Kredit ilustrasi: thisishell.com
ARTIKEL berjudul “Communism and Religion Can’t Coexist” yang ditulis oleh Marion Smith, direktur eksekutif yayasan Victims of Communism Memorial,dalam harian Wall Street Journal mengusik saya. Komunisme dan agama tidak bisa bersatu, begitu kata Smith. Bukankah Karl Marx sendiri pernah berkata bahwa agama adalah candu masyarakat (baca: opium)? Smith membeberkan tindakan-tindakan represif rezim komunis atas religiositas sejak Uni Soviet yang menghancurkan 600 bangunan suci Ortodox hingga Republik Rakyat Cina (RRC) saat ini terhadap etnis Uygur. Dengan tidak menjustifikasi segala bentuk kekejaman yang dilakukan oleh rezim komunis, saya melihat bahwa ada kesempatan untuk menghubungkan antara Marxisme dan agama. Memang betul Marx berpendapat bahwa agama adalah candu masyarakat dipahami dalam artian membuat penganutnya lari dari realita dunia dan memilih untuk berfantasi. Di sisi lain, bagi Marx, agama dapat menjadi perlawanan terhadap situasi kekinian yang penuh penindasan dan ketidakadilan.[1]
Saat kita sudah mengetahui bahwa pernyataan “agama adalah candu masyarakat” bermuatan ambivalen, bagaimana hubungan antara Marxisme dan kitab suci umat beragama, misalnya Alkitab? Bukankah Alkitab sering digunakan untuk menjadi alat penindasan? Dengan mengutip dan meramu berbagai ayat secara parsial, Alkitab dideklarasikan oleh sebagian orang untuk menjustifikasi penindasan dan ketidakadilan. Dalam tulisan ini, kita akan melihat bahwa Alkitab, apabila dibaca secara berbeda, melawan segala bentuk penindasan dan ketidakadilan.
***
Alkitab milik siapa saja, termasuk bagi kaum yang tertindas. Kondisi yang mereka alami menuntut pembacaan Alkitab yang berbeda. Oleh karenanya, dibutuhkan suatu pembacaan Alkitab yang segar di tengah arus penafsiran yang selama ini mewarnai kesarjanaan biblika. Dalam dunia teologi, studi biblika dikenal sebagai kajian penelitian yang membedah teks kitab suci bernama Alkitab. Hermeneutik sebagai metode menginterpretasi teks menjadi bagian yang terintegrasi di dalam studi tersebut. Studi biblika yang lekat dengan lingkaran kesarjanaan akademis, maupun kehidupan pribadi umat beragama mesti menjaga ketat kaitannya dengan realitas sosial.
Metode hermeneutik Alkitab yang beredar selama ini tidak banyak yang memerhatikan kajian-kajian Marxisme. Bagi saya ini janggal karena para sarjana biblika menggunakan disiplin-disiplin ilmu lain sebagai metode hermeneutik, tetapi acap kali Marxisme ditepikan. Jika sudah antipati terhadap Marxisme, pertautan antara pembacaan Alkitab dan Marxisme sulit terjadi.
Roland Boer, seorang teolog yang mengerjakan proyek pertalian Marxisme dan teologi, dalam pembacaannya atas Atheism in Christianity, berpendapat bahwa,“para Marxis butuh untuk mempertimbangkan Alkitab secara serius sebagai dokumen revolusioner, dan para sarjana biblika dan teolog tidak bisa menghindari Marxisme dalam interpretasi mereka.”[2] Tentu pernyataan Boer ini sangat kontroversial. Ingatan kita terus dihantui hubungan kelam antara agama dan Marxisme (seperti diangkat Smith). Akan tetapi, pemikiran dan pengembangan proyek untuk menghubungkan keduanya tidak boleh berhenti guna membangkitkan benih-benih perlawanan terhadap status quo.
Gegara pemberangusan secara sistematis, masif, dan terstruktur oleh rezim Orde Baru, Marxisme dianggap tabu dan berdosa di Indonesia. Hal tersebut membuat diskusi dan penelitian tentang Marxisme menjadi terhambat karena ribuan label disematkan bagi mereka yang mempelajarinya. Padahal, Marxisme dapat digunakan untuk menjadi pisau bedah yang melengkapi studi biblika dalam menginterpretasi dan mentransformasi masyarakat Indonesia. Marxisme, sebagai ilmu sosial, mengkritisi kondisi sosial, ekonomi, dan politik masyarakat yang dicengkeram keganasan kapitalisme. Oleh karena itu, studi biblika memerlukan kajian Marxisme sebagai alat bantu untuk memahami dan mengubah dunia. Perlu digarisbawahi, Marxisme sebagai ilmu sosial yang menjadi alat bantu pembacaan Alkitab tidak serta merta mengafirmasi pandangan teologis Marx. Ini dua hal yang berbeda.
