Anomali dalam Sejarah Partai Terlarang

Print Friendly, PDF & Email


Semaun (kiri) dan Alimin (kanan) saat menghadiri Musyawarah Nasional Pembangunan di Gedung Olah Raga, Jakarta tahun 1957 (Foto Koleksi Bambang Eryudhawan).


TAHUN 1959 adalah tahun yang cukup menyibukkan bagi Semaun (1899-1971). Waktu itu, ia dilantik untuk dua posisi. Pertama, anggota Depernas (Dewan Perantjang Nasional, kini Bappenas) yang diketuai oleh Muh. Yamin (1903-1962). Kedua, anggota Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan, embrio Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara) yang dipimpin Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1912-1988).

Di tengah-tengah kepadatan kegiatannya, Semaun membalas sebuah surat dengan datar. “Saja utjapkan terimakasih atas kesediaan saudara memberi kesempatan pada saja untuk menjambut hari pembukaan kongres partai saudara. Sekian.”, demikian Semaun menutup surat permintaan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang meminta dirinya membuat testimoni dalam rangka Kongres Nasional VI di Jakarta, 7-14 September 1959.

Semaun menyebut dengan jelas surat saudara dan partai saudara. Tidak ada ia sebut partai kita. Semaun telah mendefinisikan dirinya sebagai orang lain dari partai yang turut ia dirikan di Semarang, 23 Mei 1920. Semaun bukan lagi bagian dari PKI. Setelah pulang ke tanah air dari penghidupannya di Uni Sovyet, Semaun kemudian menjadi lebih dekat dan menjadi bagian dari Partai Murba. Kendati demikian, PKI masih menaruh hormat pada sosok ini.


Semaun (kiri) dan Alimin (kanan) saat menghadiri Musyawarah Nasional Pembangunan di Gedung Olah Raga, Jakarta tahun 1957 (Foto Koleksi Bambang Eryudhawan).

Hal yang mengganjal ialah mengapa ketua selegendaris itu dan sejumlah nama peletak dasar partai tersebut tidak lagi bergabung di dalamnya. Bahkan ada pula nama besar senior partai seperti Alimin (1889-1964) yang justru dimuliakan setelah meninggal namun sebelumnya pernah disingkirkan secara sistematis.

Anomali macam itu bukanlah satu-satunya dalam sejarah PKI. Momentum seabad partai yang dilarang melalui Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS tahun 1966 ini patut ditengok dalam koridor kritis, mengingat Indonesia tercipta dari beragam ideologi yang mewarnai sejarah pembentukannya. Koridor kritis itu ialah menelusuri kembali anomali demi anomali partai yang paling kontroversial dalam sejarah Indonesiasentris pasca-1965 tersebut.


Pernah Rutin Berganti Kepemimpinan
Secara kronologis, ketua umum PKI antara lain adalah Semaun (1920), Aliarcham (1921), Tan Malaka (1921-1922), Winanta (1924), Sardjono (1924, 1946-1948), Musso (1948), Tan Ling Djie (1948-1950), dan D.N. Aidit (1951-1965). Pasca-Gestok 1965, Sudisman mengambil alih pimpinan dan sepeninggalnya samar-samar dari luar Indonesia PKI digerakkan oleh Jusuf Aditjorop sekitar awal dekade 1970-an hingga tak lagi terdengar.

Kesepuluh nama di atas dapat dikelompokkan lagi dalam dua kategori. Kepemimpinan berdasarkan kongres partai sebagai mekanisme tertinggi organisasi dan non kongres lantaran keadaan membuat improvisasi dilakukan. Walhasil, Ketua hasil kongres hanyalah Semaun, Ali Archam, Tan Malaka, Winanta, Sardjono, dan D.N. Aidit. Perbandingan kepemimpinan hasil kongres pra-kemerdekaan dan setelahnya adalah 5:2. Sebuah angka perbandingan yang tidak seimbang.

