Kredit foto: Fathimah Fildzah Izzati
KITA percaya tiada orang yang menghendaki kekerasan. Semua manusia waras membeci dan mengutuknya. Yang demikian ini, bahkan saya temui pada para pejuang muslim Moro di markas mereka di Darapanan Mindanao, yang kerap dikabarkan oleh media Barat dengan sangat pejoratif, sebagai gerombolan muslim pengobar kekerasan.
Hasyim Salamah, adalah seorang lelaki tua nan kharismatik, yang sangat dihormati dalam gerakan Moro Islamic Liberation Front (MILF) karena kesalehan, kecerdasan dan integritas perjuangannya. Sesaat setelah memberi sambutan pada kedatangan saya berserta rombongan di markasnya, sembari makan bersama, saya berkesempatan bertanya tentang apa tujuan dari perjuangan mereka? Apa yang sebenarnya ingin mereka perjuangkan dan untuk apa semua pertempuran yang telah mereka lakukan? Dengan suara lirih mengenang perjuangan sahabat, dan murid-muridnya yang telah gugur mendahuluinya, Ia mengatakan, “We struggle for peace, love, and freedom!”. Pernyataan ini sontak memukul jiwa saya yang sebelumnya menyaksikan para remaja di tepian jalan menenteng senjata laras panjang dengan peluru yang diselempangkan di dadanya, atau mereka yang tengah berlatih menggunakan senjata dan strategi pertahanan dari serangan musuh.
Sembari menuntaskan makan, saya mencoba menerka isi hati lelaki jebolan Al-Azhar, Kairo, yang sangat bangga menjadi sahabat Gus Dur tersebut. Mungkin saja, Ia hendak mengatakan, jalan yang ditempuh bangsa Moro yang demikian terjal, berdarah-darah, bukanlah sesuatu yang mereka kehendaki. Kondisi konkret lah yang menuntun mereka harus mengangkat senjata, berjihad. Mereka tak membenci kekristenan, atau komunitas agama lainnya. Mereka hanya menuntut hak-hak dan kedaulatan mereka dikembalikan. Diakui martabatnya sebagai bangsa yang berdaulat.
Tak jauh berbeda dengan perjuangan bangsa Moro adalah pemberontakan bersenjata para petani Chiapas, di negara bagian paling selatan Meksiko, yang dipimpin oleh Tentara Pembebasan Nasional Zapatista/Zapatista Army of National Liberation (EZLN).
Gerakan perlawanan yang terkenal melalui juru bicaranya nan misterius, Subcomandante Marcos ini, mulai melancarkan perlawanan pada dini hari, 1 Januari 1994. Sekira 3.000 prajurit gerilya yang dipersenjatai dengan buruk, keluar dari hutan, merebut dan mengambilalih kota San Cristobal de Las Casas. Tepat di hari yang sama, Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), sebuah perjanjian internasional antara Kanada, Meksiko, dan Amerika Serikat, mulai diberlakukan. Para petani pemberontak menyerukan pembatalan NAFTA, penggulingan pemerintah Meksiko, dan pertemuan majelis konstituante untuk menulis konstitusi baru Meksiko.[1]
Pihak-pihak anti perjuangan rakyat, khususnya kaum liberal akan dengan mudah memberi label perjuangan bersenjata sebagai pengobaran kekerasan yang tidak kompatibel dengan kemanusiaan. Tudingan semacam ini, berulangkali dilancarkan tiap muncul gerakan perlawanan rakyat pada kelas penguasa dan kapitalis.
Padahal sesungguhnya, bila dilihat secara adil, eksperimentasi politik pembebasan yang banyak dilakukan oleh gerakan perlawanan bukanlah sebagai demonstrasi kekerasan, melainkan, seperti kata Hasyim Salamah, untuk perdamaian, cinta dan kemerdekaan. Bahkan semua itu, bagi para petani Chiapas, hanya mungkin bisa diwujudkan jika sosialisme ditegakkan.
Seperti kebanyakan perjuangan pembebasan, pembangkangan politik, atau gerakan protes sosial, pada dirinya tak ada yang menghendaki kekerasan. Bahkan teori revolusi yang memungkinkan terjadinya revolusi, sebagai hipotesa politik dan strategi pembebasan, lahir dari rahim situasi konkret konfliktual yang tak bisa dihindari. Kelas penguasa melakukan serangkaian penindasan tidak dengan tangan hampa, tapi dengan modal dan senjata. Jadi, adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa dielakkan bila perlawanan bersenjata menjadi pilihan perjuangan.