Meski Norman Gottwald yang menerbitkan buku penting berjudul The Tribes of Yahweh: A Sociology of the Religion of Liberated Israel, 1250-1050 B.C.E. (1979) dianggap sebagai pioner dalam kesarjanaan biblika Marxis, akhir-akhir ini, goresan kecil terlihat dalam salah satu bab di buku John W. Rogerson,[3] seorang sarjana biblika asal Inggris yang berkecimpung dalam kesajarnaan biblika Jerman mengutip ucapan Marx, “Para filsuf hanya menafsirkan dunia, dalam berbagai cara; poinnya adalah mengubahnya.”[4] Ini berarti, Rogerson menangkap ide Marx bahwa pembaca Alkitab tidak hanya bisa berpasrah diri dan berpangku tangan dalam realitas dunia ini. Pembaca Alkitab mengemban tanggung jawab transformatif. Akan tetapi, argumentasi Rogerson tidak terlalu kental ke arah hermeneutik Alkitab.
Sebenarnya, keterhubungan antara Marxisme dan studi biblika sebagai bagian dalam ilmu teologi bukan hal baru. Dalam konteks Amerika Selatan, terdapat pertemuan antara teologi dan Marxisme yang kemudian dikenal dengan istilah Teologi Pembebasan. Jika menarik benang antara teologi dan Marxisme, transformasi dunia merupakan konsen utama kedua disiplin ilmu ini.[5] Transformasi seperti apa? Merombak tatanan kapitalisme dan menggantinya dengan tatanan yang melenyapkan kepemilikan pribadi atas alat produksi. Untuk merengkuh sesuatu yang utopis ini, mau tidak mau harus ada perlawanan terhadap mereka yang ingin status quo tetap bertahan. Hal ini tidak mungkin tercapai apabila Alkitab terus-menerus dipakai untuk menguatkan penindasan.
***
Untuk sementara ini, pembacaan Alkitab yang menggandeng Marxisme adalah hermeneutik pembebasan. Model pembacaan seperti demikian berangkat dari konteks masyarakat tertindas. Pokok pikiran dari hermeneutik pembebasan adalah mengubah keadaan dalam terang konsep teologis. Dengan mempertimbangkan hermeneutik ini, Alkitab yang sebelumnya dipakai untuk melegitimasi penindasan, menjadi berbalik melawan penindasan![6]
Hermeneutik pembebasan berangkat dari konteks akar rumput mendorong dialog dengan berbagai disiplin ilmu, terkhusus Marxisme. Kunci dari metode ini terletak pada pergulatan kelas. Pertentangan kelas secara mendasar antara penindas dan yang ditindas. Meski di zaman Alkitab belum ada kapitalisme, konflik tersebut kerap kali tergambar dengan gamblang.[7] Misalnya, elemen yang penting dalam kerangka Marxis adalah peristiwa eksodus Israel dari Mesir. Kemudian, yang jarang disorot oleh banyak orang adalah krisis menjelang perpecahan kerajaan Israel menjadi utara dan selatan. Kerajaan Utara, biasa disebut Israel, mendirikan ibukota di Samaria. Kerajaan Selatan, biasa disebut Yehuda, berpusat di Yerusalem. Israel didominasi oleh kaum (totalnya 10 suku!) yang merasa tercekik akibat pajak yang dikenakan oleh raja Salomo. Sedangkan Yehuda hanya terdiri dari 2 suku yang meyakini bahwa mereka meneruskan dinasti Daud.
