Kredit ilustrasi oleh Radio Rebelde
PADA tanggal 9 Oktober 52 tahun yang lalu, seorang laki-laki berambut panjang berantakan, berpakaian lusuh dan kotor tergeletak tak bernyawa setelah dimuntahi tiga timah panas oleh salah seorang sersan tentara Bolivia. Dikarenakan beberapa anggota pasukannya mati di pertempuran, sersan ini secara sukarela mengajukan diri menjadi algojo dalam pengeksekusian di La Higuera pagi itu. Laki-laki yang terbaring berlumur darah di lantai kamar itu tak lain merupakan Ernesto ‘Che’ Guevara.
Sang revolusioner kelahiran Argentina itu membantu Fidel dan Raul Castro menyingkirkan rezim Fulgencio Batista di Kuba. Dibandingkan kemenangannya yang gemilang di Santa Clara, kisahnya di Bolivia kala itu sungguh tragis dan berbeda. Terlepas dari beragam kontroversinya, setengah abad telah berlalu namun wajahnya hingga kini masih terpampang dari alun-alun Havana sampai menghiasi cover buku di salah satu toko buku di Jakarta. Lewat potretnya yang legendaris itu ia menjadi figur yang sangat populer, tak hanya di dunia aktivisme namun juga dalam budaya pop. Ia menjadi suatu simbol perlawanan di satu sisi dan menjadi suatu brand di sisi yang lain. Kisah heroiknya sudah banyak kita baca dan beberapa lainnya kita tonton di dalam film. Soal keberanian nan heroiknya, kita patut angkat topi. Perihal pemikiran kritisnya, tentu harus kita pelajari.
Tak hanya angkat senjata dan bergerilya di hutan belantara melawan tentara Batista, Che ternyata juga gemar membaca buku dan menuangkan gagasannya ke dalam tulisan. Dari beberapa karyanya, yang paling dikenal mungkin buku rangkuman pengalamannya dalam keikutsertaannya selama perang gerilya di Kuba. Salah satu rangkuman itu dibukukan pada tahun 1961 dan diberi judul La Guerra de Guerrillas atau dalam bahasa Inggris Guerrilla Warfare yang artinya Perang Gerilya. Selain Mao Zedong dan Ho Chi Minh, Che Guevara adalah salah satu revolusioner dari Amerika Latin yang berkontribusi dalam merumuskan kembali semangat perjuangan bersenjata dan metode perang gerilya dalam rangka perebutan kekuasaan, khususnya untuk kondisi geografis serta sosio-ekopol di Benua Amerika pertengahan abad ke-20. Che juga melanjutkan tradisi panjang analisis Kiri tentang persoalan militer yang dirintis Engels.
Buku Che secara sekilas menceritakan keadaan masyarakat di Amerika Latin, kondisi ekonomi politik di sana yang dengan demikian memungkinkan munculnya perlawanan rakyat, hingga soal tujuan, strategi dan taktik dasar perang gerilya. Banyak yang bisa dibahas dari sini, namun kali ini saya akan menyinggung beberapa bahasan saja. Perihal isinya Anda mungkin bisa baca sendiri, tapi beberapa hal menarik dari tulisan Che ini yaitu soal pernyataannya tentang tiga kontribusi utama dari Revolusi Kuba untuk segenap bangsa di Benua Amerika. Ia menyebutkan yang pertama, yaitu revolusi di Kuba membuktikan bahwa kekuatan rakyat dapat memenangkan perang melawan kekuatan pasukan tentara. Kedua, kita tidak harus menunggu segala kondisi sesuai dengan syarat revolusi untuk melakukan revolusi. Ketiga, pada wilayah-wilayah yang masih dalam tahap berkembang di Amerika, pertarungan bersenjata harus selalu berada di pedesaan.
