Ilustrasi oleh Jonpey
ROMO Magnis yang baik, apa kabar? Semoga Romo sehat-sehat selalu. Sehat jiwa raga juga pikiran, artinya tidak psycho freak.
Saya menulis surat ini setelah membaca artikel Romo di harian Kompas (9/7) yang bertajuk “Komunisme Memang Gagal”. Terus terang, saya sempat bertanya-tanya apa betul tulisan itu adalah karya seorang filsuf yang terlatih secara akademik sekaligus pastor yang sudah sepuh. Ini karena tulisan tersebut mengingatkan saya akan komentar orang-orang yang kesurupan anti-Partai Komunis Indonesi (PKI) macam Kivlan Zen, Alfian Tandjung, atau Noval Bamukmin. Pemikiran mereka sama sekali tak menggugah orang untuk berpikir dalam dan hanya mendaur ulang ketakutan-ketakutan yang dibuat Orde Baru (Orba) demi agenda politik dan ekonominya.
Saya tetap menghargai dan menghormati pendapat Romo. Romo bebas berpendapat apa saja tentang Marxisme, Leninisme, Komunisme, dan juga tentang PKI. Namun, karena kualitas tulisan itu bisa dibilang tidak ada, maka saya tidak akan menanggapi banyak-banyak yang berkaitan dengan artikel tersebut. Saya cukup mengerti bahwa merespons sesuatu yang nihil kualitas hanya akan bikin sakit kepala. Jadi, surat ini saya bikin untuk mengajak Romo–kalau masih belum terlambat dan masih mau diajak–untuk sedikit saja berpikir dan bertindak demokratis.
Sedikit saja. Tidak banyak-banyak.
Saya akan mulai dengan pernyataan Romo bahwa komunisme sebagai ide dan gerakan politik sudah gagal. Ini pendapat yang wajar, terlepas benar atau salahnya. Romo kemudian membawa narasi tadi ke dalam konteks Indonesia dan mengatakan bahwa TAP MPRS Nomor XXV/1966 itu tetap harus dipertahankan keberadaannya karena “mempunyai kekuatan simbolis penting. Pertama, dengan menetapkan bahwa bagi PKI tidak ada tempat lagi di Indonesia, TAP itu mengakhiri suatu keterpecahan bangsa, yang meledak dalam Gerakan 30 September. Kedua, ideologi PKI adalah Marxisme-Leninisme, dan salah satu unsur Marxisme-Leninisme adalah ateisme”.
Saya berharap Romo tidak lupa bahwa TAP MPRS No. XXV/1966 itu menjadi alat legitimasi pembantaian ratusan ribu hingga jutaan rakyat Indonesia yang dituduh atau dianggap komunis oleh rezim Orba yang kapitalis-militeristik itu. Saya jadi tergelitik untuk bertanya: bagaimana menurut Romo tindakan Orde Baru terhadap nyawa para korban pembantaian tersebut? Apakah Romo sengaja menyepelekan nyawa mereka? Apakah Romo menganggap nasib keluarga para korban yang terus-menerus dipersekusi, dinista dan dipersetankan oleh rezim Orba sesuatu yang wajar belaka demi persatuan dan kesatuan bangsa? Apakah Romo membenarkan aksi-aksi sepihak dari perorangan dan kelompok yang terus mengumbar ketakutan di tengah rakyat dengan mengembus-hembuskan sentimen anti-komunisme, anti-PKI saat ini demi kepentingan ekonomi politik mereka?
Jika benar demikian adanya, itukah makna seorang pastor, seorang pelayan umat, menurut Romo? Pertanyaan barusan bisa jadi terdengar naif tapi saya tetap ingin menyampaikannya.
TAP MPRS No. XXV/1966 itu tidak hanya menghabisi tubuh rakyat sebangsa, melainkan juga membunuh pemikiran generasi-generasi berikutnya hingga sekarang. TAP MPRS No. XXV/1966 memberikan landasan konstitusional untuk melarang rakyat Indonesia mempelajari ilmu pengetahuan Marxis di seluruh jenjang pendidikan. This is actually our loss. Mengapa? Karena generasi pasca-1965 tidak memiliki tradisi berpikir yang komprehensif dan solid dalam membincangkan sebuah persoalan. Tradisi para intelektual Indonesia pasca-1965 adalah tradisi asal kutip (cherry picking) tanpa benar-benar mengetahui makna seutuhnya dari yang dikutipnya itu. Saya bisa mengambil artikel Romo itu sebagai contoh terbaiknya.
