Ilustrasi: Illustruth
BEBERAPA hari terakhir ramai orang membicarakan film Tilik—film berdurasi sekitar 30 menit tentang ibu-ibu Yogyakarta yang pergi membesuk Bu Lurah di RS melalui truk gotrek dan menggosipkan tetangga. Tidak ada yang spesial dari film itu; tapi ia mampu mengambil hati banyak penonton karena mampu menangkap satu realitas sehari-hari yang kerap dilakukan oleh masyarakat Indonesia di mana pun; di Masjid setelah pengajian, di TK ketika menunggu anak, atau di pesta pernikahan. Film ini menangkap realitas dengan caranya yang kocak namun sederhana.
Saya tidak ingin membicarakan filmnya (sudah banyak yang sudah melakukan kritik ini dan itu). Ketika saya menonton filmnya, entah mengapa saya menontonnya dengan cara yang berbeda. Saya langsung teringat beberapa momen gelap yang berhubungan dengan rumor di masa lalu. Sebagai orang yang lahir dan besar di Banjarmasin di pertengahan 1990-an hingga awal 2000-an, saya spontan membayangkan dua tragedi di bumi Kalimantan: Jumat Kelabu 23 Mei 1997 dan kerusuhan Sampit 2001. Keduanya erat terkait dengan rumor, sebagaimana halnya film Tilik, yang akhirnya menjadikan gosip dan ber-ghibah tidak lagi lucu dan normal alih-alih mencekam.
Pada 1997 Banjarmasin adalah kota yang cukup dinamis. Mei tahun itu, selama sebulan penuh, kampanye dilaksanakan oleh pemerintah untuk menyambut Pemilu. Masa itu adalah masa akhir Orde Baru. Orang-orang rupanya sudah mulai bosan dan muak dengan Soeharto dan Golkar. Pemilu diikuti oleh tiga partai sebagaimana lazimnya: PPP, PDI, dan Golkar.
Kalimantan Selatan adalah medan pertempuran antara Golkar dan PPP. Golkar “berkuasa” di basis-basis perkotaan— dan Banjarbaru—meskipun sudah mulai ‘digoyang’ oleh PPP yang punya basis massa religius. Hulu Sungai dan Martapura adalah basis PPP. Masyarakat yang merupakan ‘kaum tuha’ sedari dulu loyal kepada K.H. Idham Chalid, sesepuh NU yang berasal dari Amuntai, Hulu Sungai Utara. Selain itu, ulama-ulama Martapura banyak yang berkampanye untuk PPP. Ini adalah masa dimana pertarungan politik Kalsel sangat dinamis dan, dalam banyak hal, terpolar.
Kampanye berlangsung dinamis; orang menjual atribut partai dimana-mana. Masa itu adalah pertama kali saya mengenal dunia politik. Hari kedua kampanye, ayah saya membelikan atribut PPP dan saya menyetel pidato Buya Ismail Hasan Metareum di televisi, meskipun sebenarnya Golkar dan tentara juga masih menampakkan taringnya.
Syahdan, hari terakhir kampanye. Suasana sebenarnya sudah mulai panas karena masing-masing massa saling mengejek. Namun, tidak ada yang menyangka keributan kampanye di hari terakhir berubah menjadi kerusuhan besar, yang tidak hanya mengakhiri kampanye secara brutal, tetapi juga memperkenalkan saya dan warga kota dengan horror kerusuhan dan ‘jam malam’ yang diberlakukan selama seminggu.
Mulanya, sejauh yang terekam dalam memori saya, adalah rumor dan provokasi. Hari itu adalah jadwal kampanye Golkar yang bertepatan dengan hari Jumat. Pagi berlangsung seperti biasa. Golkar dijadwalkan berkampanye selepas shalat Jumat dengan menghadirkan beberapa juru kampanye nasional. Namun, sebelum shalat Jumat selesai, merebak berbagai rumor; orang-orang beratribut kuning yang kebut-kebutan di depan Masjid Noor—pusat kota Banjarmasin—lengkap dengan klakson tepat ketika khatib naik mimbar.
Rumor ini merebak dari mulut ke mulut. Selepas Jumatan, orang-orang membawa berita dari kampung-kampung, menyebarkan kabar tentang kampanye orang-orang berbaju kuning itu. Tidak ada yang tahu persis siapa mereka, apakah mereka benar-benar simpatisan atau fungsionaris Golkar, ataukah mereka hanyalah provokator yang menyaru untuk membatalkan kampanye. Tapi rumor berkembang sedemikian rupa.
Kampanye dimulai. Jalan Ahmad Yani –satu jalan protokol besar di Kota Banjarmasin—tiba-tiba sunyi senyap. Orang mulai berkampanye dengan konvoi. Tapi tiba-tiba suasana berubah mencekam. Entah dari mana, datang massa membawa parang, celurit, dan pisau, memburu orang-orang yang sedang berkampanye. Mereka berlarian. Konvoi tidak jadi berlangsung. Dua gelombang massa lewat. Beberapa orang beratribut kampanye berlindung ke rumah warga—termasuk ke rumah kami —sembari melepas atribut kampanye. Mereka selamat dari amuk massa.
