REALITAS dunia dari waktu ke waktu terus berubah. Dinamisme ini serentak membawa banyak perubahan pola hidup bagi setiap generasi termasuk gaya berpolitik. Penyesuaian menjadi penting demi menjawabi tantangan yang diemban setiap generasi. Kesesuaian adalah keharusan agar ada harmoni antara metode pendekatan dengan realitas politik yang tersibak.
Hal yang khas itu juga dapat terlihat dalam gaya berpolitik generasi Z. Kekhasan ini erat dipengaruhi perkembangan teknologi internet yang turut menghadirkan media sosial. Media sosial telah meruntuhkan jarak ruang dan waktu dalam wadah piranti teknologi. Tidak ada lagi hambatan untuk berkomunikasi maupun berdiskusi. Akses terhadap informasi pun semakin up to date.
Melalui media sosial inilah generasi Z mengendus, menganalisis, dan menganjurkan sebuah perlawanan terhadap situasi politik yang mereka anggap sedang bermasalah. Media sosial melahirkan habitus baru, juga gaya berpolitik yang baru. Semua berterima dengan kecenderungan generasi Z yang lebih suka sesuatu yang kekinian dan praktis. Gaya berpolitik itu mempunyai satu pola, dari media sosial kepada aksi nyata.
Generasi Z dan Media Sosial dan Politik
Dunia kehidupan generasi Z tidak bisa terlepas dari media sosial. Namun, sebelum kita melangkah lebih jauh, ada baiknya saya memberikan batasan terkait generasi Z yang dimaksud. Hingga saat ini, memang tidak ada kata sepakat terkait tahun kelahiran generasi Z. Badan statistik Kanada, misalnya, mengklasifikasikan orang-orang yang lahir pada 1993-2011 untuk masuk generasi ini. Sementara McCrindle Research Centre di Australia punya pandangan berbeda. Menurut mereka Generasi Z adalah orang-orang yang lahir selepas Desember 2000.
Meski ada beragam pandangan terkait waktu kelahiran, namun beberapa institusi maupun makna leksikon-baik yang disebut maupun tidak dalam tulisan ini, semisal Meriam Webster atau Oxford Dictionary- tetap memiliki kesamaan persepsi ketika mengatakan bahwa generasi Z memiliki DNA digital seutuhnya. Hal inilah yang membedakan generasi Z dari generasi milenial yang sebagiannya lahir sebelum kemunculan internet.
Lahir pada era kemunculan internet menjadikan generasi Z layak untuk dinobatkan sebagai generasi digital native (mereka yang lahir setelah kehadiran Internet dan oleh karena itu melek teknologi (Helsper dan Enyon, 2009)). Mereka inilah yang paling akrab dengan kecanggihan internet. Tidak heran bila kemudian kita melihat banyak kalangan dari generasi ini yang betah untuk hidup di dalam dunia virtual lewat platform-platform media sosial. Untuk konteks Indonesia sendiri digital native adalah pengguna internet terbesar. Menurut data Google Consumer Behaviour, sebanyak 50% dari total 265,4 juta populasi penduduk di Indonesia adalah pengguna internet. Setengah dari jumlah itu didominasi oleh digital native. Sementara survei yang dibuat We Are Social pada 2017 menunjukkan bahwa sebanyak 106 juta dari total 262 juta populasi masyarakat Indonesia adalah pengguna aktif media sosial. Dan kelompok digital native menduduki peringkat pertama sebagai yang terbanyak (Triastuti, Prabowo, & Nurul:1, 2017).
Keeratan hubungan Generasi Z dan media sosial turut memengaruhi pola gebrakan politik mereka. Generasi Z punya karakteristik yang cenderung berorientasi pada target dan bukan proses. Karakteristik ini terakomodasi secara baik di dalam media sosial. Media sosial memungkinkan konsolidasi dan kampanye menjadi lebih mudah dan cepat tanggap untuk memulai aksi. Mereka menghendaki sebuah perubahan progresif yang jikalau bisa, terlaksana secepat mungkin dengan cara-cara kekinian yang tidak rumit.[1]
Media Sosial adalah salah satu wadah yang cocok dan tepat bagi generasi Z untuk mengampanyekan kepedulian mereka terhadap masalah sosial-politik. Aksi Greta Thunrberg dan Lilly Plat adalah contoh yang dapat diangkat. Dua gadis ini memanfaatkan media sosial sebagai sarana untuk mempengaruhi khalayak banyak terkait isu-isu kemanusiaan. Lewat media sosial Greta berhasil mengkampanyekan gerakan Friday for future-nyadan menggalang massa yang tergolong banyak untuk menentang kebijakan-kebijakan yang merusak lingkungan hidup. Sementara Lilly lewat kanal Twitternya mampu mengajak banyak orang untuk punya perhatian khusus terhadap deforestasi Hutan Amazon.
Untuk konteks Indonesia, pemanfaatan media sosial untuk sebuah gerakan politik dapat terlihat dalam #TanpaNamaKampus pada gerakan #ReformasiDikorupsi beberapa waktu lalu. Beberapa mahasiswa yang dilarang ikut berdemonstrasi oleh kampusnya membuat aliansi ini dan mengampanyekannya lewat media sosial. Sambutannya sangatlah positif dan berhasil mengumpulkan sekitar 120-an orang. Selain itu selama gerakan #ReformasiDikorupsi,media sosial juga digunakan untuk mengumpulkan dana bantuan, informasi mahasiswa hilang, waktu dan tempat berkumpul, serta informasi penting lainnya.
