Kredit ilustrasi: www.illustrating-marx.com
RENCANA revisi Undang-Undang ketenagakerjaan kembali bangkit dan menghantui segenap kelas pekerja di Indonesia. Di tahun 2006, rencana revisi pernah mencuat kepermukaan namun berhasil digagalkan melalui aksi para pekerja yang turun ke jalan. “Biang keladi” dari rencana revisi ini tidak lain adalah para pengusaha yang merasa “dirugikan” dengan regulasi yang mereka anggap menghambat pertumbuhan ekonomi. Pemerintah juga meyakini bahwa perlu pembaruan regulasi agar pasar tenaga kerja lebih kompetitif dan menyesuaikan dengan dinamika ekonomi global.
Dalam usulan revisi undang-undang ketenagakerjaan, pengusaha tetap menginginkan penerapan gagasan labour market flexibility (LMF) secara utuh. Pasar tenaga kerja di Indonesia dianggap terlalu “rigid” sehingga diperlukan beberapa perubahan dalam regulasi ketenagakerjaan yang nantinya akan menjadi daya tarik bagi para investor, baik investor lokal maupun asing sekaligus melancarkan arus investasi. Dengan adanya perubahan dalam regulasi ini, pengusaha akan semakin leluasa mendistribusi nilai lebih tenaga kerja ke sektor-sektor lainnya. Fleksibilitas tenaga kerja juga diyakini sebagai jalan untuk memacu produktivitas pekerja yang akan saling bersaing mengamankan pekerjaannya. Sampai saat ini, draft revisi Undang-Undang ketenagakerjaan memang belum resmi dipublikasi oleh pemerintah. Namun, terlepas dari aturan manapun yang akan direvisi, dihilangkan, atau ditambahkan, rencana ini jangan sampai dilihat secara moralistis yang akan membawa kita pada kebutaan akan permasalahan struktural.
Kepentingan Aktor Neoliberalisme
Prinsip dan praktik neoliberalisme menyebar luas di seluruh dunia melalui peran dari lembaga keuangan multilateral seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Lembaga keuangan multilateral ini berperan penting dalam menyebarluaskan agenda neoliberalisme melalui skema bantuan keuangan dengan persyaratan negara yang diberikan bantuan harus mengadopsi program penyesuaian struktural (Winarno, 2002). Tujuannya tidak lain untuk mempermudah ekspansi kapital dan menyediakan fondasi bagi keberlanjutan akumulasi kapital. Berpindahnya kapital dari negara maju ke negara pinggiran yang telah menyediakan fondasinya melalui liberalisasi di berbagai sektor, membuat negara pinggiran akan terjebak dalam dinamika ekonomi global.
Konsekuensi logis dari “terintegrasinya” negara ke dalam pasar global ialah tiap negara akan berusaha meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang selalu dijadikan parameter dalam keberhasilan pembangunan suatu negara (Fakih, 2002). Postulat pertumbuhan ekonomi ini akan berdampak pada kebijakan negara yang akan selalu berorientasi pada pemenuhan kebutuhan investor, khususnya investor asing. Keberhasilan lembaga keuangan multilateral – khususnya IMF – meliberalisasi ekonomi di negara pinggiran melalui program penyesuaian struktural semakin mempermudah aktor utama dalam perdagangan internasional yaitu korporasi multinasional dalam menyebarkan rantai produksi dan memperluas jaringan bisnisnya (Poerwanto, 2002).
Sebagai aktor utama dari dinamika ekonomi politik internasional, korporasi multinasional diuntungkan dengan kemajuan dibidang teknologi komunikasi yang mengubah secara fundamental ekonomi politik internasional dan biaya transportasi antar negara yang semakin murah (Hirst & Thompson, 1996 ; Strange, 2000). Keadaan ini mempermudah korporasi multinasional mengekspansi kapitalnya ke negara-negara pinggiran yang sedang berlomba-lomba melakukan deregulasi demi menciptakan iklim kondusif bagi berlangsungnya akumulasi kapital (Petras & Veltmeyer, 2002). Selain itu, faktor lain yang mengharuskan korporasi multinasional merelokasi pabriknya atau mengakuisisi korporasi nasional ialah meningkatnya biaya produksi dan population aging karena semakin banyaknya penduduk tua dan minimnya pertumbuhan penduduk usia muda (Held. dkk ,1999 ; Jati, 2015).
