Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp.Internationale Unlimited)
KETIKA petaka tsunami pada 28 September 2018 yang melanda Palu-Donggala menjadi alasan banyak pihak untuk memperlakukan penyintas sebagai sekelompok masyarakat yang tidak berdaya, Komunitas Arsitek—sebut saja demikian, justru berpikiran sebaliknya.[1] Sebagai salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang membentangkan cabang di wilayah Palu, Komunitas Arsitek—selanjunya disingkat Komar—melihat kekuatan yang besar pada para penyintas. Bahwa luluh lantaknya penyintas menjadi cambuk tersendiri bagi mereka untuk kembali merebut ruang-ruang yang sebelumnya telah didominasi oleh elite berkepentingan. Bahkan penyintas pun dapat menjadi juru dobrak terhadap timpangnya tatanan sosial yang menjauhkan penyintas (miskin kota) dari syarat mutlak bertahan hidup sebagai suatu entitas kolektif. Hanya saja, penyintas membutuhkan penyokong untuk meraih kedua hal di atas. Dengan pandangan demikan, Komar hadir sebagai penggerak dan pembuka pintu bagi penyintas untuk melaksanakannya. Baik dari pembangunan fisik yang ramah gempa, hingga pada terwujudnya tatanan sosial yang jauh lebih adil dari sebelumnya.
Sambil menyelam minum air, Komar tidak hanya gemar melaksanakan program rancang-bangun bersama masyarakat, melainkan juga menciptakan kader-kader yang dapat ikut serta dalam gerakan akar rumputnya. Maka diselenggarakanlah Sekolah Community Organizer (SCO).[2]
Pada April 2019, melalui program SCO, saya mulai berkenalan dengan kerja-kerja pengorganisasian masyarakat. Saya dan seluruh peserta dibekali prinsip-prinsip dan tools pengorganisasian masyarakat di kelas untuk kemudian digunakan sebagai ‘senjata’ dalam kerja-kerja pengorganisasian di lima kampung terdampak, yakni Mambro Induk, Mamboro Perikanan, Wani, Tompe, dan Tanjung Padang. Kerja-kerja yang digotong dalam program ini teringkas dalam slogan berbahasa Kaili: “mosinggani mombangu ngata” yang berarti “bersama-sama membangun kampung”.
Sebelumnya, tidak jarang saya mendengarkan kisah heroik pegiat Komar—yang beberapa di antara mereka adalah senior-senior saya di kampus— melalui obrolan singkat di warung kopi dan buku yang membahas kerja-kerja mereka. Namun, dalam enam bulan keikutsertaan saya dalam SCO, saya menemukan kenyataan yang berbeda dari kisah heroik mereka. Pengorbanan heroik para pegiatnya, lantaran menghadapi kerja-kerja pengorganisasian masyarakat sampai harus mengesampingkan hasrat sendiri, mutlak terbantahkan.
Berangkat dari pola hidup penyintas yang cenderung individualis, Komar mengupayakan penyintas untuk bekerja secara kolektif dan tidak bergantung pada hadirnya bantuan finansial, apalagi kemewahan yang didapatkan dari luar kampung sendiri. Dengan begitu, Komar harus berlagak tidak berkecukupan dan memberikan bantuan-bantuan yang hanya sebatas stimulant untuk penyintas, seperti tenaga tambahan, akses pengetahuan, dan dana awal untuk memulai usaha ekonomi mandiri penyintas.
