Kredit ilustrasi: CUSPP Canberra
SEJARAH mencatat kekalahan demi kekalahan dari setiap perjuangan kelas pekerja di dunia sejak dua abad terakhir. Setidaknya hampir semua perjuangan, kalau saja sempat berhasil, takkan bertahan lama dan menjadi terkucil. Kita bisa mengingatnya sejak letupan senjata pada Revolusi Prancis, Revolusi 1848 di Eropa, Komune Paris, Spartakus di Jerman dan berbagai perjuangan kelas di belahan dunia lainnya. Tentu ada pengecualian, seperti kemenangan gilang gemilang gerakan revolusioner para Bolshevik dalam Revolusi Oktober di Russia, perjuangan Tentara Merah Tiongkok melawan fasis Jepang dan oportunis Kuomintang, gerilya Gerakan 26 Juli yang menumbangkan diktator Batista dalam Revolusi Kuba, dan tentu saja para Vietcong yang dapat membikin Amerika Serikat angkat kaki dari Indochina dalam satu dua pukulan, meski episode-episode kemenangan tersebut juga tak lepas dari banyak tantangan.
Dalam sejarah negeri kita sendiri, perjuangan kelas pekerja selama dua abad terakhir ditumpas telak oleh borjuasi yang bersembunyi di balik jubah bersimbol nasionalisme, religiusitas, dan slogan-slogan yang mengatasnamakan kebebasan. Mulai dari hak-hak kelas pekerja yang direbut melalui perampasan hingga jutaan manusia yang menjadi korban pembantaian, kelas pekerja pun harus bungkam dan kehilangan arah hingga hari ini ketika tulisan ini diketik.
Apabila kita mengamatinya, mestinya muncul pertanyaan dalam kepala kita, dengan apa segenap perlawanan kelas pekerja tersebut ditumpas? Lalu dengan apa pula gerakan-gerakan itu mampu meraih kemenangan? Meski banyak faktor yang memungkinkan kegagalan dan kesuksesan, di antaranya seperti perbedaan latar sejarah, kebudayaan, geografis, geopolitik, momentum dan masih banyak lainnya, namun yang terlihat jelas bahwa hampir setiap perjuangan ditumpas oleh kekuatann bersenjata dan hampir semua gerakan dimenangkan pula lewat perjuangan bersenjata.
Perlawanan bersenjata di Indonesia hari ini bisa jadi tidak lagi dimungkinkan, namun refleksi ini akhirnya mengingatkan saya kepada seorang tokoh keren dari dunia kuno. Seorang jenderal perang, ahli strategi, filsuf dan penulis pada masa Dinasti Zhou di Abad ke-5 Sebelum Masehi yang terkenal dengan karya terbaiknya berjudul “The Art of War” atau Seni Berperang. Kumpulan tulisan dari sang master ini terdiri dari 13 bagian, yang mana setiap bagiannya membahas setiap aspek berperang dan bagaimana cara mengejawantahkannya dalam strategi-taktik militer. Meski buku ini berpengaruh sangat besar dalam dunia militer dan peperangan setelah masa itu, buku karangan Sun Tzu alias Master Sun ini ternyata juga sering diaplikasikan dalam dunia bisnis, dunia hukum, pilihan hidup serta gaya hidup dan lainnya. Apakah Anda pernah membacanya? Kalau sudah, silahkan saya diberikan kritik dan masukannya jika tidak tepat. Apabila belum, izinkan saya memberikan sedikit spoiler.
Setelah selesai membaca buku Seni Berperang, saya menemukan beberapa kalimat-kalimat penting yang kiranya perlu kita resapi di sini. Dari 13 bagian terdapat beberapa kata-kata Master Sun yang menurut saya mesti kita pertimbangkan untuk mengevaluasi setidaknya di dalam gerakan kita selama ini, di antaranya sebagai berikut:
“Oleh karena itu jika Anda mengenal musuh dan mengenal diri Anda sendiri, Anda tidak perlu takut akan hasil dari ratusan peperangan. Apabila Anda mengenal diri sendiri namun tidak mengenal musuh Anda, dalam setiap kemenangan yang Anda dapatkan, Anda juga akan menderita kekalahan.”