***
Apa yang hendak saya ulas dari cerita perjuangan orang Moro dan para petani Chiapas adalah problem kekerasan. Kekerasan seringkali dikutuk tapi pada hakikatnya melekat pada kehidupan. Ia setua sejarah umat manusia bahkan kehidupan ini. Kekerasan tampil melalui cara yang unik. Di satu sisi menjadi ekspresi cinta yang paling murni, seperti ditunjukkan oleh para pejuang kemerdekaan Moro dan petani pemberontak Chiapas, namun di sisi lainnya, menjadi ekspresi kejahatan yang paling vulgar para penindas.
Kekerasan selalu hadir dalam kisah heroik pembebasan maupun rangkaian sejarah kelam penaklukan, dan penguasaan yang menindas dan brutal. Bahkan pada aspek tertentu, seturut dengan kondisi materialnya, kekerasan menjadi prasyarat bagi aktualisasi kemerdekaan dan cinta kasih.
Saya setuju dengan konsepsi psikoanalisis Freud, bahwa di dalam hasrat instingtual manusia, terdapat elan cinta yang disebut eros dan daya perusak yang disebut tanathos. Namun demikian, apakah ekspresi dari cinta melulu tampil pada sikap masa bodoh dan apolitis pada realitas sosial yang timpang dan tidak adil, atau sebaliknya, justru hadir dalam sikap berani dan politis untuk membela kebatilan secara radikal? Di sinilah letak persoalannya. Apa yang tampak lembut belum tentu merupakan ekspesi cinta, dan sebaliknya yang tampak keras sebagai ekspresi kekerasan itu sendiri. Semua itu dideterminasi oleh kondisi material yang objektif. Dengan demikian, kondisi material yang dinamis, aktual dan objektif yang membimbing seseorang harus bertindak apa dan bagaimana.
Karena itu perdebatan apakah memilih perjuangan dengan kekerasan atau tanpa kekerasan, merupakan perdebatan sia-sia dan ambigu. Bahkan secara etis bisa terjatuh pada kemunafikan. Kekerasan tak bisa dihindari dalam hidup, persis tak ubahnya sebuah labirin yang selalu menggiring manusia untuk tetap di dalamnya. Ia bisa menjadi ekspresi cinta sekaligus ekspresi kejahatan.
Bagi kaum materialis-radikal, kekerasan dilihat sebagai instrumen perjuangan yang disebabkan oleh kondisi objektif yang tak bisa dielakkan. Artinya, kekerasan yang muncul tidak datang tiba-tiba, melainkan dimungkinkan oleh kekerasan yang lebih besar, mengungkung, dominan dan hegemonik dalam beragam bentuk, kekuasaan tiran, penghisapan modal, maupun ortodoksi agama.
Contoh yang baik untuk hal ini adalah proses perjuangan Nelson Mandela melawan pemerintahan apartheid, yakni sebuah kebijakan diskriminasi berdasarkan rasialisme yang menindas kaum kulit hitam. Setelah semua upaya perjuangan damai dan legal mengalami jalan buntu, Ia memilih jalur perlawanan. Tidak tanggung-tanggung bersama sejumlah kawan radikal lainnya, Ia membangun partai militer spare of the nation. Seorang pengacara yang sebelumnya berjuang bersenjatakan pasal-pasal hukum yang sejak semula diskriminatif, dan melakukan upaya pembangkangan yang diinspirasi Gandhi, kemudian harus berlatih mengoperasikan senjata dan bahkan belajar merakit bom untuk melancarkan penyerangan dan sabotase. Aktivitas politik radikal ini yang kelak menyeretnya ke dalam jeruji besi selama 27 tahun. Namun, setelah dibebaskan dari penjara, Mandela membangun perdamaian dan rekonsiliasi dengan membentuk Komite Perdamaian dan Rekonsiliasi. Seorang radikal revolusioner tersebut menjalankan politik pengampunan. Alih-alih melancarkan politik balas dendam, Ia memaafkan semua orang kulit putih yang terlibat dalam penindasan panjang terhadap kaum kulit hitam.
***
Sekarang mari kita lihat kondisi politik di Indonesia.