Che memang tidak mengada-ada dan jitu dalam memprediksi. Sebelum dan sesudah masa Revolusi Kuba 1959 memang terdapat serangkaian pergolakan di Amerika Latin. Sejarah mencatat perlawanan para budak terhadap sistem perkebunan dan kolonialisme Perancis di Haiti pada abad ke-18, Primera Junta yang memerdekakan diri dari kolonialisme Spanyol di Argentina di paruh awal abad 19 dan masih banyak perjuangan kemerdekaan lain dari bangsa-bangsa yang berada dalam penjajahan di Amerika Latin. Beberapa dari kita yang lahir pada pertengahan abad ke-20 pasti sempat menjadi saksi diruntuhkannya kediktatoran Somoza oleh FSLN (Frente Sandinista de Liberacion Nacional) dalam Revolusi Nikaragua tahun 1979, perlawanan FMLN (Frente Farabundo Marti para la Liberacion Nacional) terhadap ketidakadilan di wilayah perdesaan El Salvador di tahun 1981 dan gerakan EZLN (Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional) yang mewakili petani serta masyarakat adat melawan pemerintah di Mexico pada tahun 1994. Meski tidak semua berhasil merebut kekuasaan negara secara penuh, namun setidaknya apa yang disampaikan Che terbukti benar bahwa kekuatan rakyat dapat memenangkan peperangan melawan tentara dan terjadinya revolusi tak pernah menunggu kesiapan untuk revolusi.
Ia juga menjelaskan bahwa kondisi objektif di Amerika mengkondisikan rakyat untuk meraih sendiri kemenangannya tidak dengan cara-cara diplomatis tapi lewat bedil yang terisi. Singkat kata, Sang Commandante ini yakin bahwa revolusi di Amerika Latin serta negara-negara dunia ketiga mesti diraih dan hanya bisa didapatkan lewat perjuangan bersenjata. Ketimbang lewat cara damai masuk ke dalam pemerintahan yang sudah ada, cara konfrontasi dan menyusun pemerintahan baru lebih menjanjikan kemenangan dalam perebutan kekuasaan. Bukan tanpa sebab, karena menurutnya musuh akan habis-habisan mempertahankan kekuasaannya dengan menghalalkan segala cara. Bahkan jika perlu hingga menggunakan angkatan bersenjata untuk merebut kekuasaan, dengan demikian kita mesti mempertahankan diri jika sewaktu-waktu laras panjang mengarah ke wajah kita.
Alasan Che memilih perjuangan bersenjata masuk di akal. Pada tahun 1973, Presiden Allende, seorang Marxis dari Chile yang terpilih lewat pemilu demokratis dikudeta pasukan militernya sendiri. Allende yang sudah terkepung di La Moneda Palace pun memilih tidak mundur dari jabatannya dan memberikan pidato terakhir sebelum ia menembak dirinya sendiri dengan AK-47 hadiah dari Fidel Castro. Dari kejadian itu kita belajar bahwa kekuatan pertahanan diri dibutuhkan untuk mendapatkan kekuasaan dan hari ini kekuatan tersebut bisa didapatkan salah satunya lewat senapan. Namun, apabila Che menyarankan perjuangan bersenjata untuk merebut kekuasaan, konsekuensinya yaitu kita mesti bersahabat dengan dunia militer. Minimal kita memahami kemampuan dasar menjadi seorang prajurit.
Kira-kira apa saja sih kemampuan dasar prajurit itu? Antara lain yaitu kemampuan menembak, kemampuan perang, kemampuan bela diri, kemampuan navigasi darat dan memiliki fisik yang sehat serta kuat. Namun di atas itu semua, hal yang paling mendasar yaitu kedisiplinan. Sanggupkah kita? Apabila kedisiplinan masih sulit kita terapkan minimal kepada diri kita sendiri, jangan harap kita sanggup bertahan sehari saja di hutan hujan tropis Sumatera atau Papua. Satu-satunya cara bagi kita untuk belajar bentuk kedisiplinan militer adalah tentu saja dengan cara mendaftarkan diri menjadi prajurit di kesatuan tentara nasional.
Kita boleh saja tidak setuju dengan sejarah, kebiasaan dan cara-cara tentara reguler atau tentara nasional di negara kita, tapi dengan mempelajari apa yang mereka pelajari kita bisa lebih unggul ketimbang mereka. Apabila kita lebih unggul, kita dapat mengalahkan mereka. Sebab M16 hanya dapat ditandingi dengan AK-47 dan M1 Abrams hanya dapat dilawan dengan T-14 Armata, bukan hanya dengan slogan dan jargon semata.
Untungnya, kedisiplinan bukan hanya milik prajurit dari dunia militer maupun lawan-lawan kita dari kubu konservatif. Kedisiplinan juga dimiliki oleh para bhiksu Kuil Shaolin di Dengfeng, biarawan dan biarawati Katolik di Rawaseneng, para siaga dan penggalang di Bumi Perkemahan Cibubur hingga para uni-uni pedagang Nasi Kapau di Pasar Senen. Kini yang menjadi soal yaitu disiplin seperti apa yang mestinya kita lakukan sebagai praktik? Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata disiplin memiliki tiga arti antara lain tata tertib, ketaatan atau kepatuhan kepada peraturan, atau bidang studi yang memiliki objek, sistem, dan metode tertentu. Dalam konteks pergerakan kita saat ini tentu saja bukanlah disiplin dalam arti patuh kepada aturan-aturan militer atau tata tertib sekolah, namun disiplin dalam menganalisis setiap realitas melalui cara berpikir yang tersusun lewat metode materialisme historis dan dialektis. Bukan asal menilai dan berkesimpulan secara ugal-ugalan soal hal yang belum kita uji kebenarannya.