Lewat kalimat ini, Master Sun memberikan pesan kepada kita akan pentingnya untuk tak hanya memahami kapasitas kemampuan diri kita sendiri, melainkan juga milik lawan kita. Kita tidak persis tahu apakah Mao, Fidel, dan Che pernah berguru kepada Sun Tzu atau tidak, namun dalam strataknya mereka secara tak langsung mengaplikasikan ajaran ini. Mao yang sadar akan kemampuan pasukan Tentara Merah di akhir tahun 1934 memilih untuk melakukan Long March dari Provinsi Jiangxi di selatan sampai ke Provinsi Shaanxi di utara untuk menghindari serangan pasukan nasionalis Kuomintang. Fidel dan Che memilih peperangan gerilya dengan metode hit and run khasnya karena menyadari terbatasnya jumlah pasukan serta persenjataan. Lantas apa yang terlebih dahulu dilakukan Mao dan Fidel sebelum mengambil sikap? Tentu saja mereka mengukur peluang, mengirim mata-mata, menanyakan informasi kepada warga lokal, mengumpulkan informasi dari banyak media dan sebagainya untuk mengetahui kekuatan lawan. Mao dan Fidel bisa dibilang realistis, mau mempelajari lawan mereka dan sekaligus belajar dari mereka untuk mengambil strategi serta taktik yang tepat.
“Maka seperti itulah dalam perang, ahli strategi yang akan menang mencari pertarungan setelah kemenangan telah dimenangkan terlebih dahulu, sedangkan ia yang kalah dalam pertarungan akan mencari kemenangan setelahnya.”
Apabila pada penjelasan sebelumnya, Mao dan Fidel mempelajari kapasitas mereka sendiri dalam perjuangan dan kapasitas lawan mereka dalam pertempuran, mereka berdua tentu saja dengan cermat segera mengatur strategi dan taktik. Long March dan perang gerilya terbukti merupakan stratak yang menurut pertimbangan mereka efisien dalam memenangkan pertempuran.
Master Sun mengajak kita mempertimbangkan perencanaan dengan sangat matang sehingga tidak perlu mengorbankan banyak sumber daya. Hal ini sesuai dengan prinsip Mao dan Fidel, bahwa bertahan hidup lebih penting ketimbang aksi-aksi heroik, sebab kematian yang sia-sia hanya akan mempersulit keadaan kala itu. Dengan berkoordinasi dan bekerja sama, korban lebih minim, pasukan bertambah pengalaman dan pertempuran akan mudah dimenangkan. Layaknya yang dikatakan oleh Kambei Shimada dalam film Seven Samurai (1954) “Dengan melindungi satu sama lain, engkau menyelamatkan dirimu sendiri.” Oleh karena itu setiap daya upaya terarah dan membuahkan hasil yang maksimal sangatlah penting, lalu Sun Tzu pun melanjutkan kata-kata mutiaranya.
“Taktik militer bagaikan air, sebab air pada sifat alaminya akan pergi dari tempat tinggi ke tempat yang rendah. Maka dalam peperangan, caranya yaitu menghindari yang kuat dan menyerang yang lemah. Air menyesuaikan dirinya pada bentuk di sekitarnya di mana ia mengalir, tentara mendapatkan kemenangannya dari musuh dengan cara menyesuaikan diri dengan musuhnya. Ia yang mampu memodifikasi taktiknya dengan menyesuaikan pada lawannya maka ia akan sukses dalam kemenangan, ia dapat dipanggil sebagai kapten setengah dewa.”
Hampir sama seperti kamerad sejawatnya, Mao dan Fidel, Ho Chi Minh bersama Vietminh dan para Vietcong hampir selalu mengungguli lawannya dalam setiap pertempuran di Vietnam. Kok bisa? Seorang pengamat perang bernama Marc Jason Gilbert dalam bukunya Why the North Won the Vietnam War (2002) memaparkan setidaknya ada 11 faktor yang memungkinkan Vietnam Utara memenangkan Perang Vietnam, dari ketahanan logistik dan ruang manuver, sistem organisasi yang terperinci dan tumpang tindih yang didukung oleh indoktrinasi, dan yang terakhir ialah kemampuan belajar serta beradaptasi.
Dalam perang tersebut, salah satu aspek yang mendukung Vietnam Utara dalam memenangkan peperangan yaitu karena disusunnya Ho Chi Minh Trail: jalur logistik raksasa dari Vietnam Utara melalui Kamboja dan Laos hingga Vietnam Selatan yang diperuntukan bagi para pejuang di garis depan. Selain itu, Tentara Vietnam dan Vietcong membangun struktur organisasi yang luas serta menyeluruh dengan kedisplinan para pejuang yang juga merupakan salah satu kunci kesuksesannya. Tentu saja hal itu membuahkan hasil dengan cara perang gerilya khasnya yaitu lubang laba-laba dan taktik-taktik penyergapan.