Nama-nama sisa seperti Musso, Tan Ling Djie, Sudisman, dan Jusuf Aditjorop merupakan figur-figur menonjol yang karena faktor keadaan mengambil alih kepemimpinan minus kongres. Walaupun kepemimpinan PKI bersifat kolektif-kolegial namun menyusun semua nama itu secara kronologis bukan perkara mudah, mengingat dokumen atau terbitan resmi sejarah partai tidak serta merta menyediakan daftar lengkap pimpinan partai dari masa ke masa.

Ini belum ditambah ketentuan anggaran dasar dan nomenklatur pimpinan yang ikut berbeda karena kondisi beberapa zaman. Pada zaman pra-kemerdekaan, pimpinan disebut Ketua Hoofdbestuur (Pimpinan Pengurus) di mana mereka dipilih dan disahkan dalam kongres. Pasca-kemerdekaan, berdasarkan Kongres IV PKI, 11-13 Januari 1947, yang memilih Ketua I Sardjono didampingi Ketua II dan Ketua III dalam Central Comite sebagai badan pimpinan tertinggi partai.

Kepemimpinan Tan Malaka (1895-1949) di PKI sendiri dihapus dalam publikasi resmi sejarah partai, menyusul konflik ketidak-setujuan Tan Malaka dalam aksi 1926/1927 yang dilaksanakan oleh pengurus PKI. Ditambah lagi, pasca-proklamasi kemerdekaan Indonesia, Tan Malaka dengan Partai Murba yang ia bidani menjadi rival bagi PKI.

Publikasi saat ulang tahun partai seperti 40 Tahun PKI yang dikeluarkan oleh Lembaga Sedjarah PKI (1960) tidak memuat Tan Malaka sebagai sosok pimpinan partai, sebagaimana Semaun hingga Sardjono.

Sementara itu, Semaun dan Darsono (1897-1976) yang sesudah kembali ke tanah air setelah proklamasi kemerdekaan sama-sama tidak lagi menjadi bagian PKI. Kedua nama ini erat dengan sejarah pendirian PKI. Darsono sendiri tiba di Indonesia tahun 1950. Seperti Semaun, Darsono juga aktif berkontribusi bagi pemerintah RI, tepatnya di Kementerian Luar Negeri hingga tahun 1960.

Di sisi lain, Alimin selaku tokoh senior PKI akhirnya berhadap-hadapan dengan status quo partai. Sekalipun Alimin disebut sebagai Ketua PKI dalam penerbitan Kepartaian di Indonesia (1951) oleh Kementerian Penerangan, hal itu bukan jaminan eskalasi pertentangan atas dirinya dari kepemimpinan muda partai tidak berhenti. Puncaknya adalah konflik yang berujung pada pengunduran diri Alimin dari PKI, 8 Agustus 1956. Hal itu terjadi lantaran Alimin melakukan kritik dengan melibatkan media di luar partai, yakni melalui Harian INDONESIA RAYA pimpinan Mochtar Lubis (1922-2004), edisi 3 Juli 1956. Terlebih, Mochtar Lubis sendiri dikenal anti-komunis.

Alimin mengkritik dan mendakwa bahwa PKI sejak 1951 hingga saat itu, tahun 1956, minus demokrasi internal partai. Setelah peristiwa itu, nampaknya ada islah yang dilakukan oleh status quo partai dengan Alimin. Namun, sejak itu Alimin semakin mundur dari sorotan panggung partai. Sebelum pertarungan politik menepikan Alimin, angkatan tua lain yang disingkirkan ialah Tan Ling Djie. Kepemimpinan muda partai sampai khusus secara intensif membuat serangkaian publikasi perihal bahaya Tan Ling Dji-isme.

Ketika Presiden Sukarno mengangkat Tan Malaka menjadi Pahlawan Nasional tahun 1963, PKI berang. Begitu Alimin meninggal tahun 1964, Presiden Sukarno langsung mengangkat sosok itu sebagai pahlawan nasional. Hal itu dilakukan demi politik Nasakom. Makam Alimin di Taman Makam Pahlawan Kalibata menempati tempat terhormat di dekat pusara para jenderal pahlawan revolusi lantaran G30 S 1965.