Tentu yang disebutkan belakangan hanyalah cara dalam menjalankan program bagi Komar. Sebab, walaupun Komar menebar tampakan tidak berkecukupan di hadapan penyintas, dengan segenap rasa syukur, kehidupan saya dan pegiat Komar lainnya berada di taraf sejahtera. Para pegiat Komar disediakan pelayanan dan fasilitas yang mewah; kamar tidur dengan pendingin udara, makanan yang siap santap—buah tangan juru masak—dengan menu sarat gizi, peralatan elektronik berkapasitas tinggi, dan lingkungan sehat yang jauh dari tikus-tikus nakal. Bahkan, setelah makan dan minum, jika di antara para pegiat Komar terdapat orang yang merasa tidak ingin dan tidak perlu untuk mengotori tangannya dengan gelas dan piring bekas pakai, tidak jadi masalah, juru masak boleh-boleh saja dipaksa-fungsikan sebagai pencuci dan pembuang sampah yang mengotori ruang kerja. Pun, apabila sekretariat dan menu makanan tidak sesuai keinginan, hotel dan restoran bisa menjadi pilihan para pegiat Komar. Dalam hal biaya, para pegiat Komar tidak perlu khawatir, sebab semuanya tidak menguras isi kantong pribadi. Sungguh, keberuntungan yang jauh dari tarikh heroik ini patut disyukuri. Berkat pendonor berkantong tebal, para pegiat Komar bisa mengorganisasikan masyarakat untuk mengubah pola hidupnya dan tatanan sosial yang timpang—tanpa perlu khawatir dengan pola hidup sendiri yang mewah meruah.[3]
Pada gilirannya, betapa pun nikmatnya kesejahteraan para pegiat Komar, semuanya harus dibayar tuntas dengan memenuhi tuntutan program kerja yang memiliki tenggat waktu dan capaian terukur—yang tentu saja ada pada bangunan kasat mata—sebagai pertanggungjawaban kepada pihak donatur. Bersamaan dengan itu, hal-hal fisik tersebut patut mengikutsertakan kerja kolektif masyarakat setempat untuk tetap di rel-rel program bercorak arsitektur partisipatoris. Walau, pada kenyataannya, evaluasi dari partisipasi masyarakat dalam bekerja secara kolektif hanya berhenti di ranah internal Komar saja. Itu pun, tidak seluruh pegiat Komar yang tugasnya bersentuhan langsung dengan pengorganisasian masyarakat.
Mayoritas dari para pegiat Komar berasal dari latar belakang studi teknik arsitektur. Tentu ini merupakan konsekuensi, atau bahkan sebagai kondisi yang memungkinkan LSM Komar terbentuk. Namun demikian, secara keseluruhan para pegiat Komar berasal dari latar belakang studi yang beragam. Ada yang dari Teknik Sipil, Ilmu Budaya, Antropologi, Ekonomi, dan Jurnalis. Seluruhnya berkewajiban untuk melakukan kerja-kerja pengorganisasian, sebab itulah guna dari diselenggarakannya SCO. Kondisi tersebut berubah setelah seluruh pegiat Komar dihadapkan pada desakan program kerja yang harus segera diselesaikan. Alhasil, Komar melaksanakan perombakan struktur kerja, dan menghasilkan tiga fungsi kerja, yakni bagian penggerak masyarakat, bagian rehabilitasi yang memfokuskan kerja pada penguatan ekonomi mandiri masyarakat, dan bagian rekonstruksi yang sudah jelas bekerja dalam bidang pembangunan.[4] Dampak dari pembagian kerja ini yang telah mengabaikan bahkan nyaris membuang metode partisipatorisnya, adalah adanya demarkasi tegas yang memisahkan kerja pengorganisasian masyarakat dari kerja-kerja rehabilitasi dan rekonstruksi.
Sebagian dari pembaca mungkin ada yang mengatakan bahwa hal di atas merupakan masalah teknis saja. Menjawab itu, saya kembali menekankan, bahwa Komar merupakan LSM yang menempatkan pengorganisasian masyarakat di atas kerja-kerja arsitektur—yang, katanya, hanya merupakan alat saja. Dengan kata lain, persoalan ini bukan semata persoalan teknis, melainkan akibat dari tidak ketatnya pengejawantahan prinsip pengorganisasian dalam menjalankan program. Kondisi yang seharusnya terpaksa berubah menjadi program di atas prinsip. Mari kita lihat secara menyeluruh dampak dari semua ini.
