Kami Bekerja demi Langit dan Bumi Baru yang Dihuni Keadilan: Visi Profetik Dorothy Day

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


Kita harus berseru menentang ketidakadilan atau bersikap diam untuk  menyetujui hal-hal itu. Jika kita diam, batu-batu jalan akan berteriak.” (Dorothy Day)


DARI sejarah panjang penghayatan tradisi iman Kristen selama dua ribu tahun lamanya yang seringkali diisi dengan sikap abai terhadap rupa-rupa penindasan yang terjadi di dunia dan tak jarang juga memberi legitimasi atasnya, di sana-sini kita masih menemukan jejak-jejak perlawanan yang memetik inspirasi dari iman yang sama. Salah satu representasi dari arus yang belakangan disebut ini adalah perempuan bernama Dorothy Day.

Dorothy Day lahir pada 8 November 1897 di kota New York. Semasa hidupnya, ia dikenal sebagai seorang perempuan yang cerdas dan aktifserta terlibat dalam komunitas sastra dan lingkaran progresif di kota Greenwich. Karya-karyanya lahir dari pergulatan tentang integrasi gagasan-gagasan Marxis dengan agama Katolik. Kisah hidupnya pernah diabadikan dalam film dokumenter pada 1996, yang diperankan oleh aktris Moira Kelly, dengan judul Entertaining Angels: The Dorothy Day Story.


Kiprah dan perjuangan Dorothy Day

Sejak kecil, Dorothy Day sudah disuguhkan narasi-narasi keagamaan Katolik, baik melalui tulisan suci Alkitab maupun keterlibatan dalam perayaan misa/ibadah gereja. Narasi keagamaan dari tradisi Katolik ini demikian tertanam kuat dalam dirinya dan terus mewarnai aktivitas dan pemikirannya hingga dewasa.

Selain aktif dalam bidang keagamaan, Day juga menggeluti bidang jurnalisme. Pada tahun 1932, bersama Peter Maurin, seorang imigran Prancis, ia mendirikan The Catholic Worker, sebuah surat kabar yang mempromosikan ajaran-ajaran sosial Katolik dengan keadilan sosial.[1] Tulisan-tulisannya di surat kabar sarat dengan kritik atas sistem kapitalisme industri yang eksploitatif saat itu. Publikasinya yang sangat luas dari surat kabar ini turut berkontribusi dalam melahirkan serikat pekerja Katolik di Amerika Serikat.

Bersama Maurin pula Dorothy Day mendirikan rumah penampungan untuk orang-orang miskin dan marjinal. Day percaya bahwa pembangunan rumah penampungan adalah bentuk tindakan hospitalitas (keramahtamahan). Rumah penampungan ini menyediakan makanan, minuman dan ruang solidaritas satu dengan yang lain. Solidaritas menjadi nilai yang penting di tengah masifnya eksploitasi kelas borjuis saat itu. Pada tahun 1936, ada 33 rumah di seluruh Amerika Serikat. Gerakan ini berlanjut sampai hari ini, dengan 200 komunitas pekerja Katolik dan 40 rumah bagi orang-orang miskin.[2]

Gagasan Day yang kritis terhadap sistem yang menindas membuat banyak kelompok borjuis berupaya untuk membungkamnya. Ia menulis di buku hariannya bahwa “Saya menjerit tanpa henti di dalam hati dan kata-kata saya adalah sebuah protes […] Kita perlu mengubah sistem kapitalis industri yang busuk, sesuatu yang busuk ini melahirkan penderitaan dan kematian.”[3] Hal ini juga yang membuat Day terlibat dalam partai sosialis di Amerika Serikat.

Keberanian Day menginspirasi banyak orang, yang mengaguminya sebagai orang suci/kudus. Day mengatakan, “Jangan panggil aku orang suci/kudus, saya tidak layak, saya tidak ingin tumbang dengan mudah.” Dia menjalani hidup dengan cara tidak populer di masanya. Sebelum wafat, dia mengatakan, “Saya hanya bisa mencintai anda, sesama orang asing yang malang, sesama orang yang menderita, doa saya hari ke hari adalah agar Tuhan memperbesar hati saya sehingga saya akan melihat anda semua, dan hidup bersama dengan anda semua dalam karunia-Nya.”[4]


Gagasan teologis Dorothy Day

Perjuangan Dorothy Day tidak hanya didasari nilai sosial kemanusiaan saja, tetapi berlandaskan teologi Kristen yang mendalam. Day merefleksikan tindakannya pada ungkapan doa Yesus di Injil Matius.

Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga. (Mat. 6:10)

Inti dari doa Yesus di atas bukit ini adalah bekerja untuk Kerajaan Allah. Day mengatakan, “Kami bekerja demi langit dan bumi baru yang dihuni keadilan”. Gagasan “Kerajaan Allah” tidak hanya merujuk pada aspek eskatologis saja, atau di masa depan nanti, tetapi juga dimaknai dalam situasi sekarang, riil dan konkret. “Langit dan bumi yang baru” juga diungkapkan oleh penulis kitab Wahyu.

Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu, dan laut pun tidak ada lagi. Dan aku melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru, turun dari sorga, dari Allah, yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya. Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata: “Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka.Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu.” (Why. 21:1-4)

Day menginspirasi banyak teolog Kristiani bahwa Injil bukan merupakan candu, tetapi nilai yang mampu mendorong transformasi. Sembari merangkul ide-ide Marxis, ia menyatakan bahwa gagasan Injil memiliki karakter politik yang radikal.[5] Dijelaskan oleh Yocum Mize dalam tulisannya yang berjudul Dorothy Day Apologia for Faith After Marx, bahwa Day sendiri tidak pernah mempelajari karya-karya tokoh komunis, tetapi di Amerika Serikat gagasan dan kelompok Marxis mendominasi lingkungannya. Dalam otobiografinya, The Long Loneliness, Day mengakui bahwa spiritualitasnya berkembang lewat interaksinya dengan orang-orang ateis yang memiliki komitmen pada perubahan sosial. Ia mengungkapkan bahwa iman Kristiani adalah iman yang berakar pada sukacita dan cinta kasih, dan semua itu diekspresikan dalam penderitaan dan penebusan Kristus.[6]

Bisa dikatakan bahwa Day adalah seorang nabi profetik yang radikal di zamannya. Gugatannya terhadap sistem yang tidak adil tidak terlepas dari relasinya secara personal dengan Tuhan. Seperti halnya nabi Yesaya yang mendorong adanya konfrontasi melawan sistem yang tidak adil, ia menentang ibadah yang palsu dengan ibadah yang sejati, menyatakan praktik keagamaan yang sia-sia jika ada orang-orang tertindas. Day selalu fokus pada apa yang bisa dia lakukan, menyerap teologi Katolik dan menerapkannya dengan jalan kenabian.[7]

Serukanlah kuat-kuat, janganlah tahan-tahan! Nyaringkanlah suaramu bagaikan sangkakala, beritahukanlah kepada umat-Ku pelanggaran mereka dan kepada kaum keturunan Yakub dosa mereka. (Yes. 58:1)

Bagi Day, komunitas pengikut Yesus adalah komunitas yang menghayati pengorbanan salib dan hidup solider dengan orang-orang marjinal. Semasa hidupnya, Day menghadapi orang-orang gereja yang hidup dengan nyaman, kelompok borjuis elit yang mendukung status quo, sementara orang miskin terus dianiaya. Day bersikeras bahwa “gereja adalah gereja salib, di mana Kristus tersalib di dalamnya” dan ketidakadilan sosial adalah penghinaan terhadap Kristus. Solidaritas Day terhadap orang-orang marjinal juga terinspirasi oleh ajaran Yesus, khususnya Khotbah di Bukit (Mat. 5-7). Seperti nabi Yesaya, ia bekerja untuk dan bersama orang miskin.

Supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang-orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyebunyikan diri terhadap saudaramu sendiri. (Yes. 58:7)

Tidak hanya nilai solidaritas dan kritik terhadap sistem kapitalis saja, Dorothy Day juga mengusung nilai-nilai perdamaian (pasifis). Pada zamannya, semua rakyat diwajibkan untuk terlibat dalam perang dan mengabdikan diri sebagai prajurit untuk membela negara. Sikapnya justru bertentangan. Ia terang-terangan menolak perang. Pesannya jelas ditujukan kepada orang-orang yang berkuasa, termasuk para pemimpin gereja yang telah memberkati pasukan dan mendukung perang salib. Gereja telah menerima “perang yang adil” (just wars), tetapi Day menekankan sikap non-violence (non-kekerasan) sebagai prinsip dasar kekristenan. Dia menulis ke Dewan Vatikan bahwa perang adalah kejahatan terhadap Tuhan dan manusia.[8]

