Ilustrasi oleh Jonpey
SEPERTI Amerika Serikat (AS), India menggunakan federalisme sebagai fondasi sistem pemerintahannya. Namun berbeda dari Amerika Serikat, warna merah di India tidak digunakan untuk menggambarkan negara bagian yang dikuasai oleh Partai Republik yang berhaluan konservatif, melainkan mengacu pada Communist Party of India (CPI)dan Communist Party of India (Marxist) (CPI(M)), dua partai kiri yang selama dua dekade terpilih untuk memimpin negara bagian Kerala. Berbeda juga dengan rezim Partai Republik AS di tingkat lokal dan nasional yang terkenal suka memangkas anggaran sosial, pemerintahan kiri di Kerala justru berhasil meningkatkan tingkat partisipasi warga dan menjamin berbagai layanan sosial bagi warganya. Kali ini, saya bermaksud untuk membahas kiprah pemerintahan kiri di Kerala, terutama dalam masa pandemic COVID-19, tepatnya di tengah lockdown atau kuncian sementara yang sangat ketat dilancarkan oleh pemerintah pusat India pada 25 Maret 2020 hingga 30 Juni nanti.
Semenjak penerapan kebijakan lockdown, India mengalami guncangan domestik yang cukup serius. Berbagai permasalahan bermunculan ke permukaan, seperti isu kesenjangan sosio-ekonomi serta konflik dan kekerasan komunal terkait kasta dan agama. Wabah virus Korona semakin memperparah persoalan-persoalan ini. Kemudian, kebijakan lockdown yang ketat yang telah diterapkan oleh pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi yang berkuasa sekarang, dilakukan secara sembrono. Kebijakan ini menimbulkan dampak yang berbahaya bagi berbagai lapisan masyarakat, khususnya kelompok-kelompok rentan dan buruh migran yang menjadi ‘tumbal’ dari percobaan skala besar dengan harga nyawa manusia, seperti yang diilustrasikan oleh penulis Arundathi Roy (2020).
Hingga saat ini, India belum mampu melandaikan kurva penyebaran virus Korona. Berdasarkan data WHO (2020), India menempati posisi ke-5 sebagai negara dengan jumlah kasus COVID-19 terbanyak di antara negara-negara lainnya meskipun pemerintah telah memberlakukan lockdown jauh di tahap awal pandemi. Kenyataan di lapangan menampar pemerintah pusat terkait permasalahan kesenjangan yang kerap kali disembunyikan di balik narasi-narasi ultra-nasionalisme Hindu dan pembangunan merata yang ditujukan bagi seluruh umat Hindu demi mengembalikan masa kejayaan Hindustan (tanah Hindu) yang ditawarkan oleh partai petahana, Bharatiya Janata Party (BJP). Retorika ini sering digunakan oleh Narendra Modi untuk menarik simpati dan popularitas.
Sayangnya, tidak seperti politik di masa pemilihan umum yang bisa digiring ke segala arah untuk menutupi kesenjangan dan kekerasan dalam nadi pemerintahan, dampak sosial pandemi COVID-19 tidak bisa ditutupi oleh orasi ideologi semata. Oleh karena itu, kita memerlukan model alternatif dalam penanganan pandemi. Dalam tulisan ini, saya ingin mencoba memahami model alternatif tersebut dengan mempelajari langkah pemerintahan komunis di India dan kemampuan mereka menangani pandemi global dari Kerala, sebuah negara bagian merah di Selatan India yang menjadi acuan banyak pihak dalam penanggulangan dan respons terhadap pandemi COVID-19.
Selayang pandang politik kiri di India
Kiprah politik CPI dan CPI(M) dapat menjadi acuan kita dalam memahami satu lintasan kiri revolusioner di India. Walau tidak selalu sejalan dengan Indian National Congress (INC) yang dikenal juga sebagai Partai Kongres, partai dominan dalam pemerintahan pasca-kemerdekaan India, kedua partai ini kerap menjadi bagian dari koalisi yang diusung oleh INC yaitu United Progressive Alliance (UPA) di bawah kepemimpinan Jawaharlal Nehru. Yang tidak kalah penting dari partisipasi kedua partai tersebut dalam UPA, kiprah politik mereka sangat penting bagi perjuangan anti-imperialisme, upaya reforma agraria, dan pembentukan pemerintah daerah berbasis partisipasi rakyat pekerja yang efektif (Löfgren, 2016).