Dari pembagian kerja ini, hanya ada dua orang saja yang bekerja sebagai penggerak masyarakat. Padahal, seperti yang saya tuliskan di atas, Komar mengorganisasikan lima kampung dampingan yang secara geografis memiliki jarak berjauhan. Saya sendiri mendapat tiga kampung dampingan sebagai tanggungjawab saya, yaitu Mamboro Induk, Mamboro Perikanan, dan Wani. Jarak tempuh Mamboro Induk ke Mamboro Perikanan memakan waktu 20 menit dengan berjalan kaki. Sedangkan dari Mamboro Perikanan ke Wani membutuhkan waktu satu setengah jam dengan berkendara motor. Selain persoalan jarak, ketiga kampung dampingan ini juga memiliki masalah yang berbeda-beda.
Sekarang, mari kita bayangkan, dengan kondisi yang mengemuka, bagaimana bisa para pegiat Komar merealisasikan himpunan program kerja yang menuntut kerja-kerja kolektif dalam waktu singkat dan kejar-kejaran? Maka, menciptakan ruang-ruang dialog bersama masyarakat adalah solusi dari petinggi-petinggi Komar. Namun kenyataannya, ruang-ruang dialog tidak berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip pengorganisasian. Sebab dalam sehari, saya misalnya, mesti mengorganisasikan tiga kampung sekaligus. Lantas di mana dan bagaimana ruang-ruang dialog akan dan harus tercipta?
Dari segala kompleksitas ketimpangan di atas, saya mengalami distorsi tersendiri. Sebagai orang yang bertanggung jawab pada kerja pengorganisasian masyarakat, ketika dihadapkan dengan segala bentuk tuntutan di atas, kerja-kerja saya tereduksi menjadi kerja hubungan masyarakat. Dengan begitu, terciptalah ruang dialog yang hanya sebatas penuai dan penyemai informasi untuk keberlanjutan kerja rehabilitasi dan rekonstruksi. Sementara, kerja-kerja kolektif juga sangat minim, hanya berdasarkan kepentingan masyarakat secara individu, bukan atas kebutuhan bersama. Karenanya, mungkin saja hunian harmonis dengan kualitas ramah-gempa bisa terwujud, namun itu tidak menjamin keberhasilan dalam memberantas habis pola pikir individualis masyarakat.
Pada akhrinya, kondisi demikian membawa alam pikiran saya menuju sehimpun pertanyaan: apa tolok ukur keberhasilan proses pengorganisasian masyarakat bagi Komar? Apakah kerja kolektif yang berskala kecil dan cenderung individualis dapat memenuhi syarat untuk tercapainya cita-cita perubahan sosial? Ataukah pengorganisasian masyarakat hari ini—terkhusus yang terjadi pada pengalaman saya—bukanlah menyelam dalam tatanan sosial untuk kemudian mengubahnya, melainkan tenggelam akibat derasnya arus ekonomi-politik yang dibawa oleh para donatur dan yang telah tertanam serta berkembang di keseharian kita?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tentunya tak etis lagi untuk ditodongkan pada LSM yang sudah lama terjun ke dalam realitas akar rumput. Namun, jangan sampai pertanyaan ini kembali mengemuka lantaran para pegiat LSM belum menemukan model yang tepat dalam menjalankan prinsip pengorganisasiannya. Jika kenyataannya demikian, maka para pegiat LSM tidak jauh bedanya dengan elite birokrat.
Terakhir, satu pelajaran penting yang saya dapatkan selama berkenalan dengan kerja-kerja pengorganisasian masyarakat. Membaca tidak dapat mengubah dunia dengan sendirinya. Membaca hanya mampu menajamkan indera dan nalar untuk meresapi realitas sosial, dan karenanya memungkinkan untuk mengubah diri sendiri dan keadaan sekitar. Dengan begitu, tentu saja, gerakan sosial dapat meraih prinsip-prinsipnya secara utuh. Sementara, tanpa membaca, kepekaan indera dan nalar sangat sulit terwujud, dan tanpa keduanya maka gerakan sosial menjadi serampangan bahkan tergelincir untuk memperkokoh realitas yang timpang. Singkatnya, meresapi realitas tidak berarti apa-apa tanpa bergerak untuk mengubahnya, dan bergerak tanpa meresapi realitas hanya menghasilkan gerakan yang impoten.