Foreign Direct Investment (FDI) yang dilakukan oleh korporasi multinasional ke negara-negara pinggiran bertujuan mengontrol secara parsial ataupun keseluruhan atas strategi pemasaran dan proses produksi (Gilpin & Gilpin, 2000). Penetapan strategi dan kesuksesan dari korporasi multinasional dalam memanfaatkan keunggulan komparatif suatu negara ditentukan oleh iklim investasi, regulasi, hambatan perdagangan yang minim, dan pengurangan pajak di negara tuan rumah (host country) yang akan melindungi investasi mereka (Ibid, 2002 ; Hirst & Thompson, 1996). Dalam perkembangan ekonomi global, korporasi multinasional berperan sebagai aktor utama yang mampu menekan suatu negara (khususnya negara pinggiran) untuk mentransformasi sistem nasionalnya secara fundamental.
Kelas Pekerja dalam Pusaran Liberalisasi
Menerapkan Labor Market Flexibility (LMF) secara utuh di negara pinggiran harus dilihat sebagai salah satu upaya memuluskan langkah akumulasi kapital. Terintegrasinya negara ke dalam ekonomi global menyebabkan negara akan memfasilitasi perputaran kapital di negaranya yang diasumsikan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Salah satu jalannya yaitu melalui fleksibilitas tenaga kerja yang menempatkan pekerja sebagai individu yang rasional dan mampu bernegosiasi dengan pemberi kerja/korporasi untuk melakukan pertukaran yang rasional. Pekerja diasumsikan mengetahui kebutuhan rasional dirinya dan begitu pula korporasi dibebaskan mencari tenaga kerja sesuai dengan kebutuhannya (Islam, 2001). Pasar tenaga kerja fleksibel akan berjalan secara utuh ketika regulasi ketenagakerjaan tidak lagi membatasi sistem kerja kontrak dan penggunaan tenaga alih daya. Asumsi dari pendukung gagasan ini adalah kedua mekanisme tersebut akan meningkatkan produktivitas dan efisiensi sehingga penyerapan tenaga kerja akan lebih masif dan secara langsung akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Mereka juga meyakini bahwa dengan adanya pasar tenaga kerja yang fleksibel, para pekerja di sektor informal akan terserap ke sektor formal yang dianggap lebih menjamin kesejahteraan dan mampu mengentaskan masalah kemiskinan.
Gagasan fleksibilitas tenaga kerja sebenarnya bukanlah hal yang baru, namun kini ia hadir dengan kemasan baru dan diiringi dengan embel-embel Revolusi Industri 4.0, sebuah buzzword yang digunakan hampir di setiap tema kegiatan berbagai institusi di Indonesia. Dalam world development report bertajuk The Changing Nature of Work yang dirilis Bank Dunia, rekomendasi diberikan kepada negara-negara berkembang untuk mengurangi sejumlah regulasi yang menghambat efisiensi pasar. Pekerja dianggap semakin tidak dibutuhkan akibat adanya agenda otomatisasi dan penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence) sehingga keamanan lapangan pekerjaan (employment security) lebih diutamakan dibanding kepastian/keamanan kerja (job security). Dengan dalih menyesuaikan dengan perubahan modus produksi, negara harus berperan dalam mempercepat deregulasi di sektor ketenagakerjaan agar korporasi mampu meningkatkan penggunaan teknologi atau dengan kata lain mendistribusikan resiko dan ketidakpastian bisnis ke sektor ketenagakerjaan (Standing, 2011). Disinilah Private Employment Agencies (PEA) atau agensi yang menyediakan jasa tenaga kerja alih daya (outsource) memainkan peranan penting dalam fleksibilitas tenaga kerja (Juliawan, 2010). Tanpa adanya agensi penyedia jasa ini, korporasi multinasional akan berpikir dua kali untuk menginvestasikan modalnya ke negara tuan rumah tersebut.
