DALAM berbagai kesempatan, saya telah banyak memberikan kritik terhadap pola beragama masyarakat Muslim Indonesia yang kian hari menjadi semakin konsumtif. Dalam pola keislaman seperti ini, Islam tidak dipandang sebagai agama dengan aktualitas nalar dalam praktiknya sehari-hari, melainkan sebagai seperangkat gaya hidup yang bernilai komersial dan dapat dikonsumsi secara instant. Keimanan pun diukur sejalan dengan nilai materi yang dihabiskan untuk membeli ‘artifak kesalihan’ di pasar. Semakin tinggi tingkat konsumsi seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat ‘keimanannya’.
Akan tetapi, praktik ‘Islam konsumtif’ dimana ‘keimanan’ bermakna sekadar kepatuhan terhadap ritual pasar, hanyalah satu sisi destruktif dari paradigma keislaman kontemporer di Indonesia. Sisi lain yang memiliki implikasi lebih destruktif dari konsumerisme pribadi adalah kepatuhan sistemik terhadap bentuk-bentuk otoritas keagamaan konvensional yang umumnya tidak memiliki komitmen terhadap realisasi keadilan sosial.
Penting untuk diketahui bahwa definisi ‘konvensional’ dalam hal ini tidak dapat disamakan dengan ‘tradisional’. Alih-alih ketidakpekaan terhadap isu-isu keadilan sosial, otoritas tradisional Islam di Indonesia (sebagai contoh, pesantren-pesantren yang didirikan sebelum atau segera sesudah kemerdekaan Indonesia di tahun 1945) telah menjadi basis perjuangan rakyat dan salah satu media pencapaian keadilan sosial. ‘Konvensional’ dalam konteks ini merujuk pada sumber-sumber otoritas (personal, kelembagaan, maupun konseptual) yang memiliki fokus tunggal terhadap pelestarian formalitas keagamaan tanpa menghiraukan pembentukan makna sosial yang menyertainya.
Terdapat dua level otoritas keagamaan konvensional yang harus kita perhatikan dalam hal ini. Pada level pertama, kita dapat melihat kepatuhan total masyarakat umum (yang sebagian besar awam akan pengetahuan agama) terhadap perkataan dan ajaran para asatidz, habaib, dan para pemegang otoritas keagamaan konvensional lainnya. Level ini mewakili tataran praksis dari kepatuhan sistemik tersebut yang akan sulit untuk diubah tanpa melibatkan perubahan di tataran kedua, yakni tataran konseptual.
Pada level kedua, kepatuhan sistemik terhadap otoritas konvensional hanya dapat dipahami dalam lingkup diskursus paradigmatis. Subjek kepatuhan ini bukan lagi masyarakat awam, melainkan penjaga gerbang otoritas konvensional itu sendiri seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), ustadz-ustadzah popular, dan lainnya. Problematika kepatuhan sistemik ini dapat dilihat dari produk-produk keberagamaan yang dihasilkan oleh para pemilik otoritas tersebut, yang kemudian dikonsumsi oleh masyarakat awam.
Dengan mencatut klaim ‘pelestarian tradisi’ dan kesetiaan terhadap salaf al-salih, para pemilik otoritas keagamaan konvensional tersebut mengedepankan pemenuhan aspek-aspek formal dalam beragama (pemakaian artifak kesalihan seperti hijab, pemenuhan ibadah wajib tanpa pemaknaan spiritual, dan sebagainya) dengan mengorbankan pemaknaan moral dan etis yang seharusnya menjadi inti dari kesalihan pribadi maupun sosial.
Problematika yang muncul dari kepatuhan sistemik ini bukan hanya terbatas pada reduksi makna keagamaan menjadi sekadar mencentang kotak ‘syarat keimanan’. Lebih dari itu, masalah terbesar dari kepatuhan sistemik ini adalah ilusi yang dihadirkan oleh para pemegang otoritas konvensional yang menampilkan Islam sebagai tradisi monolitik tanpa kekayaan epistemologis dan teoritis.
Penting untuk diketahui bahwa kesetiaan buta terhadap aspek-aspek formal keberagamaan tersebut tidak serta-merta berasal dari ketidakpahaman akan keberagaman perspektif yang terkandung dalam tradisi Islam. Alih-alih memandang eksistensi otoritas konvensional hanya sebagai hasil dari kesempitan pengetahuan para penjaganya, interogasi terhadap bentuk-bentuk otoritas tersebut harus menyasar ranah tanggung-jawab moral para penjaga otoritas tersebut.
Dengan kata lain, ketika seorang kyai atau ustadz memilih untuk menekankan aspek kewajiban berhijab dalam ceramah-ceramahnya, dan untuk tidak berbicara tentang penghormatan Nabi Muhammad SAW terhadap kecerdasan Aisyah, RA, maka penting untuk disadari bahwa kyai atau ustadz tersebut telah mengambil sebuah keputusan moral-etis dengan mengedepankan ajaran Islam yang kental dengan nuansa patriarkal dan meninggalkan ajaran Islam lainnya yang berpotensi memperkuat keadilan jender.
Pola serupa dapat ditemui, misalnya, dalam fatwa MUI Bandung terhadap para pengungsi korban gusuran Tamansari, yang memilih untuk mengedepankan fungsi konvensional masjid sebagai ruang solat ketimbang fungsi pengayomannya sebagai tempat berteduh umat yang sedang menjadi korban kezaliman penguasa. ‘Islam’ yang dihasilkan dari keberpihakan terhadap arus tradisi yang buta akan perjuangan keadilan sosial akan menjadi ‘Islam’ yang melayani penguasa dan menindas mereka yang lemah. Sebaliknya, Islam yang diwujudkan melalui komitmen terhadap arus tradisi yang berakar dari pemikiran pembebasan akan menjadi sakramen bagi salah satu Nama Allah yang Indah (al-Asmaul Husna), yakni al-Muqsit, Ia Yang Maha Membela Kaum Tertindas.