Para intelektual tukang yang memerankan dirinya sebagai propagandis jahat rezim pro modal dan anti rakyat, kini beramai-ramai mengutuk gerakan mahasiswa dan pelajar yang telah menggelar aksi serentak turun ke jalan mengepung gedung Dewan Perwakilan Rakyat di berbagai kota besar di Indonesia, khususnya di Jakarta, pada 24 dan 25 September 2019 lalu, dalam rangka menolak beragam RUU yang membahayakan demokrasi, sebagai parade kekerasan.
Para intelektual tukang, yang umumnya adalah kelompok tengah dan liberal, alih-alih turut serta membela hak-hak rakyat yang terancam oleh beragam RUU pro modal dan terjaminnya kebebasan yang terancam RKUHP, justru berkhotbah tentang sopan santun, serta mengajari bagaimana seharusnya bertata krama ala kaum feodal di hadapan wakil rakyat dan penguasa yang bersekutu mengeberi hak-hak rakyat untuk memenangkan kepentingan modal besar.
Padahal seperti kita tahu, kekerasan di republik ini telah lama dilembagakan dan dipraktikkan secara intensif, massif dan vulgar oleh pemerintah sendiri. Kekerasan itu ada di dalam tubuh pemerintah yang kerap melakukan intimidasi, dan teror pada rakyat. Bahkan, konon sebagaimana tercatat dalam banyak bukti historis, kekuasaan orde baru dibangun melalui kekerasan yang brutal dan mematikan yang bertahan sepanjang 32 tahun.[2] Kini watak-watak kekerasan tersebut diwarisi dan direproduksi para bandit pengusaha dan penguasa yang menjalin relasi ekonomi dan politik, melalui penyelenggaraan negara yang korup dan keji.
Para intelektual tengah dan liberal berpura-pura tidak tahu dan mengabaikan berbagai rangkaian kejahatan kemanusiaan yang telah dan sedang terjadi. Kekerasan di sektor agraria yang kerap terjadi misalnya, tak pernah menarik perhatian mereka, para pejuang toleransi. Hanya sedikit dari kalangan mereka yang turut serta membela hak-hak rakyat kecil, terutama petani kecil di pedesaan yang menjadi sasaran penggusuran tanah proyek-proyek skala besar swasta di Indonesia yang diberi label pembangunan.
Mulai dari presiden, para menteri, kapolri, jenderal TNI, kiai, pendeta, wakil rakyat, politisi partai, pengusaha, saling berbagi peran untuk melembagakan dan melanggengkan kekerasan melalui rekayasa UU yang menguntungkan bisnis dan kekuasaan. Tak berlebihan, demi mengamankan lancarnya laju investasi di Indonesia, presiden Jokowi berulangkali mengumbar kata gebuk untuk mengancam rakyat yang menolak menjadi korban investasi di sektor minerba, perkebunan, dan infrastruktur yang rakus tanah di Indonesia.
Dengan demikian, siapakah sesungguhnya produsen kekerasan? Penguasa yang oleh Allah disebut sebagai mereka yang telah melampaui batas.
***
Mereka yang melampaui batas berbuat sewenang-wenang, kejam atau menindas, disebut oleh Allah dengan sebutan Taghut. Kata ini dengan berbagai derivasinya (isytiqaq) diulang sebanyak 39 kali yang tersebar dalam 39 ayat dan 27 surat di dalam al-Qur’an.[3]
Apakah dengan demikian, pemerintah Indonesia merupakan taghut. Tentu saja. Kita tak perlu takut atau sungkan untuk mengatakannya demikian. Melalui tinjauan ekonomi politik, maupun hukum progresif, pemerintah telah bertindak melampaui batas. Menangkapi para pejuang HAM dan demokrasi; membungkam suara kritis warga dengan kriminalisasi; mempersekusi warga yang menolak proyek swasta; memproduksi hoax; menyebarkan fearmongering; memanipulasi data dan ijin untuk kepentingan pemodal; mengumbar data warga negara untuk keperluan bisnis dan politik; mengucurkan dana pada para tokoh agama seperti kiai dan pendeta untuk menghegemoni kesadaran politik massa agar menerima semua proyek investasi swasta di segala sektor sebagai bentuk kesetiaan pada negara; melakukan praktik korupsi untuk melancarkan sebuah proyek investasi; penangkapan dan bahkan pembunuhan pada para pejuang kemerdekaan Papua dengan menempatkan mereka setara dengan teroris untuk mendapat melegitimasi pembunuhan dls. Pendeknya pemerintah tak lagi menjadi pihak yang mensponsori berlangsungnya pendindasan, melainkan menjadi aktor utama penindasan itu sendiri.