Melimpahnya Angkatan Kerja Produktif di Indonesia
Di Indonesia, korporasi multinasional seringkali diasumsikan mampu membantu memperluas lapangan pekerjaan. Indonesia juga dianggap tepat sebagai lokasi bagi proses produksi dan yang keuntungan dari produksi ini akan dibawa kembali ke negara asal (home country) dari korporasi multinasional tersebut (Hirst & Thompson, 1996). Selain itu, dari sudut pandang korporasi multinasional, Indonesia memiliki “keunggulan spesifik” di sektor ketenagakerjaan, terutama dari segi jumlah tenaga kerja yang melimpah, relatif murah, dan dapat dimanfaatkan untuk keberlanjutan perputaran kapital (Edward & Rees, 2017). Dengan mengikuti logika pembagian kerja internasional, Indonesia dikategorikan sebagai negara pinggiran yang telah memenuhi persyaratan dalam hal tenaga kerja yang murah, fleksibel, dapat dieksploitasi, dan perlindungan hak ketenagakerjaan yang terbatas dan memiliki regulasi yang ramah investasi sehingga memungkinkan korporasi multinasional meng-outsource-kan kegiatan produksi mereka ke Indonesia (Wallerstein, 2000 ; Grey, 2013). Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional menunjukkan pada tahun 2018 terdapat 58,22% atau sekitar 73,98 juta orang bekerja pada sektor informal dari total 127,07 juta orang yang bekerja. Sedangkan hanya sebesar 53,09 juta (41,78%) penduduk yang bekerja di sektor formal dan masih terdapat 6,82 juta orang yang berstatus sebagai pengangguran terbuka. Dari data tersebut setidaknya kita sedikit mendapatkan gambaran mengenai sektor ketenagakerjaan di Indonesia didominasi oleh pekerja informal yang tidak dilindungi oleh hukum, dan produktivitasnya rendah. Hasil survei dari BPS juga memproyeksikan Indonesia akan dihadapkan dengan angkatan kerja produktif yang melimpah.
Fenomena ini diistilahkan oleh Marx sebagai surplus populasi relatif dimana kondisi melimpahnya populasi merupakan dampak sekaligus kondisi yang diperlukan bagi akumulasi kapital (Habibi, 2016). Dominasi pekerja di sektor informal memainkan peranan penting dalam proses akumulasi kapital. Para “tentara cadangan pekerja” ini berperan menjaga upah pekerja di sektor formal tetap rendah atau terkendali. Marx mengidentifikasi surplus populasi relatif ke dalam empat kategori yaitu mengambang (floating), terpendam (latent), stagnan (stagnant), dan kefakiran (pauperism). (Marx, 1990). Penjabaran Marx mengenai kategori mengambang (floating) sesuai dengan pekerja yang berstatus sebagai tenaga kontrak dan tenaga alih daya yang tenaganya digunakan oleh kapital ketika dibutuhkan dan akan disingkirkan setelah dihisap habis nilai lebihnya. Kondisi para pekerja kontrak dan alih daya semakin rentan setelah mencuatnya isu revisi undang-undang ketenagakerjaan dengan tujuan menerapkan gagasan fleksibilitas tenaga kerja secara utuh. Kerentanan kelas pekerja ditambah lagi dengan kehadiran korporasi multinasional yang sudah memasuki sektor penyediaan jasa tenaga kerja alih daya sebagai konsekuensi dilegitimasinya sistem outsourcing melalui Undang-Undang Ketenagakerjaan. Mendominasinya pekerja kontrak, outsourcing, dan pengangguran yang sebagian besar masih merupakan unskilled labor membuat mereka tidak memiliki banyak pilihan selain menjual murah tenaganya kepada korporasi atau berjuang di sektor informal dengan ketidakpastian dan kerentanan yang sangat tinggi.