Generasi Semaun, Darsono, dan Alimin memang berbeda jauh dengan generasi Aidit, terutama dalam pengalaman lapangan. Alimin dalam autobiografinya, Riwajat Hidupku (1955), senantiasa menyebut front-front pertempuran di luar negeri yang ia turut serta, seperti di Yenan, Tiongkok hingga Vietnam. Generasi Alimin memiliki pengalaman tempur sebagai milisi–sesuatu yang tidak banyak didapat oleh generasi pemimpin PKI sesudahnya.

Persoalan pokok perihal regenerasi kepemimpinan tidak hanya berhenti seperti pembahasan di atas. Regenerasi turut mensyaratkan bagaimana corak dan langgam setiap generasi kepemimpinan partai dibentuk dan membentuk lembaganya. Angkatan tua besar dalam alam kolonial yang represif sedangkan angkatan muda membiasakan diri mereka pada alam demokratis pasca-kemerdekaan Indonesia. Tarik menarik pengalaman dan opini setiap angkatan turut mempengaruhi tensi pertentangan keduanya dalam internal partai.

D.N. Aidit saat menerima penganugerahan Bintang Mahaputra Kelas III dari Presiden Sukarno di Istana Negara, 19 September 1965. Pada 5 Juli 1966 gelar itu dicabut berdasarkan TAP MPRS No. XXX (Foto Koleksi Perpustakaan Nasional RI).

Persoalan Patronase
Nampak hal lain yang menonjol ialah setelah 1951, ketua umum PKI tetap pada figur yang sama. Sekalipun mekanisme partai berupa kongres berkali-kali dilakukan namun ketua umum tetap dipegang sosok yang sama, yakni D.N. Aidit (1923-1965). Sementara pada masa sebelumnya, rutin diadakan pergantian ketua umum terutama saat era kolonial, bahkan semasa revolusi Indonesia.

Kelak, Sudisman (1920-1968) mengoreksi perihal itu dari sudut pandang orang dalam melalui Otokritik Politbiro CC-PKI (September 1966). Baginya, kepemimpinan PKI sejak tahun 1951 mengalami kegagalan dan “telah melakukan penjelewengan-penjelewengan serius dari Marxisme-Leninisme (hlm. 95).”

Problem patron seperti kepemimpinan D.N. Aidit yang terlalu lama duduk sebagai ketua umum juga menjadi fenomena mondial dari kepemimpinan komunis di belahan bumi lain dalam waktu yang sezaman. Hal serupa terjadi di Uni Soviet dengan Joseph Stalin (menjabat 1922-1952), di Tiongkok dengan Mao Zedong (menjabat 1949-1976), atau di Korea Utara dengan Kim Il Sung (1949-1994).

Hal itu ditambah dengan mengentalnya patronase figur seorang Sukarno sebagai Presiden sejak Indonesia Merdeka. Sukarno sebagai medan magnet bagi perpolitikan Indonesia menambah anomali yang lain.

Ironisnya, partai yang senantiasa identik dengan massa buruh dan tani ini tidak pernah menguasai birokrasi selevel menteri dari kementerian yang terkait dengan hajat hidup massa. Sejak Menteri Perburuhan pertama dijabat oleh S.K. Trimurti (1947-1948) hingga Sutomo (1964-1966), tak satu pun kader aktif PKI yang menjadi menteri di dalamnya. Mekanisme dan realitas politik Indonesia pra-1965 yang berlaku bahkan tidak mengizinkan PKI menguasai kementerian tersebut.

Tak pelak lagi, PKI bukanlah identitas dan entitas tunggal. Setiap masa dan periode kepemimpinan turut menentukan PKI yang berbeda-beda. Pemetaan perihal anomali kepemimpinan PKI dari masa ke masa seperti di atas dapat menyibak mitos-mitos yang tercipta atau sengaja diciptakan dalam sejarah politik Indonesia.***


FX Domini BB Hera adalah Peneliti Sejarah di Pusat Studi Budaya dan Laman Batas, Universitas Brawijaya

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.