Karena pelarangan setengah abad lebih ini, para peserta didik di Indonesia–jika diibaratkan sebagai burung–adalah burung yang satu sayapnya patah hingga tak bisa terbang tinggi menjelajah hingga ke dunia pergaulan akademik internasional. Sungguh sulit melihat kelahiran sebuah tradisi pemikiran dari para intelektual dan akademisi Indonesia yang bisa sejajar dengan tradisi pemikiran yang ada saat ini di dunia. Semua usaha yang bisa membawa kehidupan intelektual dan akademisi di Indonesia maju dan setara dengan apa yang menjadi tradisi pemikiran di dunia semestinya diberikan tempat seluas-luasnya, bukan malah diseleksi atau diberikan pelarangan yang hanya menguntungkan agenda politik dan ekonomi sebuah rezim.
Sayang sekali, Romo tampaknya ingin mengekalkan apa yang sudah ditanamkan Orba lewat tradisi akademik yang pariah dan terbelakang ini, meskipun dari luar tampak megah dan penuh kuasa. Saya menyayangkan hal ini karena Romo tidak hanya seorang pastor pelayan umat, tapi juga seorang filsuf, akademisi, pendidik yang bermahkotakan gelar akademik tertinggi, yang seharusnya menjunjung tinggi kebebasan akademik dan demokratisasi ilmu pengetahuan.
Dengan segala gelar dan kerja-kerja akademik yang telah Romo lakoni, saya tidak bisa membayangkan bagaimana mubazirnya Romo mendidik murid-murid untuk menjadi intelektual yang “terseleksi”. Maksudnya adalah diseleksi untuk jadi intelektual yang hanya mempelajari apa-apa saja yang dianggap “aman” tanpa tahu bahwa mereka sedang dilatih untuk jadi penakut dan anti-ilmu pengetahuan.
Romo tidak cuma membaptis diri sebagai juru bicara dari sebuah zaman kegelapan (dark age) Orde Baru yang barbar itu, tetapi Romo pun telah bertindak tidak adil. Ah iya, saya tentu saja keliru menggunakan frasa “tidak adil” di sini; sejak kapan rezim Orba mengenal tindakan “adil sejak dalam pikiran”? Tetapi ijinkanlah saya tetap menggunakan frasa ini.
Dengan adanya TAP MPRS No. XXV/1966 itu, ketika Romo mengatakan bahwa Komunis Memang Gagal, Romo dengan demikian sudah membunuh berkali-kali tradisi akademik dan intelektual yang memang sudah mampus itu, sekaligus mengundang bahaya kepada mereka yang mencoba mendebat opini Romo. Mengapa demikian? Pernyataan Romo tersebut adalah sebuah pernyataan polemis (dengan argumentasi yang nihil). Di sisi lain, mendiskusikan secara publik tentang komunisme dengan argumentasi yang ilmiah sungguhlah sulit karena ajaran ini dilarang untuk dipelajari secara terstruktur dan sistematis. Selain itu, dengan makin diperkuatnya TAP MPRS No. XXV/1966 menjadi hukum positif, mereka yang mengambil posisi berlawanan dengan opini Romo terancam dipersekusi oleh negara dan kelompok-kelompok yang mendaku anti-komunis. Jika persekusi itu terjadi, bagaimana dan dalam bentuk apa Romo mau bertanggung jawab? Saya menanyakan hal ini dengan asumsi bahwa Romo mau bertanggung jawab. Lagi-lagi, asumsi ini mungkin naif.
Mengakhiri surat ini, saya ingin kembali menegaskan bahwa saya akan terus menghargai pendapat-pendapat Romo yang anti-Marxis dan anti-Komunis. Itu hak Romo untuk berpendapat. Tetapi saya juga ingin sekali bermimpi untuk bisa melihat Romo sebagai sosok yang berani; berani menjadi seorang pelayan umat yang sebenar-benarnya dan akademisi yang demokratis dan menjunjung tinggi kebebasan akademik. Sebab, seperti kata Pramoedya Ananta Toer, “Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?”***
New York City, 12 Juli 2020