Kredit ilustrasi: Kompasiana.com
BAYANGKAN seorang perempuan muda berkulit hitam dengan anak balitanya yang sedang menangis kehausan di tengah padang pasir tandus. Ia baru saja sampai di daerah terpencil tersebut setelah sebelumnya diminta untuk meninggalkan tempat tinggalnya, karena kehadiran anak laki-lakinya menjadi ancaman bagi putra kebanggaan majikannya yang baru lahir, Ishaq. Status putra perempuan muda tersebut yang, seperti halnya si putra mahkota, juga adalah anak dari Ibrahim AS, membuatnya menjadi pesaing kuat bagi Ishaq dalam mewarisi status sosial-politik ayahnya yang sangat terpandang. Sayangnya, ia terlahir dari rahim seorang budak yang tak memiliki posisi tawar yang kuat untuk mempertahankan keberadaannya dalam keluarga tersebut. Sadar akan status dirinya, dan status pernikahannya yang tak jelas secara sosial-politik, sang perempuan muda memilih untuk mengalah dan mengasingkan diri beserta anaknya ketimbang menghadapi kemarahan sang majikan perempuan, Sarah. Ia pun membesarkan anaknya sendirian sekaligus membangun sebuah komunitas baru di tempat pengasingannya. Sang anak, yang hidup tanpa relasi familial-patriarkal yang kuat di masa kanak-kanaknya, tumbuh menjadi seorang Nabi besar yang membangun konstruksi geopolitik dan etnisitas awal bagi kehadiran Islam di masa setelahnya. Perempuan tersebut adalah Siti Hajar RA, dan anak laki-laki tersebut adalah Ismail AS.
Beberapa periode setelahnya, seorang perempuan muda lainnya mengalami hal yang serupa. Walaupun ia berasal dari keluarga terpandang, sang perempuan muda tak mampu menampik keputusan Ilahi yang menunjuknya menjadi perempuan suci melalui sebuah kehamilan tanpa proses pembuahan alami. Al-Qur’an menyanyikan pujian-pujian indah bagi kehidupan perempuan ini, yang berbekal komitmen keimanannya, memilih untuk meneruskan kehamilan nir-suaminya tanpa bantuan siapapun. Sadar akan konteks patriarkal masyarakatnya, seperti Hajar, perempuan ini juga memilih untuk mengasingkan diri sampai ia melahirkan anaknya. Dalam menjalani proses persalinan di tempat pengasingan, kombinasi rasa sakit yang teramat sangat dan rasa kesepian sampai membuatnya merasa ingin mati (Qur’an, 19:23). Pun, setelah proses kelahiran, ia harus menghadapi kecaman masyarakat yang memandangnya secara negatif dikarenakan kelahiran anaknya yang tanpa suami. Perempuan muda ini memilih untuk berdiam diri, dan tidak merespon opini masyarakat (Qur’an, 19:26). Sama halnya seperti Ismail AS, bayi laki-laki ini pun tumbuh dewasa untuk menjadi salah satu Nabi terpenting dalam tradisi Islam. Ialah Isa AS, sementara ibunya yang membesarkannya sendiri adalah Siti Maryam RA.
Jika kedua perempuan suci tersebut hidup bersama para putranya di Indonesia pada saat ini, tak diragukan lagi bahwa di bawah perspektif RUU Ketahanan Keluarga, keluarga-keluarga non-patriarkal mereka akan digolongkan sebagai ‘keluarga rentan’, atau bahkan sebagai keluarga yang sedang mengalami ‘krisis’ dan perlu ditempatkan di bawah pengawasan lembaga ketahanan keluarga. Label ‘keluarga rentan’ dan/atau ‘keluarga dalam krisis’ tersebut tidak saja berakar dari kenyataan bahwa keluarga Siti Hajar dan Siti Maryam adalah keluarga-keluarga dengan orang tua tunggal, melainkan lebih dari itu juga karena keluarga-keluarga nan mulia tersebut tidak mengikuti prinsip-prinsip kekeluargaan patriarkal. Betapa tidak, relasi Siti Hajar dengan ayah dari putranya – yang merupakan relasi perbudakan – tentunya tidak dapat dilihat dari lensa pernikahan konvensional yang menempatkan posisi suami-istri dalam konteks kemanusiaan yang sepadan. Demikian pula konteks keluarga Siti Maryam yang sama sekali menegasikan peran laki-laki di dalamnya, juga teralienasi dari definisi normatif-hegemonik ‘keluarga’ yang dielaborasi dalam RUU Ketahanan Keluarga.
Entah apa yang ada di pikiran para pendukung RUU Ketahanan Keluarga yang mengelu-elukan eksistensi ‘nilai-nilai Islami’ di dalamnya. Namun yang pasti, sejarah Islam menunjukkan bahwa tatanan keluarga patriarkal bukanlah tatanan keluarga normatif, bahkan dalam kehidupan beberapa Nabi sekalipun.
