JIKA Anda dibuat muak oleh kondisi dunia politik kontemporer dan cara media-media arus utama mendukung Donald Trump, Boris Johnson, Rodrigo Duterte, atau varian-varian lokalnya, inilah obat manjurnya: baca artikel-artikel jurnalistik Karl Marx untuk New York Daily Tribune.
Marx berkontribusi untuk koran Tribune sebagai koresponden dari Eropa antara tahun 1852 hingga 1862. Ini tentu bukanlah masa puncak dalam hidupnya, baik kehidupan pribadi maupun politik. Terbuang ke London pasca kekalahan revolusi 1848, keluarga Marx harus bertahan hidup sebagai pengungsi di kota yang keras, berhadap-hadapan dengan kemiskinan. Selama tahun 1850-an, Karl dan istrinya Jenny menanggung kehilangan empat anak mereka (Edgar, Guido, Jenny, dan satu yang belum sempat diberi nama). Di luar kontribusi finansial dari Engels, menulis untuk Tribune adalah satu-satunya sumber pemasukan yang tetap bagi Marx. Maka tidak mengherankan jika tulisan-tulisannya untuk surat kabar Amerika itu seringkali dipandang tidak lebih dari tulisan untuk sesuap nasi, yang dibuat murni untuk keperluan ekonomi dan tidak terlalu penting untuk memahami pemikirannya.
Untungnya, penulis-penulis biografi Marx yang terbaru telah memberi perhatian yang lebih positif pada aktivitas jurnalismenya. Sepanjang dekade di mana ia menulis untuk Tribune, kira-kira ada 487 artikel yang dikirim Marx untuk diterbitkan di surat kabar (beberapa dipublikasikan secara anonim, sehingga sulit dipastikan berapa jumlah yang sebenarnya). Dari jumlah ini, 350 ditulis oleh Marx, 125 oleh Engels, dan 12 ditulis berbarengan. Artikel-artikel ini mendominasi halaman-halaman koleksi karya lengkapnya dalam periode antara meredupnya gelombang radikalisme 1848 dan pembentukan Internasional Pertama. Mereka menjadi komentar yang hidup tentang peristiwa-peristiwa dunia, kebanyakan tentang politik domestik dan internasional, tetapi juga melaporkan tentang perkembangan ekonomi dan aksi-aksi mogok. Penafsiran-penafsiran terkini tentang pemikiran Marx telah menekankan signifikansi tulisan-tulisan ini untuk memahami perkembangan pemikirannya tentang isu-isu yang beragam seperti kebijakan moneter, sebab-sebab Perang Saudara di Amerika, dan politik kelas pekerja di Inggris. Tidak seperti banyak tulisannya yang lain dalam periode ini, yang pada saat itu hanya menjangkau ratusan teman, pengagum, atau musuh, jurnalisme Marx berbicara secara luas kepada massa. Mencapai sirkulasi 200.000 pada 1850-an, koran Tribune adalah koran terbesar di dunia pada masa itu, dan Marx, menurut para editornya, adalah koresponden Eropa yang paling dihormati dan digaji paling tinggi.
Tidaklah terhindarkan, karena ini adalah Marx, maka karya jurnalismenya itu telah membangkitkan kontroversi-kontroversi besar dan beberapa kesalahpahaman yang serius. Kontroversi yang paling terkenal adalah seputar penggunaan artikelnya yang ditulis pada tahun 1853 tentang pemerintahan Inggris di India oleh Edward Said, untuk membuktikan bahwa Marx juga menganut pandangan orientalisme yang mendalam dan konsisten. Seorang Marxis asal India, Aijaz Ahmad, telah membantah pandangan Said atas artikel tahun 1853 itu dan mengatakan bahwa Said telah mengutip secara sepihak dan selektif. Sementara Kevin Anderson baru-baru ini berargumen bahwa meski unsur-unsur Orientalisme dapat terdeteksi dalam sikap Marx pada 1853, unsur-unsur tersebut hilang dalam artikel-artikel tentang India pada 1857 di bawah pengaruh Pemberontakan Sepoy. Ada lebih banyak hal yang bisa dikatakan terkait dengan debat ini. Namun dalam surat ini, saya ingin melompati perdebatan penting tentang sikap negatif terhadap orang-orang non-Eropa ini, dan berkonsentrasi pada kelompok yang kepadanya ketidaksukaan Marx sangatlah eksplisit dan terang-terangan: para politikus Inggris.