Relasi yang intim dengan Tuhan mendorong Day untuk memperjuangkan nilai-nilai keadilan. Relasi dan pengalamannya dengan Tuhan menjadi sumber visinya untuk keadilan sosial.[9] Ia menghayati tulisan suci dan menggunakannya sebagai cara untuk berbicara kepada dunia. Ketidaknyamanan dalam hidup sudah menjadi hal yang biasa bagi Day. Ia melepaskan kepemilikan duniawi karena ia percaya bahwa meskipun penderitaan adalah bagian hidup, ia terus-menerus memandang wajah Allah yang juga turut menderita bersamanya. Hal itu memang tidak mudah, tetapi relasinya dengan Tuhan, melalui Alkitab dan doa, menolongnya bertahan dalam visi perjuangan untuk keadilan di tengah penderitaan.

Rasa sakit dan penderitaan adalah harga yang harus dibayar oleh orang-orang yang menempuh perjalanan hidup seperti Day. Hidup dalam pergulatan melawan sistem yang tidak adil, perselisihan, penghisapan, dan keegoisan adalah pekerjaan seumur hidup, yang tidak bisa dinilai dengan apapun. Tidak ada pengorbanan dan tidak ada penderitaan yang kelihatan terlalu besar, jika kita bekerja untuk cinta Tuhan dan orang lain. Itu semua tidak akan sia-sia.[10] Day meyakini bahwa penderitaan demi keadilan orang lain sesungguhnya bukanlah penderitaan.

Tubuh Kristus yang dilukiskan oleh rasul Paulus menjadi inspirasi Day dalam perjuangannya. Day begitu terpikat dengan metafora Tubuh Kristus. Dia mengatakan, “Semua bangsa, yang terdiri dari orang miskin, pekerja, aktivis serikat pekerja, menghayati rasa solidaritas itu, rasa solidaritas membuat saya secara perlahan mengerti tentang tubuh mistik Kristus, di mana kita menjadi anggota satu dengan yang lain.”[11] Ungkapan Day ini diambil dari perkataan Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus, “Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya” (1Kor. 12:27).

Bagi Day, memeluk penderitaan Kristus demi penebusan sesama bukanlah candu.***


Andreas Kristianto adalah Koordinator Kristen Hijau dan mahasiswa pascasarjana di Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta


Kepustakaan

[1] P. Xiaoyu, “The conversion of a radical – Dorothy Day and the Catholic social thought”, di Procedia – Social and Behavioral Sciences 2 (2010), 7470- 7478, https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2010.05.112.  

[2] S. Bailey, A. Ohlheiser & D.  Zak, “Pope Francis Praised Dorothy Day and Thomas Merton. Here’s Who They Were”, https://www.washingtonpost.com/news/acts-of-faith/wp/2015/09/24/pope-francis-praised-dorothy-day-and-thomas-merton-heres-who-they-were/.

[3] Dorothy Day, The Duty of Delight: The Diaries of Dorothy Day (Marquette University Press: 2008), 20.

[4] Dorothy Day, Selected Writings, 88.

[5] S.Y. Mize, “Dorothy Day Apologia for Faith After Marx”, Horizons 22/2 (1995), 196-198.

[6] S.Y. Mize, “Dorothy Day: Apologia for Faith After Marx”, 198-200.

[7] L. Chapp, “The Precarity of Love: Dorothy Day on Poverty” di International Catholic Review, https://www.communio-icr.com/files/Chapp_-_42.2_Poverty_and_Kenosis.pdf.

[8] T. Fox, “Day and Merton: The Catholic Radicals Francis Cited”, https://www.ncronline.org/news/people/day-and-merton-catholic-radicals-francis-cited.

[9] J. Dear, “Dorothy Day’s Letters Show Heartache, Faith”, https://www.ncronline.org/blogs/road-peace/dorothy-days-letters-show-heartache-faith.

[10] Dorothy Day, Selected Writings, 87-88.

[11] Sandra Yocum Mize, Dorothy Day Apologia for Faith After Marx, 196-213.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.