Pengaruh UPA kemudian menurun bersamaan dengan kemunduran ekonomi India di awal 1980-an. Terinspirasi nilai-nilai sekularisme, kosmopolitanisme, dan persatuan antar-bangsa yang masih mewarnai ideologi INC, Indira Gandhi selaku pemimpin INC ketika itu memilih kebijakan ekonomi dirigisme dan menutup pasar India melalui sentimen anti-Barat, serupa dengan pemimpin-pemimpin Amerika Selatan pada zamannya. Resep ekonomi ini juga dibumbui industrialisasi besar-besaran. Tetapi, hal ini rupanya membuat pasar menjadi jenuh dan angka kemiskinan naik. Kondisi ekonomi India dianggap tidak membaik sama sehingga turunlah popularitas koalisi UPA yang dianggap kaku dalam mempertahankan model ekonomi yang populistik dan bernuansa kiri (meski tidak sepenuhnya sosialis) (Kohli, 2004; Mukherji, 2009).
Walhasil, pada 1990-an, Partai Kongres, yang ingin menampilkan wajah baru yang pro-globalisasi, mendorong India untuk membuka diri via liberalisasi ekonomi dan membuang nilai-nilai kiri yang dianggap telah memperlambat pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini diterapkan pada 1991 ketika koalisi Kongres dipimpin oleh Narashima Rao (Nayyar, 2004). Tatanan ekonomi-politik yang demikian juga mengikis popularitas gerakan kiri di panggung politik India. Gerakan dan ideologi kiri juga kerap dikaitkan dengan perjuangan masa-masa sulit, kemiskinan, atau taktik perjuangan bersenjata dari kelompok kiri insureksionis seperti Naxalite (Löfgren, 2016).
Sentimen anti-kiri juga keras digaungkan oleh BJP selama kampanye dan memerintah. Rezim BJP menggambarkan siapapun yang berideologi Komunis atau menjadi bagian dari gerakan kiri sebagai kelompok anti-nasionalis atau bahkan pemberontak negara yang perlu dibasmi. Jika Anda diasosiasikan dengan kiri, maka Anda akan dianggap melawan negara. Anda akan dituduh sebagai penyebab kemunduran ekonomi dan bagian dari masa-masa sulit India.
Seiring padamnya pengaruh politik kiri di pemerintah pusat, CPI dan CPI(M) tidak lagi mewarnai pemilihan umum di India. Sebaliknya, mereka tumbuh dan mengakar di negara bagian Kerala. Menariknya, Kerala yang dipimpin oleh partai-partai merah ini justru menjadi model kesuksesan dalam penangan pandemi global. Kerala menunjukan kesiapan menghadapi permasalahan yang muncul bersamaan dengan virus Korona melalui pengelolaan yang kompak dan tepat tujuan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang berdaya dan mampu menjalankan sistem swakelola.
Kerala, Komunisme, dan Korona
Ketika masuk ke India, tak ada yang menyangka bahwa virus Korona akan membongkar kecacatan retorika politik Narendra Modi. Kebijakan lockdown yang mendadak dan brutaltidak serta merta menghentikan persebaran virus. Sebaliknya, ibarat shock therapy yang diterapkan pemerintah kepada seluruh elemen masyarakat di India, lockdown menyebabkan mobilitas masyarakat dibatasi secara ketat dan hampir seluruh kegiatan ekonomi dihentikan. Berbagai negara bagian seperti daerah Ibukota New Delhi dan Maharastra bertekuk lutut, tidak siap dalam menghadapi kedatangan virus ini—terlebih imbas ekonomi-sosial yang dibawanya. Namun, Kerala terbukti dapat bertahan, bahkan menunjukan harapan jangka panjang. Perkembangan ideologi Komunisme di Kerala dan praktik politik yang emansipatoris menjadi kunci dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan guna menghadapi pandemi global ini.
