Kredit foto: Alinea
ERA Reformasi yang dimulai oleh kaum muda bersama gerakan rakyat lainnya pada dua puluh satu tahun lalu, kini tampak tak berjalan mulus seindah ideal. Banyak kegagalan yang bangsa ini alami. Periode transisi, konsolidasi dan demokratisasi tampak stagnan, bahkan semakin mundur. Segenap elite politik berlomba-lomba membangun istana korupsi, merangkul oligarki, membatasi ruang gerak aktivis, mengamputasi kebebasan pers, merumuskan legislasi yang kontraproduktif dan memanggil pulang elite yang dibesarkan Orde Baru dengan mengenakan dasi Reformasi.
Membaca jejak-jejak Reformasi yang telah dikorupsi tersebut, sejumlah besar kaum muda dan gerakan rakyat lainnya kembali turun ke jalan pada tanggal 23 September 2019, di beberapa kota di Indonesia. Mereka mengumandangkan revitalisasi narasi Reformasi sembari melawan ketidakberesan elite politik dalam mengurus kepentingan publik. Jika tahun 1998 common enemy mereka adalah rezim Orde Baru yang otoriter, maka dalam aksi kaum muda 2019 common enemy mereka bukanlah rezim otoriter, tetapi oligarki. Demokrasi telah dikorupsi oleh elite politik yang berhasil mentransformasi diri melalui pintu demokrasi.
Berhadapan dengan krisis politik ini, konsolidasi gerakan kaum muda progresif menjadi suatu keniscayaan. Oleh karena itu, perlu penguatan gerakan kaum muda progresif dalam memainkan perannya sebagai kekuatan politik nasional. Namun, gerakan kaum muda progresif mengalami kemunduran pasca Reformasi. Gerakan kaum muda pasca Reformasi tidak dibarengi dengan ideologi yang memadai dan kelemahan dari sisi organisasi. Karena itu, penguatan kaum muda progresif perlu digiatkan melalui kerja-kerja intelektual progresif dan konsolidasi internal dalam usaha penguatan basis organisasi.
Krisis Politik Pasca Reformasi
Reformasi membawa terang bagi masyarakat Indonesia yang telah lama tinggal dalam gua kegelapan Orde Baru. Gerakan Reformasi ini terkristalisasi dalam kurang lebih enam tuntutan utama. Keenam tuntutan tersebut adalah: pertama, supremasi hukum; kedua, pemberantasan KKN; ketiga, pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya; keempat, amandemen konstitusi; kelima, pencabutan dwifungsi ABRI (TNI/POLRI) dan keenam, pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.
Demokrasi berhasil diraih, kebebasan diperoleh, hak asasi manusia berhasil diratifikasi. Namun, dua puluh satu tahun sesudah apa yang disebut Reformasi, segala semangat gembira sudah menguap. Di satu sisi, Reformasi berhasil mewujudkan demokrasi serta meratifikasi hak-hak asasi manusia ke dalam undang-undang, dan menciptakan iklim kebebasan berpendapat. Namun di sisi lain, sebagian besar agenda Reformasi ‘gagal total’. Reformasi telah mencapai jalan buntu. Kita seolah diseret dalam peta politik Orde Baru di mana pers dibungkam, korupsi merajalela, oligarki membajak demokrasi, pelanggaran dan kejahatan HAM terus terjadi, pemerkosaan terhadap hukum, ketimpangan agraria, kesenjangan ekonomi yang kian mengganga lebar, kriminalisasi KPK, dan berbagai krisis lainnya mencuat.
Pada titik ini, politik pasca reformasi tidak lagi menjadi instrumen kesucian untuk mengabdi pada kesejahteraan umum. Merujuk pada pemikiran Featherstone, dunia perpolitikan kita pasca Reformasi menjadi dunia seolah-olah (virtual reality). Negara disebut demokratis, tetapi nepotisme bertumbuh subur. Fokus pada divestasi, namun kebanyakan memperkaya kantong pribadi. Target negara adalah pemberantasan korupsi namun selalu ada jalan untuk berkonspirasi dengan koruptor.
Bertolak dari kenyataan di atas, Jeffrey A.Winters (2014: 202) mengklaim bahwa teori paling baik untuk membaca pemakzulan cita-cita Reformasi dalam ekonomi politik Indonesia adalah teori oligarki. Selain itu dalam analisis Richard Robison dan Vedi R. Hadiz, demokrasi di Indonesia pasca Reformasi mengalami kemunduran karena dibajak oleh oligarki sejak awal demokratisasi. Sebabnya, ketika Orde Baru tumbang tidak ada kekuatan progresif yang bisa menggantikannya. Kelompok elite lama, yang selama masa Orde Baru bersekongkol dengan Soeharto, hanya berganti baju reformasi tapi tetap mempertahankan ideologi dan cara kerja Orde Baru.
