Ilustrasi oleh Jonpey. Karya-karyanya dapat dijumpai di sini.
Dalam pidato pertamanya tak lama setelah terpilih kembali sebagai presiden, Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa aturan yang tumpang tindih, birokrasi yang berbelit-belit serta banyaknya pungutan liar adalah penghambat utama investasi. Singkatnya, korupsi menghambat investasi. Pandangan ini tampak sejalan dengan kepentingan ekonomi pasar bebas yang bersandar pada liberalisme politik dan hukum yang kemudian dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus yang diinisiasi oleh pemerintah. RUU ini akan mengubah lebih dari 80 UU terkait investasi, termasuk UU Ketenagakerjaan. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pemerintah lebih banyak mempertontonkan paradoks dari pernyataan itu daripada sebaliknya.
Pertama-tama, tentu saja paradoks itu dapat diamati dari kasus pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini dilakukan secara aktif oleh pemerintah baik melalui revisi Undang-Undang KPK maupun melalui intervensi atas pemilihan komisioner lembaga anti-rasuah itu. Terdapat desas-desus di kalangan politisi Senayan bahwa Jokowi sendiri secara proaktif menghendaki revisi UU KPK serta menyetujui terpilihnya calon komisioner paling bermasalah, Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri, sebagai Ketua KPK periode 2019-2023. Banyak fakta yang telah dipaparkan berbagai media yang dapat mengonfirmasi desas-desus tersebut. Dan itu terjadi tidak lama setelah pidato Jokowi tengah tahun lalu.
Apa arti paradoks ini? Apakah korupsi benar-benar menjadi masalah bagi para pelaku usaha di Indonesia? Bagi ekonom liberal semacam Faisal Basri, tentu saja jawaban atas pertanyaan itu adalah ‘iya’. Faisal bersama para ekonom liberal lainnya bahkan telah membuat pernyataan keras menolak pelemahan KPK sebagai upaya yang justru dapat menghambat investasi. Ia juga telah diundang oleh KPK memberikan seminar untuk menegaskan bahwa korupsi adalah penghambat investasi.
Tapi kenyataan berbicara lain. Pemerintah bekerja di luar imajinasi dan angan-angan liberalisme ekonomi. Sebab, upaya untuk menciptakan kemudahan usaha justru dilakukan dengan memperlemah lembaga anti-korupsi. Artinya, alih-alih memfasilitasi kepentingan ekonomi pasar bebas, pemerintah sebenarnya tengah berupaya memberi kemudahan bagi kegiatan ekonomi yang bertumpu pada rente dan korupsi.
Beberapa pengusaha nasional dengan antusias menyatakan kegembiraannya atas UU KPK yang baru. Bagi mereka, KPK selama ini dengan kekuasaan yang hampir tak terbatas sering kali mengganggu dunia usaha, mengingat kegiatan ekonomi di Indonesia selama ini bertopang pada rente dan korupsi. KPK juga dianggap menghambat birokrasi dalam membuat diskresi yang diperlukan untuk memperlancar usaha. Bagi para pengusaha, lingkungan birokrasi yang koruptif dan berbelit-belit bukanlah persoalan yang mengganggu. Sejak lama mereka telah mampu beradaptasi dengan lingkungan demikian. Bahkan, birokrasi yang berbelit justru menjadi peluang yang dapat memperbesar keuntungan dalam mengeksploitasi kekayaan publik.
Lihat saja kasus penolakan pemerintah untuk membuka data Hak Guna Usaha (HGU) kepada publik, padahal Mahkamah Agung telah memerintahkan untuk itu. Surya Tjandra, wakil menteri ATR/BPN yang juga politisi partai pendukung perusahaan sawit Partai Solidaritas Indonesia (PSI) serta yang sebelumnya bekerja sebagai aktivis NGO pada isu perburuhan bahkan menyatakan bahwa pembukaan data HGU harus mempertimbangkan privasi korporasi. Padahal data HGU yang tertutup dan sebagian besar dimiliki konglomerat hitam adalah sumber konflik agraria. Maka tidak perlu heran data jumlah konflik agraria dari tahun ke tahun terus meningkat. Data Kantor Staf Kepresidenan (KSP) mengenai konflik agraria juga menunjukkan tren yang sama.