Lalu, arus pemikiran Islam klasik seperti apa yang dapat membuka ruang bagi perjuangan untuk mewujudkan keadilan sosial? Salah satu sumber klasik terpenting yang dapat menjadi acuan bagi ajaran-ajaran Islam yang membebaskan adalah pemikiran Abu Hamid al-Ghazali (wafat 1111 Masehi) tentang prinsip-prinsip keadilan.
Dalam karya-karya terkenalnya seperti Ihya Ulum al-Din, al-Iqtisad fi al-Itiqad, dan lainnya, al-Ghazali mengelaborasi pandangannya tentang keadilan yang bersifat sosial. Seperti dikutip oleh Sabri Orman dalam artikelnya tentang perspektif keadilan Ghazalian, Imam al-Ghazali memprioritaskan diskursusnya untuk menelaah tindakan-tindakan yang berdampak sosial tinggi (tindakan-tindakan muta’addi). Dalam hal ini, tindakan-tindakan yang berdampak positif secara luas dikatakan jauh lebih utama daripada tindakan-tindakan yang berdampak positif bagi individu. Pun, tindakan amoral yang membawa dampak negatif sosial memiliki tingkatan yang lebih buruk daripada tindakan amoral dalam lingkup personal (Orman, 30-32).
Jelas terlihat bahwa konsepsi keadilan yang diajukan oleh al-Ghazali menitikberatkan fokusnya kepada perwujudan kesejahteraan sosial sebagai bentuk tertinggi dari keadilan dalam Islam. Dengan demikian, ekspresi keimanan dan keislaman terkait erat dengan tercapainya pembebasan bagi semua orang. Dalam kerangka keadilan Ghazalian, tidak ada tempat bagi fatwa-fatwa MUI Bandung yang memiliki implikasi destruktif bagi kehidupan banyak orang. Ketaqwaan seseorang diukur dari keberpihakannya kepada kesejahteraan dan keadilan bagi semua, dan bukan dari pemenuhan prasyarat keberagamaan formal seperti yang dituntut oleh otoritas-otoritas konvensional di atas.
Dalam konteks kontemporer, visi keadilan berbasiskan teologi Islam tersebut diusung oleh banyak akademisi feminis Muslim, seperti Professor amina wadud. Salah satu konseptualisasi narasi keadilan dan pembebasan yang telah ia artikulasikan adalah konsep ‘Etika Tauhid’ (ethics of Tawhid) yang ia lawankan dengan ‘Etika Kepemimpinan Patriarkal’ (ethics of Qiwamah) (wadud, 2015). Dalam lensa wadudian, realisasi keadilan (terutama jender) bersumber kepada keEsaan Allah SWT yang menegasikan adanya hirarki dalam berbagai bentuknya di antara sesama manusia. Dengan demikian, kekerasan sistemik yang berakar dari dehumanisasi sebagian manusia dan supremasi manusia lainnya adalah sebuah ketidakmungkinan dalam kerangka etika Tauhid.
Islam bukanlah sebuah tradisi monolitik yang mengharuskan kepatuhan buta terhadap satu versi interpretasi keagamaan yang mempromosikan kekerasan dan mereduksi praktiknya menjadi sekadar formalitas saja. Berlawanan dengan asumsi tersebut, ajaran-ajaran Islam, baik dalam bentuk klasik maupun kontemporernya, terdiri dari ragam paradigma yang tak terpisahkan dari konteks pembentukannya. Kodifikasi ajaran-ajaran patriarkal dan misoginis, seperti praktik sunat perempuan, berdiri di atas fondasi historis dan tekstual yang juga patriarkal dan misoginis. Pun, ajaran-ajaran yang sarat dengan nilai pembebasan dan kesetaraan, umumnya berakar dari proses reflektif mendalam yang mengedepankan keadilan untuk semua.
Keberlanjutan kepatuhan sistemik terhadap otoritas konvensional dalam praktik keislaman, terutama di tataran para pemuka agama, adalah pilihan moral-etis yang secara sadar dilakukan oleh para pemegang otoritas tersebut untuk melestarikan praktik-praktik opresif terhadap liyan. Kita tidak lagi dapat mereduksi kepatuhan terhadap otoritas konvensional tersebut sebagai ketidaktahuan pemuka agama akan kekayaan ragam perspektif dalam Islam. Mereka yang mengedepankan ajaran-ajaran patriarkal dan misoginis dalam Islam telah memilih untuk berpihak pada sisi kekuasaan, dan bukan pada sisi keadilan. Ilusi perspektif tunggal dalam otoritas keislaman harus diakhiri dengan cara mengedepankan paradigma keagamaan yang berdiri di sisi keadilan dan pembebasan bagi semua.***
Lailatul Fitriyah adalah kandidat Doktoral dalam bidang Gereja Global dan Agama-agama Dunia, Departemen Teologi, Universitas Notre Dame, Indiana-USA
Kepustakaan:
al-Ghazali. (n.d.). Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn. Vol. I-V. Beirut: Dâr al-Ma’rifa.
Orman, Sabri. Al-Ghazali on Justice and Social Justice. Turkish Journal of Islamic Economics, 5(2), 2018: 1-68.
wadud, amina. The Ethics of Tawhid Over the Ethics of Qiwamah. In, Ziba Mir-Hosseini, eds., Men in Charge?: Rethinking Authority in Muslim Legal Tradition. Oneworld Publications, 2015.