Sayangnya sebagian besar kelompok Islam masih meletakkan pemerintah dan negara sebagai entitas budiman yang serba baik dan mengayomi. Padahal, di dalam struktur kebijakan pasca konsensus Washington, negara telah menjadi sekedar stakeholder biasa setara dengan modal dan masyarakat sipil yang berfungsi sebagai mediator antara modal dan masyarakat sipil untuk melancarkan kepentingan modal.
Perjuangan menghadapi taghut, tidak pernah tunggal, lagi-lagi, seturut dengan kondisi objektif-nya. Bisa dengan jalan diplomasi, politik parlementer, politik jalanan, hingga perjuangan bersenjata untuk mengembalikan pemerintah ke dalam khittah-nya sebagai perwujudan konsensus politik yang melayani para pemberi mandatnya. Dikisahkan dalam al-Qur’an, Allah pernah mengutus Musa dan Harun untuk mendatangi dan mengingatkan penguasa lalim, Fir’aun dengan cara lembut agar tidak melampaui batas. Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya Ia telah melampaui batas; maka bicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan Ia ingat atau takut. Berkatalah mereka berdua: Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami khawatir bahwa Ia segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas. Allah berfirman: janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihatnya”. (QS. Thaha: 43-46)
Perintah Allah agar Musa dan Harun mengingatkan Fir’aun dengan lembut merupakan salah sebuah cara dan bukan satu-satunya cara yang dianjurkan di dalam Islam. Perintah tersebut sangat relevan mengingat kondisi objektifnya yang tak memungkinkan perlawanan bersenjata secara terbuka. Kaum Yahudi yang diperbudak Fir’aun belum terorganisir dengan baik, tidak memiliki kesadaran politik untuk menggalang perlawanan, tidak mempunyai disiplin dan imajinasi melampaui imajinasi kekuasaannya Fir’aun. Kondisi itu, persis seperti apa yang pernah terjadi saat peristiwa penggulingan presiden Abdurrahman Wahid di Indonesia. Ia memilih untuk menerima kekalahan atas desakan kekuatan militer, dalam hemat saya, bukan karena Ia tak ingin mempertahankan kekuasaanya untuk melanjutkan proyek reformasi yang belum selesai. Melainkan didorong oleh pilihan politik rasional yang tak bisa dielakkan, karena dalam sepanjang karir aktivismenya, Ia tak pernah membangun kekuatan politik yang solid, terpimpin via alat politik revolusioner yang didukung para kader radikal dan rasional yang siap membelanya. Berbeda dengan para petani Chiapas dan perjuangan politik pembebasan lainnya. Dalam kisah Musa dan Harun menghadapi Fir’aun, jangan memobilisasi massa dan melakukan perlawanan bersenjata. Hanya sekadar diperintah Allah untuk mengingatkan secara lembut saja mereka berdua sudah ketakutan kalau nanti Fir’aun akan bertindak lebih brutal pada kaum Yahudi. Apa yang bisa diharapkan dari kondisi semacam itu? Tidak ada, selain perjuangan minimalis, selemah-lemahnya iman mengingatkan pihak yang melampaui batas.
***
Dengan demikian, kekerasan yang dilakukan oleh para pejuang Moro, petani pemberontak Chiapas dan Nelson Mandela, sejalan dengan firman Allah, “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS. Al-Baqarah: 190). Perjuangan yang mereka lakukan merupakan ekspresi cinta yang paling murni pada kemanusiaan.