Marx, tentu saja, adalah pembela perluasan demokrasi, bahkan dalam kerangka masyarakat kapitalis. Dalam salah satu artikelnya di Tribune, ia melangkah jauh dengan menunjukkan bahwa karena ukuran jumlah dan kematangan proletariat di kepulauan Inggris, pemilihan umum mungkin memberi kekuatan yang cukup pada kelas pekerja untuk melangkah langsung menuju sosialisme, tanpa revolusi yang berdarah-darah. Tapi kepercayaannya pada demokrasi tidak diterjemahkan pada cinta kepada parlemen, tradisinya, atau anggota-anggotanya. Tidak seperti pengamat-pengamat masa kini yang mengagumi tradisi demokratik konstitusionalisme Inggris, Marx melihat pertarungan antara borjuis tuan tanah dan borjuis aristokrat yang direpresentasikan oleh Whigs, Tories dan mazhab liberal Manchester sebagai contoh privilese kelas. Bahwa ia memegang pandangan ini tentang House of Lords, sebagai borok yang membusuk dari kompromi-kompromi aristokrat, sangatlah jelas. Pada 23 Agustus 1853, Marx melaporkan:
Dan untuk House of Lords, apa yang dilakukannya sangatlah minim prestasi. Ia telah menunjukkan bigotry-nya dengan menolak RUU Emansipasi Yahudi, ketidakberpihakannya pada kelas pekerja dengan mematikan RUU Kombinasi Pekerja, kebenciannya pada bangsa Irlandia dengan menyimpan ke laci RUU Tanah Irlandia, dan preferensi bodohnya pada pelanggaran-pelanggaran di India dengan menegakkan kembali monopoli garam. Ia bertindak dalam kesemuanya itu melalui kesepahaman rahasia dengan pemerintah bahwa apapun langkah-langkah progresif yang mungkin keluar dari House of Commons, akan dibatalkan oleh para lords yang tercerahkan.[1]
Tetapi Marx juga tidak memuji House of Commons, yang disebutnya punya “fondasi berkarat”, dipenuhi dengan omongan-omongan kosong, dan kemarahan-kemarahan moral yang tak bertaji. Ia melabrak impotensi Parlemen di hadapan kebijakan asing yang tidak efektif dari pemerintahan koalisi Aberdeen yang, menurut Marx, secara rahasia berkoalisi dengan Tsar Rusia. Ia juga mengejek kebijakan-kebijakan anti kelas pekerja dari Parlemen yang diikuti oleh pemerintah. Dengan ironi, Marx secara konsisten menggunakan frase ‘Kementerian Segala Talenta’—istilah umum untuk pemerintahan yang mencakup anggota-anggota dari lebih dari satu partai—untuk mendeskripsikan pemerintahan yang ia nilai tak punya bakat spesial sama sekali.
Daripada mengutip daftar tanpa akhir dari contoh-contoh kecil, saya ingin menyuguhkan abstrak panjang dari sebuah artikel. Pada tahun 1853, ada peningkatan pesat aksi-aksi mogok yang sering Marx laporkan untuk Tribune. Aksi-aksi mogok ini, lebih dari semua yang lain, kecuali mungkin sikap para politisi Inggris terhadap Tsar Rusia, bagi Marx menunjukkan kemunafikan politik borjuis di masanya. Dalam laporan-laporan ini, ketidaksukaan yang luar biasa selalu ditunjukkannya pada klaim dari kelas penguasa dan kelas menengah dan representasi mereka di Parlemen untuk mempertahankan moralitas yang tinggi melawan sikap amoral orang miskin. Marx yang hidup di tengah-tengah kaum miskin kota, mungkin saja memendam ketidaksukaan khas kelas menengah pada kaum “lumpen proletariat”. Tetapi sama seperti contoh-contoh prasangka lain dalam Marx, ia segera kehilangan sikap ini ketika ada tanda konfrontasi sosial antara kelompok yang tadinya ia remehkan dengan pihak penguasa. Karena itu, dalam artikel yang terbit di Tribune pada 29 Juli 1853, kita mendapati Marx dalam performa terbaiknya ketika membela kelompok yang secara mengejutkan melawan represi berkedok moral dari pemerintah Inggris dan sekutunya di parlemen, pers, dan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kesopanan: kusir-kusir delman, yang mengemudikan ratusan delman atau hansoms yang memenuhi jalanan kota London pada masa itu. Seperti halnya pengemudi taksi hari ini, kusir delman di abad ke-19 London punya reputasi memeras para penumpangnya, dan dengan dalih moral “Kementerian Segala Talenta” memutuskan untuk menghentikan praktik ini dengan memperkenalkan tarif maksimal. Para kusir melakukan aksi mogok, dan Marx mendukung mereka sepenuhnya.