Dari sini ada satu hal yang tak kita temukan dalam gerakan pemberontakan mana pun juga. Konon, setelah pertempuran usai, setiap individual atau unit, bahkan para komandan yang telah beraksi hari itu wajib melaporkan dan mengevaluasi setiap aksinya lewat suatu sesi yang dinamakan sesi kritik dan kritik diri. Melalui sesi ini, mereka senantiasa mampu menganalisis kelebihan dan kelemahan mereka dalam setiap operasi. Maka bagi mereka secara tidak langsung setiap pertempuran bagaikan suatu eksperimen. Karena setiap strategi dan taktik selalu diuji kemutakhirannya. Sehingga dapat selalu diperbaharui dan beradaptasi dengan kondisi yang ada. Tampaknya meski gatal-gatal digigit nyamuk hutan, luka-luka terkena material pecahan bom dan sangat kelelahan, melalui organisasi yang disiplin itu para Vietcong dan Tentara Vietnam tidak melupakan metode Marxisme. Selain itu, mereka juga menerapkan sekaligus berhasil membuktikan apa yang telah diajarkan Master Sun ribuan tahun yang lalu.
Seperti itulah kiranya ajaran Sun Tzu yang telah dibuktikan khasiatnya oleh gerakan perlawanan rakyat pekerja setidaknya pada abad ke-20. Jika di atas telah diceritakan beragam contoh keberhasilan, bagaimana dengan mereka yang gagal? Walau pasti banyak alasan serta faktor yang memengaruhinya dan tentu saja kesimpulan saya ini tidak final, satu hal yang pasti mereka tidak menerapkan atau bahkan tidak mempelajari kebijaksanaan Master Sun. Meski terdengar klise, ajaran Sun Tzu membuka mata kita bahwa kedisplinan dalam belajar, kematangan dalam berencana, dan kemampuan beradaptasi adalah kunci keberhasilan dalam sebuah pertarungan.
Pertarungan di sini bisa saja pertarungan dalam pembuktian kebenaran, bisa juga sampai pertarungan pembuktian kekuatan. Dengan kata lain pertarungan bisa saja hanya dalam perdebatan, bisa juga dalam bentuk peperangan. Keduanya bagaikan dua sisi koin yang diputar di atas tangan Harvey Dent. Bisa saja sisi koin muka berada di atas, bisa juga sisi koin belakang yang berposisi di atas. Maka apabila sisi koin muka di atas, setidaknya kita telah memahami apa yang dijabarkan Sun Tzu. Marxisme mesti dihadapkan kepada realita kapitalisme hari ini agar dapat dibuktikan kebenarannya. Tentu saja untuk mengkritik kapitalisme, kita mesti memahami terlebih dahulu apa itu kapitalisme. Kita tak perlu lagi repot-repot membedah jaringan serta sel-sel dari kapitalisme sebab Marx-Engels beserta para tokoh penerusnya telah menelurkan tulisan hingga kajian kritik terhadap kapitalisme. Tugas kita saat ini yaitu mempelajarinya dengan seksama, mengujinya dan menerapkan inovasi atas pembelajaran itu, dan menyampaikannya dengan metode yang tepat kepada khalayak ramai. Sebab apabila metode Marxisme dapat bermanfaat dan membikin kehidupan orang-orang menjadi lebih baik, tentu tidak akan lagi yang menanyakan apakah Anda anti Pancasila dan anti Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lantas bagaimana jika sisi koin belakang yang berada di atas? Tentu saja hal pertama yang akan dilakukan adalah belajar. Apabila kekuatan bersenjata yang menjadi oposisi utamanya, maka belajarlah darinya. Seperti Master Sun, Engels pun selain sempat menjadi prajurit artillery Kerajaan Prussia, ia juga menulis banyak sekali artikel mengenai dunia militer yang idenya masih hangat sampai hari ini. Perihal Engels dan dunia militernya mungkin akan kita bahas dalam tulisan selanjutnya. Namun yang ingin saya sampaikan adalah bahwa dunia militer tidak seburuk yang kita bayangkan selama ini, justru nilai-nilai kedisiplinan, garis komando dan semangat pantang menyerah hanya yang dapat kita pelajari dari mereka yang berseragam loreng hijau. Jadi tidak ada ruginya belajar dari mereka yang selama ini kita anggap lawan.
Hal ini penting kiranya untuk kita pertimbangkan mengingat kata-kata Sun Tzu yang pertama saya kutip di atas. Dengan mengenal kemampuan kita dan seperti apa kemampuan lawan kita, pengalaman kelam yang terjadi pada warga Komune Paris atau pada Spartakus di Jerman tidak perlu kita alami lagi. Ini mengingatkan kita kepada kata-kata Michael Corleone dalam film The Godfather III (1990), “Keep your friends close, but your enemies closer.”***