Kapitalisme melalui kebijakan neoliberal-nya telah mengubah segala yang jahat tampak baik, segala yang merusak tampak bermanfaat, segala yang anti kehidupan seolah tampak paling melayani kehidupan. Anda bisa lihat, sebagai salah sebuah contohnya, bagaimana perusahaan Wilmar telah menghancurkan sekira 70.000-an hektar hutan di seluruh Asia Tenggara, terutama di Indonesia. Mulai dari pembakaran hutan hingga penebangan ilegal alias illegal logging untuk kepentingan bisnisnya, kita tak pernah mendengar protes terbuka yang dilakukan para eksponen liberal serta mengutuknya sebagai kekerasan dan teror (isme) pada kehidupan. Padahal secara berkala peeusahaan tersebut mengirim minyak sawit dari kilang penyulingannya di Dumai, Riau, dikirim pada konsumennya di kapitalisme pusat, salah sebuahnya adalah perusahaan Mondelez di Rotterdam, Belanda, yang memproduki biskuit Oreo dan cokelat Cadburry. Ada banyak kejahatan yang melibatkan para jenderal di sektor perkebunan sawit dan tambang batubara, tak ada satu pun kelompok tengah dan liberal yang hendak melawannya atau sekadar mengutuk kekerasan yang mereka lakukan. Dibanding Musa, mereka jauh lebih berkhianat dan munafik, hanya sibuk bersolek agar tampak toleran dan pluralis namun turut melanggengkan kekerasan sistemik dan jauh lebih mematikan bahkan ketimbang terorisme agama, dengan turut melegitimasi pemerintahan yang taghut dan mengkhianati amanat rakyat. Padahal, kebungkaman di hadapan kejahatan adalah kejahatan itu sendiri.
Perjuangan politik para mahasiswa dan pelajar STM dengan jalan damai tak bisa dikatakan sebagai pengumbar kekerasan bahkan seandainya harus terlibat dalam konflik jalanan dengan aparat polisi yang bengis. Mereka tengah mengekspresikan cintanya yang paling murni bagi kemanusiaan, keadilan dan demokrasi. Dan Anda semua jangan lupa, pendekatan keamanan (baca: kekerasan) yang dioperasikan pemerintah hari ini merupakan copy paste kebijakan keji yang pernah dilancarkan sebelumnya di Timor Leste, melalui politik adu domba sesama warga negara. Dulu, pemerintah mempersenjatai milisi untuk memburu dan membunuhi para pejuang kemerdekaan atas komando Jenderal Wiranto.[4] Bila dulu milisi dibenturkan dengan para pejuang kemerdekaan, sekarang pemerintah memelihara buzzer untuk mengadu domba melalui propaganda hitam untuk mendeligitimasi perjuangan rakyat merebut demokrasi dan tegaknya keadilan.
Para mahasiswa, pelajar STM dan buruh yang masih setia berjuang di jalanan bukanlah pengumbar kekerasan sebagaimana dituduhkan, melainkan produsen cinta yang murni pada kemanusiaan. Mereka yang memilih jalan perlawanan pada pemerintah dan wakil rakyat yang dzalim, yang dikendalikan korporasi adalah sebaik-baiknya jalan.***
Ditulis
dini hari menjelang subuh, 27 September 2019 untuk mengenang kawan-kawan
mahasiswa dan pelajar yang telah gugur di medan juang untuk demokrasi
——————-
[1] Lihat. https://solidarity-us.org/p4082/
[2] Robert Cribb (ed), The Indonesian Killings Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, Yogyakarta: Penerbit Matabangsa, 2003.
[3] Kata ini dalam al-Qur’an, QS. al-Baqarah: 15, 256-257; QS. al-Nisa’: 51, 60, 76; QS. al-Maidah: 60, 64, 68; QS. al-An’am: 110; QS. al-A’raf: 186; QS. Yunus: 11; QS. Hud: 112; QS. al- Nahl: 36; QS. al-Isra’: 60; QS. al-Kahfi: 80; QS. T haha: 24, 43, 45, 81; QS. al- Mu’minun: 75; QS. al-Shaffat: 30; QS. Shad: 55; QS. al-Zumar: 17; QS. Qaf: 27; QS. al-Dzariyat: 53; QS. al-Thur: 32; QS. al-Najm: 17, 52; QS. al-Rahman: 8; QS. al-Qalam: 31; QS. al-Haqqah: 5, 11; QS. Al-Naba’: 22; QS. al-Nazi’at: 17, 37; QS. al- Fajr: 11; QS. al-Syams: 11; QS. al-’Alaq: 6. Lihat. Muhammad Fuad Abd. al-Baqi, Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Karim, Kairo: Dar al-Hadits, 1996, hal. 524-525.
[4] Lebih lanjut perihal kekerasan di Timor Leste, baca laporan yang ditulis oleh Geoffrey Robinson, Timor Timur 1999 Kejahatan Terhadap Umat Manusia, Jakarta: Elsam, 2003.