Revue internationale de Sémiotique juridique, 28(3), 661-685.
David, H. (2003). The new imperialism. New York: Oxford University, 209-13.
Lefebvre, H., & Nicholson-Smith, D. (1991). The production of space (Vol. 142). Blackwell: Oxford.
Marx, K., & Engels, F. (1848). Manifesto of the communist party. Marxist Internet Archive.
Walhi Jatim. 2020. Catatan
Kriminalisasi Pejuang Lingkungan di Jawa Timur.
[1] Catatan lapangan penulis pada 1 Januari 2020. Diskusi dengan warga terdampak di wilayah Desa Sumurgeneng.
[2] Catatan lapangan penulis pada November 2019 di desa Wadung dan Sumurgeneng. Saat itu berdasarkan pemberitaan media lokal para petani mendapatkan program tali kasih karena menempati lahan KLHK. Catatan dilakukan dengan melakukan wawancara dengan petani yang mendapatkan program tali kasih.