Hipokrisi sejarah di dalam RUU Ketahanan Keluarga (mulai dari sini disebut sebagai RUU KK) yang menempatkan konsepsi ‘keluarga patriarkal’ sebagai standar keberadaban dan keberagamaan tersebut, bukanlah satu-satunya indikasi kesalahpahaman para pemrakarsa dan pendukung draf RUU KK akan substansi agama. Indikasi lain yang lebih krusial ditunjukkan oleh penggunaan frasa ‘norma agama’ yang muncul hampir di setiap pasal RUU KK. Dalam draf tersebut, ‘norma agama’ – bersama-sama dengan ‘etika sosial’ – seakan menjadi landasan dan justifikasi bagi setiap pasal-pasal misoginis, homo-trans-queer-fobik di dalamnya tanpa adanya definisi yang jelas dari frasa tersebut.
Bahaya penggunaan frasa ‘norma agama’ di dalam RUU KK terfokus kepada dua aspek, yakni: Pertama, bahaya penyalahgunaan kuasa atas pemaknaan bebas terhadap frasa tersebut. Di bawah rezim neoliberal otoriter yang memihak hegemoni mayoritarian seperti saat ini, keberadaan frasa yang memiliki potensi pemaknaan beragam seperti ‘norma agama’ hanya akan menjadi media konstruksi alienasi bagi kelompok-kelompok yang dianggap sebagai ‘liyan’. Alih-alih menjadi jalan bagi terbukanya dialog tentang apa itu ‘norma agama’, dan siapa yang dapat memaknainya, frasa ‘norma agama’ ini digunakan untuk menghadirkan ajaran-ajaran agama yang mengalienasi dan berpihak kepada penguasa sebagai representasi keseluruhan dari ajaran Islam. Beragamnya pemahaman Islam akan peran perempuan dan berbagai orientasi seksual dan jender dimiskinkan melalui homogenisasi pemikiran keislaman non-kontekstual. Dari sisi ini, jelas sudah bahwa dari perspektif Islam, RUU KK bukanlah perwujudan dari nilai-nilai keislaman di ruang publik, melainkan sebuah gejala lainnya dari pengeringan wacana keislaman yang kaya menjadi sekadar ajaran-ajaran superfisial yang menggandeng kuasa.
Terkait dengan hal itu, bahaya kedua dari penggunaan frasa ‘norma agama’ di dalam draf RUU KK bersumber dari kelindan antara agama dan nasionalisme yang sebenarnya bukan merupakan suatu hubungan yang setara. Argumen ini tentunya bertentangan dengan antusiasme para pendukung draf RUU KK dari kubu Islamis yang menganggap bahwa RUU ini merupakan sebuah kemenangan tersendiri bagi kehadiran ‘nilai-nilai Islami’ di ruang publik. Berlawanan dengan optimisme itu, pembacaan detil terhadap draf RUU tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa ‘norma agama’ diposisikan sebagai alat untuk melakukan pemaknaan ulang terhadap konsepsi anggota masyarakat yang ‘baik’. ‘Norma agama’ dieksploitasi sebagai bagian dari re-definisi ‘nasionalisme’ yang – seperti halnya yang terjadi di bawah rezim Orde Baru (Orba) – dibangun di atas fondasi standar moralitas yang ditetapkan oleh penguasa.
Proses re-definisi ‘nasionalisme’ yang melibatkan penetapan standar-standar konvensional keagamaan dan kebudayaan untuk memilah antara kelompok masyarakat yang ‘beradab’ dan yang ‘tidak’, menjadi fokus kajian V. Spike Peterson, seorang ilmuwati feminis Hubungan Internasional dalam artikelnya, Political Identities/Nationalism as Heterosexism (1999). Dalam kajiannya, Peterson mengkritisi proses pembangunan kebangsaan melalui jargon-jargon keagamaan dan kebudayaan sebagai penyembahan absolut terhadap nilai-nilai heteroseksisme.
Dalam kerangka kritis Peterson, konstruksi ‘nasionalisme’ tak lebih dari proses reproduksi sosio-biologis yang bekerja berdasarkan paradigma biner maskulin-feminin yang pada gilirannya dibuat wajar melalui kodifikasi undang-undang. Dalam kerangka ini, berbagai sistem nilai yang diasosiasikan dengan maskulinitas (logika rasional, stabilitas, hak kepemilikan, dll) menjadi tata nilai normatif yang secara otomatis menempatkan individu-individu yang diasosiakan dengan femininitas sebagai properti dari mereka yang memiliki kuasa maskulin.