Sebelum terpecah menjadi dua, Partai Komunis India/CPI merupakan komponen penting dari perjuangan anti-imperialisme dan anti-kapitalisme. Ideologi kiri CPI menjadi fondasi pembentukan aliansi buruh dan petani yang mampu menggerakan mereka untuk menjadi bagian dari revolusi. Selepas kemerdekaan India, partai ini mulai terlibat ke arah politik parlemen dan bercita-cita untuk masuk ke arena pemerintahan. Cita-cita ini dibuktikan dengan kemenangan pertama mereka di pemilu legislatif di Kerala pada 1957 (Sharma dan Datta, 2019).
Partai ini kemudian menerapkan budaya kontra-hegemoni dalam membangun Kerala (Irschick dan Menon, 1996). Dalam perkembangannya, sebagian besar kaum kiri di Kerala kemudian bergabung dalam formasi CPI(M), setelah CPI(M) memutuskan berpisah dengan CPI karena perbedaan analisis dan garis politik dalam melihat situasi India dan juga pengaruh perpecahan Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok. Agenda utama dari CPI(M) adalah menggunakan negara untuk merekonstruksi tatanan ekonomi-politik di tingkat lokal agar masyarakat sipil—yang didominasi oleh organisasi-organisasi massa yang berafiliasi dengan CPI(M) dan serikat-serikat rakyat lainnya—bisa mengalokasikan dan memakai sumber daya negara dengan lebih demokratis (Williams, 2008). Dalam dua dekade terakhir, budaya kontra-hegemoni yang tadi dibangun mampu mengorganisir komunitas-komunitas kecil ke dalam unit-unit produksi skala kecil. Unit produksi skala kecil inilah yang menjadi kunci penanganan pandemi di Kerala.
Sistem pemerintahan negara bagian Kerala berlandaskan pada pemerataan produksi dan distribusi melalui mekanisme bottom-up yang memberikan ruang bagi pekerja lokal untuk mengelola unit produksinya masing-masing.Sejak 1996, Kerala telah memberi kuasa kepada komunitas terhadap pengelolaan daerah yang diinisiasi oleh People’s Plan Campaign atau Kampanye Perencanaan Masyarakat melalui alokasi dana langsung ke desa-desa atau panchayat (Ghai, 2000). Melalui kebijakan ini, komunitas dapat mendefinisikan prioritas pembangunan mereka sendiri. Salah satunya dengan memperkuat fasilitas kesehatan masyarakat. Sistem penyediaan pelayanan kesehatan tingkat primer dan sekunder berada di bawah pengawasan langsung pemerintah daerah. Di masa pandemi, infrastruktur ini kemudian terbukti mempermudah pelaksanaan tes cepat dan terpadu serta proses karantina yang terstruktur, yang kemudiuan memberikan gambaran jelas bagi pemerintah negara bagian Kerala untuk meratakan kurva pandemi (Khalid, 2020).
Selanjutnya, Kerala memulai Misi Pemberantasan Kemiskinan (Kudumbashree) pada 1998 guna mendukung keberlangsungan program kesehatan tersebut. Tujuan utama dari misi ini adalah pemberdayaan ekonomi dan mendorong perubahan sosial yang dimotori kaum perempuan dalam skala lokal (Parthasarathy et al., 2018). Kudumbashree memegang peran yang sangat penting dalam penanganan pandemi Korona dengan bekerja pararel bersama pemerintah dalam membangun 4.503 kamp bantuan untuk pekerja migran dan mendirikan 500 dapur umum di seluruh penjuru Kerala. Selain itu, kelompok ini juga bertanggungjawab menyediakan pengiriman makanan dan kebutuhan pokok langsung ke rumah-rumah (Varna, 2020).
Berkat perencanaan yang mendalam dan berbasis komunitas inilah pemerintahan kiri Kerala mampu memenuhi kebutuhan warga secara rinci. Kebutuhan para pekerja migran di seluruh negara bagian pun terpenuhi. Situasi ini sangat berbeda dengan pemerintah di negara bagian lainnya seperti Maharastra dan Daerah Ibukota Delhi yang menjadi saksi dari eksodus besar-besaran ribuan buruh migran yang berusaha untuk pulang ke desanya masing-masing di tengah lockdown, yang mengakibatkan kematian bagi banyak buruh migran yang memilih untuk pulang ke kampung halaman menggunakan jalan ini.