Revitalisasi Gerakan Kaum Muda Progresif
Aneka krisis yang menggurita dalam era Reformasi memunculkan sebuah kebutuhan akan adanya gerakan kaum muda progresif untuk menentang pemakzulan terhadap cita-cita Reformasi. Dalam konteks penciptaan gerakan kaum muda yang progresif, maka perlu kita kembali melihat dalam perspektif kelas sosial. Tidak sekadar klaim atau frasa bombastis, namun turut dalam upaya pendiseminasian pengetahuan sampai di basis sosial. Salah satu yang dapat diupayakan adalah melakukan transmisi pengetahuan yang mudah dicerna oleh basis rakyat, mendorong suatu praktik-praktik pengorganisasian yang nantinya tercipta gerakan organisasi yang solid. Kemudian dengan konsisten melakukan kerja-kerja pentransmisian pengetahuan dan menyolidkan organisasi.
Namun pasca reformasi, gerakan kaum muda progresif dihadapkan pada pluralitas gerakan yang luar biasa. Secara kualitatif dan kuantitatif, gerakan kaum muda mengalami penurunan. Menurut Ari Priyatno (2012: 177), ada beberapa kelemahan gerakan kaum muda pasca reformasi. Pertama, gerakan kaum muda lemah dalam hal ideologi. Secara historis, gerakan kaum muda 98 muncul karena salah satunya dan paling mendasar adanya krisis ekonomi. Kaum muda bergerak karena ekonomi lumpuh total, harga kebutuhan pokok naik dan PHK dimana-mana. Kesadaran ekonomis ini kemudian berhasil disublimasikan dalam kesadaran politik.
Kondisi tersebut jelas berbeda dengan gerakan 90-an, di mana gerakan kaum muda berawal dari kelompok-kelompok diskusi. Dari diskusi-diskusi yang dilakukan, kaum muda menjadi sadar tentang apa yang harus dilakukan, bahwa sistem koruplah yang menyebabkan negara berada dalam puncak krisis. Oleh karena itu, kontinuitas gerakan terpelihara. Perdebatan-perdebatan teoretik berlangsung secara dinamis, sehingga selalu timbul perspektif yang mencerahkan (Ari Priyatno, 2012:178).
Kedua, kelemahan dalam hal organisasi, yakni tidak adanya organisasi nasional yang menyatukan seluruh gerakan kaum muda. Ini berdampak pada tidak adanya kesatuan aksi di antara gerakan kaum muda yang ada. Masing-masing gerakan berjalan sendiri-sendiri. Tidak adanya kesatuan aksi yang berakibat pada fragmentasi gerakan.
Dua halangan ini membuat gerakan kaum muda pasca Reformasi kurang berperan penting dalam memperjuangkan kepentingan rakyat seperti dalam era-era sebelumnya. Gerakan mahasiswa pasca Reformasi, misalnya, cenderung terkotak-kotak. Kondisi ini memang disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya kondisi zaman di mana sistem politik mulai terbuka dan demokratis. Oleh karena itu, perlu adanya adaptasi dan revitalisasi gerakan.
Dalam konteks itu, saya menawarkan dua poin berikut dalam merevitalisasi gerakan kaum muda progresif pasca Reformasi.
Pertama, gerakan ideologis. Kaum muda perlu mempunyai pandangan, sikap dan tindakan yang didasarkan pada kerangka ideologis. Dalam modal ideologi, dikenal tiga dasar yaitu visi, keyakinan dan nilai. Visi merupakan rumusan mimpi seseorang. Keyakinan menunjukan bagaimana seseorang atau organisasi memberikan makna. Nilai-nilai merupakan turunan yang bersifat lebih operasional dari keyakinan.
Untuk sampai pada pemahaman ideologi yang benar, kaum muda harus melewati tahapan-tahapan penting, mempelajari teori-teori yang dianggap bisa menjadi pedoman gerakan progresif. Dengan demikian, sangat penting bagi kaum muda progresif untuk melakukan diskusi-diskusi tentang teori-teori progresif, membuka kembali buku-buku klasik bernuansa revolusioner. Selama ini sebagian besar kaum muda disibukkan dengan aksi-aksi, sehingga tidak sempat secara intensif mempelajari teori. Karena itu tak heran kalau mudah terombang ambing (Ari Priyono, 2012: 185).
Kedua, konsolidasi gerakan melalui organisasi. Organisasi ini penting sebagai ruang diseminasi gagasan, mobilisasi massa dan kaderisasi kepemimpinan. Organisasi yang dibutuhkan adalah organisasi yang memiliki program, strategi dan taktik yang jelas sampai isu dan tuntutan.***
Rio Nanto adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere
Kepustakaan:
Prayitno, Ari. 2012. “Literasi Politik Melalui Gerakan Mahasiswa Indonesia”, dalam Andi Faisal Bakti, dkk, (eds.) Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi. Jakarta: Churia Press.
Railon, Francois. 1986. Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974. Jakarta: LP3ES.
Tim ISAI.1995. Bayang-bayang PKI. Jakarta: ISAI.
Winters, Jeffrey. 2014. “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia”, dalam AE Priyono dan Usman Hamid (eds.) Merancang Arah Baru Demokrasi Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.