Ilustrasi: Jonpey
DARI mana Anda mengenal atau mendengar Maluku? Mungkin dari merdunya suara penyanyi Glenn Fredly; lincahnya gocekan Ramdani Lestaluhu di lapangan hijau; atau dari garangnya wajah debt collector yang menghantui para pengutang? Di ruang kelas, Maluku mungkin dibahas sebagai satu dari delapan provinsi pertama di Indonesia. Sisanya, ia hilang entah ke mana.
Di provinsi inilah terdapat Kecamatan Werinama. Secara administratif berada di Kabupaten Seram Bagian Timur.
Anak-anak di Werinama harus menantang maut hanya untuk sampai ke sekolah. Terlalu hiperbolik? Anda amat keliru. Situasinya begini: mereka harus menyeberangi sungai tanpa jembatan di pesisir pantai Seram Selatan, termasuk ketika debit air meningkat, biasanya sejak bulan Juli atau ketika musim hujan. Mereka bisa hanyut terseret arus kapan saja. Melangkahkan kaki kecil menyeberang aliran sungai berarti bertaruh nyawa juga karena ada kemungkinan mereka habis dilahap buaya muara.
Anak-anak di sana harus memiliki keterampilan ekstra. Selain harus lolos kurikulum yang disusun oleh menteri di Jakarta, mereka juga punya semacam kurikulum tersendiri yang didapatkan sepulang sekolah di musim hujan.
Belakangan dunia dilanda pandemi COVID-19. Ini membuat pertemuan fisik dan berkerumun sebisa mungkin dihindari. Dunia pendidikan mengubah model belajar, yang semula bertatap muka menjadi virtual.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menggagas program belajar dari rumah. Terobosan itu sebenarnya biasa saja dan mesti diakui tidak mempertimbangkan aksesibilitas internet di luar Pulau Jawa. Kebijakan ini justru mempertegas ketimpangan dan sama sekali bukan solusi untuk permasalahan pendidikan kita, utamanya sekolah-sekolah di wilayah yang sulit dijangkau.
Anak-anak Werinama juga terdampak. Sekarang mereka memang tak perlu takut dimakan buaya atau ditelan arus. Namun jangankan sekolah virtual, punya gawai yang cukup mumpuni untuk memasang berbagai macam aplikasi meeting online saja sudah kemewahan tersendiri. Belum lagi soal kuota internet dan sinyal yang kadang-kadang hilang entah ke mana, terutama di musim hujan.
Hal-hal kecil dan teknis ini dilupakan Nadiem dan para pejabat Indonesia lain ketika menyusun kebijakan. Jendela kantor mereka terhalang gedung-gedung megah sehingga lupa bahwa Indonesia membentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote—bukan dari Jaksel ke Jakpus.
Nasib anak-anak Werinama bak pepatah Jawa: “Maju catu, mundur ajur”, maju luka, mundur hancur. Mereka harus memilih antara belajar dengan tatap muka bertaruh nyawa, atau belajar virtual dengan infrastruktur yang sama sekali tak memadai.
Mereka harus bertaruh nyawa untuk mengakses sekolah ketika beranda Youtube disesaki konten tukar-menukar mobil mewah sekelompok orang kaya. Saat masyarakat perkotaan sedang merayakan work from home, bapak dan ibu dari anak-anak Werinama gundah karena melaut tak bisa dikerjakan dari dalam rumah. Saat para so called aktivis perkotaan sedang sibuk bicara tentang dinamika politik nasional dan menebak-nebak apa lembaga negara mana yang akan dibubarkan Presiden, anak-anak Werinama sekali lagi tetap saja belum punya jembatan untuk aman berangkat dan pulang sekolah.
Ringkasnya, pandemi COVID-19 seperti menguak tabir kemiskinan—jika tak ingin dibilang pemiskinan yang terus dipelihara—sekaligus mempertegas kegagalan pemerintah membangun kualitas kehidupan warga. Pernyataan Presiden Joko Widodo tentang percepatan pembangunan yang disiarkan lewat media nasional arus utama dan diamplifikasi para pendengung (buzzer) sama sekali tak ada maknanya di hadapan anak-anak Werinama.
Ini belum termasuk fenomena lima tahunan: selalu saja ada orang-orang yang berpakaian rapi dan wangi, bertutur manis menjanjikan kemajuan bagi masyarakat Werinama asalkan di bilik suara nama dan fotonya dicoblos. Semakin menderita warga, semakin beraneka ragam pula slogan kampanye politikus.
Warga Werinama hanyalah angka penyumbang suara saat pemilu; sementara anak-anak mereka dipersiapkan menjadi calon budak korporat jika berani berangkat ke kota. Di mata para politikus, anak-anak Werinama tidak lebih dari sekadar aksesori di baliho kampanye yang nanti akan dirobohkan oleh Satpol PP saat memasuki masa tenang.
Ben Anderson dalam Imagined Communities memberi gambaran mengapa Anda yang berasal dari Sumatera dan saya yang orang Ambon dapat menjadi satu bangsa, walaupun kita sama sekali tidak memiliki keterikatan bahasa ibu dan suku. Ikatan tersebut salah satunya dibangun lewat sekolah-sekolah yang menciptakan sebuah realitas imajiner tentang bangsa. Lewat sekolah pula impian-impian kesejahteraan terus dipupuk agar suatu saat dapat terwujud menjadi kenyataan.
Lantas mengapa anak-anak Werinama, yang di depan ruang kelasnya terpampang foto Ir. Joko Widodo dan KH. Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden, masih saja harus bertaruh nyawa untuk sekolah?
Ke mana negara selama ini? Kenapa untuk mendanai konser musik nir-faedah saja mereka mampu, tapi membangun jembatan saja terasa begitu sulit? Mengapa Maluku hanya diperbincangkan ketika tambang minyak dibuka di blok Masela atau musim panen cengkeh telah tiba?
Hampir delapan dekade menjadi Indonesia, selama itu pula Werinama merintih dalam ketertinggalan. Anda tak perlu susah payah mengeruk kekayaan alam kami. Tak perlu buang-buang tenaga menghancurkan hutan adat kami.
Kami tak perlu dibunuh, kami sudah mati.
Terakhir, selamat memasuki bulan kemerdekaan, selamat menuju usia ke-75. Salam dari kami, penghuni dasar klasemen daerah termiskin di Indonesia.
Merdeka?***
Riyadh Putuhena, Peneliti Muda YLBHI LBH Malang