Sesuatu yang dibuat generasi Z ini adalah sebuah gaya berpolitik baru. Hal ini serentak mementahkan segala asumsi bahwa generasi Z adalah generasi apolitis. Majalah ekonomi Newsweek pernah menyoal generasi Z dengan narasi utama; Generasi Z dianggap sebagai generasi yang apolitis, mudah cemas, tak berani ambil risiko serta pragmatis secara ekonomi. Pandangan ini lahir dari anggapan bahwa generasi Z lahir di era ketika sudah tidak ada lagi peristiwa tragis 9/11, kebijakan-kebijakan perang, serta kolonialisme.[2] Sebaliknya mereka lahir di era internet dan segala kemudahannya yang justru dapat melahirkan mentalitas instan.
Namun demikian, rupanya segala kemudahan yang diperoleh dari internet justru menjadi kekuatan utama generasi Z. Apa yang dibuat Greta, Lilly hingga #TanpaNamaKampus adalah contoh nyata. Tidaklah mengherankan bila kemudian Dana Fisher mengatakan bahwa gerakan yang dibuat generasi Z apabila terus berkembang, akan berpotensi mengubah lanskap politik yang ada. Gaya politik yang khas dan cepat tanggap membuat generasi Z memiliki pengaruh kuat untuk memobilisasi arah kebijakan politik.
Bahaya Politisasi Media Sosial
Kehadiran Media sosial di satu sisi merupakan prestasi sekaligus mampu mengakomodasi gaya berpolitik generasi Z. Namun di lain sisi, kehadiran media sosial juga dapat menjadi masalah serius tatkala dipolitisasi. “Keakraban” media sosial dengan orang muda yang belum mempunyai preferensi politik yang kuat acapkali dimanfaatkan oleh para politisi untuk memobilisasi suara maupun “menungganginya” demi kepentingan tertentu.
Gempuran hoaks, kampanye hitam, hingga ujaran kebencian sering mewarnai ranah media sosial. Kehadiran Buzzer juga kerap mengaburkan fakta tujuan gerakan generasi Z. Sebuah gerakan yang secara substansial sebenarnya berdaya transformatif dipelintir sedemikian rupa sehingga menyajikan fakta yang sebaliknya.Tidak jarang hal ini membuat kaum muda kehilangan arah progresifitasnya di mata masyarakat. Pada tataran ini media sosial ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi dia adalah senjata yang dapat memantik perubahan sosial, namun di sisi lain juga dapat membunuh gairah dan optimisme ketika dipolitisasi pihak-pihak tertentu.
Politik a la Generasi Z : Dari Media Sosial kepada Gerakan Nyata
Politisasi media sosial adalah secuil masalah yang mungkin dapat meruntuhkan kepercayaan masyarakat dan optimisme generasi Z itu sendiri. Namun hal tersebut kiranya tidak perlu dicemaskan apabila generasi Z memiliki komitmen dan fokus terhadap gebrakan yang dibuat. Politisasi tidak akan mendapat tempatnya apabila generasi Z itu sendiri berhasil menunjukkan bahwa gaya berpolitik lewat media sosial yang dibuat sungguh-sungguh berdaya transformatif.
Maka dari itu demi tercapainya hal ini hemat saya ada beberapa hal yang dapat dilakukan: pertama, Menyuarakan suara kaum tertindas lewat postingan media sosial. Terkadang mereka yang tertindas tidak punya kesempatan untuk menyuarakan penderitaan mereka. Maka dari itu kehadiran media sosial dapat dijadikan sarana untuk menyuarakan penderitaan ini agar ditanggapi secara serius. Pada tataran ini media sosial tidak dijadikan sebagai sarana rekreatif semata. Seorang pengguna akun tidaklah mengejar rating dari konten yang dibagikan melainkan mengejar sebuah perubahan sosial-politik. Generasi Z dapat melakukannya lewat kampanye yang memihak kaum tertindas dan mengajukan perlawanan terhadap situasi ini di media sosial. Atau bisa juga dilakukan dengan memposting aneka fakta yang menunjukkan sebuah ketimpangan sosial. Dari informasi-informasi ini, niscaya ada sebuah gerakan perubahan yang nyata.
Kedua, membangun ruang diskusi yang progresif. Media sosial memungkinkan pertemuan berbagai pandangan baik dalam skala lokal, nasional maupun internasional. Kemungkinan ini membuka sebuah peluang terbentuknya ruang diskusi yang progresif. Di dalamnya bisa dilakukan aneka tukar pandangan yang dapat membuka dan memperkaya cakrawala berpikir. Luasnya horizon berpikir dapat memudahkan generasi Z untuk memvalidasi dan memverifikasi aneka berita dan informasi dari beragam perspektif. Pada akhirnya dari ruang diskusi yang telah memantik nalar kritis ini muncul aksi nyata untuk menentang kebijakan tertentu.
Selain itu ruang diskusi media sosial ini pada tingkatan tertentu dapat menggalang sebuah advokasi kebijakan publik lewat petisi-petisi yang menolak kebijakan-kebijakan tertentu. Lewat hal-hal inilah, generasi Z dapat membuktikan bahwa gaya berpolitik mereka memang berdaya transformatif serentak juga menutup ruang bagi upaya-upaya yang hendak menunggangi aneka gerakan mereka.***
Jimmy Yohanes Hyronimus memiliki hobi membaca karya-karya Eka Kurniawan. Saat ini sedang menempuh studi Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero-Maumere-Flores-NTT. Tinggal di Ritapiret, Maumere
————-
[1] https://tirto.id/tirto-visual-report-masa-depan-di-tangan-generasi-z-ctMM