Sampai akhir Mei, tercatat lebih dari 1000 kasus Covid-19 dengan tingkat kesembuhan di atas 50%, dan delapan pasien yang meninggal di Kerala. Ini merupakan pencapaian yang cukup signifikan. Berdasarkan data dari bulan April dan Mei, Kerala dinilai berhasil melandaikan kurva pandemi Covid-19. Walau demikian, pemerintah Kerala tidak langsung bernapas lega atas prestasi sementara karena negara bagian ini memiliki agenda penting pasca-relaksasi lockdown, antara lain persiapan menghadapi gelombang kepulangan para buruh dari negara-negara teluk Arab, terbukanya perbatasan antar negara bagian, dan peningkatan kewaspadaan akan banjir musiman yang biasanya terjadi pada musim hujan (dimulai antara bulan Juli-Agustus).
Saat ini, negara bagian lain termasuk yang terpukul cukup keras seperti Maharastra memohon bantuan teknis dari Kerala agar bisa dikirimkan suplai tenaga kesehatan dan kebutuhan terkait, sedangkan negara bagian lain dihimbau untuk menjadikan Kerala sebuah contoh keberhasilan penanggulangan pandemi. Namun, berkaca dari pengalaman Kerala, dapat dilihat bahwa koordinasi dan komunikasi dengan warga bukanlah sistem yang terbangun dalam semalam melainkan telah dipupuk lama dan disirami oleh sistem yang mengukuhkannya.
Melalui sistem desentralisasi dan distribusi yang merata, Kerala seolah menertawakan retorika di pidato-pidato Narendra Modi mengenai penyelamatan nyawa manusia. Dalam pidato pertamanya menjelang lockdown, Modi menekankan ‘jaan hai to jahaan hai’ atau dapat diartikan dengan ‘dunia ini bermakna karena ada kehidupan di dalamnya,’ simbolisasi dari pemerintah yang mengklaim akan mementingkan nyawa manusia alih-alih business as usual. Lucunya, retorika Perdana Menteri Modi yang penuh dengan narasi ‘kemanusiaan’ ini cukup berkebalikan dengan kebijakan India yang biasanya pragmatis demi memajukan pertumbuhan ekonominya dan menguatkan posisinya sebagai kekuatan regional di Asia Selatan agar setara dengan Tiongkok. Namun, kenyatannya kebijakan lockdown yang ketat ini malah jadi eksperimen mengerikan pemerintah India dengan harga nyawa manusia yang menunjukkan betapa kosongnya cita-cita ‘kekuatan regional’ tersebut.
Masa pandemi merupakan mimpi buruk bagi masyarakat India. Kebijakan lockdown serampangan akhirnya menjadi eksperimen politik dengan harga kemanusiaan yang sangat mahal. Tulisan ini memang belum sepenuhnya bisa menangkap warna-warni politik India yang kompleks. Namun, saya ingin memberikan gambaran umum terkait keunikan dari diskursus dan program politik yang ditawarkan gerakan kiri di India di tengah hegemoni politik populis-Kanan yang diusung BJP mendominasi India.
Dalam hal ini, eksperimen politik kiri di Kerala dalam menghadapi pandemi dapat menjadi rujukan bagi segenap kalangan progresif dan siapapun yang memiliki cita-cita tentang dunia yang lebih baik. Sosialisme yang dibangun dari bawah di Kerala rupanya dapat memberikan kebijakan alternatif yang dapat bekerja dengan baik dan memperkuat kapasitas politik rakyat pekerja. Tentu, Kerala tidaklah sempurna. Masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dikerjakan oleh pemerintahan CPI(M) dan segenap rakyat pekerja di negara bagian tersebut. Patnaik (2011) misalnya mengkritik administrasi CPI(M) yang dianggapnya tidak mampu membayangkan proyek yang bisa melampaui hegemoni kapitalisme dan mereduksi makna praksis menjadiperubahan-perubahan yang bersifat empirisis, sehingga partai hanya terparku pada perubahan dan reformasi politik skala kecil alih-alih memajukan dan memperdalam orientasi sosialisme revolusioner di Kerala.