Heteroseksualisme sendiri tentunya bukanlah paradigma yang bebas dari nilai-nilai kekerasan. Ketika heteroseksualisme dijadikan sebagai rujukan kehidupan sosial-politik kebangsaan, maka hirarki jender dan seksualitas yang inheren di dalamnya, secara otomatis menempatkan subjek maskulin sebagai ‘norma’ dan subjek ‘feminin’ sebagai ‘liyan’. Selama maskulinitas dipandang sebagai satu-satunya bentuk pemikiran yang patut diikuti dan dipertahankan, maka selama itu pula seksualitas, tubuh, dan produktivitas ‘feminin’ (feminin di sini tidak selalu berarti perempuan) diabdikan untuk kuasa maskulin, yang dalam hal ini mencakup laki-laki cis-heteroseksual, kerakusan kapitalisme, dan otoritarianisme pemerintahan.
RUU Ketahanan Keluarga bukanlah sekadar intrusi negara ke dalam ruang-ruang privat, melainkan adalah segregasi yang nyata terhadap mereka yang dikelompokkan sebagai liyan secara jender dan orientasi seksual. Dalam konteks ini, RUU Ketahanan Keluarga merupakan alat reproduksi identitas nasional, dengan penarikan garis identitas kebangsaan yang menetapkan nilai-nilai ‘keindonesiaan’ dalam paradigma heteroseksual. Dengan demikian, mereka yang berada di luar garis tersebut secara aktif dihilangkan hak-hak kependudukannya, pun hak-hak atas identitas sosial-politiknya sebagai ‘orang Indonesia’.
Sebagaimana re-definisi nasionalisme di India, di mana garis kebangsaan ditarik atas dasar perbedaan agama dan etnisitas, RUU KK adalah upaya re-definisi nasionalisme di Indonesia yang mengelompokkan masyarakat berdasarkan asumsi moralitas-hegemonik heteroseksualisme.
Dengan demikian, kerangka pikir publik-privat tidaklah cukup untuk menganalisa akar permasalahan RUU KK. Tidak saja karena paradigma publik-privat hanya bertumpu kepada konsep kebebasan privat a la neoliberal yang tak berguna untuk mengupas lapis-lapis kekerasan struktural yang dipraktikkan oleh negara, melainkan juga karena lensa analisis publik-privat masih bertumpu kepada salah satu dikotomi biner (publik-privat) yang juga lahir dari akar patriarki RUU KK. Menganalisa RUU KK melalui lensa publik-privat adalah perwujudan kegagalan diskursus yang dikhawatirkan oleh Audre Lorde, yakni diskursus yang mencoba untuk mendekonstruksi akar kekerasan dengan menggunakan logika kekerasan itu sendiri.
Merujuk kembali kepada keluarga-keluarga non-patriarkal yang dipimpin oleh Siti Hajar RA dan Siti Maryam RA, kaitan antara RUU KK dan nilai-nilai keislaman sejatinya tidak terletak pada ‘Islamisasi’ Indonesia seperti yang dikhawatirkan banyak kalangan neoliberal di Indonesia. Walaupun ajaran-ajaran fiqih konvensional dalam Islam menempatkan tata keluarga patriarkal sebagai tatanan yang normatif, ini bukan berarti bahwa Islam tak menawarkan sistem kekeluargaan lainnya yang ramah jender. Penting untuk diingat bahwa dalam diskursus keislaman, kajian-kajian fiqih tidak memiliki legitimasi final untuk memutuskan apa-apa saja yang dipandang bermoral, dan apa saja yang tidak. Paradigma keislaman adalah ranah yang sangat luas dengan kekayaan pertimbangan etis, sejarah, dan budaya yang kesemuanya bersifat kontekstual. Tugas kita sebagai Muslim adalah untuk menjaga supaya kekayaan tradisi Islam ini tidak dikooptasi oleh kuasa pemerintahan yang hanya ingin melanggengkan kekerasan struktural yang dilakukannya melalui pemiskinan wacana keagamaan.***
Lailatul Fitriyah adalah Kandidat Doktoral dalam bidang Gereja Global dan Agama-agama Dunia, Departemen Teologi, Universitas Notre Dame, Indiana-USA
Kepustakaan:
Peterson, V. Spike. “Political Identities/Nationalism as Heterosexism.” International Feminist Journal of Politics 1, no.1 (1999): 34-65.
wadud, amina. “Hajar: of the Desert.” 17 Oktober, 2013, diakses dari: https://feminismandreligion.com/2013/10/17/hajar-of-the-desert-by-amina-wadud/
Smith, Jane I., and Yvonne Y. Haddad. “The Virgin Mary in Islamic Tradition and Commentary.” Muslim World 79.3–4 (July/October 1989): 161–187.
Wandi, Riyad Abu, and Yusuf Qazma Khuri. Isa wa Maryam fi al-Qur’an wa al-Tafasir. Amman, Jordan: Dar al-Shuruq, 1996.