Contoh di atas sedikit menggambarkan bahwa ada ketegangan politik yang terjadi dalam kisah-kisah Alkitab. Ini berarti, Alkitab sama sekali tidak absen terhadap kondisi sosial-politik. Namun, mengapa di Indonesia sangat jarang sekali dibahas, dikhotbahkan, dan menjadi pokok pikiran umat Protestan (terutama dalam lingkaran konservatif)? Kesenjangan sosial di Indonesia begitu tajam, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Kondisi ini menuntut pembacaan Alkitab yang tidak bisa melanggengkan hegemoni status quo tersebut. Jika kapitalisme masih bergentayangan dan mencengkeram kehidupan masyarakat Indonesia, kolaborasi antara studi biblika dan Marxisme dapat menjadi alternatif perlawanan terhadap sistem penghisap tersebut.
Sebagai contoh, peristiwa eksodus Israel dari Mesir tidak melulu dimengerti secara spiritual. Kisah spektakuler dalam sejarah manusia tersebut dapat dibaca bahwa terdapat pertentangan kelas antara penindas dan yang tertindas. Saat itu, bangsa budak menjadi pemenang! Intervensi ilahi atas sejarah tidak boleh dipinggirkan yang memotori revolusi. Tidak hanya berhenti di sana, Allah menciptakan komunitas alternatif yang kontras dari Mesir.
Selain itu, kisah kematian dan kebangkitan Kristus sebagaimana dicatat Gutierrez, “Pembebasan radikal adalah hadiah yang Kristus berikan untuk kita. Melalui kematian dan kebangkitan-Nya Dia menebus kita dari dosa dan semua konsekuensinya, seperti yang telah ditulis kita kutip lagi: ‘Itu adalah Allah yang sama, yang dalam kepenuhan waktu, mengirim anak-Nya dalam daging, supaya Dia datang untuk membebaskan umat manusia dari perbudakan yang mana dosa telah menaklukkan mereka: kelaparan, penderitaan, penindasan, dan pengabaian, dengan kata lain, ketidakadilan dan kebencian tersebut yang berasal dari keegoisan manusia.”[8] Kristus yang bangkit itu (dalam artian yang luas) mengutus Roh Kudus, sehingga Gereja hadir di dunia. Gereja bukan komunitas yang mengasingkan diri dari dunia, tetapi justru menceburkan diri ke dalamnya dan menyaksikan pesan pembebasan bagi dunia yang dieksploitasi.
Pembacaan Alkitab bukan hanya dilakukan secara individu sebagaimana ditekankan kalangan tertentu, melainkan juga di dalam komunitas iman yang dirundung pergulatan kelas sambil mengharapkan akan pembebasan.[9] Gereja sebagai salah satu komunitas iman yang membaca Alkitab mesti menyadari kembali keberadaannya. Bukankah Gereja hadir di tengah dunia sebagai komunitas alternatif yang mendemonstrasikan kasih dan keadilan untuk turut menjadikan dunia yang dipenuhi oleh kedua poin tadi? Namun, bagaimana bisa memikirkan poin krusial tersebut apabila Alkitab dibaca hanya dalam kerangka konservatif? Nampaknya, metode pembacaan Alkitab yang berbeda memang segera dibutuhkan.***
Yasuo T. Huang adalah mahasiswa Sarjana Teologi di STT Amanat Agung; aktivis Kristen Hijau
—————–
[1] Ernst Bloch, Atheism in Christianity: The Religion of the Exodus and the Kingdom, terj. J. T. Swan(London; New York: Verso, 2009), 50.
[2] Roland Boer, Criticism of Heaven: On Marxism and Theology, Historical Materialism 18 (Leiden; Boston: Brill 2007), 4.
[3] Old Testament Theology: Cultural Memory, Communication and Being Human (London: SPCK, 2009).
[4] Karl Marx, “Theses on Feuerbach XI,” dalam Karl Marx dan Friedrich Engels, The German Ideology (London: Lawrence & Wishart, 1970), 123.
[5] Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation, terj. dan ed. Sister Caridad Inda dan John Eagleson (Maryknoll: Orbis, 1988), 8; Pablo R. Andiñach dan Alejandro F. Botta, “Introduction: The Bible and The Hermeneutics of Liberation: Worldwide Trends and Prospects,” dalam The Bible and The Hermeneutics of Liberation, ed. Alejandro F. Botta dan Pablo R. Andiñach, Society of Biblical Literature 59(Atlanta: Society of Biblical Literature, 2009), 2.
[6] Andiñach dan Botta, “Introduction,” 7.
[7] Boer, Criticism of Heaven, 20.
[8] Gutierrez, A Theology of Liberation, 103.
[9] Andiñach dan Botta, “Introduction,” 7.