Che dalam tulisannya Perang Gerilya berbicara dalam konteks abad ke-20 di Amerika Latin. Kita yang hidup di abad ke-21 di Asia Tenggara tampaknya akan mengalami kesulitan dalam menerapkan strategi dari setengah abad yang lalu di dunia yang serba cepat berubah hari ini. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa bukan soal perang gerilya yang mesti kita pelajar dan terapkan, namun apa yang sejak tadi kita lewatkan dari membaca tulisannya yaitu metode berpikir yang konsisten menggunakan cara menganalisis materialisme historis dan dialektis. Ia menuturkan bahwa perang gerilya ini merupakan perang rakyat, gerilyawan merupakan perwakilan dari rakyat. Oleh karena itu kekuatan dari gerilyawan pun didukung penuh oleh kekuatan massa dan para petani, tanpanya gerilyawan tak berarti apa-apa. Tesis ini menegaskan bahwa angkatan bersenjata atau gerilyawan merupakan bagian dari rakyat dan mereka adalah rakyat itu sendiri, bukan entitas yang terpisah. Sesederhana manusia yang harus mempertahankan hidup dengan bercocok tanam dan memukul serigala-serigala yang ingin mengganggu ternaknya.
Lewat penjelasan mengenai gerilyawan yang adalah bagian dari barisan massa dan para petani, Che menegaskan pemisahan antara mana yang merupakan pembagian nyata kelas sosial dan mana yang hanya merupakan identitas-identitas sosial imajiner dalam masyarakat. Tentu saja kategori sosial yang nyata ialah soal siapa yang menguasai alat-alat produksi dan siapa yang harus bekerja diupah oleh mereka yang menguasai alat-alat produksi tersebut. Sehingga dari sini jelaslah siapa kawan dan siapa lawan. Selain itu Che juga tidak menggeneralisir bahwa caranya lewat perjuangan bersenjata merupakan satu-satunya cara, ia mengatakan bahwa tugas dari kekuatan revolusioner di setiap negara adalah menyusun perjuangan ketika kondisinya hadir di sana, terlepas dari kondisi yang ada di negara lain. Sehingga cara Kuba belum tentu bisa diterapkan di Indonesia dan sebaliknya. Setiap revolusioner harus menemukan caranya yang sesuai dengan kondisi objektif yang ada di tanah airnya.
Meski Che berpikir sangat baik dalam materialisme dialektis dan historis, namun dalam praktiknya ia masih melewatkan apa yang menjadi premis utama dari Marxisme, yaitu realisme. Ia melewatkan beberapa bentuk-bentuk kekuatan lainnya dalam rangka untuk merebut kekuasaan. Selain senjata, ia melupakan pembahasan soal pentingnya kekuatan dari kemampuan intelijensi dan finansial. Inilah kiranya yang membuatnya tertangkap dan dieksekusi di Bolivia. Para ahli sejarah menyimpulkan hipotesis bahwa kegagalannya di Bolivia disebabkan oleh tidak adanya dukungan dari Partai Komunis Bolivia yang kala itu lebih berkiblat ke Moskow ketimbang Havana, lalu kurangnya informasi soal didukungnya tentara Bolivia oleh Amerika melalui serangkaian pelatihan dan operasi oleh CIA, dan yang paling utama ialah kegagalan Che dalam menghimpun massa petani di perdesaan Bolivia serta kegagalannya mendapatkan simpati dalam kerjasama dengan pemberontak lokal. Dari sini kita menyaksikan bahwa selain pentingnya kemampuan menekan dengan menodongkan senjata, ternyata kepandaian berpikir dan benyaknya uang sanggup menghentikan peluru.
Che Guevara bagaikan peluru, ia pernah dipicu dan meluncur ke sasaran, namun selongsongnya tetap tinggal. Meski ia gagal dan menghadapi kematian, semangat dan pemikiran revolusionernya tetap tinggal.
Hasta la Victoria Siempre, Commandante!***