Mari kita dengarkan apa kata Marx:
London nampak seolah-olah London sedang pergi keluar kota. Ada tempat-tempat kosong di mana kita tidak akan melihat apapun. Dan sama seperti mata akan takjub melihat kekosongan ini, telinga akan terkejut dengan kesunyiannya yang seperti kuburan. Apa yang terjadi di London? Sebuah revolusi delman; para kusir dan delmannya telah lenyap, layaknya mujizat, dari jalanan, dari tempat perhentiannya, dari stasiun-stasiun kereta. Para pemilik delman dan kusirnya sedang memberontak melawan peraturan tentang delman yang baru, peraturan yang hebat dan nyaris “unik” dari Kementerian segala talenta. Merekapun mogok.
Sebagaimana telah diamati, publik Inggris terbiasa dengan pengetatan moralitas secara berkala, dan setiap enam atau tujuh tahun sekali, kebajikan mereka menuntut perlawanan terhadap kejahilan. Objeknya kali ini adalah kusir-kusir delman. Pemerasan mereka terhadap perempuan-perempuan tak terlindungi dan para pria gemuk di kota hendak dihentikan, dan tarifnya dikurangi dari 1s. menjadi 6d. per mil. Moralitas enam penny pun menjamur. Kementerian, lewat organisasi Tuan Fitzroy [eksekutif Departemen Dalam Negeri—PB], membuat hukum yang kejam bagi para kusir, menentukan isi kontrak yang harus dipenuhi mereka dengan publik, dan pada saat yang sama menundukkan tarif dan delmannya, kuda-kuda dan moralitasnya pada legislasi Parlemen. Kusir nampaknya hendak dipaksa untuk bertransformasi menuju kepatutan ala Inggris. Generasi masa itu tidak puas kalau belum meningkatkan kebajikan paling tidak satu kelompok penduduk, dan kali ini para kusir yang dipilih untuk itu.
Hari demi hari para kusir dimoralkan, dihukum, dipenjara. Pada akhirnya ia dipastikan tidak mampu membayar uang sewa lama ke pemilik delmannya dengan tarif baru, dan kedua pihak menuju Mons Sacer [Gunung Suci—PB] mereka, Gedung Nasional, di Holborn, di mana mereka mencapai resolusi mengerikan yang selama tiga hari telah menghasilkan kesunyian kota London. Dua hal yang telah diakibatkannya: pertama, bahwa Kementerian melalui organisasi Tuan Fitzroy telah mengubah kebijakan mereka sendiri hingga hampir menghapusnya; dan kedua, bahwa masalah Timur (Eastern question), kudeta Denmark, panen buruk, dan ancaman kolera semuanya menghilang sebelum perjuangan hebat tentang kebajikan publik, yaitu antara membayar hanya 6d. per mil dengan kepentingan swasta yang menagih 12 pence.”
Lagi-lagi bukan Marx namanya jika laporannya tentang aksi mogok lokal tidak mengilustrasikan pokok fundamental tentang hakikat masyarakat:
Dalam batasan konvensional tertentu, para pekerja dibiarkan untuk mengimajinasikan diri mereka sendiri sebagai agen-agen merdeka dalam produksi, dan bahwa kontrak mereka dengan para tuan diselesaikan dengan konvensi bersama; tetapi ketika batasan itu telah dilewati, kepada buruh secara terang-terangan dipaksakan kondisi-kondisi yang dipreskripsikan oleh Parlemen, yaitu Komite Kombinasi permanen kelas penguasa melawan rakyat.[2]***’
Pepijn Brandon adalah Asisten Profesor Sejarah Sosial dan Ekonomi di Vrije Universiteit, Amsterdam, dan Peneliti Senior di International Institute of Social History. Ia terhubung dengan Huntington Library, University of Pittsburgh dan Harvard University. Ia telah mempublikasikan secara luas karya-karyanya tentang sejarah perang, kolonialisme dan perbudakan di kerajaan Belanda, juga tentang ide-ide Karl Marx dan Rosa Luxemburg. Monografnya, War, Capitalism, and the Dutch State (1588-1795) diterbitkan dalam seri Historical Materialism dari penerbit Brill/Haymarket.
Artikel ini diterjemahkan oleh Daniel Sihombing.
————–
[1] Karl Marx, ‘Affairs Continental and English’, The New York Tribune, 23 August 1853, Marx Engels Gesamtausgabe2 Volume I.12, 308.
[2] Karl Marx, ‘Financial Failure of Government – Cabs – Ireland – The Russian Question’, The New York Tribune, 29 July 1853, Marx Engels Gesamtausgabe2 Volume I.12, 255-256.