Penutup
Rencana atas revisi undang-undang ketenagakerjaan memang menakutkan bagi sebagian besar kelas pekerja. Adanya ancaman fleksibilitas pasar tenaga kerja secara tidak langsung mendistorsi kebebasan mereka dalam berserikat maupun memaksa mereka untuk tunduk kepada setiap aturan dari korporasi. Akan tetapi, kelas pekerja jangan sampai melihat ini sebagai kejahatan dari korporasi ataupun keburukan negara dalam menjalankan roda pemerintahan, karena Marx sendiri tidak pernah memandang kapitalisme dari kacamata moral dan memang kapitalisme bukanlah sistem berbasis moral. Kelas pekerja harus melihat relasi pengupahan melalui mekanisme sistem kontrak, outsourcing, kemitraan, kerja borongan, atau sebutan lainnya dalam relasi pengupahan ini sebagai mekanisme penciptaan nilai lebih yang memungkinkan korporasi mempercepat laju akumulasi kapital. Diberikannya karpet merah kepada korporasi multinasional juga tidak bisa dikatakan sebagai kebaikan hati dari pemerintah untuk masyarakat Indonesia karena berhasil memperluas lapangan pekerjaan. Motif utama dari korporasi multinasional tidak lain adalah karena kebutuhan mereka akan tenaga kerja murah yang nilai lebihnya didistribusikan demi kepentingan akumulasi kapital. Pada akhirnya memang korporasi tidak pernah memaksa para pekerja untuk bekerja, namun sistem yang dibangun oleh kapitalisme sangat membatasi pilihan para pekerja dan salah satu pilihannya adalah menjual tenaganya dengan imbalan upah murah.
Rangga Naviul Wafi adalah Buruh Ketik di @lintasgenerasibookstore
Kepustakaan:
Edwards, Tony dan Rees, Chris. 2017. International Human Resource Management: Globalization, National Systems And Multinational Companies. Edinburg: Pearson Education Limited
Fakih, Mansour. 2002. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press
Gilpin, Robert dan J.M Gilpin. 2000. The Challenge of Global Capitalism: The World Economy in the 21st Century. New Jersey: Princeton University Press
Grey, C. 2013. A Very Short, Fairly Interesting and Reasonably Cheap Book About Studying Organizations. London: Sage.
Habibi, Muhtar. 2016. Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran: Relasi Kelas, Akumulasi, dan Proletariat Informal di Indonesia sejak 1980an. Tangerang Selatan: Marjin Kiri
Held, D., McGrew, A., Goldblatt, D., and Perraton, J. (1999) Global Transformations: Politics, Economics and Culture. Cambridge: Polity.
Hirst, Paul dan Grahame Thompson. 1996. Globalization in Question. Cambridge: Polity Press
Islam, Iyanatul, 2001. Beyond Labour Market Flexibility: Issues and Options for Post Crisis Indonesia. Journal of the Asia Pasific Economy 6 (3).
Jati, Wasisto Raharjo. 2015. Bonus Demografi Sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi: Jendela Peluang atau Jendela Bencana di Indonesia. Populasi Vol. 23 No. 1 pp 1-19
Juliawan, Benny Hari. 2010. Extracting Labor From Its Owner: Private Employment Agencies and Labor Market Flexibility in Indonesia. Critical Asian Studies, 42 (1): 25-52
Marx, Karl. 1990. Capital: A Critique of Political Economy, Volume I. London: Penguin Books
Mulyanto, Dede. 2010. Kapitalisme: Perspektif Sosio-Historis. Bandung: Ultimus
Neilson, David dan Thomas Stubbs. 2011. Relative Surplus Population and Uneven Development in the Neoliberal era: Theory and empirical application. Capital & Class 35(3) pp. 435-453
Petras, James dan Veltmeyer, Henry. 2002. Age of Reverse Aid: Neo‐liberalism as Catalyst of Regression. Development and Change 33(2), 281-293. Blackwell Publishers
Poerwanto. 2006. New Business Administration: Paradigma Baru Pengelolaan Bisnis Di Era Dunia Tanpa Batas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Standing, Guy. 2011. The Precariat: The Dangerous New Class. London: Bloomsbury.
Wallerstein, Immanuel. 2000. Globalization or the Age of Transition.
Winarno, Budi. 2009. Pertarungan Negara VS Pasar. Yogyakarta: Media Pressindo