Suasana menjadi tidak terkendali. Dari kejauhan titik api terlihat muncul di mana-mana: di Mitra Plaza (“mall” paling besar di Kota Banjarmasin masa itu), hotel Junjung Buih, hingga gereja. Tidak ada yang berani datang ke Kota. Kami sekeluarga berkumpul di rumah, menelepon keluarga dekat (kalau-kalau terjadi hal yang tidak diinginkan). Malam hari, listrik padam (bahkan sampai beberapa hari), dan pemerintah memberlakukan jam malam. Penangkapan massal konon terjadi di beberapa daerah pinggiran kota Banjarmasin, dan tentara didatangkan dari Kodam di Balikpapan.
Pagi hari, mayat-mayat ditemukan di reruntuhan Mitra Plaza yang terbakar serta beberapa tempat lain yang diamuk massa. Kira-kira 142 korban jiwa melayang di kerusuhan ini. Tentu mereka adalah orang-orang Islam yang banyak di antaranya tidak tahu apa-apa.
Rumor dan ghibah tidak lagi menjadi sesuatu yang lucu dan kocak. Pada masa lalu, gosip pernah menjelma tragedi Jumat Kelabu yang saya yakin masih membekas di memori warga Banjarmasin hingga saat ini. Hingga hari ini, tak ada yang tahu pasti siapa yang menyebarkan rumor, siapa yang memprovokasi, dan terutama siapa dalangnya. Tapi Tragedi Jumat Kelabu mengubah 180 derajat politik di Kalimantan Selatan. Mobilisasi massa berkurang drastis; politik menjadi bagian dari negosiasi elit sebagaimana biasanya, dan mengungkit tragedi ini menjadi sesuatu yang tidak mengenakkan.
Pada 2001, kerusuhan di Kota Sampit, Kalimantan Tengah, merebak. Kerusuhan ini jauh lebih parah dan melibatkan sentimen etnis. Lebih dari 500 orang tewas dan ratusan ribu lainnya harus mengungsi ke daerah lain. Konflik Sampit sampai saat ini masih terpatri dalam memori penduduk Kalimantan.
Sebagai orang Banjar, kami mendengar dan menyimak kerusuhan ini dengan hati was-was. Sampit berada jauh dari kota Banjarmasin, dan orang-orang Banjar sejak dulu tinggal di Sampit dan punya tradisi badangsanak (‘bersaudara’) dengan orang-orang Dayak. Hubungan antar-etnis di Kalimantan Selatan dan Tengah baik-baik saja. Namun, tidak halnya dengan orang-orang Madura dan Dayak. Sentimen ‘laten’ dan kecemburuan sosial berubah menjadi konflik yang mengerikan.
Catatan Helene Bouvier dan Glenn Smith mengulas tragedi ini dengan cukup gamblang: rumor demi rumor yang memupuk kebencian antara orang-orang Dayak dan Madura tidak diproduksi hanya pada masa itu, tapi sudah dari beberapa tahun sebelumya. Tahun 2000, kebakaran dan ledakan terjadi di Sampit, dan rumor berkembang kalau orang-orang Madura punya peledak. Namun, tak ada yang sebesar ‘peledak’ emosi sesungguhnya: ketika terjadi perkelahian maut di Kereng Pangi. Rumor yang kemudian dibawa baik kalangan orang-orang Madura dan Dayak berujung kekerasan etnis massal di Sampit, merebak hingga Palangkaraya, Pangkalanbun, bahkan konon juga sampai Kuala Kapuas.
Kerusuhan Sampit adalah salah satu episode sejarah yang kompleks dan jauh lebih kelam. Saya tidak ingin mendiskusikannya di sini; namun, selama tahun 2001, kami yang tinggal di Kalimantan Selatan berada dalam kondisi was-was dan ketakutan kalau-kalau konflik akan merembet ke Banjarmasin. Ketika muncul berita dan rumor kalau massa sudah bergerak di Kuala Kapuas –yang notabene hanya 40 km dari Kota Banjarmasin, semua orang ketakutan. Pelabuhan Banjarmasin padat oleh pengungsi. Kami bersyukur kalau rumor itu tidak menjadi kenyataan.
Mari kembali ke film Tilik. Film itu terasa dekat dengan kehidupan kita karena kita kerap membicarakan orang lain, bergosip, hingga menyebarkan rumor tentang seseorang dalam perbincangan-perbincangan santai kita dengan tetangga. Bergosip, ber-ghibah, dan sejenisnya dalam film Tilik mungkin adalah cara kita untuk melepas beban kehidupan atau sekadar mengisi waktu luang bersama tetangga dan kerabat. Hal-hal itu adalah realitas sehari-hari. Bergosip, menurut James C Scott, bahkan bisa jadi senjatanya orang-orang lemah, meskipun juga sering menjadi alat untuk menegaskan ‘aturan sosial’ dari orang yang punya kuasa.