Data status lahan yang tumpang tindih adalah instrumen akumulasi kapital. Maka tidak perlu heran pula, upaya yang sejak lama dilakukan oleh pemerintah untuk membuat satu peta tematik (one map policy) untuk mengatasi tumpang-tindih lahan tidak pernah berhasil. Sebab, pihak-pihak yang diuntungkan dengan kekacauan data itu justru dapat dirugikan dengan adanya penataan peruntukan lahan. Dengan tidak adanya kepastian rujukan atas status tanah, pengusaha dan birokrat korup dapat dengan mudah mengokupasi lahan-lahan milik rakyat maupun yang statusnya tidak jelas.
Rencana penyederhanaan atau bahkan penghapusan izin mendirikan bangunan (IMB) dan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang menjadi bagian dalam RUU Omnibus mengenai investasi juga menunjukkan paradoks pernyataan Jokowi di atas. Di satu sisi rancangan itu menunjukkan adanya semangat reformasi pasar dengan menciptakan kemudahan investasi, tapi di sisi lain, rencana penyederhanaan atau penghapusan instrumen perizinan usaha di atas kontradiktif dengan kepentingan pasar yang bertumpu pada transparansi dan akuntabilitas.
Mengubah Amdal dengan dokumen rencana detail tata ruang (RDTR), seperti yang dinyatakan Kementerian ATR/BPN, sama saja dengan mengalihkan tanggung jawab mengelola dampak lingkungan dari korporasi kepada pemerintah daerah. Ini tentu saja memudahkan pengusaha, tetapi sekaligus membebani pemerintah daerah. Sementara dari 514 kabupaten/kota, baru 40-an daerah yang memiliki dokumen RDTR. Untuk mengatasi lambannya pemerintah daerah menyusun dokumen itu, RUU Omnibus memberi peluang kepada pemerintah pusat mengambil alih pemberian izin usaha, bahkan untuk menerbitkan dokumen RDTR itu.
Rencana kebijakan ini tentu saja mengarah kembali pada sentralisasi. Pemerintah sendiri juga kerap merujuk negara-negara otoriter seperti Cina, Singapura dan Vietnam sebagai contoh bagaimana memperbaiki iklim usaha untuk meningkatkan daya tarik investor. Kalangan pengusaha yang saya temui juga cenderung mendambakan iklim politik yang non-demokratis, ketimbang sebaliknya. Bagi mereka, demokrasi justru memperlambat keputusan-keputusan bisnis yang seharusnya bisa diambil dengan cepat. Para pelaku ekonomi di Indonesia yang masih didominasi oleh wajah lama pengusaha nasional, tidak hanya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang koruptif, tetapi juga bahkan dapat mengeksploitasi lingkungan itu untuk memaksimalkan keuntungan.
Mereka mengakui bahwa penghambat investasi adalah aturan perpajakan yang memberatkan serta buruh yang mahal dan sulit dipecat. Pernyataan pemerintah bahwa birokrasi berbelit dan korupsi sebagai penghambat investasi adalah dalih untuk mengalihkan perhatian publik pada upaya untuk mengubah ketentuan perburuhan yang dianggap memberatkan. Proses penyusunan RUU Omnibus yang tertutup dengan tim kerjanya yang didominasi oleh kalangan pengusaha tanpa melibatkan satu pun elemen buruh mengindikasikan hal itu.
Ini menunjukkan bahwa RUU Omnibus lebih memfasilitasi kepentingan ekonomi rente ketimbang ekonomi pasar bebas yang (katanya) bertumpu pada liberalisme politik. Beberapa pengusaha nasional menolak sangkaan bahwa RUU Omnibus yang memberi perhatian pada persoalan perizinan dan korupsi adalah inisiatif mereka. Tapi mereka bersepakat pada poin bahwa dibandingkan dengan Vietnam dan Bangladesh, buruh di Indonesia selama ini memang merepotkan. Dengan demikian, kritik terhadap RUU Omnibus mesti difokuskan pada upaya pemerintah dan dunia usaha dalam membuat pasokan tenaga kerja yang murah serta mudah diatur dan diberhentikan, bukan pada ada atau tidaknya akuntabilitas dan transparansi dalam dunia usaha.
Bagi aliansi politik-bisnis yang dominan, yang menghambat investasi bukan korupsi, melainkan buruh!***
Bagus Anwar adalah pemerhati sosial politik.