Di saat yang bersamaan, ketika saya menyadari arti penting membaca dan bergerak, saya mendapati perubahan yang besar dalam diri saya. Kerja-kerja lapangan dengan berkejaran memenuhi tuntutan program telah menghisap habis waktu luang saya. Pada waktu-waktu luang, perancangan Kerangka Acuan Kerja dan pengerjaan laporan mingguan sebagai pertanggungjawaban kepada pendonor menjadi prioritas utama untuk diselesaikan. Kedua teks yang memiliki format paten bermodel tabel ditambah sedikit narasi sebagai keringanan dan pemakluman agar selesai dengan mudah dan cepat. Hingga pada akhirnya, lahirlah saya sebagai orang yang begitu kaku. Kaku dalam berpikir, kaku dalam bernarasi, bahkan kaku dalam mencintai kekasih saya. Sebagai contoh nyata, refleksi singkat ini berhasil saya rampungkan, dengan menempuh kembali proses membaca dan menulis yang lebih sulit dari seorang pemula, setelah empat bulan berhenti dari belajar dan bekerja bersama Komar di Palu dan Donggala.
Palopo, 12 Desember 2019
Mizan Asyuni, pernah belajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Makasar, pada tahun 2013-2018
————-
[1] Komunitas Arsitek adalah nama samaran dari salah satu
Lembaga Swadaya Masyarakat yang berbasis Aritektur Partisipatoris dan telah
lama bergerak melaksanakan kerja-kerja rancang-bangun dengan metode
pengorganisasian masyarakat miskin kota dan penyintas bencana. Komunitas
Arsitek membentangkan cabang ke kota Palu selepas petaka 28 September 2018.
[2] Sekolah Community Organizer diselenggarakan oleh institute pendidikan Komar sebagai salah satu program belajar pengorganisasian masyarakat. Alur belajar yang dilaksanakan adalah kelas-lapangan-kelas dengan muatan refleksi-kerja-refleksi. Peserta program ini, berasal dari kota dan latar belakang studi yang berbeda-beda. Awalnya, program ini dicanangkan berlangsung selama 3 bulan, yaitu dari April-Juni 2019. Namun, karena kondisi lapangan yang cukup rumit, program ini berakhir di penghujung Juli 2019. Beberapa peserta SCO yang telah lulus direkomendasikan untuk ikut terlibat sebagai anggota Komar, termasuk saya sendiri.
[3] Pendonor Komar adalah salah satu maskapai terbesar di Asia yang berhasil mengumpulkan dana dari hasil saweran mahasiswa Arsitek di seluruh dunia.
[4] Terbentuknya fungsi kerja yang baru, juga ditujukan untuk memenuhi tahap Rehabilitasi dan Rekonstruksi untuk kota Palu yang dilansir oleh pemerintah setempat. Komar menambahkan bagian penggerak masyarakat untuk tetap mewujudkan metode partisipatorisnya. Perombakan struktur kerja dilaksanakan dengan cara pendaftaran ulang ke Komar dengan memasukkan kembali esai lamaran, lengkap dengan pilihan fungsi kerja yang diinginkan sesuai dengan kemampuan pegiatnya. Dari seluruh pegiat Komar yang telah mengikuti Sekolah Community Organizer secara intensif, hanya dua anggota yang memilih fungsi pengorganisasian masyarakat. Hampir seluruh pegiatnya menolak untuk terlibat di lapangan apabila tidak sesuai dengan fungsi kerja yang dipilihnya.