Namun demikian, bagi sebagian kita yang lain, yang tidak punya privilese tinggal di pedesaan yang damai dan tenang di pulau Jawa, rumor, gosip, dan ghibah adalah cerita yang lain. Di Banjarmasin atau Sampit, gosip bisa berubah menjadi tragedi kerusuhan ketika salah sasaran dan menimbulkan salah paham. Tidak ada lagi yang lucu ketika rumor berubah menjadi kepala-kepala tanpa nyawa, hanya karena kita gagal menghalau hoax dan disinformasi. Rumor bahkan, dalam beberapa episode genosida, menjadi alat untuk menindas etnis atas nama identitas.
Di masa lalu, kita juga ingat tentang cerita-cerita ketika aparat memburu orang yang disangka komunis dan aktivis kiri selama 1965-1966 hanya karena rumor. Ironisnya, rumor itu tersebar atas ‘restu’ kekuatan politik yang dominan. Walhasil, mungkin rumor pulalah yang membuat orang berprasangka kepada etnis atau agama tertentu ketika kerusuhan 1998. Ia mereproduksi stereotype yang berkembang selama ini dan dilestarikan oleh rezim untuk melenggangkan kekuasaannya. Hasilnya, kita melihat sentimen rasial dan agama yang kemudian berkembang menjadi lebih canggih untuk kepentingan elektoral, misalnya, di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017.
Semuanya bermula dari rumor, gosip, serta bumbu-bumbu agama dan politik di masyarakat yang sudah terpolar sejak awal. Di sini gosip menjadi alat politik yang memecah-belah masyarakat, menumbuhkan konflik, dan alat untuk menggapai kekuasaan secara kasar. Yang mungkin berbeda dengan yang kita rasakan dengan privilese identitas yang kita miliki.
Pertanyaannya—berhubung ini adalah rubrik Tabayyun—bagaimana Islam memandang hal ini? Al-Qur’an jelas menggariskan hal ini di Al-Quran Surah Al-Hujurat: 6,
“Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian.” (QS 49: 6)
Ayat ini menekankan pentingnya ‘penelitian ulang’ (tabayyun) ketika kita mendengar satu rumor, gosip, ghibahan, atau sesuatu yang sebenarnya benar tapi dikemas dengan sentimen kebencian tertentu. Hal ini tidak mudah ketika foto di facebook bisa diinterpretasikan untuk melegitimasi asumsi tertentu, tulisan tertentu disalah-pahami sebagai bahan provokasi, atau pidato yang direkam justru menjadi alat untuk melakukan kampanye hitam lengkap dengan sentimen ras dan agama.
Di sinilah pentingnya ‘membaca’ (iqra’). Membaca bukan hanya berarti mengeja huruf-huruf dan memahami makna dalam buku. Membaca adalah memahami realitas secara benar, komprehensif, dan tepat dengan melepaskan bingkai yang dibawa oleh si pembawa berita. Tujuannya, sebagaimana disampaikan oleh Al-Hujurat, adalah relevan dengan apa yang kita hadapi saat ini: agar kita tidak menimpakan bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan.
Rumor yang berkembang menjadi konflik, apalagi jika disulut dengan kebencian atas identitas tertentu, tentu hanya akan menimbulkan penyesalan. Karena sebenarnya, baik kita yang bergosip atau mereka yang menjadi objek ghibah adalah sama-sama korban. Sementara mereka yang menebar provokasi dan menangguk keuntungan — politik maupun finansial—dari rumor semakin melenggang di puncak kekuasaan. Orang-orang zalim, yang mengambil untung dan kaya dari rumor dan konflik inilah musuh kita sesungguhnya.
Akhirul Kalam, film pendek Tilik mungkin menceritakan tentang kenyataan sehari-hari umat Islam Indonesia yang tetap mampu ber-ghibah lepas di tengah himpitan hidup di desa. Namun, bagi anak muda Banjar yang merasakan hidup di tengah rumor kerusuhan Jumat Kelabu 23 Mei 1997 atau pekan-pekan mencekam setelah huru-hara Sampit, kenyataan itu adalah kenyataan pahit. Ghibah menjadi rumor, dan rumor menjadi tidak lagi lucu ketika ia menjadi alasan untuk membunuh orang karena perbedaan etnis, agama, atau status minoritas. Itu adalah kenyataan tragis kita, umat Muslim Indonesia, yang juga mesti kita refleksikan bersama-sama untuk masa depan kita
Nuun Walqalami wa maa yasthuruun.***
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah mahasiswa PhD di The University of Queensland – UQ, Australia