Namun, terlepas dari segala kekurangannya, pencapaian Kerala saya pikir dapat dijadikan contoh dan referensi bagi kita semua. Inilah refleksi yang dapat saya jabarkan dari lima babak lockdown selama dua bulan terakhir, yang membuat kemungkinan saya untuk pulang ke Indonesia dalam waktu dekat nihil. Tapi, terperangkap di negeri orang menjadi berkah buat saya. Ada kesempatan yang bisa saya gunakan untuk mempelajari kiprah gerakan progresif di India. Demi waktu luang yang lebih berfaedah, saya putuskan menghabiskan waktu ‘terkurung’ ini untuk belajar dari Kerala, negara bagian merah yang ada di Selatan India.
Mudah-mudahan refleksi ini berguna bagi kawan-kawan gerakan sosial di Indonesia.***
New Delhi, 10 Juni 2020
Habibah Hasnah Hermanadi, mahasiswa Ilmu Politik, University of Delhi
Kepustakaan
Ghai, D. (2000) Social Development and Public Policy, Social Development and Public Policy. doi: 10.1057/9780230374232.
Irschick, E. F. and Menon, D. M. (1996) Caste, Nationalism and Communism in South India, Malabar, 1900-1948, Journal of Interdisciplinary History. doi: 10.2307/205227.
Kohli, A. (2004) STATE-DIRECTED DEVELOPMENT Political Powerand Industrialization in the Global Periphery. 1st edn. Cambridge: Cambridge University Press. Tersedia di: http://repositorio.unan.edu.ni/2986/1/5624.pdf.
Löfgren, H. (2016) ‘The communist party of India (Marxist) and the left government in West Bengal, 1977–2011: Strains of governance and socialist imagination’, Studies in Indian Politics, 4(1), pp. 102–115. doi: 10.1177/2321023016634947.
Mukherji, R. (2009) ‘The State, Economic Growth, and Development in India’, India Review, 8(1), pp. 81–106. doi: 10.1080/14736480802665238.
Nayyar, D. (2004) ‘Economic reforms in India: Understanding the process and learning from experience’, International Journal of Development Issues. Emerald Group Publishing Limited, 3(2), pp. 31–55. doi: 10.1108/eb045843.
Parthasarathy, S. K. et al. (2018) ‘Kudumbashree State Poverty Eradication Mission: A Model Documentation Report on Addressing Intimate Partner Violence (IPV) in India’. Tersedia di: www.icrw.org/asia.
Patnaik, P. (2011) ‘The left in decline’, Economic and Political Weekly, 46(29), pp. 12–16.
Sharma, A. and Datta, D. (2019) ‘How Can Left Politics in India Be Reclaimed ? History of Left Politics in India’, Economic and Political Weekly, 54(31).
WHO (2020) Coronavirus disease COVID-2019, Situation Report – 141. doi: 10.30895/2312-7821-2020-8-1-3-8.
Williams, M. (2008) The Roots of Participatory Democracy: Democratic Communists in South Africa and Kerala, India. 1st edn. New York: Palgrave Macmillan. Tersedia di: http://repositorio.unan.edu.ni/2986/1/5624.pdf.
Media Elektronik
Khalid, S., 2020. Q&A: How Communist-Run India State Became Model In COVID-19 Fight. [daring] Aljazeera.com. Tersedia di: <https://www.aljazeera.com/news/2020/05/qa-communist-run-india-state-model-covid-19-fight-200521112100510.html> [Diakses pada 30 Mei 2020].
Roy, A., 2020. Arundhati Roy: After The Lockdown, We Need A Reckoning. [daring] Ft.com. Tersedia di: <https://www.ft.com/content/442546c6-9c10-11ea-adb1-529f96d8a00b> [Diakses pada 29 Mei 2020].
Varma, V., 2020. Kerala’S 43 Lakh-Strong Women Self-Help Network Power Community Kitchens During Coronavirus Lockdown.
The Indian Express. Tersedia di: <https://indianexpress.com/article/india/kerala/keralas-43-lakh-strong-women-self-help-network-power-community-kitchens-during-coronavirus-lockdown-6334845/> [Diakses pada 30 Mei 2020].